Dareen menahan amarahnya, matanya memerah, hidungnya sudah kembang kempis dengan napas yang terengah-engah. Ia merasakan suatu kemarahan yang berbeda saat mendengar cerita Zoya.
Bagaimana bisa? Pikir Dareen dalam hati. Bagaimana mungkin ia merasa marah saat ia mendengar cerita gadis bodoh yang berstatus sebagai pembantu kontraknya itu, yang terdengar begitu menyedihkan. Tapi itulah kenyataannya, Dareen memang benar-benar marah. Ia marah dan geram karena hanya ia lah yang boleh memperlakukan Zoya dengan sesuka hati. Menyakitinya, merendahkan statusnya, menghinanya, dan hal hal yang menyakitkan lainnya, hanya ia lah yang boleh melakukan semua itu terhadap Zoya. Dan itu sama sekali tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Karena yang sudah menjadi milik Dareen Danendra, tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Termasuk menyiksa Zoya. Karena Zoya adalah miliknya, dalam artian Zoya adalah pembantu nya, selama kontrak masih berlangsung.
"Kenapa anda terlihat sangat marah tuan
"Ja-ja-jangan mendekat! Mau apa kau mendekatiku," ketakutan, Zoya sudah merasa sangat ketakutan, saat El terus berjalan mendekat, di tambah dengan wajah datarnya, yang semakin membuat Zoya takut.Tidak ada jawaban. El terus mendekat hingga-Hap!Tas di tangan Zoya dalam waktu sekejap mata sudah berada di tangan El. Pria itu benar-benar melakukannya dengan waktu yang amat cepat. Bagaimana bisa? Pikir Zoya, ia tak habis pikir. Cepat sekali dia, dia juga kuat. Karena Zoya memegang tas nya erat. Namun dalam waktu sekejap mata, bisa merebutnya, dan kini sudah berada di tangannya."Berikan tas ku?" ujar Zoya, sambil melompat-lompat untuk mendapatkan tas nya, karena El mengangkatnya tinggi."Tidak mau!" ketus El, "jika kau bisa. Maka ambil saja tas mu ini dari tanganku," lanjut El dengan terus mengangkat lebih tinggi tas Zoya."Kenapa kau melakukannya hah?" tanya Zoya
"Apa?" Zoya terkejut, pantas saja ekspresi wajah Dareen begitu menyebalkan. Jadi ini alasannya! Pikir Zoya."Lima menit lagi, sudah masuk pukul lima sore. Kau dengar?" El mengulanginya lagi. Lagi dan lagi."Mati aku!" Zoya menepuk jidatnya sendiri. Ek tersenyum sinis, dan Dareen tersenyum puas. Itu sudah pasti."Kenapa nona babu?" Dareen menampakkan raut wajah puas dan mengejek. Sudah pasti dia sangat senang dengan situasi yang sedang Zoya alami saat ini. Bagaimana tidak! Dareen menyuruhnya untuk datang ke rumah besar, tepat pukul 17.00 tidak lebih dan tidak kurang. Lalu sekarang, bagaimana caranya agar Zoya bisa sampai ke rumah besar milik Dareen dalam kurun waktu lima menit saja, "kau baru teringat sesuatu?" lanjut Dareen sambil menyunggingkan sebelah bibirnya ke atas.Zoya tampak bingung, ia gelisah, "dalam waktu lima menit. Harusnya aku tidak meladeni dia tadi. Tadi aku masih punya waktu li
"Kita pergi sekarang El!" ujar Dareen yang bangkit dari duduknya."Tentu Tuan!" balas El."Kau, nona babu!" tunjuk Dareen pada Zoya."Saya?""Jariku menunjuk mu. Jika bukan kepada mu, lalu jariku ini tidak mungkin menunjuk mu bukan?" mengatakan sesuatu yang sulit untuk di artikan. Membuat Zoya kesal, "tinggal bilang iya saja apa susahnya sih? Kenapa harus berbicara berputar dan berbelutberbel seperti itu. Membuat bingung saja," batin Zoya."Hah! Anda benar tuan! Maafkan kebodohan dan ketidaktahuan saya," menyerah saja, memang apa yang sekarang bisa aku lakukan. Sudah untung aku bisa lolos dari pukul 17.00 tepat."Syukurlah, kalau kau mengakui jika kau memang sangat bodoh dan payah!" Dareen mengatakannya dengan sangat puas. Dan El merasa senang dan puas, saat wajah tuannya terlihat senang dan puas.Duarrr"Payah! Kenapa aku ha
"Eh, apa dia bersedih? Apa dia baru saja menangis? Kenapa? Aku bahkan belum menyiksa atau memarahinya sama sekali!" batin Dareen yang sedikit terusik."Apa Tuan? Apa yang harus saya lakukan?" ulang Zoya dengan nada yang terdengar lemas, tak bertenaga sama sekali, membuat Dareen dan El yang mendengarnya sedikit kebingungan, tidak biasanya dia menjawab dengan nada terdengar malas seperti itu. Pikir keduanya."Kenapa kau masih bertanya. Siapkan makan malam untukku!" perintah Dareen, "tapi sebelum itu, siapkan dulu air hangat untukku mandi," lanjut Dareen dan Zoya hanya menganggukkan kepalanya pelan."Permisi Eyang, Zoya masuk dulu ke dalam," dengan nada lemah dan lembut, Zoya berujar pada Murti, yang di sambut dengan senyuman manis Murti.Zoya berjalan gontai, semangatnya pun mulai memudar. Pikirannya melayang entah kemana."Kenapa dengan bocah itu? Menyebalkan. Apa ini adalah aksi
Saat Dareen memanggil dan menyuruhku untuk membuatkannya makan malam, lalu ia kembali memanggilku lagi untuk mengambilkan sandalnya terlebih dahulu. Aku mengiyakan semuanya. Namun, pikiranku melayang entah kemana. Hatiku sangat sakit saat melihat kedekatan antara Dareen dan eyangnya. Bagaimana aku tidak sakit? Aku bahkan tidak pernah diperlakukan sedemikian rupa oleh ayah dan ibu, bahkan aku dan Mayra begitu jauh. Kami tinggal di satu atap yang sama, namun seolah tak saling mengenal satu sama lain.Ibu dan ayah memperlakukanku berbeda dari adikku sendiri yaitu Mayra. Mayra selalu mendapatkan keistimewaan, pujian, manjaan, semua yang ia inginkan sebisa mungkin ibu dan ayah selalu menurutinya. Sedangkan aku, uang sekolah ku saja, aku sendiri yang membiayai. Bagaimana aku tidak merasa di bedakan. Jelas sekali perlakuan ayah dan ibu memang berbeda.Mereka menyayangi Mayra, sedangkan padaku, mereka memperlakukan ku dengan buruk. Layak
"Kamu tidak mendengarkan ucapan Eyang Dareen?" Murti terus menatap Dareen dengan tatapan sinis, menunggu jawaban dari cucu laki-laki kesayangannya."Apa Eyang? Selama ini Dareen selalu mendengarkan semua ucapan Eyang. Tidak ada satu pun ucapan Eyang yang Dareen abaikan. Tapi kalau yang satu ini. Maaf Eyang, Dareen tidak bisa melakukannya," ujar Dareen yang masih memandang rendah Zoya, "jika Dareen meminta maaf kepada bocah miskin ini. Itu sama artinya dengan Dareen menjatuhkan harga diri Dareen sendiri," ucapan Dareen menghunus hati Murti. Bagaimana mungkin, cucunya sendiri bisa berpikiran sempit seperti itu. Murti benar-benar tidak mengerti dan tidak habis pikir dengan jalan pikiran Dareen."Dareen?""Sudahlah Eyang. Percuma saja Eyang memaksa Dareen, karena sampai kapan pun, Dareen tidak akan pernah meminta maaf kepada bocah babu ini!" tunjuk Dareen pada Zoya, yang kini tengah tertunduk lesu, dengan bendungan air
"Eyang? Apa Zoya terlalu lancang karena meminta pelukan dari eyang. Majikan Zoya sendiri," ujar Zoya begitu lirih, di tengah-tengah pelukan hangatnya, "Zoya hanya seorang pembantu. Derajat Zoya lebih rendah jika di bandingkan dengan Eyang," lanjut Zoya."Tidak apa Zoya. Zoya boleh memeluk Eyang mapan pun Zoya mau," balas Murti lembut, begitu meluluhkan hati gadis muda itu, "dan Zoya jangan berpikir seperti itu. Derajat manusia di mata Tuhan sama. Tidak ada di kaya dan si miskin. Tidak ada majikan dan pembantu. Semuanya sama, tidak ada yang berbeda. Yang ada hanyalah, perbedaan takdir. Bagaimana kita menjalaninya. Bagaimana kita mensyukurinya."Zoya menganggukkan kepalanya, selama ini, tidak pernah satu pun dari orang tua Zoya yang mau menasehati Zoya dengan cara yang benar, dengan cara yang baik. Hanya kekerasan dan siksaan, disaat Zoya melakukan kesalahan, "Tapi tidak untuk yang satu ini Eyang. Pelukan! Zoya sudah mengatakannya, hanya
"Biar aku yang memeriksanya, kau berkata jujur atau tidak! Karena kalau kau berbohong kepada diriku. Kau tentu sudah tahu apa resikonya nanti!" tatapan tajam Dareen layangkan untuk El, yang seketika itu juga El menelan ludahnya dengan susah payah, hingga mencapai kerongkongannya."Mati aku! Kenapa aku tidak berkata jujur saja," batin El yang kini di selimuti rasa bersalah dan takut. Tidak pernah sebelumnya, El berkata bohong kepada Dareen. Tapi kali ini, malam ini dan di tempat ini. Hanya karena tidak ingin Dareen mengetahui perasaannya yang sebenarnya. El melupakan prinsipnya untuk tidak berkata bohong.Dareen sudah mendekat, dan ia semakin penasaran. Apa sih, yang sedang El perhatikan. Pikir Dareen."Tuan?" El memanggil, namun Dareen tidak memperdulikannya."Minggir!" dalam satu ucapan dan sekali gerakan tangan, El melangkah ke samping, menghindari Dareen yang terus melangkah dengan mata yang tertu
Harapan dan doa yang buruk dari orang yang buruk pula hatinya, tak mampu membuat doa yang ia panjatkan menjadi kenyataan. Setelah Daren berhasil menemukan sumber air yang membuat lelah dan dahaganya seketika hilang, Daren memberikan Zoya sebuah air yang ia bawa dengan tangannya sendiri.Sedikit demi sedikit. Walau berceceran dan selalu sedikit yang tersisa untuk di berikan kepada Zoya. Namun, Daren telah berhasil membuat Zoya sadar dari pingsannya yang cukup lama.'Uhuk! Uhuk!'Suara yang keluar dari tenggorokan Zoya, membuat Daren senang bukan main. "Kau sadar, Zoya?!" tanya Daren saat Zoya terbatuk. Matanya masih belum terbuka. Namun Daren sudah tak sabar untuk mengeluarkan suara dan bertanya bagaimana keadaannya.'Uhuk! Uhuk!'Zoya masih terbatuk.Daren menepuk-nepuk punggung Zoya sambil mengelusnya perlahan. "Kau tidak apa?" tanya Daren. "Ayolah, jawab aku. Aku begitu mengkhawatirkan dirimu!" lanjutnya berucap.Perlahan-lahan, kesadaran Zoya mulai kembali. Matanya pun mulai ter
Jatuh dan tergelincir, sudah tidak Daren rasakan lagi betapa kaget dan sakitnya seluruh badan. Demi bisa sampai ke tempat tujuan, Daren memaksakan diri menyusuri jalanan menurun yang akan membawanya ke tepian sungai."Jika bukan karena dahagaku, aku tidak akan mau berjalan sambil menggendong gadis ini. Walau dia tidak berat, tapi dia cukup menyusahkan langkahku," gerutunya setelah ia terjatuh dan bangkit lagi dengan tangannya sendiri.Daren mengeluh, ia menggerutu. Namun, hanya di mulut saja. Hatinya benar-benar ikhlas melakukan itu semua, demi dahaganya yang harus segera di aliri air, juga demi kesadaran Zoya. Tanah dan lumpur mengotori hampir seluruh tubuh Daren. Seakan tak ingin tertinggal, wajahnya pun ikut merasakan bagaimana rasanya terkena lumpur saat Daren mengusap keringat yang bercucuran dari kening hingga ke pipinya.Daren tak peduli, setelah ketemu sungai nanti, ia sudah berjanji akan membersihkan diri. "Hei, apa kau tidak kasihan padaku? Lihat aku, aku kelelahan. Aku k
"El! El! Dimana kau? Cepat bantu aku!" teriak Daren saat ia dengan susah payah sudah berhasil melewati jurang curam yang membuat Zoya terjatuh dan tak sadarkan diri, dengan melewati dan mencari jalan lain.Tidak ada tanggapan dan jawaban dari sosok yang Daren panggil. Matahari sudah mulai meninggi, Daren mulai dehidrasi, apalagi dengan gadis yang ada di pangkuannya saat ini, sudah pasti, kondisi gadis itu jauh lebih buruk dari kondisi Daren yang masih bisa mengangkat beban tubuh Zoya. "Bertahanlah! Kau pasti bisa!" ucap Daren menyemangati Zoya yang masih tak sadarkan diri. Perjalanan cukup jauh, hingga saat ini, Daren baru menemukan jalan di mana ia dan El berpisah subuh tadi."El...." teriak Daren kembali. Kali ini, teriakannya begitu nyaring, hingga tenggorokan Daren terasa kering. "El...." Jika kali ini El tidak mendengar teriakan Daren. Maka sudahlah, jangan harapkan Daren bisa berteriak kembali, karena kerongkongannya setelah berteriak, kini terasa benar-benar kering."Ah, ten
"Uh..., Kalajengking sialan!" umpat Daren saat dirinya sudah berhasil menuruni tanah yang terjal tersebut. Dilihatnya tangannya sendiri yang terasa sangat perih dan gatal. Dan ternyata, tangannya membengkak dan memerah. Mungkin, itu adalah efek dari gigitan kalajengking tadi.Kembali Daren memfokuskan dirinya pada pencariannya pada Zoya yang sampai saat ini masih belum ia temukan."Zoya..." Teriak Daren begitu kencang dan menggelegar. Hingga para hewan kecil keluar dari persembunyiannya."Hei Zoya! Dimana kau gadis bodoh?" Teriaknya lagi dan masih belum mendapatkan jawaban. Lalu, pandangannya tertuju pada sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya dengan tubuh penuh tanah dan luka.Zoya, gadis itu terkapar diantara pohon beringin besar dan daun daun yang sudah mengering."Zoya!" Secepat kilat Daren menghampiri Zoya yang tengah terkapar tak sadarkan diri.
Doa kembali Zoya panjatkan pada Tuhan, sang pencipta alam dan segala isinya. Ia berdoa agar siapapun bisa menemukannya dengan segera. Kakinya sudah tak mampu lagi menopang tubuh, di tambah dengan tangannya yang ternyata masih mengeluarkan sisa-sisa darah dari injakan kaki Mayra tadi. "Ya Tuhan, aku mohon... Siapapun tolong aku. Aku akan menikahinya jika dia adalah seorang laki-laki. Tapi, setelah aku lulus sekolah. Dan akan aku jadikan dia saudara, jika dia adalah seorang perempuan," ujar Zoya pasrah. Gadis itu membuat janji dengan Tuhan sesuka hatinya, tanpa memikirkan bagaimana nasib kedepannya. Tentang masa depannya, tentang bagaimana menjalaninya. Akankah ada yang akan datang membantunya atau bahkan tidak. Mengingat ini adalah hutan, dan Zoya hanya sendirian di sana. "Tapi, apakah yang menolongku itu akan mau, jika yang akan dinikahinya atau di jadikan saudaranya adalah seorang gadis miskin yang waj
"Apa kubilang El! Kau memang bodoh! Kenapa kau melarang ku menyusul mereka tadi hah!" Daren geram. Di cengkeramnya kerah baju El dengan sangat kuat, hingga buku-buku tangan Daren terlihat memutih, saking geramnya. "Maafkan saya Tuan!" tunduk El. El sama sekali tidak berani menegakkan kepalanya, apalagi menatap mata Daren, atas apa yang El katakan padanya. "Maaf kau bilang? Beraninya kau meminta maaf setelah mengabaikan perasaanku tadi," dihempaskan pula dengan kencang baju El. Pria tampan berambut hitam pekat itu seketika terbatuk, saat Daren melepaskan cengkraman tangannya. "Apa dengan meminta maaf, semua akan kembali?" Sedangkan Delia dan Delina, serta Gio dan teman sekelompoknya. Mereka semua berdiam mematung setelah menceritakan jika Zoya menghilang dan terpisah dari rombongan. Apalagi saat melihat reaksi Daren yang ternyata di luar dugaan. Sangat marah saat mengetahuinya. Mereka semua tidak ada yang bera
"Eh, apa ada yang melihat kak Zoya?" tanya Delia yang baru saja menyadari jika Zoya sedari tadi tidak bersamanya. Semua orang memandang ke arah Delia. Lalu saling pandang satu sama lain. "Bukankah Zoya selalu bersama Anda, Nona?" ujar Gio membalikkan pertanyaan pada Delia. Delia menggeleng, "memang! Tapi setelah teriakan itu, aku langsung berlari mengikuti kalian, dan melepaskan peganganku dari tangan kak Zoya," jawab Delia sedikit gemetar. Lalu ia alihkan pandangannya pada Delina yang nampak acuh tak acuh dengan ketidakadaannya Zoya di dalam rombongan mereka. "Kenapa kau melihatku?" tanya Delina sinis, "aku memang tidak menyukainya. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku juga tidak tahu kalau dia tidak bersama kita!" sambungnya dengan penuh penekanan. Dan Delina berkata jujur apa adanya. Tanpa ada yang dia sembunyikan. "Bagaimana ini kak Gio, kak Andi?" reng
Zoya berjalan mundur beberapa langkah, "jangan kau pikir aku ini bodoh Mayra! Apa yang kau rencanakan padaku hah?" tanya Zoya tanpa basa-basi. Mayra tertawa, sedang Zoya mengerutkan keningnya. "Kenapa kak? Apa kau takut kakak!" tanya Mayra dengan menekankan perkataannya. Membuat Zoya yakni jika Mayra memang sedang merencanakan sesuatu yang buruk padanya. "Ma-mau apa kau Mayra?" tanya Zoya bergetar. Mayra terus berjalan perlahan mendekatinya. Semakin dekat, dan terus mendekat. Sedangkan Zoya, gadis itu juga terus berjalan mundur menjauhi Mayra. Nyali Zoya semakin menciut kala melihat wajah Mayra yang terlihat seperti seorang pembunuh kala mengeluarkan tawanya. Walaupun Zoya tau, jika Mayra adalah adiknya sendiri. Tapi kenapa? Kenapa Mayra ingin berbuat jahat padanya? Pikir Zoya. "Ak-aku mohon Mayra! Apa yang akan kau lakukan padaku? Aku ini kakakmu, kau adikku. Kita ini bersaudara Mayra!" ujar
"Kau gila El! Kenapa aku tidak boleh ikut bersama mereka hah?" ungkap Daren setelah kepergian para anggota perkemahan. "Karena mereka akan merasa tidak nyaman saat bersama Anda Tuan!" jawab El tanpa basa-basi. Tuannya itu sedari tadi terus mengomelinya karena El tidak menyarankannya untuk mengikuti mereka. "Ah!" Daren frustasi. Pria tampan penuh kharismatik itu menjambak rambutnya sendiri karena kesal dengan jawaban El. *** "Kak Zoya? Aku takut!" rengek Delia sambil menggandeng lengan Zoya erat. "Tenanglah Nona. Tidak akan ada apa-apa di sini!" ujar Zoya menenangkan. Gadis itupun akhirnya sedikit lebih tenang. Walaupun tangannya masih enggan untuk melepaskan lengan Zoya. Menempel terus seperti lem. "Delia, kenapa kau terus menempel padanya?" tanya Delina dengan nada kesal. Namun, yang di tanya terlihat enggan untuk menjawab