“Sudah jadi satu,” Fio tersenyum menatap kertas yang sudah berubah menjadi burung kecil.
Fio meletakkan kertas-kertas yang masih berada di dalam kemasan. Dia menggeser sedikit kertas-kertas tersebut dan menarik mangkuk yang berisi nasi dan juga soto. Fio sekarang sudah terbiasa makan siang seorang diri sejak Nadya lebih sibuk bersama dengan Dio.
Netra Fio mulai menatap sekitarnya yang nampak ramai. Mereka kebanyakan bergerombol. Sedangkan Fio hanya seorang diri dengan kertas yang sudah berubah bentuk menjadi seekor burung kecil. Fio menertawakan dirinya sendiri yang ternyata benar-benar seperti kehilangan sosok teman dekat di hidupnya.
Fio sesekali masih mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Rey. Nama pemuda yang sangat populer di SMA Nusantara. Seorang pebasket yang selalu menjadi andalan sekolahnya. Fio berhenti mengunyah kala Rey masih menatapnya dalam diam. Pipi Fio nampak menggembung karena nasi soto serta tempe yang terlalu banyak dia masukkan ke dalam mulutnya.
Fio mengedipkan matanya sekali sambil meneruskan mengunyah makanannya kemudian menelannya. Gadis itu mengira Rey akan segera memutus kontak mata mereka. Tapi ternyata dugaan Fio keliru. Rey masih saja menatapnya. Dan ketika bibir pemuda itu tertarik tipis ke atas, Fio langsung terlihat gelagapan.
“Uhukk… uhukk… uhukk!” Fio tersedak.
Dia menepuk dadanya dengan sedikit keras untuk meredakan batuknya yang semakin menjadi kala matanya menatap Rey yang nampak bangkit berdiri dari duduknya. Pemuda itu nampak mengatakan sesuatu kepada temannya kemudian berjalan ke arah Fio. Orang-orang di sekitar Fio mulai memperhatikan gadis itu yang sepertinya sedang terkejut karena Rey kini berhenti di depan mejanya dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana sekolahnya. Fio menelan salivanya dengan sedikit kesulitan. Dia menegakkan tubuhnya dengan bibir yang masih sedikit terbuka.
“Ini minum dulu,” Rey mengambil gelas di depan Fio kemudian mengulurkannya kepada gadis itu.
Fio tidak langsung merespon karena masih mencoba untuk mencerna hal yang sedang terjadi kepada dirinya. Gadis itu kemudian mengedipkan matanya dan mengangguk seperti robot. Fio segera mengambil gelas yang di ulurkan oleh Rey kepadanya. Dia segera meminumnya dengan mata yang masih tidak beralih dari sosok Rey.
“Boleh aku duduk disini?” tanya Rey dengan senyuman yang membuat banyak gadis terpikat.
Fio meletakkan gelasnya kemudian menganggukkan kepalanya. “ Ya tentu saja,” jawabnya.
Fio kemudian menatap ke sekitarnya dan sudah banyak pasang mata yang menatap ke arah mejanya dimana sekarang ada Rey yang sedang duduk tepat di depannya dengan gaya yang nampak santai dan juga mempesona bagi para gadis di sekolahnya.
“Aku Rey,” kata pemuda di depannya sambil mengulurkan tangan kepada Fio.
Fio menatap tangan Rey kemudian menyambutnya dengan dahi berkerut. “Aku Fio,” balas Fio dengan senyuman yang mengembang cantik.
Fio menarik tangannya kembali. Gadis itu mengikuti arah pandang Rey. Pemuda itu menatap kertas berbentuk burung kecil yang ada di meja tersebut. Senyum pemuda itu terkembang sempurna.
“Kamu suka origami?” tanya Rey yang sudah mengalihkan netranya kepada Fio.
Gadis di depannya menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. “Ya, aku suka,” jawab Fio sambil menyendokkan nasi soto yang belum habis.
Rey terkekeh melihat cara Fio makan. “Pelan-pelan makannya aku tidak akan meminta nasi sotomu, nanti kamu bisa tersedak lagi,” kata Rey.
“Eh?” Fio berhenti mengunyah dan pipinya nampak menggembung karena banyaknya nasi soto dan tempe yang dia masukkan ke dalam mulut.
