Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.
Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.
Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabraknya itu. Semua tampak sangat mencurigakan. Ia benar-benar tidak bisa melihat wajah pelaku tersebut sama sekali. Sudah sangat jelas sekali, bahwa kejadian ini memang benar-benar telah direncanakan sebelumnya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya wanita penjual sandwich yang tadi sempat dibeli oleh Lidia.
Setelah melihat Lidia terjatuh tadi, wanita tersebut langsung berlari untuk segera menolongnya. Karena sepagi ini di kawasan tersebut masih sepi, tak ada pilihan lain baginya selain menolong Lidia yang terserempet motor dengan mengenaskan tadi.
Lidia yang telah bangkit lalu berjalan menuju ke tempat duduk terdekatnya ini, masih tidak bisa menjawab pertannya dari wanita di hadapannya. Karena masih sedikit kaget dan bingung. Ditambah lagi pikirannya yang berkecamuk tentang siapa sebenarnya penabrak tadi dan apa yang sebenarnya terjadi padanya kini. Terlalu banyak kejanggalan yang ia lihat dari kejadian barusan.
“Hei..” panggil penjual sandwich lagi sambil mengguncangkan kedua bahu Lidia.
Lidia yang langsung sadar pun menoleh pada wanita yang baru menolongnya tersebut, lalu beralih ke arah beberapa luka yang ada di tubuhnya karena mulai terasa semakin perih.
“Aku baik-baik saja, terima kasih telah menolongku.”
“Kau yakin? Dengan luka seperti ini?” tanya wanita tersebut ragu dan khawatir.
Setelah itu Lidia pun berdiri dan memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Meskipun sebenarnya tidak, tapi ia tidak mau lebih merepotkan wanita yang seharusnya kini menjaga food truck-nya itu.
“Lihat? Kau tenang saja, aku baik. Terima kasih sekali lagi karena telah menolongku,” ujar Lidia sambil berjalan menuju ke arah pot di mana ia menaruh sandwichnya tadi.
Sebelum benar-benar menyeberang dan kembali, ia menyempatkan diri untuk tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda rasa terima kasihnya pada penjual sandwich baik hati tersebut.
Sembil berjalan masuk ke dalam kantor yang masih belum banyak orang ini, Lidia terus memandangi luka-luka yang ia peroleh dari kecelakaan tadi. Jika dipikir-pikir lagi, hal ini mengingatkannya dengan insiden saat SMA dulu. Saat Gio, teman sekelasnya itu menjegalnya sampai jatuh tersungkur dan terluka di bagian yang hampir mirip dengan lukanya saat ini. Hanya kurang mimisan saja, pasti semua akan tampak sama persis mengenaskannya.
Lidia memasuki lift dengan napas kesal. Kemeja blouse putih berharganya kini tampak lusuh, bahkan di bagian kedua sikunya sudah berlubang karena terjatuh tadi. Dan juga karena rok miliknya panjangnya tidak sampai menutup lutut, alhasil luka di area situlah yang tampak paling parah.
Namun, semua itu sama sekali tidak menjadi masalah bagi Lidia. Rasa sakit yang ia rasakan saat ini, sama sekali tidak sebanding dengan semua luka yang pernah ia terima sejak dahulu. Yang awalnya hanya terbiasa dengan luka dan rasa sakit, kini semua itu bahkan telah menjadi teman dekatnya selama hidup.
Setelah lift terbuka, Lidia sekali lagi memantapkan diri. Untuk hari ini, meskipun diawali dengan kejadian tidak mengenakkan, ia akan tetap melakukan yang terbaik bagi perusahaannya. Ia pasti bisa mengatasi semuanya. Asalkan ia bisa mempercayai diri sendiri dan berusaha keras, pasti ada jalan. Walau jalan tersebut penuh liku dan batu.
Lidia merapihkan poni tipisnya yang ternyata sedikit berantakan, sebelum masuk ke ruangannya. Ia memandang dirinya dari pantulan kaca kecil di pintu ruangannya tersebut. Untung saja, rambut panjangnya yang telah dikuncir sangat rapi itu tidak ikut berantakan. Jadi, ia tak perlu merapikannya lagi.
“Astaga!! Bu Lidia, kamu kenapa?” tanya Kira dengan nada terkejut setelah melihat Lidia masuk dalam keadaan yang mengenaskan.
“Sudah kubilang, aku tidak suka dipanggil Ibu. Aku bukan ibumu. Panggil Lidia saja,” ungkap Lidia dengan menghiraukan pertanyaan seketarisnya tadi.
“Baiklah baiklah, Lidia. Kenapa bisa sampai seperti ini?” tanya Kira sambil memeriksa semua luka yang dimiliki oleh CEO muda di depannya ini.
“Kecelakaan kecil, aku baik-baik saja. Tapi pakaianku ini sama sekali tidak baik. Bisa minta tolong kau carikan baju baru? Aku tidak bisa pulang sekarang, karena sudah hampir jam masuk kantor.”
“Baiklah akan segera aku carikan. Dan bagaimana dengan luka-lukamu ini? Perlu ke rumah sakit?” tanya Kira sambil sibuk memeriksa tablet miliknya untuk langsung mengurus apa yang baru saja diminta oleh Lidia tersebut.
“Tidak perlu, aku hanya perlu kotak P3K. Aku bisa mengobatinya sendiri,” jelasnya sambil mengusap darah yang sedikir menetes dari siku dan lututnya itu menggunakan tissue yang sempat ia ambil tadi.
“Kau yakin?” tanya Kira ragu.
“Sangat yakin. Luka seperti ini tidak ada apa-apanya, kau tahu. Aku pernah beberapa kali lebih parah,” jawab Lidia dan diakhiri dengan kekehan renyah.
Kira melihat wanita muda sangar di depannya ini dengan hanya menggelengkan kepala saja. Ia pun segera mengambilkannya kotak P3K dari lemari kecil khusus, yang memang khusus untuk peralatan medis dalam penanganan pertama.
Setelah memberikan kotak tersebut pada Lidia, yang kini sudah duduk di sofa ruangan ini. Kira lihat, Lidia memang benar-benar lihai dan telaten dalam mengobati luka-lukanya. Bahkan ia tidak mengeluh sedikitpun, atau setidaknya meringis kesakitan. Namun tidak, Lidia mengurus semua lukanya dengan raut sangat tenang.
Tidak lama setelah itu, Kira pergi keluar ruangan tersebut dan langsung kembali dengan membawa pakaian ganti yang diminta oleh Lidia tadi.
“Setelah ini kita langsung mulai mengevaluasi anggota direksi, dari para semua direktur sampai ke divisi-divisi yang ada di perusahaan ini. Kita harus memperbaiki seluruh departemen. Aku ingin melihat kinerja mereka selama ini, dan memperbaiki sistem-sistem rapuh yang bisa jadi akan menyebabkan suatu kesalahan ataupun kerugian nantinya,” jelas Lidia setelah menerima pakaian yang telah dibawakan untuknya tersebut.
“Baiklah.. Sekarang kau urus saja dirimu dahulu. Jika butuh apa-apa langsung hubungi aku.”
Semua masalah yang terjadi pagi ini telah teratasi dengan baik. Lidia dan Kira pun telah selesai memakan sandwich yang telah Lidia beli tadi pagi untuk sarapan. Dari keseluruhan penyelesaiannya, Lidia hanya membuat satu kesalahan saja. Ia lupa untuk meminta rok ganti yang sedikit lebih panjang agar lututnya yang telah dibalut plester luka tersebut dapat tertutupi.“Terlihat aneh, ya?” tanya Lidia pada Kira sambil menunjukkan penampilannya saat ini.Sebenarnya tidak ada yang salah dari pakaiannya saat ini, hanya saja bekas luka yang terbalut plester itu terlihat sedikit mencolok dan sedikit mengenaskan.“Tidak terlalu, kok.. Kamu terlihat sangat hebat, hanya..” jelas Kira menggantung dengan senyum yang dipaksakan.Lidia hanya menatap sekretaris mudanya tersebut dengan tatapan yang sangat datar. Karena sebenarnya ia telah tahu jawaban dari pertanyaannya tadi dengan sangat jelas. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaannya tidak akan bisa t
“Gio?..” batin Lidia.Setelah melakukan kesalahan tersebut, Gio pun langsung menunduk sambil terus mengucapkan kata maaf. Lidia yang melihat keberadaan Gio di kantornya ini pun sedikit merasa terkejut. Tak disangka, setelah bertahun-tahun ia bertemu kembali dengan seseorang yang sempat membuatnya kesulitan di masa SMA dahulu. Apalagi dengan kalimat yang sama sekali belum pernah ia dengarkan sebelumnya yaitu, “Maaf.”“Tidak ap..”Belum selesai Lidia menjawab permintaan maaf dari penabraknya tersebut, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil Gio dari arah belakang.“Gio! Surat proposal yang kuminta buatkan kemarin sudah selesai?” tanya wanita yang Lidia lihat tadi ikut rapat bersamanya.“Sudah, Bu,” jawab Gio langsung pergi menuju ke arah wanita yang memanggilnya tadi.Setelah itu, Lidia dan Kira pun memutuskan untuk langsung menuju ruangannya saja untuk beristirahat sebentar s
“Untuk semua perbuatanmu dulu, aku juga sudah memaafkan itu,” ucap Lidia tulus.Gio yang merasa makin bingung dengan perkataan Lidia barusan hanya mengerutkan keningnya.“Halo, lama tidak bertemu, Gio!” sapa Lidia dengan tawa yang tertahan.Sedangkan Gio, kini masih tampak bingung dengan apa yang dikatakan wanita di hadapannya dari tadi. Ia melihat Lidia sambil terus berpikir dan berusaha mengingat-ingat. Hingga tak lama kemudian Gio pun terkejut sambil membelalakkan kedua matanya.“Apa, Lidia? Tidak mungkin..” ucap Gio dengan nada kaget dan rasa tidak percayanya.Sedangkan Lidia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu dan kedua alis matanya saja.“Bagaimana kabarmu?” tanya Lidia sambil terus menahan tawanya.“Aku baik, astaga... Kau sendiri bagaimana?” tanya Gio kembali masih dengan nada tidak percaya.“Aku juga baik.”“Sejak kelulusan hari itu
“Sebenarnya kamulah yang selama ini paling kesulitan, aku melihat semuanya.”Lidia menatap Kira dengan raut penuh kebingungan. Ia merasa belum pernah bertemu dengan Kira sekalipun sebelumnya, apalagi di masa-masa sulitnya dulu. Ia ingat, ia tidak banyak bertemu dengan orang lain, karena memang tidak memiliki waktu untuk itu.“Aku sering ikut pamanku mengunjungimu ke desa yang dahulu sempat kau tinggali selama hampir tiga tahun itu. Aku memang tidak pernah ikut masuk, karena beberapa alasan. Jadi, aku hanya menunggu dari mobil saja dan memperhatikanmu dari sana. Dan lagi, mungkin kau tidak tahu, kami sering sekali diam-diam mengunjungimu. Memperhatikanmu dari jauh, dari dalam rumah guru Kevin guru bela dirimu, dan juga mengawasimu saat berjalan kaki jauh menuju ke sekolah dan ke tempat latihan. Aku melihat semuanya,” ungkap Kira sambil tersenyum sarat akan arti.Lidia hanya menatap Kira dengan tatapan tak percaya, tanpa ia sadari, ternyata
“Dasar pria sialan!!” umpat Lidia sambil melajukan mobilnya kembali ke kecepatan normal, setelah sebelumnya sempat memperlambatnya karena ingin melihat Ken di dalam kafe tersebut.Lidia sampai di apartemennya dengan keadaan suasana hati yang tidak baik. Ia masih merasa kesal. Meskipun belum tahu pasti siapa wanita yang bersama Ken di kafe tadi, tapi perasaannya terus dihinggapi rasa kecewa.Tidak ingin berlarut-larut dalam perasaan yang sia-sia, Lidia pun memutuskan untuk segera menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri saja. Meskipun sempat beberapa kali tetap terlintas pikiran tentang Ken di kepalanya, ia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan suatu hal yang lain.Setelah tubuhnya bersih dan terasa segar, Lidia langsung menuju ke meja kerjanya. Ia memeriksa daftar pekerjaan yang telah dibuat oleh Kira dari tab miliknya. Hari ini ia bahkan belum menyelesaikan seperempat dari target keseluruhan, padahal seharian penuh ia telah bekerja sangat ke
“Aku baik, Paman Jo. Kalian bagaimana?” tanya Lidia kembali pada dua orang tersebut.Kira yang memang telah mengetahui bahwa mereka berdua merupakan kerabat Lidia, tidak kaget sama sekali mendengar hal tersebut. Bahkan, orang-orang di kantor ini yang telah bekerja sejak lama pasti juga telah mengetahui fakta ini.“Kami sangat baik, Lidia. Sudah lama sekali kita tidak bertemu dan berbicara, bahkan aku sempat kaget melihat semua perubahanmu ini dalam rapat pertamamu tempo hari. Kami turut bangga melihatmu,” ungkap Paman Lidia.Lidia hanya membalasnya dengan senyum manis miliknya itu.“Bu, saya akan kembali ke ruangan terlebih dahulu,” ijin Kira pergi dari tempat tersebut, karena merasa kehadirannya akan mengganggu pertemuan keluarga jauh yang telah lama tidak bertemu ini. Dan Lidia pun hanya mengengguk untuk memberikan jawaban.“Sekarang kamu tinggal di mana, Nak? Di rumahmu yang dulu?” tany
“Siapa di sana?” tanya Lidia dengan nada yang sangat hati-hati.Tidak ada jawaban.Namun, Lidia tahu bahwa seirig dengan pergerekannya yang perlahan seperti saat ini, pria tersebut juga ikut bergerak. Ia terus berjalan mendekat dengan langkah lebih pelan lagi. Ia terus saja mendekat, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.Saat posisinya sudah benar-benar dekat, tanpa memberi celah sedikitpun Lidia langsung berbelok dengan cepat menuju ke tempat yang ia duga menjadi tempat bersembunyinya orang mencurigakan tadi.“Siapa..?” ucapnya dengan nada yang sedikit lebih keras, dan menggangtung di bagian akhirnya.Namun, saat ia melihat tempat itu, di sana tidak ada satupun orang. Hanya angin lalu yang memenuhi tempat itu. Lidia pun mengerutkan dahinya bingung, ia yakin sekali di sini tadi ada orang. Ia celingukan ke arah sekitar untuk memastikan tidak ada orang lagi selain dirinya. Dan ya, basement ini sepi, bahkan sangat sepi.
Ken pun langsung berdiri tepat di hadapan Lidia, ia tersenyum pada wanita di depannya ini dengan maksud menyapa. Belum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba Lidia memeluk Ken erat. Sangat erat. Tubuh Lidia yang sedari tadi menahan gemetar itupun kembali melepaskan semuanya tepat di dalam pelukan Ken. Ia benar-benar membutuhkan sebuah pelukan saat ini, sekedar untuk menghilangkan semua ketakutannya.“Kau kenapa, Lidia?” tanya Ken setelah memastikan bahwa tubuh Lidia sudah tidak bergetar lagi. Ia memang menunggu saat-saat Lidia tenang terlebih dahulu, sebelum menanyakaan keadaannya.Semenjak Lidia tiba-tiba saja memeluknya tadi, Ken yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Lidia. Apalagi keadaan Lidia yang sedikit berantakan dan juga ceroboh ini, sama sekali seperti bukan Lidia biasanya. Meskipun hanya bertemu beberapa kali, Ken sudah sangat hafal betul bagaimana Lidia.Lidia pun melepaskan pelukannya secara perlahan, lalu menarik napas leganya yang sejak
Tapi, ia berusaha mengabaikannya untuk sekarang ini. Ia harus pergi ke toilet secepatnya terlebih dahulu. Dengan berjalan cepat dan mata yang was-was serta penuh waspada seperti itu, akhirnya Lidia sampai di toilet. Tempat yang sangat ingin ia tuju sedari tadi.Tidak memakan waktu yang lama, Lidia telah selesai dengan urusannya di toilet. Setelah mencuci tangannya di wastafel, perasaannya saat ini perlahan sudah mulai tenang. Mungkin yang ia rasakan tadi hanya perasaan negatifnya saja.Setelah mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer yang terpasang di dinding dekat kaca wastafel itu, Lidia berjalan keluar untuk segera pergi mencari makan. Perutnya sudah benar-benar keroncongan saat ini. Hari sudah semakin siang, dan perut Lidia masih belum terisi apapun sedari pagi.Saat baru saja keluar dari pintu toilet, tiba-tiba saja Lidia melihat ada beberapa orang yang berjalan menuju ke arahnya melalui ujung matanya. Meskipun tidak melihatnya dengan jelas ka
Setelah dipikir-pikir lagi, Lidia sebenarnya resah. Selain karena merasa ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya saat ini, ia juga bingung bagaimana cara agar ketakutannya bisa segera menghilang. Karena perasaannya ini sangat terasa tidak biasa serta tidak masuk akal sama sekali. Dan penjahat itu bisa mendatanginya lagi kapan saja.Lidia tiba di kantornya tanpa memakan banyak waktu. Sepertinya ia akan lebih sering naik bus nanti. Selain karena cepat, di dalam bus ini juga ramai. Halte pun hanya berjarak beberapa langkah saja dari gedung apartemennya dan juga kantor. Ia merasa lebih nyaman seperti ini.“Selamat pagi, Kira!”Lidia berjalan masuk ke dalam ruangannya sambil menyapa Kira yang memang selalu telah berada di sana sebelum dirinya. Karena terus-menerus berusaha menyembunyikan wajah, Lidia selalu memandang ke arah lain, agar Kira tidak menyadari kondisi terkini penampakan wajahnya saat ini.“Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak Bu C
Setelah beberapa lama ia baru sadar, bahwa tangannya tengah terikat saat ini. Resah, gelisah, hanya itu yang bisa Lidia rasakan. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa bisa berteriak sedikitpun.Hingga tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki orang.Dak, duk, dak, duk..Suara langkah kaki yang terdengar menggema, seperti suara orang yang memakai sepatu boot yang alasnya tebal dan keras. Perasaan Lidia makin tidak enak seiring dengan suara langkah itu yang terus mendekat. Napasnya memburu karena ketakutan, peluh dan keringat pun terus bercucuran. Pikirannya sama sekali tidak bisa tenang dan jernih. Berbagai macam dugaan memenuhi kepalanya hingga nyaris membuat pikirannya meledak bagai petasan.“Sebenarnya ada apa ini? Di mana aku?”Batin Lidia terus menerus berteriak. Meskipun rasanya se-menakutkan ini, tapi Lidia sepertinya memang pernah mengenal tempat ini. Setiap melihat di setiap sudut, rasanya seperti se
“Kenapa kau tidak peka sekali? Ini artinya aku ingin bersamamu, Lidia. Dasar!!” ungkap Ken sambil mengusap kepala Lidia gemas.Tawa keduanya pun pecah. Selama perjalanan, mereka terus melempar candaan ataupun saling meledek satu sama lain untuk meramaikan suasana. Keduanya seakan bisa melupakan hiruk pikuknya dunia yang begitu sibuk dan kejam meskipun hanya sejenak.Tidak terasa, saat ini mereka telah sampai di depan gedung apartemen Lidia. Bersamaan dengan itu, suasana juga jadi semakin hening. Helaan napas keduanya saling beradu yang menandakan rasa sedih. Untuk kesekian kalinya, keduanya harus saling melepaskan diri.“Sudah sampai,” ujar Lidia dengan senyum tipis yang bertengger manis di wajahnya. Namun, di dalam nadanya tersimpan banyak sekali kesedihan.“Kenapa? Kau lega akan segera berpisah denganku?” canda Ken.“Tidak, aku malah merasa sedih, tahu.”Mereka saling menatap. Berusaha menyer
“Ken, kini giliran kau. Kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur,” ujar Lidia dengan dengan raut yang sok diseriuskan.Ken melihat perilaku Lidia yang menurutnya menggemaskan itu hanya bisa tertawa kecil. Entah mengapa, setiap pergerakan kecil yang dilakukan oleh Lidia selalu dapat membuatnya terpikat. Seumur hidup, baru kali ini ia merasakan perasaan yang seperti ini. Perasaan yang terasa sangat rumit dan juga membingungkan, terkadang rasa senang dan gelisah bisa terjadi dalam satu waktu. Mungkin karena memang dalam hidupnya ia belum pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya, sehingga perasaan asing yang memaksa masuk dalam kehidupannya itu pun menjadi suatu hal yang cukup mengagetkan bagi perasaannya. Begitu pula bagi Lidia.“Baiklah, kau mau bertanya apa?”Lidia menatap Ken penuh selidik. Tapi setelah beberapa saat, tiba-tiba saja ia menjadi ragu. Setelah beberapa detik memikirkannya lagi, Lidia berniat untuk mengurungkan niatnya saj
Ken hanya membuang napasnya jengah, ia terus menatap Lidia dengan raut yang sangat serius. Entah mengapa, hal itu membuat Lidia sedikit khawatir.“Kalau kau percaya padaku, seperti aku mempercayaimu, tolong jawab dengan jujur pertanyaanku.”Lidia semakin bingung dan khawatir dibuatnya, raut Ken yang se-serius itu sedikit membuat jantungnya berdebar. Sambil menaruh cangkirnya ke atas meja, Lidia bertanya, “Apa?” dengan nada yang terdengar mengambang.“Ada apa?” tanya Ken dengan suara berat lembutnya itu. Matanya pun juga ikut melembut.“Apa yang kau maksud?” tanya Lidia.Ken hanya mendengus. Ia sudah menduga, Lidia tidak akan langsung berbicara jujur padanya.Melihat raut Ken yang berubah menjadi seperti kecewa itu, Lidia akhirnya memilih menyerah. Ia sadar, bahwa Ken telah percaya penuh padanya, bahkan sampai memberitahu pekerjaan super rahasianya saat ini. Ia tidak ingin membuat Ken kecewa. Ak
Ken pun langsung berdiri tepat di hadapan Lidia, ia tersenyum pada wanita di depannya ini dengan maksud menyapa. Belum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba Lidia memeluk Ken erat. Sangat erat. Tubuh Lidia yang sedari tadi menahan gemetar itupun kembali melepaskan semuanya tepat di dalam pelukan Ken. Ia benar-benar membutuhkan sebuah pelukan saat ini, sekedar untuk menghilangkan semua ketakutannya.“Kau kenapa, Lidia?” tanya Ken setelah memastikan bahwa tubuh Lidia sudah tidak bergetar lagi. Ia memang menunggu saat-saat Lidia tenang terlebih dahulu, sebelum menanyakaan keadaannya.Semenjak Lidia tiba-tiba saja memeluknya tadi, Ken yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Lidia. Apalagi keadaan Lidia yang sedikit berantakan dan juga ceroboh ini, sama sekali seperti bukan Lidia biasanya. Meskipun hanya bertemu beberapa kali, Ken sudah sangat hafal betul bagaimana Lidia.Lidia pun melepaskan pelukannya secara perlahan, lalu menarik napas leganya yang sejak
“Siapa di sana?” tanya Lidia dengan nada yang sangat hati-hati.Tidak ada jawaban.Namun, Lidia tahu bahwa seirig dengan pergerekannya yang perlahan seperti saat ini, pria tersebut juga ikut bergerak. Ia terus berjalan mendekat dengan langkah lebih pelan lagi. Ia terus saja mendekat, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.Saat posisinya sudah benar-benar dekat, tanpa memberi celah sedikitpun Lidia langsung berbelok dengan cepat menuju ke tempat yang ia duga menjadi tempat bersembunyinya orang mencurigakan tadi.“Siapa..?” ucapnya dengan nada yang sedikit lebih keras, dan menggangtung di bagian akhirnya.Namun, saat ia melihat tempat itu, di sana tidak ada satupun orang. Hanya angin lalu yang memenuhi tempat itu. Lidia pun mengerutkan dahinya bingung, ia yakin sekali di sini tadi ada orang. Ia celingukan ke arah sekitar untuk memastikan tidak ada orang lagi selain dirinya. Dan ya, basement ini sepi, bahkan sangat sepi.
“Aku baik, Paman Jo. Kalian bagaimana?” tanya Lidia kembali pada dua orang tersebut.Kira yang memang telah mengetahui bahwa mereka berdua merupakan kerabat Lidia, tidak kaget sama sekali mendengar hal tersebut. Bahkan, orang-orang di kantor ini yang telah bekerja sejak lama pasti juga telah mengetahui fakta ini.“Kami sangat baik, Lidia. Sudah lama sekali kita tidak bertemu dan berbicara, bahkan aku sempat kaget melihat semua perubahanmu ini dalam rapat pertamamu tempo hari. Kami turut bangga melihatmu,” ungkap Paman Lidia.Lidia hanya membalasnya dengan senyum manis miliknya itu.“Bu, saya akan kembali ke ruangan terlebih dahulu,” ijin Kira pergi dari tempat tersebut, karena merasa kehadirannya akan mengganggu pertemuan keluarga jauh yang telah lama tidak bertemu ini. Dan Lidia pun hanya mengengguk untuk memberikan jawaban.“Sekarang kamu tinggal di mana, Nak? Di rumahmu yang dulu?” tany