"Radha," ujar Krisna perlahan. "Kau bisa pulang setelah ini. Tapi, untuk saat ini, duduklah. Biarkan aku membuatkan sesuatu untukmu."Radha mendesah panjang. Ia ingin membantah, namun entah kenapa tubuhnya justru mengikutinya lagi. Ia duduk di kursi dapur, mengamati punggung Krisna dari belakang.Krisna bergerak dengan cekatan, seperti seseorang yang sudah terbiasa melakukannya. Tangannya meraih bahan-bahan dari lemari es, kemudian mulai menyiapkan sesuatu. Radha memperhatikan tanpa sadar, merasa aneh dengan situasi ini."Sejak kapan kau bisa memasak?" tanya Radha akhirnya, suaranya terdengar ragu.Krisna meliriknya sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya. "Ada banyak hal tentang aku yang tidak kau tahu, Radha. Sama seperti aku yang tidak pernah benar-benar tahu apa yang kau pikirkan."Radha terdiam mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu bagaimana merespons, jadi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aroma harum mulai memenuhi udara, membu
Pagi menjelang siang, sinar matahari mengintip lembut dari sela-sela pepohonan, mengiringi perjalanan Radha dan Saga dalam mobil menuju vila pribadi milik Saga. Jam di dashboard menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit. Radha bersandar di kursi penumpang, menatap lurus ke jalanan dengan pikiran yang terasa berat. Saga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirik Radha dengan tatapan penuh perhatian. "Kau diam saja sejak tadi," ucap Saga, memecah keheningan. Suaranya tenang, namun penuh rasa ingin tahu. "Kau baik-baik saja, Radha?" Radha menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. "Aku baik, Kak. Maaf, aku hanya sedang memikirkan banyak hal." Saga mengangguk paham. "Aku mengerti. Tapi... jujur saja, aku merasa tidak enak atas apa yang sudah dilakukan Kakek Felix padamu. Keluargaku, sudah terlalu sering membuatmu dalam masalah." Radha menggeleng cepat. "Tidak, Kak. Justru aku yang merepotkanmu. Rasanya aku yang terlalu sering melibatkanmu dalam masalahku." Saga tertawa kecil, nam
Radha duduk di tepi ranjang di salah satu kamar vila milik Saga. Di luar jendela, cahaya bulan menyorot lembut ke permukaan laut yang tenang, tetapi keindahan itu tidak mampu meredakan guncangan di hatinya. Di hadapannya, Nakula terbaring dengan wajah lebam dan sudut bibir pecah. Luka-luka itu adalah bukti kekejaman yang dilakukan oleh Freya, ibu kandungnya sendiri. Dengan hati-hati, Radha merendam kain ke dalam mangkuk berisi air dingin dan menempelkannya ke pipi Nakula. Jemarinya gemetar, bukan karena dinginnya air, tapi karena rasa bersalah yang menyesakkan dada. “Tahan sebentar ya, Nakula. Maaf, aku... benar-benar minta maaf. Ini semua salahku,” ucap Radha dengan suara bergetar. Nakula tersenyum kecil meski wajahnya jelas menahan nyeri. “Kak, jangan minta maaf. Aku yang memilih membantu Kakak.” Radha menatap wajah adik tirinya dengan perasaan pilu. “Tapi dia ibumu, Nakula. Kenapa dia bisa sekejam ini padamu? Kalau dia melakukannya padaku, aku mungkin bisa menerima. Tapi kau...
