Mereka tiba di puncak sebuah bukit kecil. Di kejauhan, terlihat siluet pulau-pulau lain yang berada di sekitar pulau Agistri, diselubungi oleh kabut tipis. Alena bisa melihat pemandangan pantai dan laut biru di bawah bukit, sedangkan area pedesaan tampak berwarna putih dan coklat, yang berasal dari warna dinding dan atap rumah penduduk. Angin laut yang segar menerpa wajahnya, membawakan aroma hutan pinus.
Alena terpesona. "Waw.....," serunya takjub. Ia memuaskan matanya menikmati pemandangan yang indah dari atas bukit. "Pemandangannya lebih bagus kan, dari atas sini...," komentar Luis. "Kalau mau kembali ke pantai Dragonera, kita tinggal turun lewat situ," sambungnya, sambil menunjuk ke arah kiri, di mana terdapat jalan menurun diapit oleh batu-batu karang. "Atau kalau mau jalan-jalan ke desa, kita bisa ke kanan, jalannya lebih halus."Alena baru sadar, mereka berdua dari tadi tidak memakai alas kaki, dan Luis hanya memakai celana renang. "KayaknyAlena dan teman-temannya menikmati makan malam terakhir mereka di Athena, sebelum kembali lagi ke Berlin. Empat hari study tour di Athena memberikan pengalaman dan kesan yang sangat mendalam bagi Alena, Athena benar-benar mempesona.Waktu makan malam menjadi sangat panjang. Teman-teman Alena sepertinya belum rela meninggalkan tempat itu. Beberapa orang duduk di depan bartender, mereka minum-minum dan mengobrol dengan suara keras. Seolah ada yang meminta, musik yang dimainkan, yang tadinya musik jazz, berubah menjadi musik mellow dan romantis. Mereka yang masih duduk di meja makan mulai bersorak, dan berdiri untuk berdansa."Ayo kita dansa...," ajak Zahara, ia sudah berdiri dari kursinya.Cesare langsung mengulurkan tangannya pada Zahara, mereka berdua tertawa, lalu berjalan ke tengah ruangan untuk berdansa. Alena tersenyum melihatnya, Cesare sudah berumur setidaknya empat puluh tahun, tapi masih berjiwa muda.Mendadak, Alena
Musim semi hampir berakhir. Alena baru saja memperpanjang kontraknya sebagai model iklan Nivea, sepertinya perusahaan produk kecantikan tersebut menganggap Alena cukup berhasil mewakili produk mereka. Ia langsung ditawari kontrak selama tiga tahun ke depan. Alena sendiri juga menyukai produk tersebut, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan kontraknya. Sebaliknya, kontrak Paula sepertinya tak diperpanjang lagi, karena Alena tidak pernah bertemu dia lagi, saat launching produk, maupun saat syuting iklan.Keberhasilan Alena menjadi model iklan sepertinya menarik perhatian merek lain juga. Ia mendapat tawaran baru untuk menjadi model iklan tas merek Liebeskind, sebuah merek terkenal di Berlin, yang memproduksi tas, sepatu, aksesoris, dan fashion, terutama untuk anak muda. Kebetulan, Alena sendiri selalu memakai tas ransel dengan merek tersebut."Kalau kamu merasa cocok sama produknya, terima aja, Sayang... Kontraknya cuma setahun kok," saran Alva.
"Tante, tolong tunggu di lobby sebentar ya... Aku mau cari Alva...," kata Alena pada Tante Jenna, lalu ia buru-buru menuruni undakan, dan berjalan menuju pintu yang sama dengan Brigitte.Alena mendengar Tante Jenna memanggilnya dengan nada bingung, tapi pikirannya tertuju pada Alva. Ia sudah sampai di depan pintu samping itu, ketika ia mendengar suara Luis memanggilnya."Alena...!"Alena menoleh, Luis tampak berjalan menghampirinya. Tapi Alena tak punya waktu untuk Luis, ia ingin tahu ke mana Brigitte pergi. Ia membuka pintu itu, ada sebuah lorong panjang dengan ruang-ruang kecil di kiri kanan lorong. Alena berjalan masuk ke lorong itu. Ia bisa mendengar suara Luis terus memanggil, sepertinya Luis juga mengikuti dia."Alena... Kamu mau ke mana?" seru Luis.Alena menoleh ke belakang. "Maaf, Luis, aku ada perlu sebentar..."Ada beberapa crew berlalu-lalang di lorong itu, membawa alat-alat. Tapi untungnya, mereka tidak menghal
Alena dan Alva memilih tidak menghabiskan energi untuk memikirkan tentang Luis dan Brigitte. Mereka berdua punya kesibukan yang lebih bermanfaat, daripada mengurusi kehidupan pribadi orang lain. Alena sudah menerima tawaran kontrak selama setahun dari Liebeskind, untuk menjadi model iklan produk tasnya. Ia beberapa kali melakukan pemotretan dan syuting iklan, termasuk juga menghadiri acara promosi. Sejauh ini, Alva masih selalu sempat menemaninya, karena Alena sudah membuat kesepakatan dengan pihak Liebeskind. Ia bisa mengatur jadwal, sesuai waktu luang yang dia miliki.Alva masih sibuk dengan pekerjaannya di studio Talent, dan menyusun skripsi. Ditambah lagi, Professor Meyer menawarkan proyek baru pada Alva dan teman-temannya, berupa pembuatan soundtrack untuk sebuah film layar lebar. Alva mengerjakan proyek tersebut di kampus dan juga di studionya. Ia sepertinya benar-benar menikmati semua pekerjaannya, dan namanya semakin dikenal di kalangan profesional.
Awal bulan Desember, sesuai rencana, Alva menjalani sidang skripsi. Sidang diadakan pada hari Rabu siang. Alena sengaja meluangkan waktu datang ke kampus Alva saat sidang, untuk memberi dukungan dan semangat. Selain dosen pembimbing dan penguji, orang lain tidak dapat masuk ke ruang sidang, karena merupakan sidang tertutup. Alena menunggu di depan ruang sidang, bersama kedua teman Alva. Mereka adalah Karl dan Christoph, teman bisnis Alva di Studio Talent. Karl berasal dari Jerman, sedangkan Christoph berasal dari Austria."Alva benar-benar kerja keras belakangan ini. Dia nggak pernah tolak proyek dosen, dia ngebut nyusun skripsi, dan hebatnya, dia masih sempat ngerjain job di studio. Dia selalu ngecek kerjaan staff kami di studio, biarpun harus sampai malam. Aku benar-benar salut sama Alva...," Christoph bercerita pada Alena, saat mereka bertiga menunggu Alva, di luar ruang sidang skripsi."Iya, dia emang perfeksionis, tapi da
Mereka naik lift menuju lantai 17. Alva jelas memiliki akses untuk bisa masuk dan menggunakan lift apartemen, padahal sistem keamanan apartemen selalu ketat. Apakah benar...?Alva masih tetap tidak berkata apa-apa, sampai mereka tiba di depan pintu sebuah unit apartemen. Di depan pintu tertulis Unit 17-A. Alva menoleh memandang Alena."Sayang... Ini salah satu impian, yang pernah aku bilang mau aku wujudkan," ucap Alva dengan suara lembut. "Dan kamu yang paling pertama tahu..."Alena terpaku memandang Alva. Mulutnya serasa terkunci. Jantungnya berdetak makin kencang. Alva membuka pintu dengan kunci di tangannya, dan menggandeng tangan Alena untuk masuk.Alena terperangah. Apartemen itu masih baru, bau cat samar-samar tercium. Warna dindingnya didominasi putih, dengan lantai ubin berwarna putih gading. Begitu masuk, mereka langsung disambut oleh ruangan luas, dengan jendela kaca besar yang memanjang dari atas sampai ke bawah, sehingga ruangan i
Keesokan harinya, Alva benar-benar mewujudkan keinginannya untuk pindah ke apartemen barunya. Om Hanz dan Tante Clara membantu Alva mengemasi barang-barangnya. Mereka bahkan juga membelikan peralatan yang belum lengkap di apartemen, misalnya peralatan dapur, peralatan kamar mandi, dan beberapa perabot, seperti rak sepatu, meja samping tempat tidur, dan meja kerja. Tadinya Alva menolak, tapi Om Hanz tetap bersikeras memberikan sebagai hadiah. Alena terharu, melihat betapa tulusnya Om Hanz terhadap Alva.Sampai siang, Alena membantu Alva berberes-beres di apartemennya. Tante Clara sudah membawa bahan makanan, untuk mengisi kulkas dan untuk dimasak. Alena membantu Tante Clara memasak makan siang, sekaligus mencoba kompor dan kitchen set baru di apartemen. Mereka menikmati makan siang di meja makan yang terletak di balkon. Alma tampak senang, karena merasakan suasana baru di apartemen.Namun, ketika Tante Clara dan Om Hanz mengajaknya pulang, Alma baru menyadari Al
Di bulan Februari, Alena dan Alva mengikuti ujian semester. Bagi Alva, ini adalah ujian terakhirnya. Seminggu kemudian, kabar gembira datang. Alva dinyatakan lulus semua ujian, dan ia dapat mengikuti wisuda di bulan Maret. Satu langkah besar lain di dalam perjalanan hidup Alva.Alena terkenang kembali, perjalanan dan perjuangan mereka berdua, mulai dari mereka duduk di bangku SMA, berjuang untuk bisa kuliah di Berlin, saat mereka berhasil sampai di Berlin dan masuk Studienkolleg, ketika Alva diterima di Fakultas Musik Universitat der Kunste, sampai akhirnya Alva lulus setelah menyelesaikan enam semester. Bagi sebagian orang yang tidak tahu, mungkin jalan Alva terlihat begitu mudah dan mulus. Namun Alena tahu benar, bagaimana kerja keras, disiplin, dan tekad kuat dari Alva, yang membawa ia mampu menyelesaikan semuanya.Kini perjalanan Alva memasuki babak baru lagi. Ia sedang berjuang untuk masuk program doktoral. Ia juga sedang merintis bisnis profesionalnya
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu