Aku tahu siapa pria yang sedang mencoba ke arahku itu. Namanya Kalandra, Pangeran Kalandra yang dulu selalu mengejekku di istana. Tapi, kenapa bisa dia ada di sini? Apakah dia bertujuan menangkap Tuan Mahawira?
Tidak mungkin Pangeran Kalandra punya tujuan seperti itu. Setahuku, pria itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah Tuan Mahawira. Lagi pula, sudah lama tuanku tidak bicara dengan Pangeran Kalandra.Kuakui dia memang tampan, tapi sikapnya membuatku muak. Mau bagaimanapun juga, aku tetaplah harus bersikap lembut di hadapannya."Apa yang sedang kau lakukan, Gadis Cantik?" tanya Pangeran Kalandra.Apakah dia tidak mengingatku sama sekali? Dasar pikun!Oh, ya. Benar sekali. Pria itu mungkin tidak mengenaliku. Pasalnya, ketika sering bertemu dengannya, aku hanyalah gadis hitam yang dekil, buruk rupa, dan tak seorang pun yang menginginkan keberadaanku.Dan sekarang ketika aku telah menjadi sedewasa sekarang ini, ia"Berani-beraninya kau sentuh dia! Akan kucincang kau! Hiyat!"Kulihat wajah Tuan Mahawira begitu marah dengan perlakuan Pangeran Kalandra padaku. Aku jadi begitu malu dan percaya diri sekali. Apakah aku seberharga itu bagi Tuan Mahawira?Ya, ampun. Aku mengkhayal lagi!Kulihat dua pria itu berkutat dengan pertarungan mereka. Pangeran Kalandra menggunakan pedangnya untuk menebas Tuan Mahawira. Sedangkan tuanku itu melawan sang pangeran begitu mudah hanya dengan tangan kosong.Entah mengapa aku sangat senang melihat pertarungan kedua pria itu. Mereka seperti memperebutkan diriku.Aduh, lagi-lagi aku terlalu percaya diri!"Hei! Sudah, hentikan! Tuan Mahawira! Hentikan!" teriakku, tetapi mereka tentu saja tidak mau berhenti.Kulihat Tuan Mahawira mengambil pisau miliknya yang tergeletak di tanah, lalu saling menggigit dengan pedang Pangeran Kalandra."Berani-beraninya kau, Mahawira! Ada apa kau datan
Birendra Prakarsa Candrakumara, seorang pangeran yang juga salah satu dari saudara Pangeran Kalandra yang dulu selalu mengejekku saat mereka berkunjung ke kerajaan Rosalia. Aku ingat ialah seseorang yang lebih dulu meminta maaf atas perlakuannya kepadaku setelah Tuan Mahawira memberinya pelajaran."Maafkan aku, Cornelia. A-aku sangat menyesal dengan apa yang aku lakukan. Sebagai permintaan maaf, aku akan melakukan apa pun untukmu," ucapnya di luar kamarku. Entah, aku tidak tahu ekspresi yang ia tunjukkan saat itu. Namun, dari nada bicaranya, ia sangat menyesal.Meski begitu, hal yang ia dan saudara-saudaranya lakukan cukup membuatku sedih dan trauma keluar dari kamar.Aku merengkuh diri di atas tempat tidur. Rasanya aku ingin mati saja. Aku benci wajahku yang buruk, sangat benci dengan kulit hitamku.Diri ini bertanya, kenapa aku dilahirkan buruk rupa? Mungkinkah karena itu aku dibuang oleh orang tua kandungku? Karena aku buruk rupa? Entah
Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa orang-orang itu menangkapku. Padahal, aku baru saja sampai di negeri ini. Memangnya aku pernah berbuat apa dengan mereka?Aku dimasukkan ke dalam kereta bersama dengan wanita-wanita lain yang diriku tak tahu mereka siapa. Aku pikir kereta itu isinya para petinggi, tetapi dugaanku ternyata salah besar.Jangan-jangan aku akan dijual?Tidak, tidak, tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Semoga saja Tuan Mahawira datang dan menyelamatkanku.Beberapa waktu yang lalu, Tuan Birendra tak dapat melakukan apa-apa karena para pengawal rombongan ini cukup banyak. Mungkin Tuan Birendra tidaklah takut, tetapi hanya tidak ingin membuat masalah di negeri ini. Tapi ... baiklah. Setelah itu, aku mencoba berkomunikasi dengan para perempuan yang bersamaku di dalam kereta."Maaf, bolehkah aku bertanya? Sebenarnya kita akan dibawa ke mana?"Satu pun tak ada yang menanggapi pertanyaanku. Kulihat merek
"Minggir kau, Kalandra! Jangan halangi jalanku!""Seenaknya saja kau menggendong Rosalina seperti itu--""Apa katamu? Rosalina?! Kau camkan kata-kataku. Dia Cornelia! Bukan Rosalina seperti yang kau katakan!"Tuan Mahawira melanjutkan langkah. Sedangkan aku begitu nyaman ada di punggung bidang pria itu. Rasanya aku mau seperti ini selamanya dan tak mau beranjak sedetik pun."Jangan ikuti kami, Kalandra tengik!""Memangnya apa hakmu melarangku?""Kau ingat pernah menjelek-jelekkan Cornelia? Itulah kenapa kau tidak berhak mengikuti ke mana aku dan Cornelia pergi!""Baiklah, aku m-minta maaf.""Aku tidak peduli permintaan maafmu. Segeralah enyah dari pandanganku.""Bodoh! Aku tidak minta maaf denganmu, Mahawira! C-Cornelia ... m-maafkan aku."Aku langsung menoleh ke arah Tuan Kalandra yang berjalan di sebelah kanan Tuan Mahawira."Hmm, iya. Hamba--""Seben
"Maaf, Tuan." Kutundukkan kepala demi menghindari tatapan tajam Tuan Mahawira. "Seorang pelayan tidaklah pantas melakukan hal itu dengan tuannya sendiri. Aku ... sadar diri, Tuan.""Kenapa kau berbicara begitu, Cornelia?" Pria berhidung lancip itu meraih kedua pipiku, memaksa mata menatapnya kembali."Karena seperti itu kenyataannya, Tuan. M-maaf." Terpaksa kuturunkan tangan Tuan Mahawira dari kedua pipiku. "Tuan adalah seorang pangeran yang akan menjadi penerus raja nanti. Sedangkan aku ... hanya seorang pelayan biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun.""Aku benci apa yang kau katakan, Cornelia! Aku benar-benar tidak suka mendengarnya, kau tahu? Kita tidak sedang berada di istana. Kita berada di negeri orang, dan ini adalah keinginanku. Kau harus tahu itu!" katanya dengan nada sedikit ditekan, lalu dipalingkan wajahnya."Di mana pun kita berada, kita tidak bisa lari dari kenyataan, Tuan. Kenyataan bahwa aku hanya seorang--"
"Anak?" Tuan Mahawira mendekat sambil mengerutkan dahi. "Maaf, siapakah gerangan yang Nyonya maksud anak?" tanya pria itu kepada wanita paruh baya."Dia! Cornelia Aksita Chandini Minara! Anakku. Oh, Tuhan. Anakku, Cornelia. Kau sudah sebesar ini dan ... kau cantik sekali."Ekpresi wanita itu kegirangan, tetapi bercampur dengan rasa haru yang terpancar dari bola matanya. Aku sungguh tidak mengerti. Paduka Raja pernah mengatakan bahwa orang tuaku hanyalah orang-orang biasa dan mereka sudah lama mati saat terjadi perang besar.Aku bergeming, kubiarkan wanita itu meraih kedua pipi, serta mengelus-elus kepalaku. Jika diperhatikan lagi, wanita itu memang cukup mirip dengan diriku. Ya, tepatnya diriku yang dulu."Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa Nyonya mengatakan aku adalah anak Nyonya? Bagaimana bisa aku percaya kalau Nyonya benar-benar ibuku?""Ayo, ikutlah bersamaku," katanya sambi
"Ibu, siapa namamu? Aku bahkan belum mengetahui namamu sama sekali.""Nama ibu adalah Chandini Himeka. Jadi, nama Chandini dalam namamu ibu ambil dari nama ibu sendiri yang berarti cahaya bulan. Lihatlah, betapa cantik dirimu, Nak. Seperti indahnya cahaya rembulan. Kau akan selalu siap menerangi siapa saja," jelas Ibu sambil menyisir rambutku.Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku baru saja mengetahui namaku yang sebenarnya. Jika nama Cornelia itu bukan pemberian dari Paduka Raja, berarti beliau punya keterkaitan dengan keluargaku. Hal ini memang sangat ganjil. Setahuku, Paduka Raja yang memberikan nama Cornelia padaku. Bahkan, beliau sendirilah yang mengatakannya."Apa benar ibu tidak tahu sama sekali mengenai Kerajaan Rosalia?""Tidak. Ibu tidak tahu. Memangnya kenapa, Nak?" Ibu memelukku dari belakang."Setahuku ... Paduka Rajalah yang memberikan nama Cornelia padaku. Tapi, jika namaku yang sebenarnya adalah Cornelia, berarti
