Libur musim panas Alena masih dua minggu lagi. Ia mengisi waktu liburnya dengan membantu Tante Jenna di kedai roti. Alena sekarang sudah mahir membuat beberapa jenis roti dan kue kering. Ia beberapa kali membantu Tante Jenna membuat roti, terutama di saat pesanan sedang banyak.
Alena dan Tante Jenna masih rutin berkunjung ke Klinik Glück. Banyak kemajuan dan perubahan yang terjadi di klinik itu, sejak mini konser. Staff perawat di klinik sudah bertambah. Dokter yang menangani pasien juga sudah terjadwal rutin, walaupun para dokter itu tidak stand by di klinik, tapi para pasien selalu mendapatkan terapi yang dibutuhkan. Fasilitas klinik juga terus diperbarui, melalui bantuan dari pemerintah dan donatur. Para pengurus yayasan dan staff klinik sangat gembira, setiap kali Alena dan Tante Jenna datang, mereka selalu menceritakan setiap perkembangan di klinik itu. Alena merasa sangat bersyukur, usaha mereka semua membuahkan hasil yang baik.Hari Sabtu adalah hari yang selalu ditunggu Alena, karena ia bisa menghabiskan waktu bersama Alva. Kali ini, Alva menjemput Alena di rumah Tante Jenna, lalu mengajaknya berkeliling dengan sepeda, menikmati daerah pinggiran kota. Sebelumnya, mereka berziarah dulu ke makam Papanya Alva. Kemudian dilanjutkan dengan bersepeda santai, menyusuri wilayah pedesaan yang tenang.Mereka berhenti di pinggir sebuah sungai, yang dikelilingi oleh padang rumput hijau yang luas. Tidak ada rumah penduduk di dekat situ, hanya pepohonan dan rumput sejauh mata memandang.Alena menggelar tikar di atas hamparan rumput, tepat di bawah sebatang pohon besar. Musim panas memang selalu menyenangkan untuk berpiknik. Tante Jenna sudah membekali mereka dengan roti dan kue yang lezat. Sambil menikmati bekal, mereka duduk bersebelahan memandangi aliran sungai yang jernih."Kamu bilang, kamu paling suka objek wisata yang ada airnya, makanya aku ajak kamu ke sini," kata Al
Permulaan musim gugur berarti permulaan semester baru. Alva sudah menyelesaikan proyek musim panasnya. Ia mendapat tawaran proyek baru lagi dari dosennya. Kali ini, proyeknya adalah kerja sama dengan sebuah grup musik lokal, untuk pembuatan album instrumental terbaru mereka. Jika grup musik itu setuju menggunakan komposisi musik yang diciptakan Alva, tentunya Alva akan mendapatkan royalti atas hasil karyanya. Alva sangat bersemangat waktu bercerita pada Alena, dan Alena pastinya mendukung.Kabar gembira lainnya, Alva juga berhasil lolos audisi Symphony Orchestra sebagai pemain biola. Ia mulai sibuk dengan latihan, untuk persiapan tampil bersama orkestra tersebut, yang rutin mengadakan pertunjukan Concert for the Nations, di akhir musim gugur.Setiap kali musim gugur tiba, Alena terkenang momen pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Berlin, dua tahun yang lalu. Daun-daun menguning di mana-mana, cuaca yang sejuk, dengan hembusan angin dingin di w
Bulan Januari selalu menjadi momen terindah bagi Alena, karena tanggal 17 adalah persis empat tahun ia dan Alva menjalin kasih. Saat ini sudah pertengahan musim dingin. Cuaca tahun ini terasa lebih dingin, dan sulit diperkirakan dibandingkan sebelumnya. Seringkali hujan atau salju turun mendadak.Sore di tanggal 17 Januari, mereka sudah berjanji untuk bertemu setelah kuliah. Alva mengajak Alena mengunjungi Studio Talent. Jarak kampus ke studio hanya sekitar lima belas menit dengan kereta.Mereka tiba di studio sekitar jam empat sore, studio biasanya ditutup jam enam. Ada tiga orang staff yang bekerja bergantian shift, dari pagi sampai sore di studio itu, terutama selama Alva dan teman-temannya berada di kampus.Alva menyapa staffnya yang sedang bertugas di studio, lalu mengajak Alena masuk ke ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Lantai dua studio itu diperuntukkan sebagai studio foto, sedangkan lantai satu untuk studio musik.
Hari Sabtu di akhir bulan Januari, Alva sedang sibuk dengan pekerjaannya di studio. Ia dan teman-temannya sedang melakukan rekaman untuk proyek album instrumental. Alena sudah memahami kesibukan Alva, jadi hari ini, ia memutuskan membantu Tante Jenna di kedai roti saja."Alena, Tante mau ngantar pesanan kue dulu ya… Kamu nggak apa-apa kan sendirian aja di sini?" tanya Tante Jenna.Ia membawa kotak khusus untuk menyimpan barang, yang biasanya ia pasang di sepedanya, jika sedang mengantar pesanan roti. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul empat sore."Oh iya, Tante... Nggak apa-apa, aku yang jaga aja. Tante hati-hati ya...," jawab Alena. Ia baru saja selesai menata roti di dalam etalase kaca.Tante Jenna tersenyum dan berjalan menuju pintu. "Tante cuma bentar kok..." Lalu ia pun keluar dari kedai dan menutup pintu.Alena sudah terbiasa menjaga kedai sendiri, tiap kali Tante Jenna mengantar pesanan. Di musim dingin, sore
Bulan Maret, Berlin mulai memasuki musim semi. Salju mencair, cuaca berubah menjadi lebih hangat, batang dan ranting tanaman yang tadinya kering membeku, mulai menunjukkan tanda kehidupan lagi. Musim dingin selalu membangkitkan kenangan indah bagi Alena, karena perayaan jalinan kasihnya dengan Alva jatuh di bulan Januari. Sedangkan musim semi senantiasa membawa harapan dan semangat baru bagi Alena.Saat ini, kuliah Alena sudah masuk semester empat, sedangkan Alva masuk semester lima. Alva sudah mulai menyusun skripsi di semester ini. Pembimbingnya, siapa lagi kalau bukan Professor Meyer, yang sepertinya sangat memfavoritkan Alva. Jika semuanya lancar, Alva bisa saja lulus, setelah menyelesaikan enam atau tujuh semester. Alena tahu, jika Alva benar-benar menginginkan sesuatu, ia selalu berupaya keras untuk mewujudkannya.Di akhir bulan Maret ini, Alena dan teman-temannya akan menjalani study tour ke luar negeri selama empat hari. Alena memilih Athena, Yunani
Hari kedua study tour dimulai dengan perjalanan ke Acropolis, kompleks bersejarah yang dianggap sakral bagi bangsa Yunani zaman dulu. Pertama-tama, mereka mengunjungi Teater Dionysius, teater pertama yang dipercaya sebagai tempat lahirnya kisah tragedi Yunani Kuno, di mana dahulu karya-karya para seniman Yunani seperti Aeschylus, Sophocles, Euripides, dan Aristophanes dipertunjukkan. Saat ini, teater tersebut tidak digunakan lagi, pengunjung hanya dapat memandangi struktur teater dari batu yang masih direstorasi.Tidak jauh dari situ, terdapat Teater Odeon of Herodes Atticus. Teater kuno tersebut, yang juga dibangun dari batu, sampai saat ini masih rutin digunakan untuk berbagai pertunjukan. Kemudian mereka juga melihat-lihat situs lainnya, seperti Kuil Parthenon, Kuil Erechtheum, dan Museum Acropolis.Cesare dengan fasih menjelaskan kepada Alena dan teman-temannya, mengenai sejarah situs-situs di Acropolis. Cuaca di Athena pada awal musim semi masih cender
Mereka tiba di puncak sebuah bukit kecil. Di kejauhan, terlihat siluet pulau-pulau lain yang berada di sekitar pulau Agistri, diselubungi oleh kabut tipis. Alena bisa melihat pemandangan pantai dan laut biru di bawah bukit, sedangkan area pedesaan tampak berwarna putih dan coklat, yang berasal dari warna dinding dan atap rumah penduduk. Angin laut yang segar menerpa wajahnya, membawakan aroma hutan pinus.Alena terpesona. "Waw.....," serunya takjub. Ia memuaskan matanya menikmati pemandangan yang indah dari atas bukit."Pemandangannya lebih bagus kan, dari atas sini...," komentar Luis. "Kalau mau kembali ke pantai Dragonera, kita tinggal turun lewat situ," sambungnya, sambil menunjuk ke arah kiri, di mana terdapat jalan menurun diapit oleh batu-batu karang. "Atau kalau mau jalan-jalan ke desa, kita bisa ke kanan, jalannya lebih halus."Alena baru sadar, mereka berdua dari tadi tidak memakai alas kaki, dan Luis hanya memakai celana renang. "Kayakny
Alena dan teman-temannya menikmati makan malam terakhir mereka di Athena, sebelum kembali lagi ke Berlin. Empat hari study tour di Athena memberikan pengalaman dan kesan yang sangat mendalam bagi Alena, Athena benar-benar mempesona.Waktu makan malam menjadi sangat panjang. Teman-teman Alena sepertinya belum rela meninggalkan tempat itu. Beberapa orang duduk di depan bartender, mereka minum-minum dan mengobrol dengan suara keras. Seolah ada yang meminta, musik yang dimainkan, yang tadinya musik jazz, berubah menjadi musik mellow dan romantis. Mereka yang masih duduk di meja makan mulai bersorak, dan berdiri untuk berdansa."Ayo kita dansa...," ajak Zahara, ia sudah berdiri dari kursinya.Cesare langsung mengulurkan tangannya pada Zahara, mereka berdua tertawa, lalu berjalan ke tengah ruangan untuk berdansa. Alena tersenyum melihatnya, Cesare sudah berumur setidaknya empat puluh tahun, tapi masih berjiwa muda.Mendadak, Alena
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu