“Capek?” Dia tersenyum nakal, seolah merespons pertanyaan yang tadi kuberikan. “Jetlag nggak seberapa. Yang penting, aku sudah di sini. Sama kamu.”Kata-katanya membuatku tersadar dari keterpukauanku. Aku tersenyum, tapi dalam hati, seluruh tubuhku masih bergetar dengan pesona yang tak bisa kugambarkan.Gavin menaruh handuk yang tadi dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya di sofa, matanya tak lepas dari tatapanku. Dia berjalan mendekat, gerakannya penuh keyakinan, lalu dengan lembut merendahkan dirinya sedikit di depanku. Dalam sekejap, dia mengalungkan lengannya ke pinggangku, meraih bokongku dengan kedua tangannya, lalu membopongku seolah aku hanyalah piala kemenangan yang dia menangkan. Aku terkejut, tubuhku secara refleks memeluk erat lehernya."Ahh... Gavin..." bisikku, perasaan tersipu menguasai diriku saat aku melihat matanya yang penuh keinginan.Gavin menunduk sedikit, wajahnya semakin mendekat, bibirnya menggoda milikku. "I miss you so much," gumamnya dengan suara rendah,
Gavin tertidur di pelukanku, napasnya teratur, mungkin efek dari jetlag yang akhirnya mengalahkan tubuhnya yang lelah. Aku menatap wajahnya yang damai, rasanya masih sulit dipercaya bahwa pria sememikat Gavin kini berada di sini, dalam pelukanku, seolah-olah dunia mengizinkanku untuk merasakan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam mimpi.Tanganku bergerak perlahan, mengusap pipinya yang hangat. Kulitnya terasa halus di bawah sentuhanku, dan aku tersenyum kecil, sedikit geli dengan kenyataan yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin? Bagaimana seorang seperti Gavin, dengan semua pesonanya, bisa begitu menginginkanku? Aku menatapnya lebih dalam, memeriksa tiap detail wajahnya yang masih terlelap. Lelah dan tenang, seperti seseorang yang telah menemukan apa yang dia cari.Pikiranku melayang sejenak, kembali ke awal mula semuanya terjadi. Sejak aku bekerja di rumah Devan dan Thalitha, segala sesuatunya berubah begitu cepat, seolah membuka pintu ke dunia yang tak pernah kubayangkan sebel
Dokter perlahan melepaskan sarung tangan lateksnya, suaranya yang berdesis saat ditarik mengisi keheningan di ruang pemeriksaan. Gavin dan aku duduk dengan tegang, sementara printer kecil di samping layar USG mulai mengeluarkan hasilnya dalam lembaran hitam putih. Gambar-gambar itu tergores samar, tapi di dalamnya terkandung segalanya — harapan, kegembiraan, dan mungkin juga rasa takut.Dokter berbalik menghadap kami, menatapku dan Gavin dengan wajah yang awalnya tampak cemas, hampir tegang. Matanya memperhatikan kami sesaat sebelum dia akhirnya menghela napas panjang, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat. Aku merasa Gavin mengeratkan genggamannya di tanganku, dan napasku hampir tertahan menunggu apa yang akan dia katakan.Namun tiba-tiba, raut wajah dokter berubah. Garis-garis tegang di sekitar matanya memudar, dan senyum kecil mulai bermain di sudut bibirnya. “Bercanda…” katanya akhirnya, ekspresinya berubah menjadi riang, seolah baru saja melepaskan beban berat.Aku menatap
Aku tahu ini tak bisa ditahan lebih lama. "Urusanku dengan Widodo... belum benar-benar selesai. Kami belum bicara soal perceraian, meskipun..." aku terhenti sejenak, menelan perasaan bersalah yang mulai naik ke permukaan, "meskipun aku sudah memberitahunya tentang bayi ini. Dan dia tahu itu bukan anaknya."Gavin menggeser kursinya sedikit lebih dekat, tatapannya kini penuh perhatian. "Apa yang dia katakan?" tanyanya, suaranya lembut, namun dengan ketegasan di baliknya.Aku menghela napas panjang. “Dia terluka, Gavin... sangat terluka. Tapi dia orang yang baik. Dia bilang dia akan pergi, bahwa dia akan membiarkan aku menjalani hidupku...”Suasana di antara kami mendadak menjadi tegang. Gavin menatapku lama, seolah mempertimbangkan setiap kata yang telah kuucapkan. Dia tak lagi tersenyum, matanya tampak serius.“Aku hanya ingin tahu, Ratih,” katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih dalam, “karena aku harus tahu apa yang terjadi, sebelum kita... melangkah lebih jauh.”Kata-katanya mengga
