Surabaya, 2015
Fio dan teman-temannya berdiri membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan dan menundukkan kepala mereka. Berdoa adalah salah satu cara supaya mereka tetap bisa mengontrol segala rasa tegang yang melanda tiada ampun. Apalagi waktu yang tersisa sebelum tampil hanya tinggal sepuluh menit lagi. Setelah itu mereka melakukan high five untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dan juga semangat dalam diri mereka masing-masing.
Fio dan teman-temannya memasuki lapangan basket ketika nama grup mereka, Dream Machine dipanggil oleh pembawa acara. Suara riuh penonton yang bertepuk tangan dan menyorakkan nama grup mereka menggema dan membuat hormon adrenalin di dalam tubuh Fio seketika melonjak naik dengan cepat.
Mereka kemudian mengambil posisi awal sebelum tarian mereka dimulai. Saat musik terdengar di telinga mereka, Fio dan teman-temannya bergerak mengikuti irama lagu. Setiap beat dalam lagu berhasil mereka taklukkan sampai akhir. Semua orang yang menonton meneriakkan nama Fio, Nessa, Nola, Alvin dan juga Rafa dengan begitu heboh.
Senyuman merekah di bibir Fio. Dia tidak bisa menghentikan senyumannya meskipun kini mereka sudah berada di ruang ganti. Dada Fio masih saja berdebar dan atmosfer yang menaikkan semangatnya masih begitu terasa melekat di sekitar Fio.
“Kita sudah berlatih dengan keras untuk acara DBL tahun ini, selamat untuk kita semua!” kata Nessa dengan semangat dan bibir yang tersenyum lebar.
Fio dan Nola mengangguk setuju. “Eh, aku pulang dulu ya, mau ke rumah tante, habis lahiran soalnya,” kata Nola begitu mereka keluar dari ruang ganti.
“Kalau gitu hati-hati ya La,” kata Fio yang diangguki oleh Nola.
“Hati-hati La, kamu keren hari ini!” kata Nessa sambil mengacungkan jempolnya di depan Nola.
“Thanks ya, kalian semua juga luar biasa keren, aku senang sekali hari ini, aku duluan ya!” Nola kemudian meninggalkan tempatnya sambil melambaikan tangan ke arah Nessa dan juga Fio.
“Kamu mau ikut gabung sama teman-teman kelasku?” tawar Nessa kepada Fio.
Fio nampak berpikir sejenak sambil menggaruk pelipisnya. “Tidak, lagipula aku tidak akan lama, sebentar lagi papaku akan datang menjemputku,” jawab Fio sambil menatap jam di tangannya.
Fio memilih duduk sendirian di tribun paling belakang. Teman-teman kelasnya tidak banyak yang hadir. Kemungkinan besar karena tiket penonton yang sudah habis terjual dan tidak banyak yang mendapatkannya. Sedangkan kelas Nessa lumayan banyak yang berhasil masuk ke dalam gedung olahraga tersebut.
Fio menggerakkan kakinya sambil menggigit bibirnya. Sekolahnya belum bertanding hari itu, tapi Fio terpaksa menonton setengah pertandingan sambil menunggu papanya menjemput. Mata Fio nampak menatap lapangan basket dengan penuh ketegangan. Aura persaingan sangat terasa disana. Kemudian matanya membulat kala tidak sengaja menangkap sosok pemuda yang pernah mencuri perhatiannya.
Fio bahkan sampai tidak mengedipkan matanya kala pemuda itu berjalan naik menuju ke arahnya. Bibir gadis itu sedikit terbuka saat pemuda dengan seragam basket SMA Tunas Bangsa tersebut sedang tersenyum kepada teman-temannya. Dia kemudian bergabung dengan teman-temannya yang duduk tepat di depan Fio. Sepertinya dia tidak mengingat Fio. Tentu saja! Memangnya ada berapa banyak gadis bahkan manusia yang datang ke restoran cepat saji tempat dia bekerja?
Fio segera menggelengkan kepalanya dan menelan salivanya untuk mengusir segala rasa grogi yang tiba-tiba menyerangnya secara mendadak. Dia membenarkan rambutnya yang tidak berantakan.
“Ada apa denganku?” Fio mendesah di dalam hatinya.
Dia menatap punggung pemuda itu sambil meraba dadanya. Kenapa dadanya terasa aneh? Fio memutuskan untuk menunggu papanya di luar gedung saja. Dan ketika dirinya berdiri, pemuda di depannya juga nampak berdiri kemudian memutar tubuhnya sehingga Fio bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Fio kembali seperti tersihir. Pemuda itu tersenyum tipis kepadanya kemudian berjalan naik tepat ke depan Fio dan berlalu dari sana. Mata Fio masih belum bisa berkedip. Dia masih mematung di tempatnya berdiri seperti orang bodoh sampai beberapa orang nampak menatapnya sambil berbisik-bisik.
“Ekhm!” Fio mengedipkan matanya kemudian berjalan pergi dari sana.
Suasana menjadi panas dan dia butuh udara segar sekarang juga. Fio keluar dari gedung dan duduk di depan pintu masuk. Ketika belum ada lima menit gadis itu duduk, mata Fio nampak memicing tajam kala melihat pemuda yang dilihatnya tadi tengah berpelukan dengan seorang gadis di tempat parkiran motor.
“Apa dia sudah memiliki pacar?” gumam Fio lirih.
Jantung Fio berdetak cepat. Dia menajamkan matanya. Mereka kemudian melepaskan pelukannya dan berjalan bergandengan tangan menuju ke arah Fio. Mendadak suasana menjadi tegang. Fio segera mengalihkan tatapannya ke arah ponsel yang dibawanya. Dia dengan tergesa menghidupkan ponselnya dan berpura-pura mengetikkan sesuatu di sana. Sampai kedua orang yang tadi dilihatnya berpelukan di tempat parkir motor melewatinya dan berlalu masuk ke dalam gedung olahraga, Fio baru bisa menghembuskan nafas lega.
***
Setibanya di rumah, Fio segera membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena berkeringat. Dia kembali merendam tubuhnya di dalam bath up yang sudah berisi air hangat. Fio terus menatap langit-langit kamar mandinya sambil memikirkan kejadian yang membuatnya kesal setengah mati. Fio tidak yakin dengan apa yang terlintas di kepalanya.
Dia masih saja menampik suara setan yang terus saja mengoloknya. Fio memejamkan matanya dengan erat dan mencoba menyingkirkan segala pikiran yang terus saja melintas di kepalanya yang tidak secerdas Nadya itu. Fio menghembuskan nafasnya dengan keras.
“Aku nggak jatuh cinta!” Fio berteriak.
Dia menolak segala pemikiran gila yang terus saja terlintas di kepalanya. Fio tidak bisa melupakan kejadian dimana pemuda itu berpelukan dengan seorang gadis yang bahkan Fio juga tidak mengenalnya. Fio menggigit bibirnya cemas. Gadis itu memijit pelipisnya yang terasa berat dan menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan pelan. Fio mengulangnya sampai beberapa kali.
“Memangnya apa yang aku cemaskan? Dia bukan siapa-siapaku dan kami tidak saling mengenal, ayolah Fi, jangan berpikiran ngawur!” katanya berbicara pada dirinya sendiri.
***
Gadis itu nampak duduk di depan meja belajarnya. Dia diam selama sepuluh menit tanpa melakukan apapun. Kemudian dia teringat akan sesuatu. Dia segera menarik laci mejanya. Fio mengeluarkan satu bundle kertas warna-warni. Fio tersenyum menatap kertas di depannya. Dulu sekali neneknya selalu mengajari Fio untuk melakukan seni melipat kertas atau origami.
Fio mengambil satu kertas berwarna pink kemudian gadis itu nampak melenturkan jari-jarinya sebelum memulai melipat kertas di depannya tersebut. Sudah lama Fio tidak melakukannya. Gadis itu hanya sedang terlalu banyak berpikir dan hatinya hanya sedang kesal karena sesuatu yang tidak dirinya pahami. Fio melampiaskan semuanya kepada kertas di depannya itu.
Fio membuat sebuah burung dengan melipat kertas berwarna pink di depannya. Tangannya cekatan meskipun awalnya membutuhkan waktu untuk mengingat setiap step-nya namun sampai pada kertas ke lima, Fio sudah kembali hafal. Fio tenggelam dalam aktivitas melipat kertas-kertas di depannya dengan konsentrasi penuh.
Setelah mendapatkan sepuluh burung dengan berbagai warna, gadis itu berhenti kemudian senyumnya terbit. Dia segera menarik laci mejanya kembali dan mengambil sebuah toples kaca yang tidak terlalu besar kemudian memasukkan burung-burung kertas tersebut ke dalamnya. Fio meletakkan toples kaca tersebut di atas meja belajarnya.
