Satu minggu sebelumnya…
Fio melipat kertas dengan cekatan. Dia ingin segera menyelesaikan kegiatannya karena besok dia ingin memberikan hasil karyanya untuk seseorang. Fio bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa senang yang tiba-tiba muncul di hatinya kala mengingat perjuangannya setelah belajar di malam hari untuk membuat burung-burung kecil dari kertas berwarna-warni di depannya itu.
“Aku ingin membuat bentuk yang lain, tapi…” Fio menggigit bibirnya. “Aku sedikit lupa dengan teknik membuat bentuk lain selain burung, ckh!” Fio berdecak.
Lagipula dia sempat ingat bahwa katanya seribu burung-burung kecil yang berasal dari kertas warna-warni itu melambangkan harapan. Fio ingin mencapai jumlah tersebut dan berharap orang yang nantinya akan menyimpannya sama seperti dirinya, selalu memiliki seribu harapan dan tidak mudah menyerah. Fio tersenyum.
Fio membuatnya juga ketika selesai makan siang di sek
Fio mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Hari ini dirinya mampir ke kedai yang menjual mie ayam dan juga bakso yang terletak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Jika dari sekolah Fio, kedai tersebut terletak di kiri jalan. Tempatnya memang tidak terlalu besar, tapi rasa mie ayam dan juga bakso disana sangat enak. Tidak heran jika kedai tersebut sering terlihat ramai oleh pelanggan.Tapi sore ini sepertinya doa Fio terkabul. Dia berharap supaya kedai tersebut tidak terlalu ramai karena akan sulit menemukan meja kosong. Bukannya Fio mendoakan yang tidak baik untuk kedai tersebut. Tapi dia hanya ingin setidaknya selama paling tidak satu jam ke depan dia tidak akan merasa terburu-buru karena melihat antrian pelanggan yang sedang menunggu meja kosong.Fio melebarkan matanya kala melihat Bian berjalan ke arahnya dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Bagian bawah seragam Bian sudah keluar dan rambut pemuda itu terlihat berantakan. Khas siswa yang baru sa
Fio menatap Bian tanpa berkedip. Dia mencoba mencerna apa yang diucapkan Bian kepadanya. Lima detik kemudian Fio tersenyum dan menganggukkan kepalanya.“Baiklah!” jawabnya. “Ayo kita makan!” kata Fio yang kemudian menggeser mangkuk baksonya kemudian mulai mengaduk isinya.Bian tersenyum dan mengangguk. “Oh iya, dari mana kamu mempelajari cara melipat kertas seperti itu?” tanyanya sambil menyendok sambal dan menaruhnya pada mangkuk bakso di depannya.Fio sibuk menuangkan kecap dan juga saus ke dalam mangkuknya. “Dari nenekku,” jawabnya dengan mata yang fokus pada botol saus.Tiba-tiba Bian menarik botol saus tersebut dari tangan Fio. “Sausnya mungkin habis makanya tidak bisa keluar isinya, pakai sambal saja, menurutku lebih sehat dan rasanya lebih enak,” kata Bian mengulurkan wadah kecil yang berisi sambal.Fio menatap Bian kemudian beralih ke wadah kecil di depannya. “Oke, sambalnya
Bian terdiam kemudian tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Kamu benar, terima kasih sudah memberitahuku,” Bian terlihat tulus dengan ucapannya.“Baiklah!” Fio mengangguk. “Aku beri tahu satu lagi tentang kertas-kertas yang aku gunakan untuk melipat kertas ini, nenekku mendaur ulang kertas-kertas limbah yang sudah tidak terpakai, setelah tahu cara mendaur ulang kertas limbah yang banyak terbuang, nenekku tidak pernah lagi membelinya,” kata Fio dengan wajah bersemangat.“Keren sekali! Kamu juga melakukan daur ulang?” tanya Bian.Fio menggelengkan kepalanya dan tertawa. “Tidak, di gudang rumahku masih ada sisa kertas hasil daur ulang nenekku, setelah beliau meninggal aku tidak mau lagi menyentuh kertas-kertas itu dan setelah sekian lama akhirnya aku tertarik dengan seni melipat kertas atau yang biasa dikenal dengan nama origami,” kata Fio penuh antusias.“Nenekmu sangat luar biasa!” k
Langkah gadis yang sebentar lagi akan mencapai sepedanya itu terhenti ketika mendengar suara pemuda yang tadi seperti menciptakan jarak dengannya. Fio menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan sambil memejamkan mata sebentar. Fio menoleh dengan senyuman yang sudah terkembang di bibirnya.“Ya?” jawabnya yang terdengar seringan kapas.Bian nampak sedang menoleh kepadanya kemudian berdiri dan melangkah menuju dirinya. Fio menatap air muka Bian yang sepertinya tidak senang dengan kedatangannya. Fio masih saja menggenggam tangannya sendiri untuk meneguhkan diri. Dia memasang wajah yang sama sekali tidak terlihat sedang kecewa dan juga sedih. Sebaliknya, Fio tetap memasang wajah cerianya seperti biasa.“Ini,” Bian mengulurkan uang senilai tiga puluh ribu rupiah yang tadi di ambil dari dalam celananya.Fio menatap tangan Bian. “Apa ini?” tanyanya dengan wajah bingung.“Apa kamu lupa? Kemarin waktu k
Sampai di rumahnya, Fio langsung masuk ke dalam kamar tanpa menyapa mamanya yang sedang menyiram tanaman di halaman samping rumah mereka. Rahma bahkan menatap putrinya dengan wajah yang terlihat penasaran.“Ada apa dengannya?” gumam Rahma.Sikap Fio tidak seperti biasanya. Gadis itu sama sekali tidak mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Fio bahkan menundukkan kepalanya kala berjalan.“Fio kenapa?” gumam Rahma lagi kemudian dia menghela napasnya dalam.***Fio berjalan keluar dari kamarnya dan segera menuju ke ruang tamu. Baru saja mamanya mengetuk pintu kamar miliknya. Sepertinya dia ketiduran sampai jam tujuh malam dia baru terbangun. Fio sudah berhenti menangis entah sejak kapan. Kepalanya terasa sangat berat dan matanya terasa pegal. Fio bahkan merasa hidungnya seperti sedikit tersumbat.“Ada apa Nad?” Fio berhasil membuat Nadya terkejut dengan ucapannya.Fio duduk di sebelah Nadya. Gadis itu
Jawaban Fio membuat Nadya menelan salivanya dengan pelan. “Siapa orang itu?” tanya Nadya masih pura-pura penasaran.“Ada, orang itu temanku, tapi…” Fio menggantungkan kalimatnya. “Sudah! tidak perlu di bahas karena yang jelas perasaanku sudah baik-baik saja sekarang apalagi dengan es krim cokelat yang kamu bawakan ini, lumayan bisa mengobati hatiku,” jawab Fio sambil tersenyum.Nadya kemudian menganggukkan kepalanya. “Oke, makanlah sebelum mencair,” katanya.Fio mengangguk. “Terima kasih banyak, sepertinya kamu sudah putus dari Dio,” Fio bicara tanpa menatap Nadya.“Kami masih baik-baik saja!” Nadya dengan cepat membantah ucapan Fio.“Oh, aku pikir kalian sudah putus,” kata Fio dengan santai.“Belum! Kamu doanya jelek sekali, kamu senang kalau kami putus?” tanya Nadya yang merasa kesal.Fio menggelengkan kepalanya. “Kamu tiba-t
Bian menarik tangan Fio sehingga Fio kini sudah menghadap Bian dengan jarak yang sangat dekat. Fio sama sekali tidak mengatakan apapun kepada Bian. Gadis itu hanya menatap pemuda di depannya itu dengan tatapan datarnya.Bian terdiam saat menatap Fio tepat di mata gadis itu. Mata Fio berkaca-kaca dan hal tersebut membuat Bian merasa sangat buruk di depan Fio.Bian menelan salivanya dengan cepat dan meregangkan genggamannya pada pergelangan tangan Fio. “Bisakah kamu memberiku sedikit waktumu?” tanya Bian dengan alis yang sudah turun ke bawah dan Fio tahu bahwa Bian tengah menatapnya dengan penuh penyesalan.“Tidak ada urusan yang penting di antara kita jadi aku rasa kita tidak perlu membahas apapun,” jawab Fio sambil melepaskan tangannya yang sayangnya gagal.“Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum kamu memberikan aku waktu,” kata Bian dengan mata yang menyorot penuh tekad.Fio mengalihkan pandangannya ke arah kiri
“Aku harus bagaimana?” kata Fio kepada dirinya sendiri dengan nada memelas.Dia sedikit mengangkat kepalanya kemudian bangkit berdiri. “Apapun yang akan dikatakan Bian, aku hanya perlu mendengarkannya, kan?” gumam Fio sambil berjalan menuju pintu kamar. “Kalau aku kembali terluka nantinya, aku masih memiliki duniaku yang sama sekali tidak berubah meskipun tanpa Bian,” katanya mantap.Fio meraih gagang pintu dan membukanya. Dia keluar dari kamar dan segera menuju ke dapur untuk mencari mamanya. “Sepi,” gumam Fio.Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri. Fio mengerucutkan bibirnya kala menyadari bahwa hari itu adalah hari dimana mamanya ada acara arisan.“Pasti nanti papa langsung jemput mama,” tebak Fio. “Di rumah sendirian, oke!” Fio menganggukkan kepalanya.Gadis itu menarik kursi yang berada di ruang makan dan duduk disana. Matanya memandangi berbagai hidangan di atas meja
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t