"Pandora?" Hanya gerakan mulut Apollyon yang terlihat. Gerakan tanpa suara.Azrael mengangguk. Tangan kanannya yang menggenggam bola jiwa itu terulur di depan Apollyon dan tangan kirinya mulai terangkat, mengarah pada kepala pria berambut merah itu."Terimalah tanggungjawabmu, Apollyon. Karena aku akan menyerahkan sendiri bola ini padamu."Menatap kedua mata Azrael yang kelabu, Apollyon paham kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh malaikat maut ini secara pribadi, pada dirinya sendiri. Setelah menelan ludahnya, Apollyon maju dan berhenti tepat di depan pria berambut putih itu dan kepalanya sedikit menunduk. Kedua tangannya terbuka dan berada di samping kanan-kiri bola jiwa yang masih melayang di tangan Azrael."Aku siap."Tangan kiri Azrael memegang kepala Apollyon dengan jempolnya berada di pelipisnya. Tampak sinar mulai terbentuk di area yang disentuhnya. Kepala Azrael sedikit mendongak dan bibirnya terbuka. Kedua mata kelabunya mulai bersinar terang menyilaukan saat memandan
Dari atas langit yang sangat tinggi, tampak sosok berambut merah yang melayang-layang turun dan akhirnya menyentuhkan kakinya ke permukaan. Sepasang sayapnya yang berwarna putih bergetar, sebelum akhirnya mulai menutup dan perlahan menghilang.Kepala pria yang berambut merah itu masih menunduk. Tatapannya nanar dan memandang ke bawah. Matanya yang kristal tampak berkaca-kaca dan tidak lama, terlihat tetesan air mulai menetes dari kedua matanya yang masih terbuka. Apollyon memegang mukanya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya yang bidang dan tertutup jubah putih tampak bergetar. Apa yang dirasakannya saat ini, tidak bisa ia gambarkan lagi. Ia sangat kecewa. Sangat merasakan kecewa. Bukanlah jawaban yang ia dapatkan dari pertanyaannya, melainkan hanya pertanyaan demi pertanyaan yang ia dengar semenjak ia menjejakkan kakinya di sana. "Kenapa nasib Pandora sangat buruk?"'Kenapa menurutmu dia sekarang bernasib buruk, jika nasib baik sedang menantinya?'"Kenapa selalu ke
= Kembali ke masa sekarang ="Halo, Apollyon."Suara itu membuat punggung Apollyon yang sedang mengatur bunga-bunganya tampak menegak. Perlahan, pria berambut merah itu berbalik dan terlihatlah sosok Gabriel, salah satu saudaranya dulu. Kedua mata kristal Apollyon sedikit melebar mendapatkan kunjungan tidak terduga ini."Gabriel."Kedua pria itu saling bertatapan dalam diam. Dua pria yang pernah sangat dekat itu mengenang kembali masa-masa mereka saat masih menjadi saudara. Saling berjuang untuk melindungi sesuatu yang SAMA. Saling tertawa dan juga menangis karena kesedihan yang SERUPA. Tapi sekarang, mereka seperti mata uang yang saling bertolakan. Kesedihan bagi yang lain, maka akan merupakan kebahagiaan untuk lawannya. Hal yang dilindungi dan diperjuangkan oleh satu sisi, justru akan berusaha dimusnahkan oleh sisi lainnya.Mereka telah berdiri dalam dua jalur yang saling bertentangan. Saling bersisian tapi tidak akan pernah bersatu. Sampai semesta nanti hancur dan menghilang. Dan s
"AH! AH! Cein! Cein! Jangan tarik-tarik rambut papa! Ah! Cein!"Tampak sesosok anak kecil perempuan sedang nangkring di kepala seorang pria dan dengan gembira, kuda-kudaan di kepala pria itu. Kedua tangan mungilnya mencengkeram rambut hitam pria malang itu dan menariknya sangat kencang, membuat kepalanya terdongak ke belakang.Bubur bayi yang sedang dipegang oleh pria malang itu tumpah ke lantai, ketika paha pria itu ditabrak kencang dari arah belakang membuatnya sedikit berputar bingung. Tabrakan itu dibarengi dengan suara teriakan dan sahutan jeritan yang sangat keras."EVANNN!? KEMBALIKAN BUKUKUUU!?""Wekkk!? Ambil saja kalau bisa!""EVANNN!?"Tubuh Gabriel terlihat mematung di tengah ruangan. Raut mukanya kosong. Tangan kanan yang memegang mangkuk bubur terlihat layu, dan pria itu sama sekali tidak mempedulikan tetesan demi tetesan bubur yang mengalir ke lantai kayu di bawahnya. Tangan kirinya yang memegang sendok mengusap pelipisnya yang terasa mulai pusing dan juga sakit."EVANN
"MAMAAA!?"Tertawa keras, Kat menyambut pelukan keluarganya. Tidak henti-hentinya wanita itu menciumi pipi anak-anaknya dengan tidak sabar dan penuh kerinduan. Dan ketika akhirnya ia memeluk leher suaminya, mata wanita memancar penuh dengan cinta dan ia mengecup pipi pria itu sambil berbisik. "Malam ini aku menginginkanmu, Gabriel..."Tangan kanan pria itu yang bebas menelusup ke belakang dan mer*mas b*kong padat isterinya yang terbalut celana jins. Suaranya penuh h*srat saat berbisik. "Oh, baby! Kamu tidak tahu betapa rindunya aku padamu."Kekehan pelan terdengar dari mulut Kat dan ia mencium bibir suaminya cepat. Meski hanya berpisah dua hari, tapi keduanya sangat memendam rindu yang besar dan tidak sabar untuk menyalurkannya nanti malam. Yang sayangnya rencana itu tinggallah rencana di dalam otak mereka, ketika bencana demi bencana kembali terjadi di dalam rumah kecil mereka.Saat memasuki rumahnya, kedua mata Kat melotot dan hampir terlempar keluar dari rongganya. Rumahnya sepert
Gabriel merasakan tidur yang luar biasa nyenyaknya dan membuat bibirnya kembali tersenyum. Ia baru saja mend*sah saat merasakan adik kecilnya mulai bergetar. Dan getaran itu membuat h*sratnya naik dengan sangat cepat, saat ia merasakan basah di sana. Pijatan dan elusan yang sangat lembut pun membuat pipi pria itu menjadi memerah dan kedua matanya terbuka lebar, saat ia menyadari kalau ia tidak bermimpi!Di bawah sana, di antara kedua kakinya, tampak kepala berambut kemerahan sedang menjamah adik kecilnya dengan seenaknya. Kedua mata hitam Gabriel melotot dan mengerjap cepat. Suaranya sangat serak saat ia akhirnya bisa berbicara lagi setelah kekagetan itu. "Kat...?"Menengadahkan kepalanya, Kat memberikan jilatan terakhir dan senyuman miring terlihat di bibir wanita itu. "Bagaimana service-ku? Apakah kamu puas, daddy?"Masih tertegun, Gabriel hanya dapat tergugu saat wanita itu merangkak menaiki tubuhnya dan mulai memberikan ciuman penuh n*fsu pada dirinya, yang hanya bisa membalasnya
Teriakan dari Jeanette tampak membuat raut muka Ricard mulai menggelap."Nona Patrick! Saya tidak mentolerir-""Ricard. Apakah meeting Tuan Hamilton sudah semua di hari ini? Atau akan ada janji temu lainnya?""Ah! Tidak Nyo- Nona Reynolds. Tuan Hamilton sudah selesai dengan semua meetingnya. Rencananya hari ini memang beliau ingin pulang tepat waktu."Kepala Kat mengangguk dan ia menyerahkan serentetan kunci yang langsung diterima Ricard dengan sopan."Setelah aku pikir lagi, aku butuh bantuanmu untuk mengambil barang yang tertinggal di mobil. Ada kotak yang cukup besar di kursi belakang. Aku minta kamu membawanya ke sini.""Baik, Nona Reynolds. Saya akan segera mengambilnya."Instruksi yang diberikan Kat pada Ricard semakin membuat Jeanette berang dan mulai melupakan sopan-santun yang sangat ia jaga selama ini. Selama mendampingi ayahnya, wanita itu selalu berusaha bersikap profesional dan ia juga memiliki kemampuan berbisnis yang cukup mumpuni. Tapi entah kenapa, munculnya kehadiran
"Apollyon. Apa kabar?"Sapaan itu membuat pria yang tadinya menyender sambil melamun di pojokan sangat terkejut. Pria itu perlahan bangkit dari posisinya dan membuka lipatan tangan di d*danya. Kedua mata kristalnya terlihat menajam saat ia menatap sosok wanita yang saat ini tengah memandanginya, tepat di matanya.Keduanya bertatap-tatapan sejenak dalam keheningan. Terlihat kedua mata Apollyon menelusuri wajah dari wanita di depannya, demikian pula sorot Kat yang memandanginya cukup intens.Jantung pria itu mulai berdebar-debar aneh saat ini dan ia merasakan sesuatu yang tadinya belum pernah dirasakannya sebelumnya. Matanya mengerjap cepat dan ia terlihat menelan ludahnya."Kau bisa melihatku?" Suara yang keluar dari tenggorokannya serak, seperti bukan suaranya sendiri.Melihat sesuatu dalam sorot pria itu yang justru tidak disadari oleh orang itu sendiri, Kat tersenyum miring."Tentu saja aku bisa melihatmu."Kata-kata halus keluar dari mulut Kat, membuat detak jantung Apollyon semaki