Bibirnya tersenyum tertahan kala sebuah kalimat yang baru saja di tulisnya. Semua idenya datang dari kalimat seorang siswi yang cukup populer di sekolahnya. Dia duduk di bangku sebelah kanan Fio.Kenapa hatimu terluka?Kenapa senyummu menghilang?Kenapa sendu bergelayut di matamu?Mawar tidak pernah berniat menyakitiDia hanya sedang melindungi dirinya sendiriFio segera menutup buku catatannya dan mengantongi pena yang dibawanya. Pesanannya sudah datang. Fio tersenyum lebar kala bau bakso tercium di hidungnya. Sangat menggugah selera dan seketika perutnya semakin terasa lapar. Fio segera memakan makan siangnya seorang diri. Nadya masih saja sibuk dengan Dio sampai Fio lupa bahwa sekarang jarak di antara mereka berdua memang sudah sangat terasa.Sepulang sekolah, Fio berjalan seorang diri di sebuah toko buku yang terletak di jalan yang searah dengan jalan pulang ke rumahnya. Toko buku yang
Fio bergegas pergi ke dalam kamarnya dan menatap layar ponsel yang disana terdapat nomor serta nama Bian. Fio menggigit bibirnya. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gadis itu menggenggam ponselnya dengan kerutan di dahinya.“Apa aku nanti akan terlihat sangat agresif?” Fio menggigit bibir bawahnya.Sambil merapal doa di dalam hatinya, Fio kemudian kembali menatap layar ponsel yang ada di genggaman tangannya.“Hai, ini aku Fio.” Hanya itu yang Fio sanggup kirimkan untuk Bian.Gadis itu terdengar menghembuskan nafas dalam. Fio segera meletakkan ponselnya ke atas meja belajar. Fio mengulang satu kalimat sebanyak tiga kali tapi tetap saja dirinya tidak berhasil membuat dirinya sendiri paham dengan materi yang sedang dipelajarinya.Fio menyandarkan punggungnya ke belakang. Matanya melirik ke arah ponsel yang sampai lima belas menit berlalu sama sekali belum ada respon dari pemuda y
“Sudah jadi satu,” Fio tersenyum menatap kertas yang sudah berubah menjadi burung kecil.Fio meletakkan kertas-kertas yang masih berada di dalam kemasan. Dia menggeser sedikit kertas-kertas tersebut dan menarik mangkuk yang berisi nasi dan juga soto. Fio sekarang sudah terbiasa makan siang seorang diri sejak Nadya lebih sibuk bersama dengan Dio.Netra Fio mulai menatap sekitarnya yang nampak ramai. Mereka kebanyakan bergerombol. Sedangkan Fio hanya seorang diri dengan kertas yang sudah berubah bentuk menjadi seekor burung kecil. Fio menertawakan dirinya sendiri yang ternyata benar-benar seperti kehilangan sosok teman dekat di hidupnya.Fio sesekali masih mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Rey. Nama pemuda yang sangat populer di SMA Nusantara. Seorang pebasket yang selalu menjadi andalan sekolahnya. Fio berhenti mengunyah kala Rey masih menatapnya dalam diam. Pipi Fio nampak menggembung karena nasi s
Fio melebarkan matanya sambil tercengang di tempatnya berdiri. Rey kemudian berjalan pergi meninggalkan dirinya yang sama sekali belum sempat membalas ucapan pemuda itu. Mata gadis itu terus mengikuti punggung Rey yang berjalan menjauh darinya.Gadis itu menyentuh kepalanya. Beberapa orang yang masih berada di sekitarnya semakin berbisik dan ada beberapa anak yang menunjuk Fio.“Beruntung sekali dia diperlakukan manis oleh Rey seperti itu.”Fio memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan dagu yang sedikit dia angkat.“Hmm, aku bahkan sudah tiga kali memberikan Rey makanan kesukaannya tapi sampai sekarang tidak pernah dapat perlakuan manis seperti itu, aku kesal sekali!” Fio tersenyum miring mendengar jawaban siswi lainnya yang berbicara seolah-olah Fio tidak ada di dekat mereka.***Fio segera menghentikan langkahnya dan membuka tas ransel dimana ponselnya berada. Fio
Fio tahu bahwa detik ini akan datang juga kepadanya. Mamanya pasti sudah mengatakan kepada papanya tentang dirinya yang meminta izin untuk menonton bioskop malam ini.“Sama Bian pa, teman Fio,” jawab gadis itu sudah mulai merasa sedikit segan dengan tatapan yang diberikan papanya kepada dirinya.“Siapa Bian?” papanya mulai penasaran dengan sosok yang disebutkan oleh Fio dan juga istrinya tadi.Fio menghela nafasnya dengan cepat. “Bian itu teman Fio pa, dia anak basket tapi kami tidak satu sekolah, Bian sekolah di SMA Tunas Bangsa,” jawab Fio dengan lancar.Papanya nampak menganggukkan kepalanya paham. “Apa kalian sudah mengenal lama?” tanya papanya dengan mata yang sudah mengunci mata manik mata Fio.Kali ini Fio terlihat mulai gugup, dia menelan salivanya dengan sedikit kepayahan. “Eumm itu…” Fio mengalihkan tatapannya dari Anjar dan memilih melemparkan pandangannya ke arah halaman
Anjar melirik istrinya sebentar dan melengkungkan senyumnya ke atas. Anjar menggelengkan kepalanya kemudian kembali fokus dengan kemudinya. Rahma tahu bahwa Anjar sedang berbohong. Suaminya tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Rahma juga tahu bahwa Anjar memaksakan senyumnya. Suaminya sedang memikirkan sesuatu yang Rahma tebak semuanya mengenai Fio yang akan pergi bersama Bian. “Mas, semuanya akan baik-baik saja, Fio pasti bisa jaga diri, mas,” kata Rahma mencoba menenangkan Anjar yang nampak masih belum bisa bersikap santai. Rahma melirik ke arah Fio. Kali ini Fio tahu dirinya harus melakukan apa. Dia menangkap kode yang diberikan oleh Rahma melalui tatapan matanya. Fio kemudian mendekatkan tubuhnya kepada papanya. Dia duduk di kursi penumpang di belakang papa dan mamanya sehingga Fio tidak bisa menatap wajah papanya yang sepertinya sedang terlihat tidak tenang. “Pa, Fio bisa minta sesuatu ke papa?” tanya Fio dengan tangan menyentuh pundak Anjar
Fio masih mengamati Bian yang sepertinya sudah selesai membayar. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya dan berjalan menuju ke arah Fio berdiri.“Ayo, sebentar lagi filmnya akan di mulai,” ajak Bian.“Hmm,” Fio mengangguk paham kemudian berjalan bersisian dengan Bian yang terlihat jauh lebih tinggi dari tubuhnya.Mata Fio melihat antrian masuk ke studio dua yang ternyata sudah dibuka.“Sudah ramai,” kata Bian yang kini berada di depan Fio.“Iya, filmnya baru release dan rating di IMdb bagus,” kata Fio.Gadis itu menatap punggung tegap Bian dari belakang dengan dada berdebar. Wangi Bian tercium dan semakin membuat Fio kelimpungan mengatasi hatinya sendiri. Fio sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ketika Bian menoleh ke belakang dan mata mereka saling bertemu pandang.Tangan kanan Bian sudah dia ulurkan ke belakang. “Sini,” katanya kepada Fio.Suasana y
“Huhhh aku lelah!” Nadya menengakkan tubuhnya dan menghembuskan nafasnya dengan keras melalui bibirnya.Dia kemudian melepaskan tas ransel berwarna hitam dan menaruhnya di atas meja. Nadya juga melepaskan jaket yang masih dikenakannya karena rasa gerah yang menghantam tubuhnya. Fio membiarkan Nadya menyelesaikan urusannya terlebih dahulu sampai Nadya nampaknya sudah bisa kembali bernafas dengan normal.Fio segera mengambil tisu dari dalam tasnya kemudian menyerahkan kepada Nadya. “Aku lelah berjalan dari lampu merah perempatan,” jawab Nadya pada akhirnya sambil mengelap peluh yang menetes di dahinya.Fio terlihat terkejut. “Kamu tidak di antar ke sekolah? Dimana Dio?” tanya Fio dengan wajah seriusnya.Nadya menggelengkan kepalanya. “Pak Jaka memang mengantarku hanya saja ban mobilnya bocor dan tidak ada ban cadangan, di rumah tidak ada orang, hanya ada bu Nani jadi tidak bisa minta tolong ayah untuk mengantarku,&r
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t