“Beraninya wanita cacat itu menghina Grace Shawn. Muncul di tengah pesta dengan tamu undangan dan mengenakan gaun yang sama.”Seluruh mata mereka yang berada di aula pesta tertuju pada Gia Ashborne, wanita cacat yang tengah jadi pusat perhatian hujatan, bahkan tak ragu menghina. Gaun berbahan satin yang menunjukkan lekuk tubuhnya tak bisa menutupi kekurangan pada kakinya. Kemudian mereka memindai pakaian wanita yang jauh lebih cantik di hadapan Gia, Grace Shawn. Bak si kembar yang hadir dengan gaun dan kecantikan sama. Sekilas, tampak sama dan tak ada bedanya. Namun mereka yang mengerti produk mahal, bisa tahu jika yang dikenakan Gia adalah tiruan dan wanita itu tak akan tahu.Pemandangan yang terasa memalukan saat pesta di tempat mewah, mendapati gaun yang dikenakan sama. Celetukan untuk Gia yang semula sudah reda, kini terdengar kembali. Mereka bahkan menatapnya sinis dan menghina. Yang paling menyakitkan bagi Gia bukanlah hinaan dari mereka semua, melainkan sosok lelaki tampan yan
Tanpa menoleh, Gia langsung bangkit dan terus melangkah meninggalkan gedung tempat pesta itu. Sialnya, saat dia melangkah keluar gerimis melanda.“Tak bisakah menunggu hingga aku tiba di rumah,” ucap Gia menaikkan pandangannya, seolah berbicara pada awan yang membawa hujan kecil itu.Sia-sia saja, Gia terus melangkah dengan kaki pincangnya. Setidaknya, kondisi Gia sudah lebih baik. Dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga. Hingga akhirnya Gia tiba di halte. Gia mengistirahatkan tubuhnya, duduk dan berteduh seraya mengatur hati serta perasaannya. Jelas sekali dia menahan diri agar air matanya tak menerobos keluar, tetapi sia-sia saja.“Jangan cengeng, Gia!” perintahnya pada dirinya sendiri.Gia pun menarik napas panjang, hingga akhirnya dia berhasil menguasai dirinya. Tepat setelah air matanya tak menetes, sebuah bus datang. Agar tak kesulitan naik, Gia mengangkat ujung gaunnya dan langsung memilih kursi paling belakang agar tak mengganggu penumpang, berharap mendap
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Ray. Wilson menampar cucunya yang masih mengenakan handuk kimono, hingga rasa kantuk Ray menghilang.Ray bahkan menyeka sudut kanan bibirnya. Terdapat darah segar mengucur dari sana. Perih dan sakit, tetapi masih bisa dia tahan. Wajahnya tetap menunduk tanpa rasa bersalah di hadapan sang kakek.Pintu di belakang tempatnya berdiri terbuka. Grace keluar dengan handuk kimono seperti yang dikenakan Ray. Dia tampak tersentak dan langsung berdiri di samping Ray lalu menunduk.“Ini peringatan terakhir untukmu, Nona! Jika aku masih melihatmu bersama dengan Ray, jangan salahkan aku jika karir modeling yang kamu bangun hancur seketika!” gertak Wilson mengancam pada Grace.Sontak saja Grace terkejut. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna dan refleks menaikkan pandangannya melihat wajah murakanya Wilson. Bibirnya bergetar takut dan cemas. “Kakek!” Ray memekik keras dan memberikan tatapan tak terima pada kakeknya.Tangan lelaki itu lantas merangkul tu
“Tuan, apa tidak sebaiknya mengatakan yang sebenarnya pada Tuan Ray tentang Nona Gia?” Adam—asisten pribadinya Wilson memberikan usul, tetapi Wilson langsung menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan cucunya meninggalkan hotel tanpa ada yang memata-matai, Wilson langsung memilih pulang. Ray yang seorang pewaris harus menjaga imejnya dari kejaran para wartawan berita. “Ray harus bisa menghargai ketulusan dan pengorbanan Gia. Dia harus tahu kalau wanita itu sangat berharga,” ucap Wilson dengan tatapan berat.“Tapi, Grace, semakin berani dan Tuan Ray menjadi semakin tak terkendali,” balas Adam mengutarakan pendapatnya.Wilson hanya terdiam. Pikirannya terasa penuh, hingga dia harus memijat kepalanya. Dadanya bahkan terasa sesak, hingga dia harus menghela napas panjang agar bisa melegakannya.“Tuan, Anda tidak apa-apa?” tanya Adam cemas.“Aku baik-baik saja, Adam!” jawab Wilson tanpa menoleh dan terus memegangi dadanya yang terasa semakin menghimpit jantung.Adam merasakan ponselnya b
Gia menjerit keras. Tubuhnya terasa terbelah dua saat Ray memaksa masuk diikuti tawa puas. Tenaga Gia sudah terkuras habis, lemas dan tak bisa berontak lagi. Sesaat, Ray merasakan ada yang berbeda saat mencoba memaksa masuk ke dalam. Vagina Gia sangat sempit sekali, hingga ia merasakan sensasi yang luar biasa di sana. Tanpa sadar Ray mengerang nikmat, kepemilikannya merasakan kepuasan yang tiada tanding. Air mata Gia terus mengalir dan meringis kesakitan. Ray lantas menjambak rambut Gia seraya menusuk lebih dalam kepemilikannya.“Jangan munafik! Kamu pasti menikmatinya, bukan?” ejek Ray lalu bergerak secara brutal. “Ini yang kamu mau dariku? Sekarang aku memberikannya, Jalang!” Jika tubuh wanita cacat itu senikmat ini, kenapa dia mengabaikannya. Gia bukan hanya pembantu yang diperuntukan baginya, tetapi bisa menjadi budaknya, bukan? Ya, Ray menganggap Gia hanya seorang pembantu di rumahnya, bukan sebagai istri. Itu adalah penghinaan yang tepat, karena Gia sudah memaksanya menikahi
Sebelum Ray menghubungi anak buahnya, ponselnya sudah berdering keras. Nama pemanggil yang muncul di layar membuat jantungnya berpacu cepat. Adam—asisten kepercayaan Wilson. Tentu saja dia cemas, jika Adam atau kakeknya mengetahui Gia pergi dari rumah. Bibirnya bergetar cemas dan takut, hingga suaranya terdengar gagap. Namun, Ray langsung terkejut saat Adam memintanya untuk segera ke rumah sakit.Ray masih terengah-engah ketika langkahnya tiba di depan ruang perawatan intensif di rumah sakit. “Adam, apa yang terjadi?” Ray bertanya panik begitu melihat pria berjas rapi itu berdiri di dekat pintu ruangan.“Bukankah pagi tadi Tuan Wilson memarahiku?” tanya Ray lagi dengan napas tersengal.Adam tak menjawab. Dia hanya membukakan pintu ruangan rawat Wilson. Lelaki tua itu tampak lemas di atas ranjang rawat, tanpa peralatan medis di tubuhnya.“Tuan, cucumu sudah tiba,” ucap Adam melapor.Wilson membuka matanya lemas dan langsung melihat wajah cemas Ray. Meskipun Ray kesal dengan kakeknya,
Sebelum Ray tiba di bandara, anak buahnya Wilson sudah berada di sana. Dia berdiri di tengah keramaian bandara dengan rahang terkatup, matanya menyapu sekeliling seperti elang yang kehilangan mangsa. Ponselnya berdering tanpa henti, laporan dari anak buahnya masuk satu per satu. “Nona Gia tidak ada di penerbangan ke Singapura, Tuan.” “Nona Gia juga tidak naik penerbangan ke Denmark.” Ray mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. “Terus cari! Periksa setiap sudut, kamera pengawas, manifest penerbangan ... semuanya! Jangan biarkan dia lolos!” teriaknya dengan nada tegas yang mencerminkan frustasi. Namun, laporan berikutnya membuat Ray semakin geram. “Tuan, kami sudah memeriksa semua penerbangan yang dipesan atas namanya, tapi ... dia tidak ada di satu pun.” Ray membanting ponsel ke meja logam terdekat seraya memekik keras. Sontak saja beberapa penumpang di sekitar menoleh dengan pandangan khawatir. “Sialan! Dia mempermainkanku!” Ray menarik napas dalam-dalam,
“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi. Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat p
Ray melangkah dengan kesal keluar menuju lobi sekolah. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya berat, dipenuhi rasa frustasi yang menyelimuti pikirannya. Wajah anak kecil tadi terus menghantuinya. Terlalu mirip hingga membuat Ray tak nyaman. Bahkan kembarannya pun sangat mirip sekali."Siapa anak-anak nakal itu?" gumamnya, seraya mengangkat ponsel. Jari-jarinya menggulir cepat mencari nama kontak seseorang tanpa mengurangi laju langkahnya. "Cari tahu soal dua anak kecil yang di stasiun tempo hari itu. Aku ingin semua informasi. Jangan sampai ada yang terlewat!" Ray menutup ponselnya dengan gerakan kasar. Rasa kesal semakin mendidih di dadanya. Padahal dia ke sekolah ini bukan untuk merenungi wajah anak-anak. Tujuannya jelas, mencari Gia. Namun, lagi-lagi keberadaan Gia seperti angin, selalu terasa dekat tetapi tak pernah bisa digenggam.Tanpa sadar, Ray mendahului dengan seorang wanita saat melangkah menuruni lantai lobi menuju pijakan paling dasar. Wan
Kedua bola mata Charlie hampir keluar dari tempatnya saat melihat jelas wajah Ray. Claire yang berada di sampingnya langsung menarik tangannya. “Lari, Charlie!” Tubuh keduanya langsung melesat menerobos kerumunan murid yang lainnya. Keributan dan kekacauan terjadi di sana. Suara teriakan dan kepanikan menggema.“Hei, jangan lari! Dasar kalian, anak-anak nakal!” teriak Ray keras.Kedua netra Ray menyipit mencoba menelusur ke mana arah perginya bocah yang membuatnya kesal. Kedua tangannya mengepal dengan gigi-gigi beradu keras. Mulutnya pun mengumpat kesal. Rencananya terganggu gara-gara kedua anak itu.“Sial, siapa dua bocah nakal itu? Kenapa aku harus bertemu dengan mereka lagi?” gerutunya. “Rencanaku mencari Gia jadi terganggu.”Sementara Charlie dan Claire bersembunyi di balik dinding menuju lorong kelas mereka. Napas keduanya terengah-engah, seraya menyandarkan tubuh mereka ke dinding. Claire mengintip ke arah lobi, memastikan pria itu tak mengejar masuk.“Sepertinya kita sudah se
“Anak-anakmu sekolah di sini, ya?” tanya Bianca mencoba tetap ramah dan lebh dekat.“Benar, Nona. Anak-anakku menyukai sekolah ini,” jawab Gia ramah dan tetap tenang.Sebisa mungkin, Gia menyingkirkan perasaan cemasnya. Namun, dalam dirinya tetap waspada. Dia tak mungkin bersikap acuh dan menjauh, mengingat pertolongannya dulu.Bukan pertolongan, tetapi Claire yang memaksa masuk ke mobilnya Bianca. Hal itulah yang membuat Gia sedikit kesulitan menghindar. Wanita di hadapannya sudah melihat jelas wajahnya dan juga si Kembar.“Sekolah ini memang terbaik. Anakku juga akan sekolah di sini,” ucap Bianca dengan tatapan berbinar. “Semoga saja anak-anak kita bisa satu kelas dan akur. Dengan begitu aku punya teman wali murid,” tambahnya.Gia memaksakan senyumannya. Dia merasakan Bianca seolah terus melangkah maju agar lebih dekat dengannya. Perlahan Gia mencoba menyingkirkan rasa curiga. Mungkin benar yang diucapkan Bianca, setidaknya dia punya teman sesama wali murid. Setidaknya juga, dia ta
“Grace?” gumam Gia pelan sekali dan hanya terdengar olehnya sendiri.Kemudian Gia membuka ponselnya, menyusuri laman berita. Gia mengetikkan nama Grace Shawn di sana. Semua info tentang wanita yang sudah menghancurkan harga dirinya tertera semua di sana.“Jadi, karir Grace hancur saat aku pergi dulu,” gumam Gia lagi. “Sepertinya saat itu, Tuan Wilson menunjukkan ketegasannya pada Grace,” tambahnya menebak.Ponsel Gia berdering pelan, tanda pesan masuk. Segera saja dia membukanya. Pesan dari Grace yang menanyakan tujuannya menelpon.Ga terdiam sejenak. Jika Grace menjual rumahnya, berarti karirnya benar-benar hancur hingga saat ini, tebaknya. Seharusnya dia puas menerima berita ini, tetapi Gia justru ragu dan merasa bersalah.“Ibu, apa yang terjadi?” tanya Claire seraya menarik ujung bajunya.Wajah Claire bahkan terlihat cemas. Sedari tadi si Kembar bertanya saat dirinya terkejut, tetapi Gia tenggelam dalam renungannya. Secepatnya Gia mengukir senyuman tipis, menyembunyikan perasaannya
“Fred! Cari lebih banyak informasi yang akurat!” Perintah Ray tegas. Rasa tak percaya bercampur dengan gelisah serta tak tenang. Berbagai tanya memenuhi isi pikirannya.Sepanjang jalan menuju kantornya, fokus Ray tertuju pada benda pipih di tangannya. Dia menjeda putaran video di sana dan memperbesarnya agar bisa melihat lebih jelas. Selama beberapa kali dia melakukannya, tetapi tak kunjung menemukan jawaban.“Fred, munginkah dokter bisa salah memberikan vonis?” tanya Ray mencoba mencari jawaban dari semua pertanyaan dalam benaknya.“Itu sangat mungkin sekali, Tuan. Apa lagi kemajuan teknologi medis sudah semakin berkembang. Bisa saja selama ini Nona Gia menjalani pengobatan atau operasi agar dia bisa berjalan lagi,” jawab Fred mendukung.Ray mengangguk. Jawaban Fred memang lebih masuk akal. Namun, masih banyak pertanyaan yang tak bisa ia pecahkan. “Bagaimana dengan dua anak kecil ini? Jika benar mereka anaknya Gia, mungkinkah aku ayahnya?”Pikiran Ray menerawang mundur ke belakang
Napas Gia langsung saat menyadari pengendara mobil itu bukan sesuai dugaannya. Tanpa banyak berpikir, Gia menarik koper besarnya dan memastikan si Kembar untuk bergegas pergi. Dia memberhentikan sebuah taksi sebelum bergegas pergi.“Ibu kita akan ke mana lagi?” tanya Claire menyadari wajah ibunya masih tampak cemas.Gia terdiam sejenak. Kemudian dia menatap wajah keduanya, terlihat lemas dan lelah. “Ibu akan pikirkan nanti. Lebih baik kita cari kedai makanan ... kalian pasti lapar, ‘kan?” tanyanya dan langsung dijawab anggukan senang dari si Kembar.“Kalian mau makan apa?” “Apa saja, Bu. Aku sudah lapar sekali,” jawab Charlie seraya meraba perutnya.Claire hanya mengangguk setuju. Gia pun meminta sopir taksi itu berhenti di salah satu restoran sederhana setelah yakin menjauh dari tempat tadi. Setelah perut kedua anaknya terisi, Gia yakin bisa berpikir dengan tenang dan mencari tempat yang aman, tanpa gangguan dari mana pun.Menyadari banyaknya yang datang saat di sekolah, Gia sadar y
“Tuan, saya menerima laporan keberadaan Nona Gia dari salah satu agen penjualan rumah,” seru Fred menyambut kehadiran Ray yang baru saja keluar dari kafe.“Bagus. Cepat ke sana!” titah Ray langsung.Fred langsung membuka pintu mobil untuk Ray, lalu berlari cepat ke seberangnya ikut naik dan memberi perintah pada si sopir setelah mengatakan alamat yang dituju. Wajah Ray tampak tak sabar. Namun terdapat raut gelisah, cemas akan kehilangan Gia lagi.“Sepertinya yang Anda katakan memang benar, Tuan,” ucap Fred mengalihkan rasa cemasnya Ray. “Sinyal lokasi yang diterima tim IT adalah palsu. Banyak yang tertipu oleh Nona Gia. Bahkan Tuan Daniel pun mengejar ke sana,” tambahnya.Ray tersenyum penuh arti. Dia lantas menoleh pada asisten pribadinya. Fred menunjukkan wajah kagum dan merasa bersalah padanya.“Anda memang penuh perhitungan, Tuan. Maafkan saya jika terkesan meragukanmu,” kata Fred menyadari arti lirikan tuannya.“Tak masalah. Setelah ini kamu pasti harus belajar dari kesalahanmu,
“Fred, sebar informasi ke semua agen penjualan rumah, sewa rumah, penginapan, hotel, hingga motel ... katakan kalau mereka melihat Gia untuk segera melapor! Berikan imbalan yang besar dan sertakan foto Gia,” titah Ray dengan suara tegas dan lugas. “Baik, Tuan. Akan segera saya atur.” Fred mengangguk cepat, lalu mengeluarkan ponselnya dan segera menuruti perintah tuannya.Ray bersandar di kursinya, menarik napas dalam-dalam. Dia tidak lagi percaya pada tim IT-nya, tidak setelah mereka memberikan sinyal lokasi palsu dua kali berturut-turut. Gia lebih cerdas daripada yang diperkirakan siapa pun, dan Ray tahu itu.Kemudian Ray merapikan jas formalnya, memastikan penampilannya terlihat berwibawa. Kendaraan yang ditumpanginya sudah berhenti dan terparkir di depan kafe. Ya, dia sudah membuat janji dengan Bianca.“Tuan, semua agen sudah diberi informasi. Hadiah 100 ribu dolar sudah cukup untuk memotivasi mereka. Kita akan segera menerima laporan jika ada yang melihat Gia.” Fred melapor sebe
Gia terdiam seribu bahasa. Ia menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya. Akal dan pikirannya bekerja lebih cemas, mencari jawaban yang menurutnya paling tepat. Sebuah jawaban yang tak akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Gia tersenyum tipis setelah yakin menemukan jawaban yang menurutnya tepat. Dia lantas menggenggam tangan mungil Claire. Gadis kecil tampaknya yang paling penasaran dibandingkan Charlie.“Kamu pasti penasaran tentang siapa ayahmu, ya?” Suara Gia terdengar lembut dan penuh perhatian.“Aku juga penasaran,” seru Charlie, seakan tak ingin diabaikan.Gia pun menoleh dan memberikan senyuman hangat pada keduanya. Dia meraih tangan mungil Charlie dan menumpangkannya di atas tangannya serta Claire. “Baiklah, Ibu akan menceritakan tentang ayah kalian, tetapi setelah ini ... kalian harus berjanji, jangan mencoba mencari tahu tentangnya dan ikuti semua perintahku. Mengerti!” ujarnya tegas.Keduanya mengangguk setuju. Gia menghela napas panjang nan berat. Ada pera