Malam merangkak pelan di atas vila yang sunyi. Hanya suara angin yang bermain lembut di antara dedaunan, menemani langkah Radha yang baru saja selesai merawat luka Nakula. Hatinya sedikit lega melihat adik tirinya itu tertidur dengan tenang, meski bayang-bayang kejadian tadi masih mengendap di benaknya. Radha melangkah pelan menuju taman belakang, di mana cahaya bulan temaram membasahi rerumputan dengan sinarnya yang redup. Saga duduk sendirian di bangku taman, pandangannya terlempar jauh ke langit yang dihiasi bintang-bintang. Ketika Radha mendekat, Saga menoleh dan menyambutnya dengan senyum samar. "Bagaimana keadaan Nakula?" tanya Saga, suaranya terdengar hangat, namun ada secercah kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Radha duduk di sampingnya, membiarkan malam meresapi keheningan di antara mereka sejenak. "Dia sudah sedikit mendingan. Dan sekarang dia tertidur dengan pulasnya." Saga mengangguk pelan, meski hatinya masih dihantui rasa bersalah. "Seharusnya aku lebih waspada
Pagi itu, cahaya matahari mengintip lembut dari balik jendela ruang makan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, bersanding dengan aroma roti panggang yang masih hangat. Namun, di tengah suasana yang terasa nyaman, Radha duduk diam, menatap kosong ke arah piringnya yang masih kosong. Pikirannya melayang pada percakapan mereka berdua semalam. Di mana ungkapan hati Saga masih terngiang jelas di telinganya. “Aku hanya ingin kau tahu... aku akan selalu ada di sini—di sampingmu. Tidak peduli sebagai apa pun yang kau butuhkan.” kalimat itu kembali terngiang, membuatnya semakin resah. Radha meneguk ludah, merasa canggung setiap kali mengingat kata-kata itu. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa pria yang selama ini ia anggap seperti kakaknya sendiri, ternyata memiliki perasaan lebih. Saga selalu ada untuknya, menjadi tempatnya bersandar di saat sulit. Namun, Radha tak ingin merusak hubungan baik mereka hanya karena perasaannya yang tak bisa ia balas. Jadi, pagi itu, ia memutus
"Tentu, Dok. Terima kasih atas sarannya. Saya pasti akan menjaga istri saya sebaik mungkin.” Dr. Sasmitha tersenyum puas. Sementara Radha, di sisi lain, hanya bisa memandang Saga dengan bingung. Hingga setelah keluar dari ruang pemeriksaan, ia langsung menoleh ke arah pria itu. “Kenapa tadi Kak Saga bilang seperti itu? Dr. Sasmitha mungkin akan salah paham dengan kita berdua,” ujarnya setengah berbisik. Saga terkekeh pelan. “Aku hanya ingin mempercepat proses pemeriksaannya saja. Kalau nanti dia tahu kau datang ke sini bukan bersama suamimu tapi dengan pria lain, malah akan jadi panjang urusannya. Meskipun sebenarnya kau dan Krisna akan segera bercerai. Jadi aku rasa itu tidak masalah, 'kan?” Radha mendesah panjang. “Tapi tetap saja Kak, tolong lain kali jangan lakukan itu lagi. Aku tidak mau ada orang lain yang salah paham dengan hubungan kita." “Baiklah, tidak akan lagi,” jawab Saga sambil tersenyum kecil. "Maaf, ya?" Radha menghela napas panjang dan mengangguk pelan. “Kak, b
Saga langsung bangkit dari kursinya, langkahnya cepat dan mantap menuju arah di mana ia melihat kilatan kamera. Radha dan Clara sempat terdiam, saling pandang dengan kebingungan. “Kak Saga!” panggil Radha, suaranya tertahan. "Tunggu sebentar," jawab Saga singkat. "Aku harus memastikan sesuatu." Sebelum Radha bisa menahannya, Saga sudah berjalan cepat menerobos kerumunan restoran. Clara hanya melirik sekilas, tampak tidak terlalu peduli. Ia kembali menyibukkan diri dengan gelas anggurnya, sementara Radha menatap punggung Saga yang semakin menjauh. Ia melangkah cepat ke antara meja-meja, melintasi pelayan yang membawa nampan, dan menggeser kursi-kursi yang menghalangi jalannya. Matanya menyapu seluruh area restoran, mencari jejak seseorang dengan kamera. Saga akhirnya melihat sesosok pria berjaket hitam dengan topi abu-abu yang tampak terburu-buru menuju pintu keluar. Tanpa pikir panjang, Saga mempercepat langkahnya dan menyusul pria tersebut. Tangan Saga hampir menyentuh bahu pria
Clara menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit menatap Saga dengan tajam. "Tidak hidup di masa lalu, huh? Kau pikir aku bisa melupakan semuanya begitu saja, Saga?" Clara menyilangkan tangan di depan dadanya, nada suaranya naik satu tingkat. Saga mengaduk pelan kopinya yang mulai dingin. "Bukan soal mudah atau tidak, Clara. Tapi kita harus memilih apa yang ingin kita jalani. Dan aku telah memilih untuk melangkah ke depan." Clara tertawa pendek, sarkastik. "Oh, tentu. Kau memilih melangkah ke depan dengan dia, bukan? Wanita itu tampaknya tidak punya latar belakang seperti kita, tidak punya kedudukan yang setara, dan—" "Clara." Saga memotong dengan suara tegas, menatapnya langsung. "Jangan mulai membandingkan dirimu dengan Radha." Clara meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit keras. "Kenapa? Karena kau tahu aku benar? Apa yang dia punya yang aku tidak miliki, Saga?" "Entahlah, mungkin dia bukan tipe wanita yang suka membuat keputusan secara sepihak lalu pergi tanpa penj
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida