"Kenapa kita lari, Tuan? Dan ... kenapa Tuan mengajakku?" tanyaku ketika kami berhenti di tengah-tengah hutan.
Napasku masih terasa berat, begitu juga dengan Tuan Mahawira. Pria itu tersengal, lalu mengambil napas untuk menenangkan diri."Jangan banyak tanya! Atau kau mau aku menikah dengan putri yang tidak aku cintai?!"Tuan Mahawira mengatakan hal itu seolah-olah aku menahannya untuk menyetujui pernikahan itu. Tapi ... memang benar aku tidak begitu setuju dia menikah dengan si putri congkak. Bukan karena hal yang istimewa, tapi karena aku tidak mau putri sombong itu menjadi majikanku.Bahkan, ketika ia sering kali bermain ke kerajaan Rosalia saja, dia selalu memerintahku semena-mena. Seolah-olah dia punya hak penuh atas diriku."Tuan ... yakin para pengawal tidak akan menemukan kita di sini? Kalau sampai kita tertangkap, aku pasti akan dipenjara dan dituduh membawa Tuan lari.""Aku sudah bilang padamu, jangan banyak bicara. Aku sedang lelah. Biarkan aku istirahat sejenak."Pria itu lalu menyandarkan punggungnya di sebuah pohon besar. Keringat di tubuh bercucuran sampai-sampai membasahi mantelnya.Aku menghela napas dalam, lalu menjauh dari Tuan Mahawira. Niatnya, aku ingin mencarikan beberapa buah yang bisa dimakan tuanku yang malang itu. Tapi ... sepertinya tidak ada buah-buahan yang bisa didapatkan di hutan ini.Aku menyelinap ke semak-semak sambil terus mencari apa saja yang bisa dimakan. Kebetulan sekali, seekor terlihat melompat-lompat. Meskipun merasa kasihan dengan hewan lucu itu, tapi mau tidak mau ini pilihan terakhir bagiku.Aku pun memutuskan untuk menangkap si kelinci. Sayangnya, ia masuk ke semak-semak belukar yang sulit untuk dijangkau. Aku mencoba untuk melihat ke mana si kelinci bersembunyi, tetapi saat sedikit lagi tubuhku bisa melewati semak-semak itu, seekor ular tampak akan memangsaku.Aku berteriak kencang karena terjatuh ke belakang. Kugunakan sebuah ranting pohon yang kutemukan di sekitar untuk mengusir ular itu. Namun, sayangnya sama sekali tidak bisa membuatnya pergi menjauh."Tolong!" teriakku berharap seseorang datang menyelamatkan.Ular itu sudah semakin dekat dan bersiap akan melilit tubuhku. Aku memejamkan mata. Beberapa detik terpejam, tak ada yang terjadi. Karena heran, aku membuka kembali kedua mata."Mati kau ular! Mati kau!"Kulihat Tuan Mahawira membanting ular sepanjang lima meter itu begitu mudah. Terakhir kalinya, pria itu memutar-mutar ular di udara, lalu melemparnya tinggi-tinggi."Mengganggu saja! Pergi kau jauh-jauh! Dan jangan pernah ganggu dia lagi."Aku bergeming menyaksikan keberanian Tuan Mahawira. Di mataku, ia seperti pangeran penyelamat. Sayangnya ... aku bukan tuan putri seperti yang ada di dalam dongeng."Kau tidak apa-apa?" Diulurkan tangannya oleh Tuan Mahawira untuk membantuku berdiri."T-tidak apa-apa," jawabku sambil meraih tangan pria itu dan berdiri."Kau tidak bisa diam?! Kalau aku tidak memerintahkanmu sesuatu, kau jangan pergi seenaknya!"Pria itu terlihat sangat marah dan terus-menerus mengomel. Aku pun hanya tertunduk sambil mendengar ocehannya."M-maaf," ucapku lirih sesekali."Baiklah. Sekarang kita jalan untuk mencari makanan. Aku lapar sekali."Tuan Mahawira melangkah santai, sementara itu aku mengikutinya dari belakang."Sebenarnya ... tadi aku juga sedang mencari makanan, Tuan. Tapi, aku tidak menemukan buah-buahan di hutan ini.""Kau tidak perlu melakukannya seorang diri.""Bukankah aku ini pelayanmu, Tuan? Sudah jadi tugasku untuk melayani Tuan."Tuan Mahawira berhenti melangkah. Ia membalikkan badan, lalu menatapku. Namun, aku mengalihkan pandangan ke sembarang arah karena benar-benar tidak mampu untuk membalas tatapannya itu."Lalu, kenapa kau tidak mau saat aku memintamu menemaniku tidur?" tanya Tuan Mahawira sambil berkacak pinggang dan mencondongkan kepalanya di depan wajahku."Itu karena ... karena ... T-Tuan bukan s-suami .... Maaf, aku tidak pantas, Tuan. Sungguh tidak pantas seorang pelayan menemani tuannya tidur."Tuan Mahawira membuang pandangan, lalu berkata, "Memuakkan sekali. Aku sangat tidak suka dengan aturan para bangsawan ini. Aku ingin bebas, kau tahu? Aku ingin bebas dan jadi orang biasa saja! Seperti kau!""Memangnya kenapa Tuan mau jadi orang biasa? Sungguh tidak enak jadi orang biasa, Tuan. Hidup Tuan sudah mewah, apa pun yang Tuan inginkan dapat terkabul dengan mudah.""Enak?!" Pria itu mengerutkan dahi. "Apanya yang enak? Pernikahan ditentukan oleh aturan, aktivitas dibatasi, makan tidak boleh sembarangan. Apa itu yang kau maksud dengan hidup enak? Jangan membuatku tertawa!"Aku terdiam mendengar segala celoteh Tuan Mahawira. Mungkin pria itu memang sudah muak dengan segala peraturan dunia orang-orang bangsawan seperti yang dikatakannya."M-maafkan aku, Tuan. Aku ... tidak bermaksud—""Ya ... sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan."---------------------"Kau berjalanlah ke sana, sedangkan aku akan menjaga kelinci itu di sini."Setelah mendapatkan perintah, aku pun berjalan ke arah barat, mengendap-endap dari jarak yang tidak diketahui oleh kelinci yang sedang kami buru. Sementara Tuan Mahawira siap dengan senjata yang sudah ia buat dari cabang pohon. Kebetulan pria itu selalu membawa pisau kecil dan menyelipkannya di pinggang.Kelinci belum menyadari kehadiranku yang telah berhasil tiba di belakangnya. Aku terus mengendap-endap. Karena makan terlalu lahap, mungkin si kelinci tidak peduli dengan sekitar. Inilah kesempatan bagus untukku.Aku menjaga kelinci itu, ketika akan menangkapnya, ia berlari. Untung saja, Tuan Mahawira sudah siap dengan senjatanya. Pria itu melemparkan cabang pohon yang sudah ia bentuk tajam layaknya anak panah atau tombak.Jantungku berdebar melihat lesatan kayu tajam itu, tetapi kemudian berhasil menancap di perut si kelinci.Aku lihat Tuan Mahawira tersenyum senang. Begitu pun denganku yang sangat gembira seraya berteriak-teriak kegirangan.Kulangkahkan kaki dan mengambil si kelinci yang sedang sekarat. "Maaf, ya, Tuan Kelinci. Kami terpaksa melakukannya karena sangat lapar," ucapku sambil mengelus kepala sang kelinci."Bawa kelincinya kemari!" teriak Tuan Mahawira. Seperti biasa, pria itu tidak akan berhenti berteriak sebelum aku memenuhi keinginannya."Baik, Tuan," kataku sedikit kesal.---------------------------"Ini untukmu, dan ini, yang besar untukku."Tuan Mahawira memberikan satu bagian paha kelinci yang sudah dibakar matang untukku, sementara sisanya untuk dia sendiri. Dasar egois.Tuan Mahawira sangat lahap menyantap daging kelinci, padahal si kelinci tidak begitu besar. Namun, kasihan sekali Tuan Mahawira. Baru kemarin ini hidupnya enak, makan tanpa perlu berburu atau melakukannya sendiri."Kenapa kau tidak makan? Kau kenyang?"Tuan Mahawira menghamburkan khayalanku tentangnya. Padahal aku suka sekali melihatnya makan. Aku tidak ingin diganggu saat menyaksikannya makan.Kutatap daging kelinci di tangan. Setelah dipikir-pikir, aku tidak begitu lapar."Buat Tuan saja," kataku kemudian sambil mengacungkan daging kelinci itu."Kau bercanda?""Tidak, Tuan. Aku kenyang.""Kenyang? Kapan kau pernah makan? Bukankah dari tadi pagi kau terus bersamaku?""Tidak apa-apa, nanti aku mencari buah-buahan yang bisa dimakan. Aku benar-benar tidak nafsu makan.""Kau tidak sedang membohongiku, kan?"Aku mengangguk cepat. Sejenak Tuan Mahawira menatap daging kelinci yang kupegang, lalu mengambil dan lanjut memakannya.Aku sungguh-sungguh senang melihatnya lahap sampai-sampai tak sadar diriku tersenyum begitu lebar."Kita bermalam di sini saja. Hari ini kita istirahat, baru keesokan harinya kita ke negeri tetangga.""Apa yang akan kita lakukan di sana, Tuan?""Hidup tenang. Aku ingin menjadi orang biasa. Mungkin aku bisa mendapatkan pekerjaan di sana.""Bagaimana kalau orang-orang mengenali Tuan?""Tidak akan ada yang mengenaliku. Kau tenang saja."Aku mengangguk pelan.Setelah makanan habis, Tuan Mahawira berkata dirinya mengantuk. Oleh karena itu, ia langsung merebahkan diri di atas daun pisang yang sama sekali lebih kecil dari tubuhnya. Batu pun ia gunakan sebagai bantal. Malang sekali tuanku.Aku berada cukup jauh dari Tuan Mahawira. Sebelum tertidur, pria itu memberikan mantelnya untuk kujadikan selimut. Padahal, saat ini pun tubuhnya menggigil kedinginan.Aku tidak tega melihatnya tidur dan kedinginan seperti itu sehingga beranjak bangkit dan memberikan mantelnya kembali."Apa yang kau lakukan?" tanya Tuan Mahawira tiba-tiba saat aku berusaha menutupi tubuhnya dengan mantel.Aku terdiam dan berusaha memikirkan alasan. "T-Tuan lebih membutuhkannya.""Apa kau bodoh?! Aku ini seorang pria. Dingin tidak membuatku sakit, tidur di mana pun aku nyaman. Dan kau?""M-maaf, Tuan."Saat menunduk, kurasakan sebuah tangan merangkulku. Tuan Mahawira."Kalau begitu kita bagi dua. Kita tidur bersama."Meskipun tidak cukup besar, tetapi mantel tebal yang terbuat dari kulit beruang itu mampu menghangatkan kami."Sekarang tidurlah. Aku tidak akan menghadap ke belakang. Jangan takut, aku juga tidak akan melakukan hal-hal aneh padamu."Kami tidur saling membelakangi. Akan tetapi, hal itu mampu membuatku terjaga cukup lama karena asyik mendengarkan suara napas Tuan Mahawira. Sepertinya ia sangat lelah.----------------------Saat membuka kedua mata, sesuatu yang pertama kulihat adalah wajah Tuan Mahawira. Begitu dekat, napasnya kurasakan mengembus di depan wajahku. Terlebih, ia menatap dengan heran."Aaaaaaaaaarrrrrgggggghhhh!" teriakku karena terkejut, terlebih kulihat tanganku melingkar di tubuhnya.------------------------"Kenapa kau berteriak?"Aku menjauh dari Tuan Mahawira, tak mampu diriku untuk menatap pria itu.Apa yang sebenarnya kulakukan? Sekarang pasti pipiku memerah."Ap-apa yang Tuan lakukan padaku?"Kuarahkan bola mata pada wajah Tuan Mahawira. Dahinya mengerut dan senyumnya miring."Apa yang aku lakukan? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kau lakukan padaku?" Pria itu beranjak bangkit, lalu mengenakan mantelnya."Aku ... aku ... tidak tahu, Tuan.""Aku tahu. Kau mungkin mengira aku ini bantal sehingga memelukku dengan erat.""J-jangan katakan itu lagi, Tuan," lirihku sambil menolak tatapan Tuan Mahawira.Aku malu sekali. Malu sekali! Mengapa bisa aku melakukan hal memalukan seperti memeluk tuanku sendiri? Kalau hal ini terjadi di istana, aku pasti sudah dihukum karena dianggap wanita penggoda.Dasar! Bodohnya aku.Tanpa berkata-kata, aku langsun
Karena kimono milikku sobek di beberapa bagian, Tuan Mahawira dengan rela memberikan mantelnya untuk kugunakan, sementara ia hanya mengenakan kain tipis berwarna putih sebagai pakaian. Aku merasa tidak enak dengannya."Tuan ... yakin memberikan mantel ini untukku?""Hanya kuberi pinjam. Dan itu tidak gratis. Kau harus melakukan sesuatu untukku.""Hah?! M-melakukan apa, Tuan?""Sudahlah, sekarang lebih baik kita lanjutkan perjalanan. Negeri Angin sudah dekat dari sini. Jika kita berhasil melewati satu perbukitan terakhir, Negeri Angin akan terlihat."Aku mengangguk-anggukkan kepala sebagai respons."Tuan, bagaimana kalau ada yang mengenali Tuan? Bukankah Tuan orang yang terkenal di seluruh negeri aliansi dan—""Tidak satu pun kerajaan di Negeri Angin itu aliansi Kerajaan Rosalia. Ah, sudahlah. Kau tidak akan mengerti jika berbicara tentang kerajaan. Kau sebaiknya cukup ikuti saja aku."Aku m
Aku tahu siapa pria yang sedang mencoba ke arahku itu. Namanya Kalandra, Pangeran Kalandra yang dulu selalu mengejekku di istana. Tapi, kenapa bisa dia ada di sini? Apakah dia bertujuan menangkap Tuan Mahawira?Tidak mungkin Pangeran Kalandra punya tujuan seperti itu. Setahuku, pria itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah Tuan Mahawira. Lagi pula, sudah lama tuanku tidak bicara dengan Pangeran Kalandra.Kuakui dia memang tampan, tapi sikapnya membuatku muak. Mau bagaimanapun juga, aku tetaplah harus bersikap lembut di hadapannya."Apa yang sedang kau lakukan, Gadis Cantik?" tanya Pangeran Kalandra.Apakah dia tidak mengingatku sama sekali? Dasar pikun!Oh, ya. Benar sekali. Pria itu mungkin tidak mengenaliku. Pasalnya, ketika sering bertemu dengannya, aku hanyalah gadis hitam yang dekil, buruk rupa, dan tak seorang pun yang menginginkan keberadaanku.Dan sekarang ketika aku telah menjadi sedewasa sekarang ini, ia
"Berani-beraninya kau sentuh dia! Akan kucincang kau! Hiyat!"Kulihat wajah Tuan Mahawira begitu marah dengan perlakuan Pangeran Kalandra padaku. Aku jadi begitu malu dan percaya diri sekali. Apakah aku seberharga itu bagi Tuan Mahawira?Ya, ampun. Aku mengkhayal lagi!Kulihat dua pria itu berkutat dengan pertarungan mereka. Pangeran Kalandra menggunakan pedangnya untuk menebas Tuan Mahawira. Sedangkan tuanku itu melawan sang pangeran begitu mudah hanya dengan tangan kosong.Entah mengapa aku sangat senang melihat pertarungan kedua pria itu. Mereka seperti memperebutkan diriku.Aduh, lagi-lagi aku terlalu percaya diri!"Hei! Sudah, hentikan! Tuan Mahawira! Hentikan!" teriakku, tetapi mereka tentu saja tidak mau berhenti.Kulihat Tuan Mahawira mengambil pisau miliknya yang tergeletak di tanah, lalu saling menggigit dengan pedang Pangeran Kalandra."Berani-beraninya kau, Mahawira! Ada apa kau datan
Birendra Prakarsa Candrakumara, seorang pangeran yang juga salah satu dari saudara Pangeran Kalandra yang dulu selalu mengejekku saat mereka berkunjung ke kerajaan Rosalia. Aku ingat ialah seseorang yang lebih dulu meminta maaf atas perlakuannya kepadaku setelah Tuan Mahawira memberinya pelajaran."Maafkan aku, Cornelia. A-aku sangat menyesal dengan apa yang aku lakukan. Sebagai permintaan maaf, aku akan melakukan apa pun untukmu," ucapnya di luar kamarku. Entah, aku tidak tahu ekspresi yang ia tunjukkan saat itu. Namun, dari nada bicaranya, ia sangat menyesal.Meski begitu, hal yang ia dan saudara-saudaranya lakukan cukup membuatku sedih dan trauma keluar dari kamar.Aku merengkuh diri di atas tempat tidur. Rasanya aku ingin mati saja. Aku benci wajahku yang buruk, sangat benci dengan kulit hitamku.Diri ini bertanya, kenapa aku dilahirkan buruk rupa? Mungkinkah karena itu aku dibuang oleh orang tua kandungku? Karena aku buruk rupa? Entah
Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa orang-orang itu menangkapku. Padahal, aku baru saja sampai di negeri ini. Memangnya aku pernah berbuat apa dengan mereka?Aku dimasukkan ke dalam kereta bersama dengan wanita-wanita lain yang diriku tak tahu mereka siapa. Aku pikir kereta itu isinya para petinggi, tetapi dugaanku ternyata salah besar.Jangan-jangan aku akan dijual?Tidak, tidak, tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Semoga saja Tuan Mahawira datang dan menyelamatkanku.Beberapa waktu yang lalu, Tuan Birendra tak dapat melakukan apa-apa karena para pengawal rombongan ini cukup banyak. Mungkin Tuan Birendra tidaklah takut, tetapi hanya tidak ingin membuat masalah di negeri ini. Tapi ... baiklah. Setelah itu, aku mencoba berkomunikasi dengan para perempuan yang bersamaku di dalam kereta."Maaf, bolehkah aku bertanya? Sebenarnya kita akan dibawa ke mana?"Satu pun tak ada yang menanggapi pertanyaanku. Kulihat merek
"Minggir kau, Kalandra! Jangan halangi jalanku!""Seenaknya saja kau menggendong Rosalina seperti itu--""Apa katamu? Rosalina?! Kau camkan kata-kataku. Dia Cornelia! Bukan Rosalina seperti yang kau katakan!"Tuan Mahawira melanjutkan langkah. Sedangkan aku begitu nyaman ada di punggung bidang pria itu. Rasanya aku mau seperti ini selamanya dan tak mau beranjak sedetik pun."Jangan ikuti kami, Kalandra tengik!""Memangnya apa hakmu melarangku?""Kau ingat pernah menjelek-jelekkan Cornelia? Itulah kenapa kau tidak berhak mengikuti ke mana aku dan Cornelia pergi!""Baiklah, aku m-minta maaf.""Aku tidak peduli permintaan maafmu. Segeralah enyah dari pandanganku.""Bodoh! Aku tidak minta maaf denganmu, Mahawira! C-Cornelia ... m-maafkan aku."Aku langsung menoleh ke arah Tuan Kalandra yang berjalan di sebelah kanan Tuan Mahawira."Hmm, iya. Hamba--""Seben
"Maaf, Tuan." Kutundukkan kepala demi menghindari tatapan tajam Tuan Mahawira. "Seorang pelayan tidaklah pantas melakukan hal itu dengan tuannya sendiri. Aku ... sadar diri, Tuan.""Kenapa kau berbicara begitu, Cornelia?" Pria berhidung lancip itu meraih kedua pipiku, memaksa mata menatapnya kembali."Karena seperti itu kenyataannya, Tuan. M-maaf." Terpaksa kuturunkan tangan Tuan Mahawira dari kedua pipiku. "Tuan adalah seorang pangeran yang akan menjadi penerus raja nanti. Sedangkan aku ... hanya seorang pelayan biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun.""Aku benci apa yang kau katakan, Cornelia! Aku benar-benar tidak suka mendengarnya, kau tahu? Kita tidak sedang berada di istana. Kita berada di negeri orang, dan ini adalah keinginanku. Kau harus tahu itu!" katanya dengan nada sedikit ditekan, lalu dipalingkan wajahnya."Di mana pun kita berada, kita tidak bisa lari dari kenyataan, Tuan. Kenyataan bahwa aku hanya seorang--"
Ini adalah sebuah cerita tentang pertemuan, perjuangan, pengorbanan, cinta yang sejati, dan ikatan kemanusiaan. Di sebuah kerajaan bernama Rosalia, pada abad pertengahan (1063 M) di belahan bumi selatan—Balmatra—hidup seorang raja dengan satu putra pangeran bernama Mahawira.Pangeran Mahawira dijodohkan dengan seorang putri dari kerajaan aliansi, yaitu Kerajaan Simaseba. Namun, Mahawira tidak menerima perjodohan yang diatur untuk kepentingan politik. Ia menolak keras permintaan sang ayah, lalu memilih seorang pelayan yang hidup sebatang kara dan selalu menemaninya sejak berusia 8 tahun.Mahawira mengajak pelayan bernama Cornelia melarikan diri dan dikejar-kejar prajurit istana saat hari pernikahannya dengan Camelia dari Istana Simaseba. Pelarian itu akhirnya membawa Cornelia dan Mahawira pada sebuah fakta yang tak terelakkan. Seiring berlalunya waktu dalam perjalanan menuju Negeri Angin, Mahawira jatuh cinta dengan Cornelia sehingga memutuskan untuk
Setelah mendapatkan serangan tak terduga dari musuh, aku memuntahkan darah yang cukup banyak. Saat terbaring lemah, terdengar pekikan dari Tuan Mahawira dan apa yang kulihat menjadi hitam pekat.Selama ini, aku tak pernah mendapatkan pukulan sekeras ini sampai-sampai membuatku memuntahkan darah. Pria mana yang tega menyakiti seorang perempuan sepertiku, tak berbelas kasihan bahkan tidak menahan kekuatan untuk dikeluarkan.Aku paham kami adalah musuh bagi mereka yang masing-masing punya alasan untuk bertarung."Cornelia! Cornelia! Bertahanlah! Cornelia!"Itu suara tuanku yang tampan. Di mana dia? Aku tak dapat melihat apa pun. Hanya gelap yang menyelimuti di sekeliling."T-Tuan ...." Napasku terasa berat. Degup jantung tak beraturan. Ini menandakan aku sudah menyentuh batas kemampuan. Aku tak akan bisa lagi untuk berdiri, lalu bertarung dan membantu teman-teman.Aku tak tahu bagaimana posisiku saat ini, yang jelas aku
"Akhirnya, kita tiba di desa pertama setelah melewati hutan," ujar Aksa saat kami berhasil keluar dari hutan."Bukankah perkataanmu sangat aneh, Aksa. Benarkah ini sebuah desa?" tanyaku sambil mengernyit."Benar. Ini sebuah desa yang bernama Desa Kaswari. Namun, sayangnya pihak kerajaan sudah merenggut semuanya sehingga desa yang dulunya ramai ini menjadi desa yang sangat sepi."Mata kami mengedar ke sekeliling melihat keadaan desa yang porak-poranda."Putri Camelia sudah merenggut segalanya dari rakyat. Tempat tinggal kami, sumber daya kami, semuanya." Aksa tiba-tiba berwajah sedih."Mungkin kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku ingat yang kau bilang, Aksa. Semua wilayah di tanah ini sudah menjadi milik kerajaan, artinya prajurit kerajaan mengawasi setiap desa dan lahan-lahan bercocok tanam.""Ya, benar. Kita harus berhati-hati.""Ada yang datang!" ujar Pangeran Kalandra.Untung saja
Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa digunakan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala memandang musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api."Hiyaaaaattt!"Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Namun, perbedaan kekuatan telah terjadi.
Pedang milik Tuan Mahawira patah oleh tebasan pedang pria bertopeng yang baru saja datang entah dari mana. Kami bertiga membelalak, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa pedang yang sudah ditunjang oleh energi artefak naga itu bisa patah.Tuan Mahawira segera menjauh dari dua pria bertopeng. Aku melihat kekesalan yang memuncak di wajah sang pangeran."Keparat."Waktunya sudah tiba. Aura di sekeliling tiba-tiba berubah drastis. Suhu udara yang semula dingin seketika menjadi panas. Ini adalah tanda-tanda saat kekuatan Tuan Mahawira akan mulai hilang kendali.Tak lama kemudian, api mengelilingi tubuh Tuan Mahawira. Tangannya mengepal keras. Tatapannya menajam tersirat sebuah makna ada dendam yang harus dibalas.Dua pria bertopeng menyadari suhu di sekeliling tiba-tiba panas. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan bersiap kembali menyerang.Akan tetapi, sebelum mereka mulai bergerak, Tuan Mahawira secepat kila
"Sudah kuputuskan. Aku akan ikut dengan kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan."Kau serius?!" tanyaku memastikan."Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyum. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Tentu saja, kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan."Aku tidak percaya kalian adalah rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan."Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi."Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."
"Kampung kami dirampas oleh Kerajaan Simaseba dan dijadikan sebagai wilayah untuk memperluas istana. Para rakyat ditangkap, lalu dipekerjakan tanpa imbalan untuk sebuah pembangunan. Anak-anak dijual, dijadikan bisnis dan budak. Sedangkan para lelaki yang masih remaja dipaksa untuk bekerja sebagai prajurit yang mengabdi kepada istana."Aksa seorang pria yang beberapa waktu lalu menyerang kami ternyata ialah warga dari sebuah desa yang dirampas oleh Kerajaan Simaseba. Jadi, itulah alasannya menggunakan lahan di samping sungai ini sebagai tempat peristirahatan."Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menyerang kalian. Aku hanya berwaspada. Aku pun berpikir kalau kalian adalah orang jahat dari Simaseba," ucapnya dengan wajah sendu dan tertunduk.Aku dan Tuan Mahawira fokus mendengarkan cerita dari Aksa. Bagiku sendiri, apa yang dilakukan oleh Putri Camelia dan para menterinya adalah hal yang tidak berprikemanusiaan. Bagaimana bisa ia melakukan hal sa
Perjalanan menuju Kerajaan Simaseba tidak akan mudah. Ki Cakra berkata bahwa di perjalanan nanti kami akan menemui musuh-musuh yang tentunya merupakan utusan Putri Camelia. Ki Cakra juga memberikan sebuah kalung permata berwarna hijau yang berfungsi untuk memanggilnya jika saja Tuan Mahawira kehilangan kendali sewaktu-waktu.Masih ada potensi pria itu kehilangan kendali karena proses penyatuan energinya di dalam tabir jiwanya dengan artefak naga.Aku membawa perbekalan secukupnya dari istana. Sisanya, jika kekurangan nanti, aku kami bisa berburu di hutan. Apa gunanya kemampuan Tuan Mahawira yang ahli dalam memanah jika tidak digunakan? Tentu, aku sudah membawa busur dan puluhan anak panah milik Tuan Mahawira yang selalu ia gunakan saat berburu.Sudah cukup lama berjalan, kami berhenti sejenak untuk mengembalikan energi di tepi sebuah sungai."Wah, airnya jernih dan segar," kata Tuan Mahawira yang sedang mencuci wajahnya di sungai itu. "Cor
"Hah?! Apa yang terjadi?"Saat terbangun dari tidur, yang pertama kali kulihat ialah Tuan Mahawira. Aku membelalak seolah-olah lupa apa yang sebenarnya telah aku lakukan dengannya."Hmm ... Cornelia ... aku ingin menikmatimu sekali lagi ... hmm ...."Tuan Mahawira sepertinya sedang mengigau. Jangan-jangan aku sudah melakukan hal yang senonoh dengannya.Oh, tidak! Ya, Tuhan! Aku tidak p-p-perawan lagi."Tidak!"Tuan Mahawira langsung terbangun karena teriakanku yang kencang. Pria itu mengusap-usap kedua matanya dengan tangan. Rambutnya kacau sehabis bangun tidur."Kau kenapa, Cornelia?" tanyanya seolah tidak tahu apa-apa."Apa yang kau lakukan padaku, Tuan?!" tanyaku dengan nada tinggi sambil melotot tajam.Tak lama kemudian, Tuan Mahawira menampilkan ekspresi licik, ia menyeringai."Sudahlah, Cornelia. Semalam kau sudah memberikan aku kenikmatan yang tiada tara. Terima kasih