"Tuan Mahawira?" tukasku."Kau selalu mengetahuiku lebih dari siapa pun," jawabnya sambil melepaskan tangan yang tadinya menutupi kedua mataku."Kau ini seperti anak kecil saja." Aku melenguh setelah berbalik badan."Ya, sebaiknya kita kembali ke masa kanak-kanak. Karena banyak hal yang bisa kulakukan denganmu.""Kenapa harus kembali ke masa kanak-kanak? Bukankah lebih baik kita jalani hari-hari ini dan melakukan hal seperti yang kita lakukan dulu?""Ide yang bagus!"Begitu lugas Tuan Mahawira menarik tanganku, lalu ia membawa diriku berkeliling ke beberapa sudut negeri ini."Kau mau bunga? Akan kubelikan untukmu."Tanpa menunggu persetujuanku, pria itu langsung ke penjual bunga yang beberapa waktu menawarkan bunga-bunga dagangannya padaku."Hei, Pak Tua. Aku beli bunga yang paling cantik di tokomu," ucap Tuan Mahawira sambil menyunggingkan senyum.Aneh sekali. Pria itu sama
Ini adalah sebuah cerita tentang pertemuan, perjuangan, pengorbanan, cinta yang sejati, dan ikatan kemanusiaan. Di sebuah kerajaan bernama Rosalia, pada abad pertengahan (1063 M) di belahan bumi selatan—Balmatra—hidup seorang raja dengan satu putra pangeran bernama Mahawira.Pangeran Mahawira dijodohkan dengan seorang putri dari kerajaan aliansi, yaitu Kerajaan Simaseba. Namun, Mahawira tidak menerima perjodohan yang diatur untuk kepentingan politik. Ia menolak keras permintaan sang ayah, lalu memilih seorang pelayan yang hidup sebatang kara dan selalu menemaninya sejak berusia 8 tahun.Mahawira mengajak pelayan bernama Cornelia melarikan diri dan dikejar-kejar prajurit istana saat hari pernikahannya dengan Camelia dari Istana Simaseba. Pelarian itu akhirnya membawa Cornelia dan Mahawira pada sebuah fakta yang tak terelakkan. Seiring berlalunya waktu dalam perjalanan menuju Negeri Angin, Mahawira jatuh cinta dengan Cornelia sehingga memutuskan untuk
Setelah mendapatkan serangan tak terduga dari musuh, aku memuntahkan darah yang cukup banyak. Saat terbaring lemah, terdengar pekikan dari Tuan Mahawira dan apa yang kulihat menjadi hitam pekat.Selama ini, aku tak pernah mendapatkan pukulan sekeras ini sampai-sampai membuatku memuntahkan darah. Pria mana yang tega menyakiti seorang perempuan sepertiku, tak berbelas kasihan bahkan tidak menahan kekuatan untuk dikeluarkan.Aku paham kami adalah musuh bagi mereka yang masing-masing punya alasan untuk bertarung."Cornelia! Cornelia! Bertahanlah! Cornelia!"Itu suara tuanku yang tampan. Di mana dia? Aku tak dapat melihat apa pun. Hanya gelap yang menyelimuti di sekeliling."T-Tuan ...." Napasku terasa berat. Degup jantung tak beraturan. Ini menandakan aku sudah menyentuh batas kemampuan. Aku tak akan bisa lagi untuk berdiri, lalu bertarung dan membantu teman-teman.Aku tak tahu bagaimana posisiku saat ini, yang jelas aku
"Akhirnya, kita tiba di desa pertama setelah melewati hutan," ujar Aksa saat kami berhasil keluar dari hutan."Bukankah perkataanmu sangat aneh, Aksa. Benarkah ini sebuah desa?" tanyaku sambil mengernyit."Benar. Ini sebuah desa yang bernama Desa Kaswari. Namun, sayangnya pihak kerajaan sudah merenggut semuanya sehingga desa yang dulunya ramai ini menjadi desa yang sangat sepi."Mata kami mengedar ke sekeliling melihat keadaan desa yang porak-poranda."Putri Camelia sudah merenggut segalanya dari rakyat. Tempat tinggal kami, sumber daya kami, semuanya." Aksa tiba-tiba berwajah sedih."Mungkin kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku ingat yang kau bilang, Aksa. Semua wilayah di tanah ini sudah menjadi milik kerajaan, artinya prajurit kerajaan mengawasi setiap desa dan lahan-lahan bercocok tanam.""Ya, benar. Kita harus berhati-hati.""Ada yang datang!" ujar Pangeran Kalandra.Untung saja
Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa digunakan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala memandang musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api."Hiyaaaaattt!"Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Namun, perbedaan kekuatan telah terjadi.
Pedang milik Tuan Mahawira patah oleh tebasan pedang pria bertopeng yang baru saja datang entah dari mana. Kami bertiga membelalak, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa pedang yang sudah ditunjang oleh energi artefak naga itu bisa patah.Tuan Mahawira segera menjauh dari dua pria bertopeng. Aku melihat kekesalan yang memuncak di wajah sang pangeran."Keparat."Waktunya sudah tiba. Aura di sekeliling tiba-tiba berubah drastis. Suhu udara yang semula dingin seketika menjadi panas. Ini adalah tanda-tanda saat kekuatan Tuan Mahawira akan mulai hilang kendali.Tak lama kemudian, api mengelilingi tubuh Tuan Mahawira. Tangannya mengepal keras. Tatapannya menajam tersirat sebuah makna ada dendam yang harus dibalas.Dua pria bertopeng menyadari suhu di sekeliling tiba-tiba panas. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan bersiap kembali menyerang.Akan tetapi, sebelum mereka mulai bergerak, Tuan Mahawira secepat kila
"Sudah kuputuskan. Aku akan ikut dengan kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan."Kau serius?!" tanyaku memastikan."Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyum. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Tentu saja, kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan."Aku tidak percaya kalian adalah rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan."Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi."Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."
"Kampung kami dirampas oleh Kerajaan Simaseba dan dijadikan sebagai wilayah untuk memperluas istana. Para rakyat ditangkap, lalu dipekerjakan tanpa imbalan untuk sebuah pembangunan. Anak-anak dijual, dijadikan bisnis dan budak. Sedangkan para lelaki yang masih remaja dipaksa untuk bekerja sebagai prajurit yang mengabdi kepada istana."Aksa seorang pria yang beberapa waktu lalu menyerang kami ternyata ialah warga dari sebuah desa yang dirampas oleh Kerajaan Simaseba. Jadi, itulah alasannya menggunakan lahan di samping sungai ini sebagai tempat peristirahatan."Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menyerang kalian. Aku hanya berwaspada. Aku pun berpikir kalau kalian adalah orang jahat dari Simaseba," ucapnya dengan wajah sendu dan tertunduk.Aku dan Tuan Mahawira fokus mendengarkan cerita dari Aksa. Bagiku sendiri, apa yang dilakukan oleh Putri Camelia dan para menterinya adalah hal yang tidak berprikemanusiaan. Bagaimana bisa ia melakukan hal sa
Perjalanan menuju Kerajaan Simaseba tidak akan mudah. Ki Cakra berkata bahwa di perjalanan nanti kami akan menemui musuh-musuh yang tentunya merupakan utusan Putri Camelia. Ki Cakra juga memberikan sebuah kalung permata berwarna hijau yang berfungsi untuk memanggilnya jika saja Tuan Mahawira kehilangan kendali sewaktu-waktu.Masih ada potensi pria itu kehilangan kendali karena proses penyatuan energinya di dalam tabir jiwanya dengan artefak naga.Aku membawa perbekalan secukupnya dari istana. Sisanya, jika kekurangan nanti, aku kami bisa berburu di hutan. Apa gunanya kemampuan Tuan Mahawira yang ahli dalam memanah jika tidak digunakan? Tentu, aku sudah membawa busur dan puluhan anak panah milik Tuan Mahawira yang selalu ia gunakan saat berburu.Sudah cukup lama berjalan, kami berhenti sejenak untuk mengembalikan energi di tepi sebuah sungai."Wah, airnya jernih dan segar," kata Tuan Mahawira yang sedang mencuci wajahnya di sungai itu. "Cor
"Hah?! Apa yang terjadi?"Saat terbangun dari tidur, yang pertama kali kulihat ialah Tuan Mahawira. Aku membelalak seolah-olah lupa apa yang sebenarnya telah aku lakukan dengannya."Hmm ... Cornelia ... aku ingin menikmatimu sekali lagi ... hmm ...."Tuan Mahawira sepertinya sedang mengigau. Jangan-jangan aku sudah melakukan hal yang senonoh dengannya.Oh, tidak! Ya, Tuhan! Aku tidak p-p-perawan lagi."Tidak!"Tuan Mahawira langsung terbangun karena teriakanku yang kencang. Pria itu mengusap-usap kedua matanya dengan tangan. Rambutnya kacau sehabis bangun tidur."Kau kenapa, Cornelia?" tanyanya seolah tidak tahu apa-apa."Apa yang kau lakukan padaku, Tuan?!" tanyaku dengan nada tinggi sambil melotot tajam.Tak lama kemudian, Tuan Mahawira menampilkan ekspresi licik, ia menyeringai."Sudahlah, Cornelia. Semalam kau sudah memberikan aku kenikmatan yang tiada tara. Terima kasih