Dari percakapan panjang di DM Instagram, aku dan Sekar akhirnya bertukar nomor WhatsApp. Obrolan kami berlanjut lebih intens di sana, terasa lebih leluasa dibandingkan melalui DM. Awalnya, pembicaraan kami masih seputar perkenalan dan basa-basi ringan, tetapi seiring waktu, Sekar mulai terbuka dan menceritakan lebih banyak tentang situasi keluarganya.Salah satu hal yang dia ceritakan adalah konflik besar yang sedang terjadi di perusahaan papanya. Perusahaan mereka mengalami kerugian besar akibat ulah salah satu manajer dan seorang karyawan yang bekerja sama melakukan penggelapan dana operasional. Mereka tidak hanya mencuri, tapi juga memanipulasi laporan keuangan agar tindakan mereka tidak terdeteksi lebih awal.Kasus ini tentu membuat situasi keluarga semakin sulit. Awalnya, mereka sepakat untuk tidak memberitahu Atlantis, karena sang papa merasa masih bisa mengatasi masalah ini, meskipun belum menemukan solusi sepenuhnya. Namun, tekanan yang datang dari berbagai arah semakin memper
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara ak
Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku
Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
Dari percakapan panjang di DM Instagram, aku dan Sekar akhirnya bertukar nomor WhatsApp. Obrolan kami berlanjut lebih intens di sana, terasa lebih leluasa dibandingkan melalui DM. Awalnya, pembicaraan kami masih seputar perkenalan dan basa-basi ringan, tetapi seiring waktu, Sekar mulai terbuka dan menceritakan lebih banyak tentang situasi keluarganya.Salah satu hal yang dia ceritakan adalah konflik besar yang sedang terjadi di perusahaan papanya. Perusahaan mereka mengalami kerugian besar akibat ulah salah satu manajer dan seorang karyawan yang bekerja sama melakukan penggelapan dana operasional. Mereka tidak hanya mencuri, tapi juga memanipulasi laporan keuangan agar tindakan mereka tidak terdeteksi lebih awal.Kasus ini tentu membuat situasi keluarga semakin sulit. Awalnya, mereka sepakat untuk tidak memberitahu Atlantis, karena sang papa merasa masih bisa mengatasi masalah ini, meskipun belum menemukan solusi sepenuhnya. Namun, tekanan yang datang dari berbagai arah semakin memper
Jadwal talk show untuk membahas film kami akhirnya keluar—dan itu akan berlangsung minggu ini. Bersama Mahendra dan Sherina, aku diundang sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi. Kami akan berbincang santai mengenai film Dua Sisi, yang dijadwalkan tayang beberapa bulan lagi.Tentu saja, aku tidak sabar menantikannya. Ini adalah talk show pertamaku, pengalaman yang seharusnya penuh semangat. Tapi, anehnya, pikiranku justru sibuk dengan hal lain yang lebih menyita perhatian: Artemis yang akan dikenalkan pada orang tua Atlantis.Sampai detik ini, otakku terus bekerja keras mencari cara agar itu tidak terjadi. Kalau mereka sampai bertemu, peluangku untuk menjadi orang ketiga akan semakin kecil. Atlantis sudah tidak menyukaiku—jangan sampai keluarganya pun ikut membenciku. Jika suatu hari aku berhasil mendapatkannya, aku ingin keluarganya menerimaku, bukan justru memperlakukanku sebagai pengganggu.“Ngomong-ngomong soal talk show, apa kau merasa gugup, Thena?” suara Mbak Hera m
Saat kami meninggalkan dapur, aku menyadari langkah Atlantis terasa lambat. Aku berusaha menyesuaikan diri dan mengisi waktu singkat ini dengan berbicara, “Kuharap Kakak selalu sehat. Sakit tanpa orang lain tahu itu tidak enak. Aku sering mengalaminya, jadi aku tahu rasanya.”“Apa setelah mengaminkan, aku harus berterima kasih lagi sama kamu?”“Tidak perlu. Aku tulus mengucapkannya. Sebagai seorang teman.”Mungkin karena melihat keseriusan di raut wajahku, Atlantis memilih diam, tidak membalas dengan ketus seperti biasanya.Tiba di depan kamarnya, Atlantis berhenti, dan aku bersiap melambaikan tangan sebagai ucapan perpisahan. Namun, melihatnya seolah ingin mengatakan sesuatu, aku bertanya, “Kenapa? Ada yang ingin Kakak katakan?”“Artemis nggak boleh tahu kamu ke sini lagi. Terakhir kali dia merajuk, dan aku harus membujuknya sampai mau memaafkan aku.”“Sampai segitunya? Kukira dia akan berbesar hati menerima, karena itu bukan kesalahan Kakak, tapi kesalahanku.”“Aku tetap salah karen
Dalam perjalanan pulang dari restoran, aku nekat mampir ke rumah Atlantis, membawa sekotak kue dan satu krat minuman soda. Suasana hatiku sedang bagus malam ini, dan aku ingin dia ikut merayakannya bersamaku.Setelah membunyikan bel beberapa kali, aku berdiri menunggu sambil memperhatikan sekitar. Lingkungan tempat tinggal Atlantis sangat tenang, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Rasanya nyaman—cukup nyaman hingga membuatku berpikir untuk pindah ke sini suatu hari nanti. Tentunya, sebagai nyonya dari rumah ini.Ah, semoga angan-angan itu tidak hanya sekadar khayalan. Kalau tidak, aku benar-benar bisa gila.Aku membunyikan bel sekali lagi karena pintu masih belum terbuka. Jangan-jangan, Atlantis sedang mengintip dari balik kaca, lalu memutuskan untuk pura-pura tidak ada di rumah setelah melihatku? Wah, kalau benar begitu, kadar ketegaannya semakin meningkat dari hari ke hari.Tepat saat pikiran itu melintas, terdengar suara kunci diputar dua kali. Pintu perlahan terbuka,
Hari Sabtu, setelah pulang syuting pukul setengah dua siang, aku hanya menemukan Papa di ruang keluarga. Beliau awalnya sibuk membaca, tetapi ketika aku kembali dari kamar setelah berganti baju dan turun ke dapur untuk mengambil minum, beliau sedang berbicara di telepon dengan seseorang.Dari beberapa kata yang kudengar, percakapan itu terdengar menarik. Tanpa sadar, aku mendekat secara diam-diam, berusaha menguping lebih banyak tanpa sepengetahuannya.“Tentu, nanti kuatur makan malam kedua, tapi yang ini khusus untuk anak-anak kita. Pertemuan sekali tidak cukup untuk saling mengenal lebih dalam.”“…”“Aku tak bisa menjanjikan apa pun. Kalau Artemis hanya ingin berteman dengan Batara, kita harus menerimanya. Sebagai orang tua, aku menghormati keputusannya.”“…”“Jangan menaruh harapan terlalu besar, Surya. Bisnis kita tetap bisa berjalan baik, meski tanpa melibatkan pernikahan di antara anak-anak kita.”Mataku membelalak. Luar biasa. Rupanya, rekan kerja Papa tertarik pada Artemis dan
Sepulang jogging dari taman kompleks, aku berjalan santai, menikmati udara sore tanpa ingin buru-buru sampai rumah. AirPods yang terpasang di kedua telinga memutar Why Don’t You Love Me (feat. Demi Lovato), dan liriknya terasa begitu mewakili perasaanku terhadap Atlantis—terutama di bagian “Cause I could be all that you need, oh.” Rasanya ingin kuteriakkan kalimat itu padanya, agar dia tahu seberapa besar aku menyukainya.Sejauh ini, progresku dalam mengejar Atlantis baru mencapai sekitar 25%. Belum ada tanda penerimaan, tetapi kabar baiknya, Artemis mulai semakin waspada padaku. Dia yang biasanya bicara sok akrab dan penuh perhatian kini perlahan menjaga jarak.Waktu kebersamaannya dengan Atlantis juga semakin meningkat, seakan tak ingin memberiku celah sedikit pun untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ternyata, bahkan seseorang seperti Artemis—yang selalu merasa lebih unggul—bisa merasa terancam juga. Sulit baginya berpura-pura tidak terusik, karena kenyataannya, semua tindak
Malam itu hujan deras. Setelah selesai syuting, aku tiba-tiba teringat bahwa daerah ini tidak jauh dari tempat tinggal Atlantis. Sebuah ide licik langsung muncul di kepalaku. Dengan rencana yang sudah matang, aku meminta Mbak Hera untuk pulang lebih dulu tanpa perlu mengantarku.“Jangan aneh-aneh! Lebih baik masuk mobil sekarang. Hujan seperti ini pasti lama berhentinya. Kau akan kesulitan mencari ojek atau taksi online,” omel Mbak Hera.“Ada hal yang harus aku lakukan setelah ini, jadi jangan khawatir. Nanti aku akan menghubungimu supaya kau tahu aku baik-baik saja, Mbak.”“Memangnya kau mau ke mana? Biar aku saja yang mengantarmu.”Aku menggeleng. “Pulanglah dulu, Mbak, sebelum makin larut dan hujan semakin deras. Aku tidak apa-apa.”“Thena—”“Hati-hati di jalan.” Aku memotong kata-katanya, lalu berlari melintasi parkiran saat melihat salah satu kru wanita yang bersiap pulang dengan motor dan jas hujan lengkap.“Kak!” panggilku cukup keras. “Bisa numpang sampai depan?”Dia menoleh d
Lelah menghadapi sikap keras kepalaku, Atlantis akhirnya memilih untuk mengabaikanku. Ancamannya untuk menyeretku keluar tidak dia lakukan—entah itu hanya gertakan atau awalnya serius, tetapi kemudian berubah pikiran. Apa pun alasannya, aku merasa senang. Setidaknya, Atlantis belum sepenuhnya jahat padaku, meskipun setiap kata yang diucapkannya terdengar menyakitkan.“Bukankah begini lebih baik?” tanyaku sambil menyodorkan kotak makanan ke hadapannya. “Marah-marah hanya membuang tenaga. Lagi pula, jangan terlalu kejam padaku. Sebelum semua ini, kita pernah berteman dekat.”Tidak ada jawaban. Atlantis tetap fokus pada pekerjaannya tanpa sedikit pun melirik ke arahku, seakan keberadaanku tidak begitu penting baginya.“Aku tahu perubahan ini terlalu tiba-tiba, dan sulit bagi kita berdua untuk bersikap seperti biasa. Tapi semoga Kakak bisa menerimanya. Minimal, kalau memang risih, abaikan saja. Aku tidak berharap perasaanku dibalas, cukup diam dan melihatnya saja sudah lebih dari cukup.”
Syutingku dipastikan akan dilanjutkan dalam lima hari ke depan. Sutradara tidak bisa menunda lebih lama karena keterlambatan ini akan berdampak pada proses pascaproduksi, distribusi, hingga jadwal rilis. Aku pun tak ingin menghambat produksi, mengingat banyak pihak yang terlibat. Apalagi, ini kesempatan pertamaku sebagai pemeran utama kedua.Setelah pertemuan, aku menyempatkan diri pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter. Menurutnya, retakan tulang metatarsalku menunjukkan penyembuhan yang cukup baik. Jaringan baru mulai terbentuk, pembengkakan berkurang, dan rasa nyeri tidak seintens sebelumnya, meskipun masih ada sedikit ketidaknyamanan. Setelah dilakukan rontgen, hasilnya cukup memuaskan, dan gipsku pun akhirnya diganti dengan ankle brace untuk dukungan tambahan.Dokter merekomendasikan latihan rehabilitasi untuk mengembalikan kekuatan dan fleksibilitas otot-otot kaki, termasuk latihan rentang gerak, penguatan, peregangan, keseimbangan, serta aerobik ringan. Aku juga