Alasannya bukan karena Clara memakai baju tahanan atau tidak memakai riasan, tetapi pandangan Clara terlihat tajam. Dulu, Satya tidak pernah melihat pandangan ini di mata Clara. Satya berkomentar seraya menatap Clara, "Kamu banyak berubah."Clara duduk di seberang Satya. Dia mengamati Satya yang tampak pucat karena terluka, lalu tersenyum sinis dan menanggapi, "Clara yang dulu sudah mati waktu di Hastama. Kamu yang membuatku berubah menjadi seperti sekarang ini. Kamu juga yang mencelakai Davin dan istrinya.""Kamu membenciku?" tanya Satya.Clara menyahut, "Iya. Aku memang membencimu."Satya mendengus, lalu menyalakan sebatang rokok. Dia berkata, "Aku hampir mati ditusuk olehmu. Masa kamu nggak menanyakan lukaku? Apa aku kesakitan waktu malam ...."Clara menyela, "Aku cuma mau menanyakan satu hal, kenapa kamu nggak mati?"Ekspresi Satya menjadi muram. Dia adalah orang yang temperamental. Jika orang lain yang melontarkan ucapan seperti ini, Satya pasti akan langsung menghabisi orang itu.
Sekujur tubuh Clara gemetaran. Dia tahu Satya sengaja mempermalukannya. Dia menengadah sedikit, lalu tersenyum dingin dan membalas, "Itu hanya reaksi tubuh yang wajar. Kalau pria lain yang melakukannya, hasilnya juga akan seperti itu. Satya, jangan-jangan kamu mengira aku menyukaimu?""Masa?" Satya menggigit pelan telinga Clara sambil bergumam dengan mesra. Saat berikutnya, dia menahan Clara di atas meja.Satya menatap Clara lekat-lekat, lalu mengangkat tangan untuk mengendalikannya. Di ruangan yang sempit ini, dia terus menjamah tubuh Clara.Satya telah bermain dengan banyak wanita sehingga mengenal baik tubuh mereka. Wanita suci sekalipun akan mendesah saat diperlakukan seperti ini.Clara berbaring di atas meja dengan rambut tergerai. Wajah putihnya dipenuhi butiran keringat. Dia mengeluarkan desahan yang terdengar serak dan enggan.Satya mengamati ekspresinya, lalu mendekati telinganya dan terkekeh-kekeh. Dia bertanya, "Katamu pria mana pun sama saja? Pria lain juga bisa membuatmu m
Makin memikirkannya, tatapan Satya menjadi tidak fokus, bahkan berkaca-kaca. Dia tidak yakin apakah dirinya merasa menyesal atau sejak kapan penyesalan seperti ini muncul. Dia hanya tahu bahwa kehidupannya akan suram tanpa Clara. Dia hanya akan merasa sakit memikirkan pembalasan dendam yang pernah dilakukannya.Sejam kemudian, Satya kembali ke rumah sakit. Setelah dokter membantunya membalut luka, Gracia masuk dengan menggendong Alaia. Bayi itu terus menangis karena berada di lingkungan asing.Gracia menggendong sembari membujuk Alaia. Kemudian, dia berkata, "Dia nggak terbiasa dengan tempat ini. Pak, gimana kalau membawanya pulang? Bi Aida merawatnya dengan baik. Dia baru tiba di Jermeni beberapa hari, tapi jadi kurus begini."Tangisan Alaia sangat kencang, seolah-olah merespons ucapan Gracia. Satya menjulurkan tangannya. Gracia ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkan Alaia ke pelukan Satya.Anehnya, tangisan Alaia langsung berhenti. Bayi ini menatap wajah Satya dengan penasaran, lalu m
"Satya, aku pernah membayangkan masa depanku denganmu. Aku juga pernah berharap kita bisa bersama untuk selamanya. Tapi, harapan itu menjadi sangat konyol sekarang. Bagaimanapun, kamu punya kekuasaan. Aku terlihat sangat lemah di hadapanmu.""Itu sebabnya, aku hanya bisa memanfaatkan tubuhku. Kalau nasibku baik, kamu akan merasa iba padaku dan berhenti bertindak semena-mena. Kalau nasibku buruk, paling-paling aku mati. Aku tahu semua ini, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku nggak punya harga diri lagi. Sejak bertemu denganmu, aku nggak bisa lolos darimu lagi."Setelah berjeda, Clara menambahkan dengan sedih, "Satya, sebaiknya kita buat kesepakatan. Kalau kamu mengembalikan Alaia kepadaku, aku akan mengubah pengakuanku dan menjadi istrimu. Aku akan membawa Alaia pulang dan nggak akan mengganggumu berpacaran dengan Benira.""Aku juga bisa membantunya membersihkan nama baiknya. Kalau kamu ingin menikah dengannya, aku bahkan bisa menandatangani surat cerai kapan saja. Tapi, aku nggak ingin m
