Share

Murka

Penulis: kodav
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-30 23:24:55

Begitu aku tiba di rumah Devan dan Talitha, pintu depan langsung terbuka sebelum aku sempat mengetuk. Talitha berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran, dan tanpa berkata apa-apa, dia langsung menyambutku dengan tangan terbuka. Tubuhku seakan luruh dalam pelukannya, dan perasaanku yang kacau perlahan mereda dalam kehangatan pelukannya.

“Ohhh sayangku,” bisiknya lembut sambil mengusap punggungku, memberikan rasa nyaman yang sangat kubutuhkan saat ini.

Air mata yang tadinya kutahan sepanjang perjalanan mulai mengalir lagi. “Maaf, aku nggak tahu harus ke mana,” ucapku dengan suara yang bergetar, merasa begitu rapuh di hadapannya. Semua perasaan yang kupendam sepanjang malam ini akhirnya menemukan pelarian.

Talitha melepas pelukannya sejenak, memegang kedua pundakku dan menatap mataku dengan lembut. “Sayang, kamu jangan bilang gitu. Aku kan udah bilang, kalau ada apa-apa, cari aku,” katanya dengan nada penuh perhatian. “Kamu nggak pernah sendirian.”

Aku hanya bisa mengangguk pe
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tuan, Aku Hamil!   Buas

    Dia meraih wajahku dengan satu tangan, mengangkat daguku sehingga aku tak punya pilihan selain menatapnya langsung. "Kamu hanya perlu mengerti satu hal, Ratih. Kamu milikku. Aku nggak peduli siapa Sheila, siapa pun yang lain, hanya kamu yang penting buatku."Matanya berkilat, penuh dengan keinginan dan kontrol yang begitu kuat. Kata-katanya menyentuh sesuatu yang dalam di diriku, membuatku tersesat di antara ketakutan dan gairah yang tak terkendali."Gavin ini....mhhhh,"Gavin tidak memberiku waktu untuk berpikir. Kata-kataku terhenti oleh ciumannya yang dalam dan mendominasi, penuh dengan gairah yang tidak terbendung. Pelukannya semakin erat, tubuhnya menekan tubuhku, dan kami terhempas ke tempat tidur, setengah badan kami rebah di atasnya. Setiap gerakannya begitu intens, membuat pikiranku berputar dan membuat sulit untuk memisahkan antara hasrat dan ketakutan yang tiba-tiba menjalari diriku.Dalam sekejap, dia sudah melepaskan celananya, dan sebelum aku bisa benar-benar memahami apa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Tuan, Aku Hamil!   Kecelakaan

    Keesokan paginya, suasana rumah terasa tenang. Anak-anak sudah berangkat sekolah, dan Devan sudah pergi ke kantor. Di meja makan, hanya ada aku, Gavin, dan Talitha. Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya yang terdengar, di antara percakapan ringan yang sesekali mengalir. Aku merasa sedikit lebih tenang pagi ini, tapi bayang-bayang dari malam sebelumnya masih menghantui pikiranku.“Hmmm, belum semalam, sudah kembali,” goda Talitha sambil tersenyum kecil, tatapannya penuh dengan maksud tersembunyi saat dia menatap kami berdua.Aku menunduk, wajahku memerah mendengar kata-katanya. Seperti biasa, Talitha selalu tahu cara menggoda dan membuatku merasa canggung dalam situasi yang tak terduga. Aku menghindari tatapannya, sibuk dengan sisa sarapanku, berusaha menyembunyikan reaksi di balik senyum malu-malu.Gavin di sebelahku hanya tersenyum kecil, seolah tidak terpengaruh. "Tentu saja," katanya sambil menatap Talitha dengan pandangan santai, seolah dia menikmat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Tuan, Aku Hamil!   Dunia Tipu-Tipu

    Aku menatap Talitha yang sedang dengan cepat mencari berita di ponselnya, jarinya menggeser layar dengan panik. Gavin, yang berada di ruang tamu, tengah menelepon seseorang dengan nada serius. Atmosfer di ruangan ini terasa berat, seolah semua orang menahan napas, menunggu kabar buruk yang mungkin akan datang kapan saja.“Aku nggak berani nanya ke Devan, saat-saat gini dia pasti sibuk,” Talitha berkata dengan nada rendah, sedikit bimbang. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat cemas.Aku hanya bisa mengangguk, pikiranku melayang-layang, mencoba menepis rasa takut yang tiba-tiba mencengkeram hatiku. Widodo... meskipun hubungan kami sudah retak, dia masih ada di sana—sebagai bagian dari hidupku yang tak bisa sepenuhnya kulepaskan. Berita ini menakutkan, meskipun aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa mungkin ini hanya kecelakaan biasa.“Aku berangkat ke Kudus besok, kamu jadi ikut?” tanya Talitha, nada suaranya berusaha tetap normal meski aku tahu dia juga merasa tertekan.“Se

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Tuan, Aku Hamil!   Rahasia

    Aku beranjak dari dudukku, tubuhku terasa berat seolah setiap langkah adalah perjuangan. Aku menuju ruangan yang lebih terbuka di lantai 3, butuh udara, butuh jarak dari semua hal yang baru saja kudengar. Namun, tanganku tak bisa lepas dari Talitha. Ada sesuatu tentang sentuhannya yang memberikan kenyamanan di tengah kekacauan yang kurasakan. Dia mengikutiku dengan tenang, seolah tahu aku tak bisa menghadapi ini sendirian."Give us a time," bisik Talitha lembut kepada Devan, tanpa perlu mengatakan lebih banyak. Devan dan Gavin mengangguk, lalu meninggalkan kami berdua di lantai 3. Suara langkah kaki mereka yang menjauh terasa seperti penanda bahwa untuk sementara, aku bisa mengambil napas dan mencari jawabanku sendiri.Aku berdiri di tepi balkon, melihat pemandangan luas di bawahku. Matahari sore perlahan tenggelam, memberikan warna oranye dan ungu di langit. Tapi pikiranku tak bisa terfokus pada keindahan itu. Di dalam kepalaku, segalanya bercampur, beradu, seolah tidak ada yang masu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Tuan, Aku Hamil!   Mami Tiri

    Aku menghabiskan tiga hari di Kudus, dan meskipun jauh dari hiruk-pikuk Jakarta dan drama yang melelahkan di sana, perasaan campur aduk tetap menghantui benakku. Namun, dalam keheningan kota kecil ini, aku menemukan sedikit pelarian. Setiap harinya, waktu yang paling banyak kuhabiskan adalah dengan Opa, pria tua bijaksana yang selalu ramah dan penuh cerita. Dia senang mengajak aku berkeliling pabrik rokok keluarganya—sebuah kerajaan bisnis yang dia bangun dari kecil hingga menjadi besar seperti sekarang.Opa sering bercerita panjang lebar tentang masa-masa awalnya merintis pabrik itu, bagaimana dia dulu harus menghadapi segala tantangan dari industri yang begitu keras. Dengan semangat yang masih sangat hidup, dia mengisahkan perjalanannya membangun sesuatu dari nol. "Dulu hanya ada tiga karyawan, Ratih," katanya sambil tersenyum bangga, “Sekarang lihat, ribuan orang hidup dari sini.” Ada sinar kebanggaan di matanya setiap kali dia bercerita tentang pabrik itu, seolah tempat ini bukan h

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03
  • Tuan, Aku Hamil!   Jealous

    Perjalanan pulang ke Jakarta kali ini terasa berbeda. Ada perasaan ragu yang mulai tumbuh dalam diriku, seperti benih yang tak kusadari telah lama tertanam. Perjalanan ke Kudus bersama Talitha dan segala dinamika yang terjadi di sana membuatku bertanya-tanya, apakah aku masih bisa bertahan dalam situasi yang semakin rumit ini? Apakah semua ini benar-benar jalan yang ingin kuambil?Setiba di bandara, aku melihat Gavin dari kejauhan, menungguku dengan senyum lebar. Begitu kami mendekat, dia segera memelukku erat, seolah kami tak bertemu berpuluh-puluh tahun. Rasanya menyenangkan bisa kembali merasakan kehangatannya, meskipun di dalam hatiku masih ada kegelisahan yang belum bisa kutepis.“Sayang, kamu cape?” tanyanya lembut, sambil mengusap punggungku pelan, penuh perhatian.Aku tersenyum kecil, menggelengkan kepala. “Nggak kok, naik pesawat bukan lari,” jawabku sambil sedikit bercanda, mencoba mengusir rasa berat yang masih menggelayut di pikiranku.Gavin tertawa kecil. “Maksudku, tiga

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • Tuan, Aku Hamil!   Transisi

    Sore itu, suasana di Sudirman Mansion terasa santai namun penuh dengan keakraban yang tak terhindarkan. Devan datang menjemput Talitha, yang masih berada di kamar apartemen. Setelah berbasa-basi, obrolan ringan pun dimulai, tapi kali ini pembicaraan cepat beralih pada hal-hal yang lebih serius—rencana transisi kepemimpinan Fortune Logistic dari Devan ke Gavin.Mereka duduk di sofa, Gavin terlihat santai sementara Devan memasang ekspresi sedikit tegang, tapi masih penuh canda.“Gimana, Vin? Sudah siap mulai transisi?” tanya Devan dengan nada serius tapi santai, matanya memandangi adiknya dengan penuh pertanyaan.Gavin menghela napas panjang, menatap kakaknya sejenak sebelum memberikan jawaban yang sedikit berbeda dari yang mungkin diharapkan. “Kenapa harus transisi segala? Terusin aja,” jawab Gavin dengan nada santai, seolah masalah itu bukan sesuatu yang penting baginya. “Aku ada funding yang harus diurus, kita juga mau akuisi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • Tuan, Aku Hamil!   Kelelahan

    Pagi itu, Aku terbangun dengan tubuh yang terasa lemas, setiap otot seakan masih berdenyut, mengingatkan pada intensitas semalam. Rasanya seolah seluruh energiku telah terkuras, tapi ada sesuatu yang lain—sensasi kaku di tubuhku yang membuatku hampir tak bisa bergerak. Setiap kali aku mencoba menggerakkan tangan atau kakiku, rasa lelah yang membungkus tubuhku seolah melawan setiap gerakan.Aku menoleh perlahan, melihat Gavin yang masih tertidur dengan tenang. Wajahnya terlihat damai, tak ada tanda-tanda dari dominasi dan kekuasaan yang ia tunjukkan semalam. Namun, bayangan dari apa yang terjadi terus berputar dalam benakku. Gavin membuatku mencapai puncak berkali-kali, tanpa ampun, melebihi batas yang aku pikir bisa kutahan. Bahkan saat aku setengah sadar, tubuhku masih merespons setiap sentuhan, setiap desahan yang keluar dari bibirnya, seolah aku benar-benar berada di bawah kendalinya.Aku menarik napas panjang, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa. Perlahan, aku mencoba me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05

Bab terbaru

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 6 - EPILOG

    ///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 5

    Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 4

    Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 3

    ///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 2

    ///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 1

    Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je

  • Tuan, Aku Hamil!   Pengungkapan - End

    Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan

  • Tuan, Aku Hamil!   Kontraksi

    Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters

  • Tuan, Aku Hamil!   USG Lagi

    Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah

DMCA.com Protection Status