Setelah keluar dari kamar tersebut, Lidia langsung berusaha mencari keberadaan sekretarisnya, Kira. Ia khawatir, karena Kira tadi telah masuk lebih dulu ke dalam ruang meeting itu sendirian. Setelah memeriksa ruang rapat yang tadinya akan mereka gunakan untuk meeting bersama, Lidia tidak menemukan apapun kecuali barang-barang di sana yang kini telah berantakan.
Sepertinya memang benar tentang apa yang Ken jelaskan padanya tadi. Polisi meringkus CEO yang terlibat dalam penjualan narkoba tersebut, dan mungkin saja semua orang yang tadinya ada di ruangan itu diamankan ke suatu tempat. Atau bisa jadi diarahkan untuk membubarkan diri.
Lidia berjalan menuju ke arah luar dari hotel tersebut dengan perasaan gusar. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Kira. Di mana sebenarnya dia sekarang?
“Permisi, orang-orang yang tadi berada di ruang rapat nomor 180 ke mana, ya?” tanya Lidia pada seorang officer penunggu lobi tersebut.
“Semua yang ada di ruangan tersebut di bawa ke kantor polisi, Kak. Polisi mengatakan bahwa mereka akan dimintai keterangan di sana,” jelas officer tersebut.
Lidia yang mendengarnya pun kaget, Kira sama sekali tidak mengenal dan mengetahui apapun tentang CEO tukang narkoba itu. Sama dengan dirinya, Kira hanyalah seseorang yang sedang mengalami tragedi di hari pertama bekerja.
Namun, tiba-tiba saja dari belakang, ada yang menepuk pundak Lidia diiringi dengan napasnya yang cepat seperti orang yang habis berlari marathon dua kilometer.
“Bu Lidia, dari mana saja? Dari tadi aku mencarimu ke mana-mana,” tanya Kira dengan nada yang sangat khawatir.
“Kira! Kau dari mana? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Lidia balik tak kalah khawatirnya.
“Aku baik-baik saja. Setelah kau meninggalkanku tadi dan tidak segera kembali, aku segera mencarimu. Tapi, aku sama sekali tidak bisa menemukanmu. Dan saat kembali ke ruang rapat, di sana aku malah menemukan banyak polisi. Mereka membawa CEO perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaan kita. Jadi, aku bersembunyi dahulu ke kamar mandi terdekat,” jelas Kira dengan raut penuh kebingungan.
Lidia mendengarkan penjelasan Kira dengan saksama. Ia memegang tangan Kira untuk menenangkan dirinya. Setelah keadaan mulai membaik, mereka berdua memutuskan untuk segera kembali ke kantor dan membicarakan hal ini pada semua anggota direksi perusahaan.
``````````````````````````````
Mereka berdua pun baru bisa bernapas lega setelah masuk ke dalam mobil yang melaju di jalanan kota membelah angin malam yang terasa lebih dingin dari sebelumnya ini. Benar-benar hal yang sangat tidak terduga, baru saja mereka mengawali karir hari ini, namun malah di sambut dengan kejadian tidak mengenakkan.
Sebenarnya, sejak Lidia keluar dari hotel tadi, terbesit dalam hatinya sebuah kecemasan. Ia takut, kejadian ini mungkin akan menjadi pertanda yang buruk untuk dia dan perusahannya kedepannya. Ia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah membantunya sampai titik saat ini. Entah bagaimanapun caranya, Lidia harus bisa mengatasi semua masalah yang akan menimpanya nanti dengan baik.
Setelah sampai di kantor, Kira pun mengumpulkan semua direktur dari seluruh departemen di perusahaan ini ke ruang rapat. Sebenarnya, semua orang yang ada di sana telah mengetahui, bahwa meeting kali ini tidak berjalan dengan lancar. Bahkan bisa dikatakan gagal.
Semua orang yang telah dipanggil menempati tempat duduk yang telah tersedia di sana. Lidia yang telah menunggu semua orang berkumpul sejak beberapa saat lalu, mulai menata urutan-urutan pembahasan yang akan mereka bahas pada rapat kali ini. Sambil memeriksa semua dokumen yang sebelumnya akan dijadikan patokan dalam perjanjian perusahaannya dengan perusahaan milik CEO bandar narkoba itu.
Ini juga merupakan rapat pertama yang akan Lidia pimpin. Rasanya sedikit mendebarkan, namun bagaimanapun caranya, Lidia harus bisa melakukannya dengan baik. Ia tak ingin melakukan kesalahan sedikitpun.
“Selamat malam! Maaf karena saya mengumpulkan kalian dengan mendadak pada malam hari ini,” ujar Lidia membuka rapat kali ini.
“Malam..” jawab semua anggota rapat itu bersahutan.
Suasananya terasa sedikit canggung, mungkin karena ini baru awal bagi meeka semua. Dan juga, mungkin karena kalangan dari seluruh wakil direksi yang umurnya terpaut jauh diatas Lidia.
Sebenarnya ia merasa, bahwa mereka semua seperti tidak menginginkan kedudukan CEO perusahaan ini di pegang oleh wanita muda sepertinya. Namun, Lidia memakluminya karena memang ia belum bisa membuktikan apa-apa pada mereka. Ia hanya perlu lebih berusaha saja kedepannya, untuk memperoleh kepercayaan dari seluruh anggota direksi.
“Perjanjian ataupun kesepakatan dengan perusahaan kaca yang seharusnya terjadi hari ini, kita cancel. Setelah saya melihat kembali dokumen-dokumen perusahaan tersebut, perkiraan saya, perusahaan kita bahkan tidak akan mendapatkan keuntungan dalam kurun waktu dua tahun kedepan. Ditambah lagi, CEO perusahaan tersebut yang tersandung masalah dengan kepolisian. Di perkirakan, sebentar lagi saham di perusahaan tersebut akan terjun bebas, sehingga......”
Lidia menjelaskan semua analisis-analisis nya dengan sangat baik. Peserta rapat itupun sebagian besar mulai mengakui kemampuan Lidia, dengan analisis serta strategi-strategi baru yang ia rancang secara mendadak malam ini. Adanya Lidia di perusahaan ini bisa dibilang mungkin sekali akan sangat menjanjikan.
Meskipun begitu, ada beberapa orang yang masih saja tidak bisa menerima keberadaan Lidia tanpa sebab yang jelas. Mereka mulai mempertanyakan semua perkataan Lidia, apakah benar bisa terwujudkan. Bahkan ada yang menanyakan hal yang menurut Lidia sama sekali tidak perlu. Namun, ia hanya membalasnya dengan kata-kata singkat dan juga sangat bijaksana.
“Tapi, apakah anda yakin dengan keputusan yang anda ambil tersebut? Anda bahkan belum memiliki satupun pengalaman, dan juga emosi jiwa mudamu ini yang mungkin saja belum stabil dapat mempengaruhi semuanya,” tanya seorang perwakilan dari direktur keuangan yang menurut Lidia pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang paling aneh yang ia dengar hari ini.
“Saya yakin, karena analisis dan strategi baru yang saya buat tersebut memiliki sumber yang sangat kuat. Dan tentang emosi jiwa muda yang anda katakan tersebut, sebenarnya saya masih kurang paham dengan maksud anda. Tapi, apa salahnya kalau kita mencoba metode-metode baru yang telah saya pelajari selama beberapa tahun dan telah banyak terbukti membuahkan hasil?” tanya Lidia diakhiri dengan senyum tipis miliknya itu.
Setelah kalimat terakhirnya tersebut, semua isi ruangan tersebut pun bertepuk tangan. Kecakapan Lidia, dan juga kemampuannya yang baru permulaan ini membuat beberapa orang di sana terkagum-kagum.
Lidia menanggapinya dengan anggukan kepala dan senyuman lebar. Awal seperti ini, sangat membuat hatinya senang dan bahagia. Bahkan Kira, yang sedari awal berdiri di samping pintu masuk ruang rapat ikut tersenyum senang dan bertepuk tangan. Ia manganggukkan kepalanya berkali-kali dan mengacungkan kedua jempal tangannya pada Lidia.
“Baik, sampai di sini saja rapat hari ini. Mulai besok, kita akan mulai merealisasikan hasil rapat hari ini satu persatu. Saya akan terjun langsung ke semua departemen dan memeriksa serta langsung menevaluasi. Diharapkan semuanya bisa menyiapkan bagian masing-msing dengan baik, sehingga semua dapat berjalan dengan baik dan tidak membuang banyak waktu. Silahkan pulang dan beristirahat di rumah. Terima kasih, Selamat Malam!” tutup Lidia lalu merapihkan semua dokumen dan alat yang ia bawa tadi, lalu pergi ke ruangannya dan bersiap untuk pulang.
Hari ini, semua urusan kantor telah selesai. Lidia menghembuskan napas leganya setelah sampai di apartemen dan membersihkan diri. Kini, ia duduk di meja kerjanya dan membaca kembali berkas-berkas lama milik perusahaannya saat ini.Setelah sekitar tiga jam lebih ia mempelajari semuanya, Lidia pun mengeluarkan kotak kecil berharga miliknya yang telah lama sekali ia simpan. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya. Ia mengeluarkan sapu tangan hitam tersebut dari kotak khusus yang dibelinya saat di Amerika tiga tahun lalu di acara bazar kampus. Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya ia melihat wajah hangat itu lagi. Sang pemilik sapu tangan yang selama bertahun-tahun ini ia rawat. Entah mengapa, Lidia melakukan hal seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal isa-sia semacam itu. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.Lidia menaruh sapu tangan itu ke atas mejanya dengan hati-hati. Diusapnya perlahan, sapu tangan itu tetap lembut meski tela
Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabra
Semua masalah yang terjadi pagi ini telah teratasi dengan baik. Lidia dan Kira pun telah selesai memakan sandwich yang telah Lidia beli tadi pagi untuk sarapan. Dari keseluruhan penyelesaiannya, Lidia hanya membuat satu kesalahan saja. Ia lupa untuk meminta rok ganti yang sedikit lebih panjang agar lututnya yang telah dibalut plester luka tersebut dapat tertutupi.“Terlihat aneh, ya?” tanya Lidia pada Kira sambil menunjukkan penampilannya saat ini.Sebenarnya tidak ada yang salah dari pakaiannya saat ini, hanya saja bekas luka yang terbalut plester itu terlihat sedikit mencolok dan sedikit mengenaskan.“Tidak terlalu, kok.. Kamu terlihat sangat hebat, hanya..” jelas Kira menggantung dengan senyum yang dipaksakan.Lidia hanya menatap sekretaris mudanya tersebut dengan tatapan yang sangat datar. Karena sebenarnya ia telah tahu jawaban dari pertanyaannya tadi dengan sangat jelas. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaannya tidak akan bisa t
“Gio?..” batin Lidia.Setelah melakukan kesalahan tersebut, Gio pun langsung menunduk sambil terus mengucapkan kata maaf. Lidia yang melihat keberadaan Gio di kantornya ini pun sedikit merasa terkejut. Tak disangka, setelah bertahun-tahun ia bertemu kembali dengan seseorang yang sempat membuatnya kesulitan di masa SMA dahulu. Apalagi dengan kalimat yang sama sekali belum pernah ia dengarkan sebelumnya yaitu, “Maaf.”“Tidak ap..”Belum selesai Lidia menjawab permintaan maaf dari penabraknya tersebut, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil Gio dari arah belakang.“Gio! Surat proposal yang kuminta buatkan kemarin sudah selesai?” tanya wanita yang Lidia lihat tadi ikut rapat bersamanya.“Sudah, Bu,” jawab Gio langsung pergi menuju ke arah wanita yang memanggilnya tadi.Setelah itu, Lidia dan Kira pun memutuskan untuk langsung menuju ruangannya saja untuk beristirahat sebentar s
“Untuk semua perbuatanmu dulu, aku juga sudah memaafkan itu,” ucap Lidia tulus.Gio yang merasa makin bingung dengan perkataan Lidia barusan hanya mengerutkan keningnya.“Halo, lama tidak bertemu, Gio!” sapa Lidia dengan tawa yang tertahan.Sedangkan Gio, kini masih tampak bingung dengan apa yang dikatakan wanita di hadapannya dari tadi. Ia melihat Lidia sambil terus berpikir dan berusaha mengingat-ingat. Hingga tak lama kemudian Gio pun terkejut sambil membelalakkan kedua matanya.“Apa, Lidia? Tidak mungkin..” ucap Gio dengan nada kaget dan rasa tidak percayanya.Sedangkan Lidia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu dan kedua alis matanya saja.“Bagaimana kabarmu?” tanya Lidia sambil terus menahan tawanya.“Aku baik, astaga... Kau sendiri bagaimana?” tanya Gio kembali masih dengan nada tidak percaya.“Aku juga baik.”“Sejak kelulusan hari itu
“Sebenarnya kamulah yang selama ini paling kesulitan, aku melihat semuanya.”Lidia menatap Kira dengan raut penuh kebingungan. Ia merasa belum pernah bertemu dengan Kira sekalipun sebelumnya, apalagi di masa-masa sulitnya dulu. Ia ingat, ia tidak banyak bertemu dengan orang lain, karena memang tidak memiliki waktu untuk itu.“Aku sering ikut pamanku mengunjungimu ke desa yang dahulu sempat kau tinggali selama hampir tiga tahun itu. Aku memang tidak pernah ikut masuk, karena beberapa alasan. Jadi, aku hanya menunggu dari mobil saja dan memperhatikanmu dari sana. Dan lagi, mungkin kau tidak tahu, kami sering sekali diam-diam mengunjungimu. Memperhatikanmu dari jauh, dari dalam rumah guru Kevin guru bela dirimu, dan juga mengawasimu saat berjalan kaki jauh menuju ke sekolah dan ke tempat latihan. Aku melihat semuanya,” ungkap Kira sambil tersenyum sarat akan arti.Lidia hanya menatap Kira dengan tatapan tak percaya, tanpa ia sadari, ternyata
“Dasar pria sialan!!” umpat Lidia sambil melajukan mobilnya kembali ke kecepatan normal, setelah sebelumnya sempat memperlambatnya karena ingin melihat Ken di dalam kafe tersebut.Lidia sampai di apartemennya dengan keadaan suasana hati yang tidak baik. Ia masih merasa kesal. Meskipun belum tahu pasti siapa wanita yang bersama Ken di kafe tadi, tapi perasaannya terus dihinggapi rasa kecewa.Tidak ingin berlarut-larut dalam perasaan yang sia-sia, Lidia pun memutuskan untuk segera menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri saja. Meskipun sempat beberapa kali tetap terlintas pikiran tentang Ken di kepalanya, ia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan suatu hal yang lain.Setelah tubuhnya bersih dan terasa segar, Lidia langsung menuju ke meja kerjanya. Ia memeriksa daftar pekerjaan yang telah dibuat oleh Kira dari tab miliknya. Hari ini ia bahkan belum menyelesaikan seperempat dari target keseluruhan, padahal seharian penuh ia telah bekerja sangat ke
“Aku baik, Paman Jo. Kalian bagaimana?” tanya Lidia kembali pada dua orang tersebut.Kira yang memang telah mengetahui bahwa mereka berdua merupakan kerabat Lidia, tidak kaget sama sekali mendengar hal tersebut. Bahkan, orang-orang di kantor ini yang telah bekerja sejak lama pasti juga telah mengetahui fakta ini.“Kami sangat baik, Lidia. Sudah lama sekali kita tidak bertemu dan berbicara, bahkan aku sempat kaget melihat semua perubahanmu ini dalam rapat pertamamu tempo hari. Kami turut bangga melihatmu,” ungkap Paman Lidia.Lidia hanya membalasnya dengan senyum manis miliknya itu.“Bu, saya akan kembali ke ruangan terlebih dahulu,” ijin Kira pergi dari tempat tersebut, karena merasa kehadirannya akan mengganggu pertemuan keluarga jauh yang telah lama tidak bertemu ini. Dan Lidia pun hanya mengengguk untuk memberikan jawaban.“Sekarang kamu tinggal di mana, Nak? Di rumahmu yang dulu?” tany
Tapi, ia berusaha mengabaikannya untuk sekarang ini. Ia harus pergi ke toilet secepatnya terlebih dahulu. Dengan berjalan cepat dan mata yang was-was serta penuh waspada seperti itu, akhirnya Lidia sampai di toilet. Tempat yang sangat ingin ia tuju sedari tadi.Tidak memakan waktu yang lama, Lidia telah selesai dengan urusannya di toilet. Setelah mencuci tangannya di wastafel, perasaannya saat ini perlahan sudah mulai tenang. Mungkin yang ia rasakan tadi hanya perasaan negatifnya saja.Setelah mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer yang terpasang di dinding dekat kaca wastafel itu, Lidia berjalan keluar untuk segera pergi mencari makan. Perutnya sudah benar-benar keroncongan saat ini. Hari sudah semakin siang, dan perut Lidia masih belum terisi apapun sedari pagi.Saat baru saja keluar dari pintu toilet, tiba-tiba saja Lidia melihat ada beberapa orang yang berjalan menuju ke arahnya melalui ujung matanya. Meskipun tidak melihatnya dengan jelas ka
Setelah dipikir-pikir lagi, Lidia sebenarnya resah. Selain karena merasa ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya saat ini, ia juga bingung bagaimana cara agar ketakutannya bisa segera menghilang. Karena perasaannya ini sangat terasa tidak biasa serta tidak masuk akal sama sekali. Dan penjahat itu bisa mendatanginya lagi kapan saja.Lidia tiba di kantornya tanpa memakan banyak waktu. Sepertinya ia akan lebih sering naik bus nanti. Selain karena cepat, di dalam bus ini juga ramai. Halte pun hanya berjarak beberapa langkah saja dari gedung apartemennya dan juga kantor. Ia merasa lebih nyaman seperti ini.“Selamat pagi, Kira!”Lidia berjalan masuk ke dalam ruangannya sambil menyapa Kira yang memang selalu telah berada di sana sebelum dirinya. Karena terus-menerus berusaha menyembunyikan wajah, Lidia selalu memandang ke arah lain, agar Kira tidak menyadari kondisi terkini penampakan wajahnya saat ini.“Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak Bu C
Setelah beberapa lama ia baru sadar, bahwa tangannya tengah terikat saat ini. Resah, gelisah, hanya itu yang bisa Lidia rasakan. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa bisa berteriak sedikitpun.Hingga tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki orang.Dak, duk, dak, duk..Suara langkah kaki yang terdengar menggema, seperti suara orang yang memakai sepatu boot yang alasnya tebal dan keras. Perasaan Lidia makin tidak enak seiring dengan suara langkah itu yang terus mendekat. Napasnya memburu karena ketakutan, peluh dan keringat pun terus bercucuran. Pikirannya sama sekali tidak bisa tenang dan jernih. Berbagai macam dugaan memenuhi kepalanya hingga nyaris membuat pikirannya meledak bagai petasan.“Sebenarnya ada apa ini? Di mana aku?”Batin Lidia terus menerus berteriak. Meskipun rasanya se-menakutkan ini, tapi Lidia sepertinya memang pernah mengenal tempat ini. Setiap melihat di setiap sudut, rasanya seperti se
“Kenapa kau tidak peka sekali? Ini artinya aku ingin bersamamu, Lidia. Dasar!!” ungkap Ken sambil mengusap kepala Lidia gemas.Tawa keduanya pun pecah. Selama perjalanan, mereka terus melempar candaan ataupun saling meledek satu sama lain untuk meramaikan suasana. Keduanya seakan bisa melupakan hiruk pikuknya dunia yang begitu sibuk dan kejam meskipun hanya sejenak.Tidak terasa, saat ini mereka telah sampai di depan gedung apartemen Lidia. Bersamaan dengan itu, suasana juga jadi semakin hening. Helaan napas keduanya saling beradu yang menandakan rasa sedih. Untuk kesekian kalinya, keduanya harus saling melepaskan diri.“Sudah sampai,” ujar Lidia dengan senyum tipis yang bertengger manis di wajahnya. Namun, di dalam nadanya tersimpan banyak sekali kesedihan.“Kenapa? Kau lega akan segera berpisah denganku?” canda Ken.“Tidak, aku malah merasa sedih, tahu.”Mereka saling menatap. Berusaha menyer
“Ken, kini giliran kau. Kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur,” ujar Lidia dengan dengan raut yang sok diseriuskan.Ken melihat perilaku Lidia yang menurutnya menggemaskan itu hanya bisa tertawa kecil. Entah mengapa, setiap pergerakan kecil yang dilakukan oleh Lidia selalu dapat membuatnya terpikat. Seumur hidup, baru kali ini ia merasakan perasaan yang seperti ini. Perasaan yang terasa sangat rumit dan juga membingungkan, terkadang rasa senang dan gelisah bisa terjadi dalam satu waktu. Mungkin karena memang dalam hidupnya ia belum pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya, sehingga perasaan asing yang memaksa masuk dalam kehidupannya itu pun menjadi suatu hal yang cukup mengagetkan bagi perasaannya. Begitu pula bagi Lidia.“Baiklah, kau mau bertanya apa?”Lidia menatap Ken penuh selidik. Tapi setelah beberapa saat, tiba-tiba saja ia menjadi ragu. Setelah beberapa detik memikirkannya lagi, Lidia berniat untuk mengurungkan niatnya saj
Ken hanya membuang napasnya jengah, ia terus menatap Lidia dengan raut yang sangat serius. Entah mengapa, hal itu membuat Lidia sedikit khawatir.“Kalau kau percaya padaku, seperti aku mempercayaimu, tolong jawab dengan jujur pertanyaanku.”Lidia semakin bingung dan khawatir dibuatnya, raut Ken yang se-serius itu sedikit membuat jantungnya berdebar. Sambil menaruh cangkirnya ke atas meja, Lidia bertanya, “Apa?” dengan nada yang terdengar mengambang.“Ada apa?” tanya Ken dengan suara berat lembutnya itu. Matanya pun juga ikut melembut.“Apa yang kau maksud?” tanya Lidia.Ken hanya mendengus. Ia sudah menduga, Lidia tidak akan langsung berbicara jujur padanya.Melihat raut Ken yang berubah menjadi seperti kecewa itu, Lidia akhirnya memilih menyerah. Ia sadar, bahwa Ken telah percaya penuh padanya, bahkan sampai memberitahu pekerjaan super rahasianya saat ini. Ia tidak ingin membuat Ken kecewa. Ak
Ken pun langsung berdiri tepat di hadapan Lidia, ia tersenyum pada wanita di depannya ini dengan maksud menyapa. Belum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba Lidia memeluk Ken erat. Sangat erat. Tubuh Lidia yang sedari tadi menahan gemetar itupun kembali melepaskan semuanya tepat di dalam pelukan Ken. Ia benar-benar membutuhkan sebuah pelukan saat ini, sekedar untuk menghilangkan semua ketakutannya.“Kau kenapa, Lidia?” tanya Ken setelah memastikan bahwa tubuh Lidia sudah tidak bergetar lagi. Ia memang menunggu saat-saat Lidia tenang terlebih dahulu, sebelum menanyakaan keadaannya.Semenjak Lidia tiba-tiba saja memeluknya tadi, Ken yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Lidia. Apalagi keadaan Lidia yang sedikit berantakan dan juga ceroboh ini, sama sekali seperti bukan Lidia biasanya. Meskipun hanya bertemu beberapa kali, Ken sudah sangat hafal betul bagaimana Lidia.Lidia pun melepaskan pelukannya secara perlahan, lalu menarik napas leganya yang sejak
“Siapa di sana?” tanya Lidia dengan nada yang sangat hati-hati.Tidak ada jawaban.Namun, Lidia tahu bahwa seirig dengan pergerekannya yang perlahan seperti saat ini, pria tersebut juga ikut bergerak. Ia terus berjalan mendekat dengan langkah lebih pelan lagi. Ia terus saja mendekat, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.Saat posisinya sudah benar-benar dekat, tanpa memberi celah sedikitpun Lidia langsung berbelok dengan cepat menuju ke tempat yang ia duga menjadi tempat bersembunyinya orang mencurigakan tadi.“Siapa..?” ucapnya dengan nada yang sedikit lebih keras, dan menggangtung di bagian akhirnya.Namun, saat ia melihat tempat itu, di sana tidak ada satupun orang. Hanya angin lalu yang memenuhi tempat itu. Lidia pun mengerutkan dahinya bingung, ia yakin sekali di sini tadi ada orang. Ia celingukan ke arah sekitar untuk memastikan tidak ada orang lagi selain dirinya. Dan ya, basement ini sepi, bahkan sangat sepi.
“Aku baik, Paman Jo. Kalian bagaimana?” tanya Lidia kembali pada dua orang tersebut.Kira yang memang telah mengetahui bahwa mereka berdua merupakan kerabat Lidia, tidak kaget sama sekali mendengar hal tersebut. Bahkan, orang-orang di kantor ini yang telah bekerja sejak lama pasti juga telah mengetahui fakta ini.“Kami sangat baik, Lidia. Sudah lama sekali kita tidak bertemu dan berbicara, bahkan aku sempat kaget melihat semua perubahanmu ini dalam rapat pertamamu tempo hari. Kami turut bangga melihatmu,” ungkap Paman Lidia.Lidia hanya membalasnya dengan senyum manis miliknya itu.“Bu, saya akan kembali ke ruangan terlebih dahulu,” ijin Kira pergi dari tempat tersebut, karena merasa kehadirannya akan mengganggu pertemuan keluarga jauh yang telah lama tidak bertemu ini. Dan Lidia pun hanya mengengguk untuk memberikan jawaban.“Sekarang kamu tinggal di mana, Nak? Di rumahmu yang dulu?” tany