“Aku ingin mencoba membuat origami,” kata Rey tanpa menjawab keterkejutan Fio.
Fio meneruskan kunyahannya sambil menganggukkan kepalanya. “Kamu pernah membuat burung kecil seperti ini sebelumnya?” tanya Fio.
Rey mengangguk. “Aku pernah membuatnya beberapa kali ketika aku kecil dan sayangnya aku sekarang sudah lupa cara melipatnya,” jawab Rey.
Fio mengambil kertas di samping mangkuknya yang memiliki warna merah. Kemudian Fio memberikan kertas tersebut kepada Rey. Dia kembali memakan makanannya dengan tenang. Hanya tinggal beberapa sendok dan makanan di mangkuknya akan habis.
“Cobalah, kamu akan menyukainya juga,” kata Fio kemudian matanya sedikit menyipit. “Aku rasa,” lanjut Fio sambil terkekeh.
Rey tertawa. “Baiklah,” dia kemudian mengambil kertas tersebut dan mencoba membuat bentuk burung yang sama persis dengan milik Fio.
Fio menyingkirkan mangkuknya yang sudah kosong kemudian segera meraih gelasnya dan meminum isinya hingga tandas.
“Ah! Aku kenyang sekali!”
Rey tersenyum samar melihat tingkah gadis di depannya itu. Mood Fio naik beberapa kali lipat. Dia fokus menatap Rey yang nampak sedang berkonsentrasi dengan kertas di depannya. Fio spontan terkekeh melihat lipatan Rey yang salah.
“Salah! begini cara melipatnya,” kata Fio kemudian mengambil kertas Rey dan membenarkan lipatan kertas di tangannya.
Rey tertawa. “Sepertinya aku memang sudah lupa caranya,” kata Rey.
“Hmm, kelihatannya kamu memang lupa,” kata Fio sambil tertawa.
Rey menghentikan tawanya dan terus menatap gadis di depannya yang terlihat sangat cantik ketika tertawa itu. Fio masih belum tersadar jika Rey masih menatapnya. Fio sedang menundukkan kepalanya dan fokus dengan kertasnya. Hingga tidak berapa lama, suara bel tanda masuk kelas berbunyi. Fio mendongak dan menatap sekitarnya dimana beberapa anak sedang berbisik dan menatap ke mejanya. Fio mengangkat bahunya dengan ekspresi acuh.
Para murid mulai meninggalkan kantin dan berjalan menuju ke kelas mereka masing-masing. Fio dan Rey juga nampak berdiri kemudian mereka berjalan beriringan menuju ke kelas masing-masing. Fio tidak mengerti kenapa Rey bersikap demikian kepadanya. Seingatnya mereka berdua tidak pernah menyapa sebelumnya.
“Banyak yang membicarakan kita,” gumam Fio dengan mata menyipit.
Rey menoleh ke sampingnya dan menaikkan satu alisnya. “Kenapa?” tanya Rey.
“Ckh!” Fio berdecak. “Jelas sekali aku pasti akan jadi bahan pembicaraan gadis-gadis di sekolah kita, kamu adalah orang dengan sejuta pesona di sekolah kita dan banyak yang mengantri ingin berbicara denganmu,” kata Fio kemudian terkekeh.
Rey tertawa. Pemuda itu berhenti dan menghadap ke arah Fio yang membuat gadis itu juga menghentikan langkahnya. Dia mendongak untuk melihat wajah Rey dengan tatapan herannya. Rey tersenyum manis kepada Fio. Gadis di depannya hanya membalas senyuman Rey sekedarnya karena dia tidak tahu kenapa Rey bersikap seperti sekarang kepadanya. Sikapnya manis dan juga menyenangkan, seperti teman yang sudah lama saling mengenal.
“Kamu tahu? Aku tidak suka dikejar,” Rey tersenyum hangat. “Aku senang mengenalmu,” Rey mengusap puncak kepala Fio.
Fio melebarkan matanya sambil tercengang di tempatnya berdiri. Rey kemudian berjalan pergi meninggalkan dirinya yang sama sekali belum sempat membalas ucapan pemuda itu. Mata gadis itu terus mengikuti punggung Rey yang berjalan menjauh darinya.Gadis itu menyentuh kepalanya. Beberapa orang yang masih berada di sekitarnya semakin berbisik dan ada beberapa anak yang menunjuk Fio.“Beruntung sekali dia diperlakukan manis oleh Rey seperti itu.”Fio memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan dagu yang sedikit dia angkat.“Hmm, aku bahkan sudah tiga kali memberikan Rey makanan kesukaannya tapi sampai sekarang tidak pernah dapat perlakuan manis seperti itu, aku kesal sekali!” Fio tersenyum miring mendengar jawaban siswi lainnya yang berbicara seolah-olah Fio tidak ada di dekat mereka.***Fio segera menghentikan langkahnya dan membuka tas ransel dimana ponselnya berada. Fio
Fio tahu bahwa detik ini akan datang juga kepadanya. Mamanya pasti sudah mengatakan kepada papanya tentang dirinya yang meminta izin untuk menonton bioskop malam ini.“Sama Bian pa, teman Fio,” jawab gadis itu sudah mulai merasa sedikit segan dengan tatapan yang diberikan papanya kepada dirinya.“Siapa Bian?” papanya mulai penasaran dengan sosok yang disebutkan oleh Fio dan juga istrinya tadi.Fio menghela nafasnya dengan cepat. “Bian itu teman Fio pa, dia anak basket tapi kami tidak satu sekolah, Bian sekolah di SMA Tunas Bangsa,” jawab Fio dengan lancar.Papanya nampak menganggukkan kepalanya paham. “Apa kalian sudah mengenal lama?” tanya papanya dengan mata yang sudah mengunci mata manik mata Fio.Kali ini Fio terlihat mulai gugup, dia menelan salivanya dengan sedikit kepayahan. “Eumm itu…” Fio mengalihkan tatapannya dari Anjar dan memilih melemparkan pandangannya ke arah halaman
Anjar melirik istrinya sebentar dan melengkungkan senyumnya ke atas. Anjar menggelengkan kepalanya kemudian kembali fokus dengan kemudinya. Rahma tahu bahwa Anjar sedang berbohong. Suaminya tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Rahma juga tahu bahwa Anjar memaksakan senyumnya. Suaminya sedang memikirkan sesuatu yang Rahma tebak semuanya mengenai Fio yang akan pergi bersama Bian. “Mas, semuanya akan baik-baik saja, Fio pasti bisa jaga diri, mas,” kata Rahma mencoba menenangkan Anjar yang nampak masih belum bisa bersikap santai. Rahma melirik ke arah Fio. Kali ini Fio tahu dirinya harus melakukan apa. Dia menangkap kode yang diberikan oleh Rahma melalui tatapan matanya. Fio kemudian mendekatkan tubuhnya kepada papanya. Dia duduk di kursi penumpang di belakang papa dan mamanya sehingga Fio tidak bisa menatap wajah papanya yang sepertinya sedang terlihat tidak tenang. “Pa, Fio bisa minta sesuatu ke papa?” tanya Fio dengan tangan menyentuh pundak Anjar
Fio masih mengamati Bian yang sepertinya sudah selesai membayar. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya dan berjalan menuju ke arah Fio berdiri.“Ayo, sebentar lagi filmnya akan di mulai,” ajak Bian.“Hmm,” Fio mengangguk paham kemudian berjalan bersisian dengan Bian yang terlihat jauh lebih tinggi dari tubuhnya.Mata Fio melihat antrian masuk ke studio dua yang ternyata sudah dibuka.“Sudah ramai,” kata Bian yang kini berada di depan Fio.“Iya, filmnya baru release dan rating di IMdb bagus,” kata Fio.Gadis itu menatap punggung tegap Bian dari belakang dengan dada berdebar. Wangi Bian tercium dan semakin membuat Fio kelimpungan mengatasi hatinya sendiri. Fio sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ketika Bian menoleh ke belakang dan mata mereka saling bertemu pandang.Tangan kanan Bian sudah dia ulurkan ke belakang. “Sini,” katanya kepada Fio.Suasana y
“Huhhh aku lelah!” Nadya menengakkan tubuhnya dan menghembuskan nafasnya dengan keras melalui bibirnya.Dia kemudian melepaskan tas ransel berwarna hitam dan menaruhnya di atas meja. Nadya juga melepaskan jaket yang masih dikenakannya karena rasa gerah yang menghantam tubuhnya. Fio membiarkan Nadya menyelesaikan urusannya terlebih dahulu sampai Nadya nampaknya sudah bisa kembali bernafas dengan normal.Fio segera mengambil tisu dari dalam tasnya kemudian menyerahkan kepada Nadya. “Aku lelah berjalan dari lampu merah perempatan,” jawab Nadya pada akhirnya sambil mengelap peluh yang menetes di dahinya.Fio terlihat terkejut. “Kamu tidak di antar ke sekolah? Dimana Dio?” tanya Fio dengan wajah seriusnya.Nadya menggelengkan kepalanya. “Pak Jaka memang mengantarku hanya saja ban mobilnya bocor dan tidak ada ban cadangan, di rumah tidak ada orang, hanya ada bu Nani jadi tidak bisa minta tolong ayah untuk mengantarku,&r
Senyumnya mengembang begitu saja. Mata bulatnya tidak berkedip menatap sosok pemuda yang sedang melepas pelindung kepalanya kemudian turun dari motor. Fio mengamati setiap langkah yang di ambil oleh Bian. Pemuda itu berjalan menuju pintu masuk kafe sambil menyugar rambutnya yang sudah sedikit terlihat panjang.Fio menoleh ke arah pintu masuk kafe dan dia dapat melihat Bian yang nampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Fio tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah pemuda itu.“Hai Bi!”Senyuman pemuda itu terkembang begitu saja kala melihat wajah Fio yang ceria.“Hai, apa kamu sudah lama menungguku?” tanya Bian menyapa Fio begitu dirinya sampai di depan gadis itu.Fio segera menggelengkan kepalanya. “Belum, aku sudah pesan lebih dulu, kamu ingin pesan apa?” tanya Fio.“Pesannya disana?” Bian tidak menjawab.Pemuda itu nampak menunjuk ke arah bar dan bertanya kepada Fi
Fio masih bungkam. Dia mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bian kepadanya. Fio kemudian tertawa. Sementara Bian hanya menatapnya dengan wajah datarnya. Fio kemudian berhenti tertawa dan mengedipkan matanya. Gadis itu membasahi bibir bawahnya. Senyuman kembali terbit di bibirnya begitu juga Bian yang ikut tersenyum.“Kenapa malah tersenyum?” Bian bertanya dengan tawa yang tertahan.Fio tertawa kembali dan menggelengkan kepalanya sambil menutup bibirnya dengan tangan kiri. “Kamu juga ketawa,” kata Fio.“Kamu sangat lucu, hampir terpancing dengan leluconku,” kata Bian sambil ikut tertawa.“Sayangnya aku terlalu sulit untuk kamu jebak dengan leluconmu itu!” Fio memicingkan matanya.Bian tersenyum kemudian menyesap kopi susu yang dipesannya dengan pelan melalui sedotan yang memang selalu disediakan untuk minuman dingin. Fio mengambil satu sendok cheesecake yang ada di depannya kemudia
“Kamu marah?” tanya Bian.Fio yang awalnya hanya menatap tangannya yang digenggam oleh tangan besar milik Bian pada akhirnya mau mendongak dan melihat wajah menyesal Bian.“Aku minta maaf, hmm?” suara Bian terdengar lembut di telinga Fio.Gadis itu menghela nafasnya dalam kemudian dia menganggukkan kepalanya.Bian tersenyum. Tangan yang tadinya menggenggam tangan Fio, dia lepaskan. Dan dengan tangan yang sama, pemuda itu mencubit pipi Fio dengan gemas.“Terima kasih banyak!” kata Bian dengan senyuman lebarnya.Fio cemberut sekilas kemudian dia ikut tersenyum karena perlakuan Bian. “Aku merasa mirip anak balita sekarang.”Fio kemudian mengambil botol air mineral yang masih digenggam oleh Bian dan meminumnya dengan cepat. Bian hanya terkekeh melihatnya. Pemuda itu mulai menundukkan kepalanya dan membaca soal yang ada di dalam buku.Fio meletakkan botol air mineralnya di atas meja da
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t