“Bukankah, lokasi kejadian ditemukannya mayat Susantio juga di danau yang sama?” tanya Deva dengan tujuan memberikan petunjuk pada siapa saja yang masih belum paham di ruangan tersebut.Ratih segera membelalakan matanya dan menutup mulutnya. “Benar sekali! Itu artinya, kita dapat melihat siapa tersangka sebenarnya!” pekik Ratih baru sadar maksud Parlin dan suaminya.Setelah mendapatkan kemungkinan untuk mendapatkan bukti yang lengkap, akhirnya Ratih meminta kepada Leo untuk memutar kembali video yang tersimpan dalam memori CCTV tersebut. Mereka dengan tatapan tegang menanti petunjuk baru dalam video yang sedang berjalan tersebut.Hingga akhirnya tampak aktivitas baru yang tertangkap kamera, dari atas ada seorang wanita muda dikawal oleh dua orang pria yang tidak diketahui wajahnya. Keduanya berperawakan besar dan tinggi, mereka masuk ke dalam hutan beberapa saat setelahnya mereka keluar kembali.“Siapa mereka? Kenapa tingkah laku mereka tampak sangat mencurigakan.” Abizar berkomentar
Pecah sudah tangisan Fitri hingga terdengar seperti hampir histeris ia tidak kuat untuk menahan rahasia ini lebih lama lagi."Tuan, anak pertama saya diculik, Tuan! Saya sudah kehilangan suami saya, saya tidak mau kehilangan anak saya lagi. Tolong, selamatkan anak saya, Tuan Besar Rahardjo. Saya mohon selamatkanlah anak saya." Akhirnya rahasia yang menyesakkan dada, yang selama ini ditahannya bisa terungkap juga.Fitri sudah tidak tahan lagi. Momen kedatangan Abizar menemui Fitri memang pas. Fitri, sudah serba ketakutan dan kebungingan sejak tadi.Abizar kini tahu alasan, mengapa Fitri terlihat sangat resah dan Abizar yakin, jika Fitri tadi sempat membohongi Deva. Mungkin, dia tidak percaya kepada Deva atau dia takut ada yang membocorkan percakapan mereka, atau bisa jadi dia juga takut ada yang mendengar percakapan mereka saat berada di gudang milik besannya."Baiklah kalau begitu, sekarang ikutlah aku ke depan. Kita akan bertemu dengan Ratih dan yang lainnya." Abisar lalu mengangkat
Malam itu tepat pukul satu malam, seorang sipir yang baru saja pindah dari Nusakambangan datang menghampiri kamar tahanan Rangga. Ia membukakan sel tersebut dan membangunkan Rangga juga Si Tuli yang tertidur di lantai."Woi, bangun! Ada tamu di luar menunggumu.” Suara sipir itu langsung mengganggu jam istirahatnya Rangga.“Hem, ada apa?” tanya Rangga masih dalam posisi setengah sadar.“Bangun dan pergilah lewat pintu belakang, lalu temui tamu kamu di masjid. Jangan sampai ada yang tahu. Ingat! lewat pintu belakang, supaya CCTV tidak bisa melihat kau keluar dari sini," titah sipir baru tersebut yang bernama Danang.Rangga berusaha duduk, kepalanya masih terasa berat, untuk mengusir rasa kantuk ia mengucek kedua matanya. Badan yang selalu pegal setiap bangun dari kasur matras ini, membuat Rangga sering sekali ngulet.Makhlum sudah hampir tiga tahun, Rangga tidur di atas springbed mahal yang dibelikan oleh Ratih, khusus untuk memanjakan dirinya. Sipir tersebut menatap Rangga yang kembali
“Jadi, bawa koper ini dan simpan di kamarmu sesuai dengan instruksiku! Apa kau paham?!” titah Tejo dengan tegas.“Kamu ingat kembali, apa nasehatku saat kamu cerita kalau tiba-tiba saja Ratih memutuskanmu di hari ulang tahunnya?” Tejo sengaja mengingatkan kembali kejadian itu agar Rangga bisa instropeksi diri.Rangga terdiam dan membatin. Memang sedari awal Tejo sudah mengatakan kepadanya untuk dapat menahan diri. Walau pun kali ini dia tampak kalah dengan Deva. Tapi, mereka pasti memiliki celah dan ada kesempatan untuk merebut Ratih kembali.Hanya saja Rangga tidak pernah nurut dengan Tejo. Akhirnya keadaan jadi seperti ini. “Iya, aku sadar aku tidak mengindahkan semua ucapanmu. Tapi, aku terlalu sakit hati. Sementara aku sedang emosi, mendadak aku secara kebetulan aku melihat Ratih datang ke kebun itu. aku kira dia mau mencariku.” Rangga masih berusaha untuk membela diri di hadapan kakaknya.“Sudah cukup, Rangga! Dengarkan kakakmu! Lagi pula ngapain juga kamu sakit hati dengan Ratih
"Diamlah, bodoh! Jangan buat aku tambah pusing. Mayat Susantio memang sudah ditemukan, makanya aku sampai menghampirimu sekarang! Agar, apapun yang terjadi, uang ini tetap aman! Kalau saja kacung bodoh ini mengikat pemberat di kakinya dengan benar, maka hal ini tidak akan terjadi!" Tejo lantas meluapkan emosinya sambil memukul kepala salah satu anak buahnya. "Maafkan kecerobohan saya, Tuan," sesal anak buah yang biasa dipanggil Lukman. "Yah, memang kau sangat ceroboh! Untung saja kau masih hidup sampai sekarang, kalau saja aku tidak memikirkan rencana kita kedepannya, ku pastikan isi kepalamu pasti sudah terburai saat ini!" Ancaman Tejo, tidak dianggap sebagai ancaman biasa oleh Lukman. Setelah melayani Tejo sekian lama, baru kali ini dia mengatupkan bibir dan bergidik ngeri. Bagaimana tidak, Lukman adalah salah saksi mata, yang melihat bagaimana Tejo menyiksa dan membunuh Susantio dengan keji. Bukan hanya itu, Tejo bahkan tega menculik anak kecil dan mengurungnya tanpa belas kasi
Kebetulan siang itu adalah jadwal sidangnya Rangga, ia selalu menghitung kira-kira masih berapa lama lagi dirinya harus menunggu persidangan ini selesai. Rangga juga berpikir lebih baik mengaku saja dari pada membela diri, agar proses persidangan segera selesai. "Rangga! Pengacaramu datang. Keluarlah, ini jam kunjungan," panggil salah satu sipir kepada Rangga dan mengampiri Rajimin. "Woi! Kau, Si Tuli! Kau juga mendapat kunjungan, pergilah ada seorang wanita yang membawa tumpukan rantang untukmu." Sopir itu berteriak di samping telinga Rajimin. "Siap, Komandan!" sahu Jimin seperti biasa selalu mengangkat tangan dan memberikan hormat. Rangga mendengus kesal melihat tingkah para sipir tersebut, tapi ia memilih untuk mengunci mulutnya. Keduanya lantas keluar bersama-sama menuju ke sebuah ruangan yang disediakan bagi para narapidana untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat saat jadwal kunjungan. Terlihat para pengunjung sudah duduk di kursi dan meja yang memiliki nomor sesuai dengan
Sipir muda itu langsung naik pitam, ia menggebrak meja dan membuat semua pengunjung terjingkat serta menoleh kebelakang. "Apa yang kalian sembunyikan, hah?! Kertas apa ini! Cepat, buka genggamanmu dan keluarkan!" bentak sipir tersebut. Mendadak tidak ada lagi suara gremengan para pengunjung dan narapidana yang berada di ruangan tersebut. Semua justru memilih diam dan fokus dengan amukan sipir muda tersebut. Karena suara sipir muda tersebut, Jimin bisa mendengar suara dan permintaan sipir itu kepada istrinya. “Komandan, Anda tidak perlu membentak istri saya, cukup minta saya untuk berbicara dengannya,” sahut Jimin dengan mata sudah menggantu kristal bening di pelupuk matanya. Sipir tersebut tidak terima karena Jimin berani menjawabnya. Ia langsung dengan kasar menarik kerah bajunya Jimin. “Kau nantang aku, Setan!” teriak sipir muda tersebut. Sundari langsung panik dan datang menengahi Jimin dan Sipir tersebut. “Tidak Pak, suami saya tidak nantang Pak. Bapak salah paham,” Sundari s
Jimin menanggapainya dengan menggaruk kepala yang tidak gatal dan cengengesan, lalu menunduk hormat kepada Rangga yang masuh berbincang dengan pengacaranya. Saat berada di luar lapas tersebut, ponsel Sundari berbunyi dengan sebuah pesan. “Apa paket sudah diterima?” baca Sundari dalam hati. “Iya,” balasnya. Sundari lantas keluar dan pergi menggunakan angkutan umum seperti biasanya. Ia menuju ke rumah sangat sederhana, tempatnya tinggal dengan Jimin sebelumnya, matanya awas ke sana ke mari, melihat kalau-kalau ada yang mengikutinya. Untunglah sampai di rumahnya tidak ada satu pun orang yang ada di belakangnya. “Aku akan meluncur sekarang.” Ketik Sundari lalu mengirim pesan tersebut. Ia mengganti pakaiannya dengan gamis serba hitam dan jilbab panjang serta memakai cadar. Sundari lalu berjalan kaki melewati lorong rumahnya dan pergi ke terminal, sesampai di sana ia segera masuk ke dalam sebuah toilet dan kembali mengganti kostumnya. Gamis berwarna pink muda dengan jilbab yang juga cu
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.