Clara meronta-ronta sekuat tenaga. Dia memandang Satya dengan tidak percaya. Dia baru tahu bahwa Satya segila ini.Jemari Satya yang ramping menyentuh bibir ranum Clara. Dia memainkannya dengan pelan sampai akhirnya Clara tenang dan berhasrat karenanya.Satya memandang tubuh indah Clara. Dia juga berhasrat, tetapi terdengar sangat datar saat berkata, "Clara, kamu nggak akan dipenjara kalau hamil. Kamu menyukai Alaia, 'kan? Kalau begitu, kita buat anak perempuan supaya kamu melupakannya. Aku bisa mengirimnya ke keluarga baik-baik dan memberi mereka sejumlah uang."Clara mencoba untuk melawan lagi. Dia menangis dan berteriak dengan histeris, "Satya, kamu sudah gila!"Sebenarnya Satya tidak gila, melainkan berhati kejam. Tidak peduli bagaimana Clara melawan, Satya tetap tidak melepaskannya. Satya melucuti semua pakaian Clara, lalu menjamah tubuhnya di ruangan sempit ini.Clara yang tidak berhasrat pun menjadi berhasrat karenanya. Satya menekan dagu Clara sambil terus menciumnya. Tatapanny
Terlihat sebuah tespek di atas seprai. Clara terdiam cukup lama. Sementara itu, Satya bersandar di ujung ranjang sambil merokok. Dia menatap Clara lekat-lekat dan bertanya, "Kenapa? Kamu mau aku membantumu? Aku nggak keberatan kok."Clara menarik napas dalam-dalam. Dia tahu betapa kejam dan gilanya pria ini. Pada akhirnya, dia pun tidak melawan dan pergi ke toilet. Dia sudah pernah melahirkan sehingga familier dengan hal seperti ini.Sekitar 2 menit kemudian, terlihat 2 garis merah yang berangsur muncul pada tespek itu. Dia benar-benar hamil!Meskipun sudah membuat persiapan, Clara tetap terkejut dengan hasil ini. Dia begitu membenci pria itu, tetapi malah mengandung anaknya. Sungguh suatu penghinaan besar.Satya mendorong pintu dan melangkah masuk. Tubuh pria ini tinggi dan tegap sehingga ruang dalam toilet seketika menjadi sempit. Clara ingin menghindar, tetapi Satya tidak mengizinkannya.Satya pun merangkul pinggang Clara, lalu mengambil tespek itu. Sesudah menatap sekitar 10 detik,
Sesaat kemudian, Satya meraih tangan Clara sambil berkata, "Aku membeli apartemen baru. Kita akan tinggal di sana untuk sementara waktu ini. Setelah anak kita lahir, kita baru pulang. Kalau kamu mau tinggal di vila, aku bisa menyuruh Gracia membelinya. Tapi, kamu harus tunggu beberapa hari."Clara tahu bahwa Satya memilih untuk tinggal di Jermeni karena Benira. Dia sangat penasaran Satya berutang apa kepada Benira, sampai-sampai bisa menoleransi wanita yang ingin mencelakai Joe.Clara mengepalkan tangannya memikirkan semua ini. Sejam kemudian, mobil hitam itu pelan-pelan berhenti di depan sebuah apartemen.Satya turun duluan, lalu hendak memapah Clara. Namun, Clara menolak dengan nada datar, "Nggak perlu, aku bisa sendiri kok."Penolakan Clara ini seketika merusak suasana hati Satya. Hanya saja, dia tidak mengatakan apa pun karena ingin membuat Clara senang.Setelah tiba di lantai 3, Satya membuka pintu apartemen mereka. Dia menoleh menatap Clara untuk bertanya dengan lembut, "Gimana?
Satya tidak menerima panggilan. Dia menolak panggilan itu, lalu berkata dengan santai, "Gracia yang meneleponku. Kinerjanya makin menurun saja. Padahal dia tahu kamu baru bebas."Clara membatin, 'Pria memang pintar berbohong saat selingkuh. Sementara itu, wanita hanya bisa menjadi detektif untuk mengungkap kebohongan.'Meskipun begitu, Clara tidak melontarkan isi pikirannya. Dia berucap, "Pekerjaan jauh lebih penting, angkat saja teleponnya."Ucapan Clara ini seolah-olah adalah pengampunan untuk Satya. Saat ini, hasrat Satya telah mereda. Dia berdeham dan menyahut dengan nada agak bersalah, "Aku pergi ke ruang kerjaku dulu."Clara hanya tersenyum tipis. Sesudah Satya pergi, Clara merapikan pakaiannya dan membuka pintu untuk pergi ke ruang tamu.Pelayan sedang menyuapi Alaia minum susu. Clara baru sadar bahwa mereka adalah pelayan dari Hastama yang merawat Joe dulu.Begitu melihat Clara, mereka pun menyapa dengan hormat, "Nyonya."Para pelayan ini terus berada di Hastama sehingga tidak