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan—gairahku membara semakin liar, mendorongku untuk terus menggoda Gavin. Aku ingin menguji batasannya, melihat sejauh mana dia bisa menahan diri. Hasrat nakalku meluap, seiring dengan sensasi panas yang mengalir di seluruh tubuhku.Aku merangkulnya dari samping, membiarkan tanganku menjelajah, menyusuri lengannya, lalu turun ke lehernya. Dengan lembut, aku mencium kulitnya, mengirimkan getaran kecil di sepanjang tengkuknya. Gavin hanya menggeram rendah, napasnya semakin berat, sementara aku terus bermain-main dengannya.Tanganku mulai bergerak lebih jauh, menyelinap ke pahanya, meremas pelan tapi cukup kuat untuk membuatnya menggeliat. Jari-jariku bergerak mendekat ke area yang lebih sensitif, menyentuh bagian dalam pahanya, tepat di dekat intimnya. Aku bisa merasakan tubuhnya menegang, seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri untuk tetap fokus di jalan.“Arghh... Ratihh, please...” desahnya, suaranya sera
“Fiancée? Sembarangan!!” Gavin menukas dengan nada marah, memotong ucapan Sheila dengan tegas. Sorot matanya beralih ke arahku, matanya penuh keputusasaan bercampur rasa bersalah.“Ratih, aku bisa jelaskan,” katanya, suaranya terdengar mendesak. Gavin melangkah ke arahku, tapi Sheila tak tinggal diam.“How do you even get here?” Gavin menoleh cepat ke Sheila, suaranya penuh frustrasi.“Gak penting gimana aku bisa di sini, itu siapa?” Sheila menuntut, matanya masih terfokus padaku dengan tatapan tajam yang menusuk.Aku berdiri kaku di tempat, merasa seluruh dunia di sekelilingku runtuh. Sheila... Sheila tampak bukan orang biasa. Penampilannya yang elegan, gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna, serta raut wajah yang begitu tegas—semuanya mengisyaratkan bahwa dia bukan sekadar wanita biasa yang berdiri di apartemen ini. Siapapun dia, jelas dia memiliki kedudukan yang penting dalam hidup Gavin.Tapi... tunangan? Benarkah dia tunangannya? Aku tak tahu harus berkata apa. Otakku
Begitu aku tiba di rumah Devan dan Talitha, pintu depan langsung terbuka sebelum aku sempat mengetuk. Talitha berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran, dan tanpa berkata apa-apa, dia langsung menyambutku dengan tangan terbuka. Tubuhku seakan luruh dalam pelukannya, dan perasaanku yang kacau perlahan mereda dalam kehangatan pelukannya.“Ohhh sayangku,” bisiknya lembut sambil mengusap punggungku, memberikan rasa nyaman yang sangat kubutuhkan saat ini.Air mata yang tadinya kutahan sepanjang perjalanan mulai mengalir lagi. “Maaf, aku nggak tahu harus ke mana,” ucapku dengan suara yang bergetar, merasa begitu rapuh di hadapannya. Semua perasaan yang kupendam sepanjang malam ini akhirnya menemukan pelarian.Talitha melepas pelukannya sejenak, memegang kedua pundakku dan menatap mataku dengan lembut. “Sayang, kamu jangan bilang gitu. Aku kan udah bilang, kalau ada apa-apa, cari aku,” katanya dengan nada penuh perhatian. “Kamu nggak pernah sendirian.”Aku hanya bisa mengangguk pe
Dia meraih wajahku dengan satu tangan, mengangkat daguku sehingga aku tak punya pilihan selain menatapnya langsung. "Kamu hanya perlu mengerti satu hal, Ratih. Kamu milikku. Aku nggak peduli siapa Sheila, siapa pun yang lain, hanya kamu yang penting buatku."Matanya berkilat, penuh dengan keinginan dan kontrol yang begitu kuat. Kata-katanya menyentuh sesuatu yang dalam di diriku, membuatku tersesat di antara ketakutan dan gairah yang tak terkendali."Gavin ini....mhhhh,"Gavin tidak memberiku waktu untuk berpikir. Kata-kataku terhenti oleh ciumannya yang dalam dan mendominasi, penuh dengan gairah yang tidak terbendung. Pelukannya semakin erat, tubuhnya menekan tubuhku, dan kami terhempas ke tempat tidur, setengah badan kami rebah di atasnya. Setiap gerakannya begitu intens, membuat pikiranku berputar dan membuat sulit untuk memisahkan antara hasrat dan ketakutan yang tiba-tiba menjalari diriku.Dalam sekejap, dia sudah melepaskan celananya, dan sebelum aku bisa benar-benar memahami apa
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah