Pesan singkat dari Glen masuk satu jam setelah Jane selesai makan siang. Keningnya berkerut ketika membaca alamat yang tertera di layar ponselnya.
"Mrs. Diodra, International Hotel, Room 414, pukul 18 sore? Tidak biasanya klien minta ketemu di kamar hotel," pikir Jane dalam hati. "Ah, mungkin klien tidak punya cukup waktu untuk membuat janji temu di tempat lain," kilah Jane kemudian. Ia berusaha untuk membangun pikiran positif karena berharap banyak dengan proyek ini.Pukul 18 kurang sepuluh menit Jane sudah sampai di depan kamar hotel kliennya. Jane mengetuk pintu itu dengan perlahan. Beberapa saat kemudian Jane mendengar langkah kaki mendekati pintu.Cklek! Pintu itu terbuka.Jane menunggu pintu itu terbuka lebih lebar, tapi penghuni kamar itu tidak membukanya lebih lebar.Jane akhirnya berinisiatif melangkahkan kakinya ke dalam kamar terlebih dahuku. Kemudian berkata, "Selamat malam Mrs. Diodra. Saya Jane, rekan Tn. Glen."[Hening, tidak terdengar respon sama sekali]Jane melangkah lagi, lebih jauh ke dalam kamar mendekati ranjang."Mrs. Diodra?" panggil Jane lagi.Tiba-tiba dari arah belakang muncul tangan kekar yang berusaha membekap mulut Jane. Jane bergerak refleks menghindar, dengan cepat memutar tubuhnya. Memposisikan dirinya berhadapan dengan sosok yang baru saja menyerangnya."Bobby Parker?" Seru Jane terkejut ketika mengenali identitas pria di depannya. Dia tidak menyangka sama sekali jika akan bertemu dengan pria yang telah mengejarnya selama 2 tahun terakhir itu.Bobby Parker sebenarnya pemuda berparas tampan. Tubuhnya atletis, bola matanya biru. Pria berdarah campuran itu memang memiliki pesona yang sangat menggoda. Ditambah lagi dengan status putra pengusaha terkenal membuat Bobby selalu menjadi incaran wanita-wanita cantik yang tergiur dengan harta kekayaannya. Tahu betul dengan pesona dirinya itu, Bobby tumbuh menjadi pemuda yang selalu berpindah dari satu wanita ke wanita lainnya. Sejak remaja, dia selalu berhasil menakhlukkan wanita yang ia inginkan.Sampai ia bertemu dengan Jane saat pindah ke Hellion University. Pesona gadis itu langsung menarik perhatiannya. Tapi Jane ternyata berbeda dengan wanita kebanyakan yang ia kenal. Jane terlihat angkuh dan sulit untuk disentuh. Padahal latar belakang Jane tidaklah istimewa. Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Beasiswalah yang membuat Jane berhasil memasuki universtas bergengsi itu.Jane selalu tersenyum ramah kepada siapa saja, namun jika didekati secara personal ia akan langsung menarik diri. Sosoknya berubah menjadi gunung es yang sulit untuk didekati.Namun, Bobby Parker tidak mau menyerah begitu saja. Justru ia merasa semakin tertantang untuk menakhlukkan Jane. Baginya, penolakan Jane telah menodai reputasinya sebagai pria yang paling diinginkan selama ini.Dia beruntung, mengenal Cherry, teman sekelas Jane. Bobby paham sekali wanita seperti apa Cherry Calistya. Dia adalah serigala berbulu domba. Bobby adalah satu-satunya saksi mata yang mengetahui trik licik yang Cherry lakukan pada Jane 3 tahun yang lalu. Hal itu tentu saja Bobby manfaatkan untuk bersenang-senang dengan Cherry. Berkat rahasia yang ia pegang, ia bebas menikmati tubuh Cherry kapan saja ia mau.Sebenarnya Bobby kasihan melihat Jane. Tetapi penolakan Jane membuat harga dirinya terluka. Hal itu merubah rasa kasihannya menjadi benci. Sekarang keinginannya hanya satu, memiliki Jane seutuhnya."Halo, Sayang," sapa Bobby dengan senyuman licik."Kau! Mengapa kau ada di sini? Mana Mrs. Diodra?" tanya Jane heran. Dia masih belum memahami situasi."Diodra? Siapa dia? Ini kamarku. Bukankah kamu datang untuk bersenang-senang denganku?" Seringai Bobby. Dia melangkah mendekati Jane yang terpojok di sisi ranjang.Saat itu Jane mengenakan kemeja formal dengan rok selutut berwarna maroon. Bajunya sederhana, dan sopan. Tidak ketat sama sekali, justru kemejanya berukuran lebih besar dari seharusnya. Tapi, di mata Bobby semua itu justru membuat Jane terlihat lebih seksi. Dadanya terlihat penuh dan menantang di balik kemeja longgarnya. Pinggang Jane yang ramping dan bokongnya yang menonjol seksi membuat Bobby sulit untuk menahan diri. Ia ingin memeluk pinggang itu, merengkuhnya erat sehingga 'dua bola' yang menggiurkan itu menyentuh dadanya.Kulit putih mulus Jane pun terlihat begitu kontras dengan rok warna maroon yang ia pakai. Bobby yakin, bagian dalam Jane pasti tidak kalah mulusnya. Hal itu membuat Bobby semakin sulit untuk mengendalikan dirinya."Menemuimu? Cuih! Jangan bermimpi! Aku tidak pernah berminat untuk menjadi mainanmu," sanggah Jane meradang. Bola matanya memancarkan amarah yang sangat besar.Bobby tertawa mendengar jawaban Jane."Jangan membuat lelucon, Jane sayang. Sudahlah, daripada berdebat mengapa kita tidak gunakan waktu berharga ini untuk bersenang-senang. Aku bisa pastikan, kau pasti akan ketagihan setelah ini," ujar Bobby dengan percaya diri. Dengan satu gerakan dia berhasil mendorong tubuh Jane. Jane kaget, tidak siap dengan gerakan Bobby yang begitu tiba-tiba. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan terjatuh ke ranjang dengan posisi telentang. Kedua kakinya terbuka, membuat Bobby bisa melihat paha putih mulus yang tersembunyi di baliknya.Melihat itu Bobby semakin bernafsu. Dia melompat, kemudian menindih tubuh Jane dengan cepat. Tangannya mencengkram tangan Jane dengan kuat. Jane berontak, tapi tenaga Bobby lebih kuat. Bobby berhasil mendaratkan bibirnya di bibir Jane."Shiit! Kau membuatku gila, Jane," desisnya sambil berusaha mengulum bibir Jane. Jane menghindar dengan memiringkan kepalanya. Namun hal itu justru membuat ciuman Bobby berpindah ke leher Jane."Lepaskan aku!" perintah Jane dengan suara keras. Tapi pria itu bergeming, justru memperkuat cengkramannya pada pergelangan tangan Jane..
"Berteriaklah sekuatmu, Jane. Jangan berpikir kau bisa pergi dari sini sebelum melayaniku," kata pria itu kemudian. Tatapannya menghujam penuh nafsu, sementara tangannya mulai bergerilya di atas tubuh Jane.
.
"Bajingan! Sudah bosan hidup kau rupanya. Jangan salahkan aku jika 'pentungan'mu itu tidak bisa berfungsi lagi besok pagi," balas Jane tidak kalah sengit. Hitungan detik kemudian, pria itu mengeluarkan jerit yang memilukan.
.
Tubuhnya menggelepar, berguling-guling di lantai. Kedua tangannya memegangi selangkangannya.
"Ahh! Sial! Dasar perempuan jalang!" Makinya berapi-api.
Jane berhasil mendaratkan kakinya pada organ vital pria itu. Tidak tanggung-tanggung, dua kali tendangan sekaligus.
.
"Kau berurusan dengan wanita yang salah, Bung!" ledek Jane. Jane merapikan pakaiannya, kemudian melangkah pergi.
***
Dia mempercepat langkahnya, agar bisa segera menjauh dari hotel itu. Dengan gusar ia mengeluarkan ponsel dari kantongnya. Kemudian mencari seseorang di daftar kontak.
.
"Keterlaluan! Kamu sengaja mengerjaiku?" Maki Jane begitu diseberang terdengar jawaban.
Glen menjawab gugup, dia tidak siap mendengar amarah Jane.
.
"Apa maksud kamu, Jane? Aku tidak mengerti. Coba jelaskan pelan-pelan," pintanya kemudian.
.
"Jangan belagak bego, ya. Apa maksud kamu mengirim aku ke kamar hotel Bobby Parker?" Sembur Jane kemudian. Dia benar-benar marah dan kecewa dengan sahabatnya itu.
.
"Bobby Parker? Hotel? Apa maksud kamu?" Glen balik bertanya. Ingatannya mencoba menganalisis apa yang terjadi.
Bagaimana Jane bisa tau nama klien mereka Mrs. Diodra sementara Glen sendiri belum mengirimkan informasi apapun kepada Jane. Terlebih lagi Mrs. Diodra juga belum menghubungi lagi untuk menginformasikan tempat pertemuan mereka. Glen sungguh merasa heran.
.
Beberapa saat kemudian ia tersadar, dan langsung memaki dalam hati. Sial! Ini pasti ulah Cherry!
Perempuan itu pasti mengirimkan alamat palsu kepada Jane.
"Tenang dulu, Jane. Pasti ada salah paham di sini. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan," ujar Glen berusan menenangkan Jane.Jane masih ingin meluapkan emosinya kepada Glen. Namun mengingat kebaikan Glen selama ini, ia mengurungkan niatnya.
Lagian dirinya juga tidak teliti. Seharusnya Jane tidak langsung ke kamar hotel itu tadi, tapi memastikan dulu identitas kliennya melalui resepsionis. Jika saja ia lakukan, pasti hal buruk tadi tidak terjadi. Jane berjanji di dalam hati, akan menjadikan pengalaman hari ini sebagai pelajaran berharga dalam hidupnya.
"Sudahlah! Aku lagi tidak mood untuk mendengar penjelasanmu. Sekarang ada yang lebih penting. Kirimkan aku alamat pasti Mrs. Diodra yang kamu tahu," ujar Jane kemudian.Glen menyambut antusias kata-kata yang Jane ucapkan. Dia segera menghubungi Mrs. Diodra untuk menanyakan tempat pertemuan mereka, kemudian secepat kilat ia kirimkan kepada Jane.
Selang beberapa detik, Jane menerima alamat dari Glen. Setelah membacanya, Jane bersyukur karena tempat janji temu mereka masih di sekitar International Hotel juga. Demi menghemat waktu, Jane segera mencari taxi.Jane merasa lega, karena sebuah taxi berhenti tepat di depan Jane. Seorang pria bertubuh tinggi terlihat turun dari taxi itu.Setelah memastikan penumpang itu turun, Jane langsung masuk ke dalam taxi sambil menyebutkan tujuannya. Namun sebuah suara maskulin tiba-tiba menyebut namanya. "Jane? Jane Ariesta, benar itu kamu, kan?"Jane refleks menoleh mendengar namanya disebut. Di depannya, berjarak hanya beberapa senti, dia mendapati manik biru yang menatapnya dalam. Ada riak kegembiraan terpancar di sana.Beberapa detik manik mereka bertemu. Jane berusaha membongkar memori di kepalanya untuk mengenali pemilik mata indah itu. Saat tersadar ia terkesiap karena merasa tidak percaya. Sebuah nama meluncur dari mulutnya."Mr. Aaron Caldwell?"[Flashback: tiga tahun yang lalu] Dua bulan sebelum upacara kelulusan, universitas menyelenggarakan kompedisi design yang disponsori oleh beberapa perusahaan mode. Hadiah yang ditawarkan sangat fantastis. Selain uang dan materi lainnya, pemenang akan direkrut sebagai designer tetap di perusahaan mereka. Tentu saja hal itu merupakan hal yang sangat diimpikan oleh semua mahasiswa jurusan design, terutama Jane. Tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada, Jane pun mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi tersebut. Di kepalanya sudah tergambar ide sesuai tema yang diberikan oleh pihak penyelenggara. Waktu berlalu, batas waktu pengumpulan rancangan tersisa 15 hari lagi. Sementara itu Jane masih sibuk menyelesaikan detail rancangannya. "Hai, Jane. Lagi ngapain?" Tanya Cherry ketika melihat Jane sendirian di ruang kelas. Sementara mahasisw
Pria bertubuh tinggi besar itu berjalan dengan cepat, dan tangannya mencengkram tangan Jane dengan kuat. Dalam hitungan detik dia berhasil membawa Jane menjauh dari kerumunan itu. Jane ingin berontak, tapi entah mengapa hati kecilnya memutuskan untuk menuruti pria itu tanpa membantah ataupun bertanya. Langkah mereka baru berhenti ketika berada di lantai atap gedung. "Kau pikir kekerasan bisa menyelesaikan masalah?" Pria itu memutar tubuhnya, dan langsung mencecar Jane dengan pertanyaan. "Aku tidak berniat begitu. Tapi kata-kata mereka keterlaluan. Aku tidak pernah melakukan hal senista itu," jelas Jane. Matanya berkaca-kaca menahan emosi. Pria itu bergeming, mengeluarkan ponsel dari sakunya, kemudian menyerahkannya kepada Jane. Jane meraih ponsel itu dengan perasaan penuh tanda tanya. Jane langsung shock ketika melihat dress yang sama persis dengan desain yang ia kirimkan pada kompetisi.
Jane sampai di tempat janji temu dengan Diodra tepat waktu. Dia bersyukur karena Glen menjadwal ulang pertemuan ini sehingga ia kembali bisa membangun harapan positif. Dengan percaya diri, Jane melangkah memasuki cafe mewah itu. "Selamat datang, Nona. Apakah Anda sudah reservasi?" Sambut seorang pelayan begitu Jane masuk. "Saya ada janji temu dengan Mrs. Diodra. Apakah beliau sudah datang?" jawab Jane balik bertanya. "Oh, Mrs. Diodra. Beliau sudah datang sejak 5 menit yang lalu. Silakan ikut saya, Nona," jawab pelayan itu ramah. Pelayan itu berjalan lurus menuju sebuah meja. Dari tempatnya berada, Jane bisa melihat seorang wanita duduk membelakanginya. "Selamat malam, Mrs. Diodra. Tamu Anda sudah datang." Diodra menoleh, langsung melebarkan senyum ke arah Jane. Dengan sopan dia berdiri menyambut Jane. Mengulurkan tangan, kemudian menyapa Jan
Tidak lama setelah Jane masuk ke rumahnya, Aaron langsung tertawa terpingkal-pingkal. Lelaki yang selama ini selalu terlihat serius itu benar-benar sulit menahan dirinya kali ini. Ia tertawa sampai air matanya keluar. Ia tidak menyangka Jane akan menemuinya dengan penampilan selucu itu. Terlebih lagi Jane, tidak menyadarinya, dan dengan percaya dirinya ia bersikap canggung di depan Aaron. Begitu juga Chris yang terpaksa bertugas sebagai supir Aaron malam itu. Meski suara tawanya tidak terdengar, tapi bahunya terlihat turun naik menahan tawa. "Bagaimana pendapat kamu tentang gadis itu, Chris?" tanya Aaron setelah puas tertawa. "Dalam pandangan saya, dia gadis yang baik dan juga lugu. Selain itu dia juga terlihat sangat waspada, Sir. Maaf, jika pendapat saya lancang. Sepertinya dia tipikal perempuan yang sulit untuk didekati," jawab Chris sambil terus mengemudi. "Kau benar. Dia memang tidak mudah didekati. Tapi, bukannya tidak mungkin. Hanya
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cherry. Suaranya tercekat ditenggorokan, sementara jantungnya berdetak kencang. Cherry tidak menyangka sama sekali kalau akan bertemu Glen dalam kondisi dirinya masih mengenakan handuk mandi, di kamar hotel, bersama dengan pria lain, pada waktu dini hari pula. "Justru aku yang seharusnya bertanya, Cher. Apa yang kau lakukan di sini? Dini hari begini? Bersama pria brengsek ini?" Cecar Glen dengan emosi. Dia mendorong Cherry dengan beringas, membuat Cherry kehilangan keseimbangan, hingga terjatuh. Bobby yang tidak menyangka akan kedatangan Glen masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Sungguh ia tidak siap menghadapi Glen yang sedang murka. Semua orang di kota ini tahu siapa Glen. Mantan atlit taekwondo, dengan rekor tak terkalahkan. "Kau salah paham, Sayang. Aku bisa jelaskan, tolong tahan dulu amarahmu," ujar Cherry seraya bangkit. Ia berjalan mendekati Glen, berusaha meredakan amarahnya dengan
Diodra melangkah dengan perasaan berdebar menuju lift. Ketua tim desain baru saja memberitahukan bahwa CEO meminta Diodra untuk datang ke ruangannya. Selama di dalam lift Diodra tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Dia meyakini akan mendapatkan apresiasi yang melimpah dari bosnya berkat desain untuk koleksi musim panas yang ia berikan kali ini. Setelah lima tahun berkerja di perusahaan Caldwell Company, ini adalah pertama kalinya Diodra dipanggil keruangan bos besarnya itu. Selama ini ia hanya bisa mengagumi sosok tampan CEO itu lewat rekaman video yang diputar saat meeting. Diodra menghela nafas panjang begitu sampai di depan pintu kaca yang tingginya mencapai lima meter. Ruangan CEO memang dirancang khusus memiliki ruangan yang luas dan langit-langit yang tinggi, sehingga meskipun diisi oleh banyak orang ruangan itu tidak akan terasa panas. "Masuk!" suara bariton terdengar sesaat setelah Diodra mengetuk pintu. Diodra membuka pint
Malam itu, langit tampak cerah dihiasi ribuan bintang. Angin sepoi-sepoi pun berhembus, menghadirkan udara yang sejuk sehingga membuat orang-orang tidak ingin berdiam diri di rumah. Mereka ingin menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan atau hangout dengan orang-orang terkasih. Pukul 8 kurang 5 menit, Aaron tiba di galeri kota. Rona wajahnya tampak sangat bahagia. Dia menyempatkan diri untuk berkaca, sekedar merapikan rambut sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berwibawa, Aaron melangkah menuju galeri. Sambil menunggu Jane, ia putuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lobby yang memajang beberapa benda seni. Selang beberapa menit, ia menoleh ke pintu, berharap orang yang ia tunggu-tunggu datang. Namun ia harus menahan kecewa karena Jane yang ia tunggu masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Aaron melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum panjamg telah mengarah ke angka tiga, itu berarti hampir 15 menit Jane terlambat da
[Flashback, 2 hari sebelum Jane diculik] Hari sudah menunjukkan pukul tiga dinihari, tapi Cherry belum juga bisa memejamkan matanya. Ia terlihat sangat gelisah. Hampir satu jam sudah waktu yang ia habiskan hanya untuk berjalan mondar-mandir antara dapur dan ruang tamu. Tangan kanannya bersilang menopang tangan kiri yang terus melakukan gerakan mengusap tengkuk berulang kali. Cherry sedang berpikir keras untuk menemukan cara membawa Jane ke hadapan Bobby. Namun ia ingin ini adalah upaya terakhirnya memenuhi keinginan Bobby. Cherry sangat muak jika membayangkan dirinya kembali harus melayani nafsu bejat lelaki itu. Jika bisa, ia ingin melenyapkan Jane dan Bobby sekaligus agar hidupnya bisa tenang di masa depan. Sebuah ide akhirnya melintas di pikirannya. Bergegas ia mengambil ponsel, kemudian mencari informasi tentang narapidana kasus penculikan yang dibebaskan dalam waktu dekat. Hasil penelusurannya membuahkan hasil, di sebuah situs berita ia me
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku