Arata menemani Hasumi ke mall untuk membeli hadiah ulang tahun Ryuuga. Sepanjang perjalanan mereka, Hasumi menceritakan tentang bagaimana ia dan Ryuuga akhirnya bisa berpacaran. Entah kenapa, hatinya merasa sangat ringan untuk menceritakan hal itu. Mulutnya terasa sangat lancar, sesekali diselingi tawa malu.
Arata yang mendengarnya hanya bisa mengulur senyum. Tiap kali memberi reaksi, ia malah melemparkan ledekan ke arah Hasumi.
“Ternyata kau tak berubah ya, masih sering kekanak-kanakan seperti dulu.”
“Kau baru sadar ya? dari dulu kau memang kurang peka. Ya aku juga, sih.”
Kira-kira begitulah ledekan Arata. Hasumi yang mendengarnya hanya bisa memasang muka cemberut.
“Jadi menurut sensei, hadiah apa yang cocok untuk Ryuuga-senpai?” tanya Hasumi sembari melihat-lihat etalase toko.
“Emm.. dia pemain voli ‘kan?”
Hasumi mengangguk.
“Bagaimana kalau sepatu olahraga?”
Di malam musim panas yang cerah, dua orang manusia tengah berjalan beriringan. Hasumi tertunduk, otaknya tengah berpikir tentang topik obrolan apa yang bisa ia bicarakan dengan orang tuanya Ryuuga. Sementara Ryuuga berjalan di depannya, sedang berpikir juga. Ryuuga memikirkan tentang reaksi ayahnya. Apakah ayahnya akan marah kalau ia membawa seorang perempuan ke rumah? Masalahnya, Ryuuga memang punya hubungan yang kurang baik dengan ayahnya. Sejak kecil ia dididik agak ketat, semua pikiran Ryuuga seakan dicekoki ayahnya untuk tertuju pada voli. Itu karena ayahnya menyandang gelar sebagai mantan pemain nasional yang disegani pada zamannya, makanya ia ingin anaknya menekuni bidang yang pernah ia tekuni. Ryuuga jadi agak takut ayahnya akan berpikir bahwa Hasumi menganggu keseriusan Ryuuga pada voli. Padahal tidak sama sekali. Dengan adanya gadis itu, Ryuuga justru makin semangat untuk mewujudkan mimpinya. Duh, keputusanku sudah benar ‘kan? ya ‘kan? Hasumi bergum
Hasumi baru tiba di rumah jam 9 lebih 10 menit. Ia diantar Ryuuga sampai stasiun. Tadi sebelum pulang, Emi sempat berpesan agar Hasumi sering-sering main ke sana. Tak lupa, Emi memberi beberapa makanan yang ada di rumah, katanya supaya Hasumi mengingat rasa masakannya dan datang lagi. Tentu saja Hasumi tak bisa menolak. Ia sendiri sangat setuju kalau masakan ibunya Ryuuga memang enak.Sejak berpelukan dengan Ryuuga, Hasumi jadi tak berani memandang mata Ryuuga lagi. Tiap kali ia mencoba melihat wajahnya, seketika itu pula rasa senang bercampur degupan jantung yang kacau akan mulai terasa. Ryuuga juga sama, ia sendiri heran kenapa bisa seberani itu untuk memeluk Hasumi. Padahal dulu, untuk menggenggam tangannya saja Ryuuga perlu mengumpulkan keberanian yang besar.Di sepanjang jalan menuju stasiun, mereka bahkan tak banyak mengobrol. Hanya genggaman tangan lah yang mewakili rasa bahagia dalam hati masing-masing. Genggaman itu sangat erat hingga membuat Ryuuga merasa ber
Hah?Kedua alis Hasumi tertaut, sama sekali tak paham maksud ucapan Rintaro barusan. Satu kata yang menurutnya sangat aneh mengingat hubungannya dengan Ryuuga baru saja bersemi.Putus.“Kenapa?” Hasumi mulai bertanya.“Aku rasa kau tidak bisa berada di samping Ryuuga. Kalau terus bersamanya, mungkin Ryuuga akan mengalami hal-hal yang lebih buruk dari ini. Padahal klasemen ini sangat penting untuk karir Ryuuga, tapi malah.. “ Rintaro tak melanjutkan kata-katanya, ia memalingkan muka dengan ekspresi marah sekaligus kecewa.“Maksudnya, ini semua salah saya?” Hasumi mulai merasa kesal.“Ya, karena kaulah fokusnya Ryuuga jadi teralihkan.”Hasumi terdiam menahan kekesalannya. Padahal ia sendiri juga tak pernah mau Ryuuga cedera, tapi kenapa malah disalahkan?“Saya tidak bisa putus dengan senpai. Kalau Anda menentang, ya silakan saja. Senpai membutuhkan dukungan dari orang-orang te
“Tadaima.”Hasumi membuka pintu, namun tak terdengar ada sahutan dari dalam. Jam di dinding menunjukkan pukul 7 malam, dan ia baru saja pulang dari rumahnya Ryuuga. Setelah sempat disuruh ini-itu oleh Sakiko dan dimintai tolong oleh Emi, Hasumi akhirnya bisa pulang juga walaupun sebenarnya ia tadi sempat dimintai Sakiko untuk memijit kakinya lagi. Untung saja Ryuuga melarang neneknya, kalau tidak Hasumi mungkin akan pulang lebih malam lagi.“Ayah?” Hasumi melangkah masuk sembari meregangkan badan.Hari ini terasa sangat melelahkan, entah karena kehadiran Sakiko atau karena apa. Padahal biasanya ia tidak merasa sepegal ini meski sering membantu Emi di dapur atau membantu Ryuuga naik ke tangga. Tapi hari ini kenapa ya?Begitu memasuki dapur, Hasumi langsung menghela napas saat melihat ayahnya tengah menyandarkan kepala di atas meja dengan sebotol alkohol yang hampir kosong di depannya. Suara Hirotaka terdengar pelan dan
Sejak 10 menit yang lalu, kedua mata Hasumi tak lepas dari meja nomor 9. Di sana, Hirotaka dan seorang perempuan yang Hasumi ketahui sebagai calon ibu tirinya sedang berbincang sembari menikmati makan siang. Tak ada adegan suap-suapan di antara mereka, yang ada hanya perbincangan yang diselingi tawa sembari makan dengan lahap.Hasumi yang melihatnya jadi sedikit paham. Selama ia sibuk sendiri, ternyata ayahnya menginginkan makan malam yang hangat seperti itu. Bodohnya, Hasumi tak menyadari kalau selama ini ayahnya merasa kesepian. Ia pun jadi merasa kalau sepertinya tak ada alasan untuk melarang ayahnya menikah lagi.“Aira, kau bisa kembali ke tempatmu.” kata senior yang tadi, entah sejak kapan ia ada di samping Hasumi. Gadis itu mengangguk paham dan kembali ke dapur, menunggu datangnya pesanan lagi.“Senpai, ada pesan dari bapak itu.” Marin menghampiri Hasumi. Ia menunjuk ke arah meja Hirotaka.“Pesan apa?”&ldq
“Aku memang sudah sejak lama bermimpi untuk bisa pergi ke Italia, tapi malam itu setelah kau pulang dari rumahku, ayahku tiba-tiba menelpon. Nampaknya pelatih kenalannya di Italia ingin mencoba mengontrakku untuk beberapa tahun. Maaf, aku baru sempat memberitahumu sekarang.”“B-berapa tahun?”“3 tahun.”Jawaban Ryuuga makin membuat Hasumi terdiam. Perlahan, gadis itu berpindah posisi ke kursi yang ada di depan Ryuuga. Keduanya kini duduk berhadapan, masih di atas rope way yang melaju pelan di atas orang-orang yang sedang asyik menikmati sore di musim panas.“Aira?” Ryuuga jadi merasa tak enak karena Hasumi jadi banyak diam setelah ia bilang akan ke Italia.“Eh? ya tidak apa-apa kok, tapi karir senpai di divisi 2 bagaimana?”“Aku akan melanjutkannya setelah aku pulang kembali ke Jepang. Tapi untuk ikut klasemen, sepertinya aku masih bisa.”
Putus.Satu kata itu terdengar aneh bagi Ryuuga. Hubungannya dengan Hasumi yang menjadi pacar pertamanya itu baru berjalan selama beberapa bulan, bahkan baru saja mengalami sedikit perkembangan. Ryuuga sendiri sama sekali tak pernah kepikiran untuk mengakhiri hubungannya dengan Hasumi. Atau lebih tepatnya, memang tak ingin. Tapi, kenapa ia harus mendengar kata itu?“Kenapa?”Suara Ryuuga terdengar agak rendah.“Aku belum selesai bicara sih, senpai. Maksudku, ayo kita putus setelah senpai lulus nanti.”Ryuuga merasa sedikit lega, walaupun pikirannya masih dihinggapi rasa penasaran.“Boleh kudengar alasannya?”Hasumi tersenyum simpul, kepalanya agak tertunduk.“Setelah kupikir baik-baik, kurasa lebih baik kita putus selama senpai di Italia. Aku tak ingin menghalangi jalan senpai.”“Maksudmu?” kening Ryuuga seketika berkerut.“Senpai, menurutku mimpi i
“Hasumi-chan?”Hasumi menoleh dan tersadar dari lamunannya. Ia segera menghampiri Mitsuki yang sudah melangkah terlebih dulu ke dalam sebuah ruangan. Hasumi mengikutinya, lalu segera terpana saat melihat isi ruangan tersebut. Ada banyak orang berlalu lalang, mulai dari yang memakai seragam SMP, SMA, dan beberapa pengajar di sana.Saat ini, Hasumi sedang berkunjung ke lembaga bernama EC atau English Course, sebuah lembaga les yang nantinya akan jadi tempat Hasumi mengajar. EC terletak di lantai 3 sebuah gedung tengah-tengah kota Tokyo, tak heran kalau banyak anak-anak sekolahan yang mendaftar ke sana. Masalahnya, saat ini mereka sedang kekurangan tenaga pengajar hingga Mitsuki mengajak Hasumi untuk bergabung meski hanya paruh waktu.“Hello, Miss!” sapa seorang gadis berseragam SMA ke arah Mitsuki.“Hello. Have you done your homework?” tanya Mitsuki dengan ramah.“Yeah, of course.”Hasumi melirik