“Kamu marah?” tanya Bian.
Fio yang awalnya hanya menatap tangannya yang digenggam oleh tangan besar milik Bian pada akhirnya mau mendongak dan melihat wajah menyesal Bian.
“Aku minta maaf, hmm?” suara Bian terdengar lembut di telinga Fio.
Gadis itu menghela nafasnya dalam kemudian dia menganggukkan kepalanya.
Bian tersenyum. Tangan yang tadinya menggenggam tangan Fio, dia lepaskan. Dan dengan tangan yang sama, pemuda itu mencubit pipi Fio dengan gemas.
“Terima kasih banyak!” kata Bian dengan senyuman lebarnya.
Fio cemberut sekilas kemudian dia ikut tersenyum karena perlakuan Bian. “Aku merasa mirip anak balita sekarang.”
Fio kemudian mengambil botol air mineral yang masih digenggam oleh Bian dan meminumnya dengan cepat. Bian hanya terkekeh melihatnya. Pemuda itu mulai menundukkan kepalanya dan membaca soal yang ada di dalam buku.
Fio meletakkan botol air mineralnya di atas meja da
Fio terdiam sebentar kemudian tertawa terbahak-bahak. “Klise sekali leluconmu!” kata Fio sambil memegang perutnya yang terus bergerak karena tawanya yang belum berhenti. “Kita masih sekolah, memikirkan besok ujian kelulusan saja sudah membuatku panas dingin apalagi memikirkan pernikahan,” lanjut Fio sambil menyusut air matanya karena terlalu banyak tertawa. “Wah seru sekali sampai terdengar dari dapur suara tawanya,” kata Rahma yang tiba-tiba muncul dengan membawa nampan berisi dua gelas es cokelat yang diminta Fio. “Bian sedang jadi pelawak ma,” sahut Fio. Bian terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara Rahma hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Setelah meletakkan nampan berisi minuman dingin, Rahma segera pergi meninggalkan Fio dan Bian berdua di ruang tamu rumah tersebut. Fio mengambil gelasnya dan menyesap es cokelatnya. “Tamunya belum dipersilahkan minum, tuan rumahnya langsung minum dengan santainya,” celetuk Bia
Fio sedang berjalan menuju kelasnya. Langkahnya yang semula nampak sedikit cepat tiba-tiba memelan kala melihat seseorang yang dia kenal sedang berdiri di depan kelasnya. Dahi Fio mengernyit dalam. Dengan tenang Fio terus berjalan. Dan ketika dirinya sudah hampir sampai di depan pintu, Rey mendongak. Matanya melebar dan dengan segera dia mematikan ponsel kemudian menyimpannya ke dalam saku celana.“Selamat pagi,” sapa Rey dengan senyum yang tercetak jelas di wajahnya.Fio menghentikan langkahnya dan tersenyum sedikit canggung. “Selamat pagi, Rey,” Fio melambaikan tangannya.“Sore nanti ikut aku latihan, ya?” ucap Rey yang membuat beberapa murid di sekitar mereka nampak berbisik-bisik setelah mencuri dengar.Fio menoleh ke kanan dan ke kiri. “Aku ikut kamu latihan?” tanya Fio sambil menunjuk hidung dengan jari telunjuknya sendiri.“Hmm, memangnya siapa lagi?” Rey terkekeh. “Aku
Fio mendongak begitu mendengar pertanyaan singkat dari Rey. “Tidak,” jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.“Kamu diam saja dari tadi,” kata Rey yang tidak juga mengalihkan pandangannya dari Fio.Fio melirik ke arah kanannya sebentar sebelum kembali menatap Rey. “Aku baik-baik saja, Rey,” jawabnya lagi untuk meyakinkan Rey.“Syukurlah,” Rey mengulurkan tangannya hendak mengacak puncak kepala Fio tapi dengan sigap Fio berhasil menghindarinya.“Eits! Tidak kena!” kata Fio sambil tertawa.Rey segera menarik tangannya yang menggantung di udara sambil tertawa. Tanpa Rey dan Fio tahu, ada seseorang yang sedang menatap keakraban mereka dari kejauhan. Pemuda itu mengepalkan tangannya dan beberapa kali menghembuskan napasnya gusar kala melihat Rey dan Fio berjalan semakin menjauh. Sampai punggung mereka berdua tidak lagi nampak di matanya, Bian baru mampu melanjutkan langkahnya.“Mau
Fio melebarkan mata dan segera menegakkan tubuhny. Gadis itu langsung memutar tubuhnya. Fio berdiri begitu dirinya sadar bahwa sudah ada Bian yang sedang berdiri di belakanganya. Bian menatap Fio datar.Fio yang semula merasa kecewa karena mengira bahwa Bian tidak datang latihan langsung melengkungkan senyumnya ke atas.“Bian?” Fio menatap pemuda di depannya itu dengan wajah berseri.“Iya ini aku, kamu kira hantu?” kata Bian judes.“Aku kira kamu tidak datang latihan,” kata Fio.Bian meletakkan tas ranselnya ke bangku yang tadi di tempati oleh Fio. Dia kemudian duduk disana dan membenarkan tali sepatu basket yang dia kenakan. Fio yang berdiri kemudian menyusul Bian untuk duduk di bangku yang sama. Fio memiringkan tubuhnya sehingga dirinya bisa menatap Bian dari samping secara leluasa.“Nanti aku pulangnya di anterin siapa?” tanya Fio.Bian menoleh kemudian menarik bibirnya menjadi satu g
“Ekhm! Lebih kelihatan lebar jidatnya,” kata Bian acuh tak acuh kemudian dia meneguk air mineral yang ada di tangannya.“Ckh!” Fio berdecak kesal.Bian selalu seperti itu. “Kamu bahkan tidak bisa memuji perempuan,” Fio kemudian beranjak berdiri dan memakai tas ranselnya.Bian segera menutup botol air mineralnya dan memasukkan semua barangnya ke dalam tas secara acak. Bian tahu pasti Fio sedang kesal dengannya. Dia segera memakai tas ranselnya dan mengikuti langkah Fio yang sudah jauh di depannya dengan sedikit berlari. Bian menatap punggung Fio kemudian dia tersenyum tipis.“Tunggu Fi!” seru Bian sambil berlari menyusul Fio yang semakin mempercepat langkahnya.“Aku pulang sendiri!” sahut Fio dengan nada ketus.Bian menahan pergelangan tangan Fio. “Jangan marah!” nada bicara Bian terdengar halus namun tegas.Fio menghentikan langkahnya dan menghadap Bian dengan waj
Satu minggu sebelumnya…Fio melipat kertas dengan cekatan. Dia ingin segera menyelesaikan kegiatannya karena besok dia ingin memberikan hasil karyanya untuk seseorang. Fio bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa senang yang tiba-tiba muncul di hatinya kala mengingat perjuangannya setelah belajar di malam hari untuk membuat burung-burung kecil dari kertas berwarna-warni di depannya itu.“Aku ingin membuat bentuk yang lain, tapi…” Fio menggigit bibirnya. “Aku sedikit lupa dengan teknik membuat bentuk lain selain burung, ckh!” Fio berdecak.Lagipula dia sempat ingat bahwa katanya seribu burung-burung kecil yang berasal dari kertas warna-warni itu melambangkan harapan. Fio ingin mencapai jumlah tersebut dan berharap orang yang nantinya akan menyimpannya sama seperti dirinya, selalu memiliki seribu harapan dan tidak mudah menyerah. Fio tersenyum.Fio membuatnya juga ketika selesai makan siang di sek
Fio mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Hari ini dirinya mampir ke kedai yang menjual mie ayam dan juga bakso yang terletak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Jika dari sekolah Fio, kedai tersebut terletak di kiri jalan. Tempatnya memang tidak terlalu besar, tapi rasa mie ayam dan juga bakso disana sangat enak. Tidak heran jika kedai tersebut sering terlihat ramai oleh pelanggan.Tapi sore ini sepertinya doa Fio terkabul. Dia berharap supaya kedai tersebut tidak terlalu ramai karena akan sulit menemukan meja kosong. Bukannya Fio mendoakan yang tidak baik untuk kedai tersebut. Tapi dia hanya ingin setidaknya selama paling tidak satu jam ke depan dia tidak akan merasa terburu-buru karena melihat antrian pelanggan yang sedang menunggu meja kosong.Fio melebarkan matanya kala melihat Bian berjalan ke arahnya dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Bagian bawah seragam Bian sudah keluar dan rambut pemuda itu terlihat berantakan. Khas siswa yang baru sa
Fio menatap Bian tanpa berkedip. Dia mencoba mencerna apa yang diucapkan Bian kepadanya. Lima detik kemudian Fio tersenyum dan menganggukkan kepalanya.“Baiklah!” jawabnya. “Ayo kita makan!” kata Fio yang kemudian menggeser mangkuk baksonya kemudian mulai mengaduk isinya.Bian tersenyum dan mengangguk. “Oh iya, dari mana kamu mempelajari cara melipat kertas seperti itu?” tanyanya sambil menyendok sambal dan menaruhnya pada mangkuk bakso di depannya.Fio sibuk menuangkan kecap dan juga saus ke dalam mangkuknya. “Dari nenekku,” jawabnya dengan mata yang fokus pada botol saus.Tiba-tiba Bian menarik botol saus tersebut dari tangan Fio. “Sausnya mungkin habis makanya tidak bisa keluar isinya, pakai sambal saja, menurutku lebih sehat dan rasanya lebih enak,” kata Bian mengulurkan wadah kecil yang berisi sambal.Fio menatap Bian kemudian beralih ke wadah kecil di depannya. “Oke, sambalnya
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t