“Tugas, mengawasi mantanku,” kekeh Deva sengaja menggoda Ratih.Deva hanya ingin tau apakah Ratih memiliki rasa cemburu, bukan untuk mencari masalah. Tapi, hanya untuk menjawab rasa penasarannya saja.“Oh, kamu suruh Bang Parlin untuk mengawasi mantan pacarmu? Kamu bilang apa tadi? Bagus, okay, bagus, baiklah?! Itu kan yang tadi kamu bilang,” ucap Ratih seraya menirukan suara dan cara Deva berbicara.“Kalau perempuan itu lebih bagus, yah sudah pergi sana sama Parlin. Aku sendiri yang akan mengambil data list semua pegawai dan tenaga kerja lepas di perkebunan ayahku! Sudah, pergi sana!” usir Ratih lalu mendorong Deva dan hendak membuka sabuk pengamannya.Secepat kilat Deva menahan lengan istrinya, ia menatap geli wajah Ratih yang merengut. Dicubitnya cuping hidung Ratih dengan gemas. “Kalau ngambek ternyata bisa seram juga yah?” kekeh Atmadeva lalu mengecup singkat bibir Ratih.“GR! Aku tidak ngambek kok, sudah sa-“CUP!Sebuah kecupan kembali membungkam Ratih. “Sudahlah, jangan suka m
Darman membunyikan bel rumah tersebut beberapa kali, hingga seorang pelayan pun keluar. “Maaf ada perlu apa yah, Pak? Mau cari siapa?” tanya pelayan tersebut.“Bu, saya mau ketemu dengan Pak Susantio, apakah beliau ada di rumah?” tanya Darman.“Pak Susantio? Hem, itu … Pak Susantio sudah tidak pulang ke rumah selama empat hari, Pak. Tapi, kalau mau ketemu sama istrinya, silahkan masuk Pak. Saya bukakan pintunya dulu yah,” ucap pelayan tersebut sambil membungkuk hormat.Mendengar kalau Susantio tidak pulang selama seminggu, Ratih dan Deva saling berpandangan. Begitu juga dengan Darman dan Lusi. Mereka lalu masuk ke dalam rumah tersebut dan cukup takjub dengan bangunan di hadapan mereka.Bukan hanya takjub tapi berbagai tanda tanya berseliweran di kepala masing-masing. “Kalau boleh tau, bangunan ini sudah jadi sejak kapan, Bi?” tanya Lusi sedikit berbisik.Darman langsung menyenggol Lusi dengan siku tangannya. Untung saja pelayan tersebut tidak terlalu memperhatikan. Ia menjawab dengan
Seorang pria basah kuyup dengan tertatih berjalan menuju ke rumah sederhana di tengah hutan. Rumah yang biasa dijulukinya sebagai rumah pohon itu, kini menjadi tempat persembunyiannya. Ia membuka pintu rumah itu dan matanya terbelalak.“Buat apa kalian ada di sini? Bukankah sudah ku katakan, kalau aksi kita sudah endus oleh Tuan Rahardjo dan Tuan Hudaya. Aku tidak bisa lagi mengawal apalagi menukar bahan baku tersebut! Aku tidak mau mengambil resiko!” ucapnya sambil terengah.BUG! BUG!Sebuah pukulan mendarat di perut dan sebuah upper cut membuatnya tumbang seketika. “Sudah ku katakan, jangan lakukan hal-hal yang mencurigakan. Tapi, kau tetap melanggar peraturan yang sudah aku tetapkan. Sekarang, katakan kepadaku, di mana kau sembunyikan uang lima milyar itu?!” desis pria bertubuh padat dan penuh otot itu.“Aku, tidak mau mengatakannya. Aku tau, kalian akan membunuhku. Jika aku mengatakan di mana uang itu. Buatlah rekening baru, setelahnya aku akan mengirim bagianmu tapi, kalian tidak
Dua hari setelah Deva dan Ratih berkunjung ke rumahnya Susantio dan bertemu dengan Fitri, terjadi kabar yang cukup menghebohkan seantero kota tempat mereka tinggal. Ditemukan mayat seorang pria mengapung di danau petik wangi hari itu. Mayat yang ditemukan itu sudah dalam keadaan bengkak karena tubuh yang rasanya sudah lebih dari dua puluh empat jam di dalam air. Kabar yang diberitakan oleh seluruh stasiun televisi lokal langsung menyita perhatiannya Ratih saat sedang menyiapkan sarapan untuk suaminya. “Deva! Sini cepat lihat!” panggil Ratih sembari memperbesar volume televisinya. Deva bergegas keluar dari kamar, hatinya langsung tidak enak saat mendengar berita tersebut. Ia dan Ratih saling berpandangan dalam diam, selama berita tersebut dibacakan oleh salah satu reporter televisi yang berada di lokasi kejadian perkara. “Kita harus ke sana, Ratih,” ajak Deva. “Tidak! Jangan ke mana-mana. Diamlah di sini, panggilah Parlin dan Pak Ratmin ke sini. Kita harus pergi ke rumahnya Pak Sus
“Bunda, Ratih tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Tolong lakukan saja apa yang tadi Ratih sampaikan, Bun. Pak Susantio sudah meninggal, mayatnya ditemukan di danau petik wangi. Tolong, amankan semua memory cctv tersebut dan segera Bun, jemput Kak Fitri. Jangan ditunda lagi!” titah Ratih dan segera menyusul Deva yang tidak kunjung keluar dari rumah.Baru saja kakinya menaiki dua anak tangga, Deva sudah keluar dengan pakaian rapi. Ia menyambut Deva dengan mengulurkan tangan dan segera bergegas masuk ke kursi belakang mobil mewahnya.“Barusan anak buahku menelpon, katanya Ayah sudah menjalankan petunjukmu. Empat orang sudah menuju ke rumahnya Fitri saat ini.” Deva sekedar memberitahu agar wajah istrinya yang terlihat terlalu tegang bisa sedikit relaks.Benar saja, terdengar suara helaan nafas lega Ratih. “Bagus, aku yakin kalau Susantio tidak mungkin meninggal tenggelam. Hanya kita harus hati-hati, aku tau mereka juga menguasai dokter atau siapa pun mereka yang bertugas di bagian foren
“Nggak apa, Bun. Sebenarnya masih ada satu memori yang belum terambil. Itu adalah cctv yang menghadap ke arah danau petik wangi. Aku memang yakin, pasti tidak ada yang menemukannya, karena kameranya memang dipasang agak tinggi dan Ratih selibkan di bawah sangkar burung. Memori itu adalah kunci utama dari kasus ini,” terang Ratih dengan mata binarnya.“Hah?! Ngapain kamu taruh cctc di sana?” tanya Lusi heran sekaligus bisa bernafas dengan lega.“Karena lokasi tersebut sebenarnya adalah tempat aku biasa bertemu Rangga diam-diam. Agar, tidak ketahuan, cctvnya Ratih arahkan ke danau. Maafkan kelaukan Ratih yang dulu, Bun,” ucap Ratih dengan suara memelan sambil melirik suaminya.“Hem, sudahlah. Itu masa lalu, ayo minta tolong siapa gitu untuk pergi mengambilnya.” Lusi lalu hendak keluar meminta tolong kepada salah satu anak buahnya.“Biar, saya saja, Bunda. Saya akan mengambilnya dengan Pak Ratin dan Parlin. Setelahnya saya akan bergegas kembali,” sahut Deva.“Tidak, kamu tidak boleh kema
“Papa, tadi menelpon mereka dan meminta mereka menyiapkan ini semua. Agar setelahnya kita dapat memperoleh bukti kematian Susantio dan segera menyerahkannya kepada pihak kepolisian.” Abizar memberitahu sebelum Ratih sempat bertanya.“Terima kasih, Pa. Leo, tolong buka terlebih dahulu memori ke lima belas in.” Ratih lalu memberikan memori tersebut.Leo mengambilnya dan memasukkannya ke sebuah alat yang tersambung dengan kabel USB untuk dicolok ke laptop. Ia harus mengunggah dulu semua video yang terekam dari dalam memori, barulah video tersebut diputar.Ratih lantas melihat Parlin yang masih tidak dalam keadaan baik, ia segera menghampirinya. “Bang Parlin, gantilah pakaian di dalam dan obati dulu lukamu,” titah Ratih.“Baik, Nyonya.” Parlin lalu masuk ke dalam kamar para bodyguard.Untunglah di dalam kamar tersebut, ada beberapa pakaian miliknya yang memang sengaja ditinggal untuk posisi urgent seperti saat ini. Parlin lantas duduk untuk sekedar beristirahat sebentar dan memejamkan mat
“Bukankah, lokasi kejadian ditemukannya mayat Susantio juga di danau yang sama?” tanya Deva dengan tujuan memberikan petunjuk pada siapa saja yang masih belum paham di ruangan tersebut.Ratih segera membelalakan matanya dan menutup mulutnya. “Benar sekali! Itu artinya, kita dapat melihat siapa tersangka sebenarnya!” pekik Ratih baru sadar maksud Parlin dan suaminya.Setelah mendapatkan kemungkinan untuk mendapatkan bukti yang lengkap, akhirnya Ratih meminta kepada Leo untuk memutar kembali video yang tersimpan dalam memori CCTV tersebut. Mereka dengan tatapan tegang menanti petunjuk baru dalam video yang sedang berjalan tersebut.Hingga akhirnya tampak aktivitas baru yang tertangkap kamera, dari atas ada seorang wanita muda dikawal oleh dua orang pria yang tidak diketahui wajahnya. Keduanya berperawakan besar dan tinggi, mereka masuk ke dalam hutan beberapa saat setelahnya mereka keluar kembali.“Siapa mereka? Kenapa tingkah laku mereka tampak sangat mencurigakan.” Abizar berkomentar
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.