Ayuk Siti sedang menebah permukaan ranjang saat aku masuk. Sementara Amanda terdengar berceloteh di dalam boksnya. Kehidupan penuh drama ini akan kembali dimulai. Teringat pesan Ibu tempo hari ketika menjenguk, agar aku tidak menjadi perempuan dewasa yang pengecut. Bahwa aku harus menyelesaikan masalah ini. Bentuk konsekuensi sebab telah menerima Bang Sam dan anak-anaknya. “Ibu dan Bapak ada di belakangmu jika ada apa-apa.” Pesan Ibu sebelum pulang.“Abang Zain ke mana?” tanyaku saat bocah kecil itu menungguku untuk duduk.“Abang main keluar sama temannya.”“Sepedaan?”Ia mengangguk.“Zidan dak ikut?”“Zidan nungguin Tante bae.”Sederhana saja kalimat itu, tetapi membuatku tersentuh.“Papa juga balek, nah.” Kuingatkan bocah itu, lalu melirik Bang Sam yang baru masuk membawa tas pakaian.“Papa biarin bae lah,” bisiknya lirih.Biarin bae, katanya? Dahiku mengeryit. Rasanya aku tidak salah dengar, tetapi bocah itu seperti tidak peduli papanya pulang. Seingatku, dia dan abangnya juga ant
"Abaang! Sini dulu!" Tetapi dia tetap melangkah pergi.Tingkah Bang Sam membuatku mati-matian meredam emosi yang menjalari dada. Lihat saja nanti. Kalau bukti nyata itu ada di tangan, kita tunggu apa yang akan kulakukan.Aku mengatur napas dan kembali ke ranjang, berbaring di sisi Zidan yang tidur tenang. Mencoba berdamai dengan pikiran agar bisa terlelap.Namun, celoteh Amanda yang berubah menjadi rengekan, membuatku terpaksa bangkit dan mendekati boks bocah itu. "Lapar? Mau susu?"Mata beningnya yang seketika melihatku itu, membuat kemarahan sedikit luruh. Perlahan kubuatkan dia susu, lalu memberikannya. "Baca bismillah," ucapku dan dia balas dengan tawa lebar. Tidak boleh seperti ini. Harus ada yang dibenahi. Orang kaya seperti mereka harusnya tidak melakukan apa-apa sendiri. Tidak ada sesiapapun di rumah ini kecuali seorang pembantu dan sopir yang Abah bawa dari rumah utama.Ayuk Siti sibuk di dapur dan melakukan semua pekerjaan rumah, sampai Amak harus turun tangan membantu.
"Itu ... anu ...." Muka Amak merah padam saat menjawab pertanyaan memdadak yang kuajukan.Melihat Amak gelagapan seperti maling tertangkap, aku kembali mencecar dengan pertanyaan baru."Jadi Amak tahu rumah ini sudah digadaikan? Amak juga tahu, Abang harus membayar bunga besar setiap bulan?"Amak terdiam. Wajahnya cemas sambil menatapku. "Amak juga tahu Abang pergi ke mana waktu itu?"Kali ini, perempuan berwajah mulus oleh skincare mahal itu menggeleng cepat. Meski kerutannya tetap terlihat."Kalau itu Amak dak tahu, Rin. Sumpah!""Itu kenapa Amak maksain diri buat bantu Abang Sam di sini?"Amak kembali terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Iyaa. Tapi tolong, jangan kasih tahu Abah.""Gimana ceritanya dak kasih tau Abah, Amak? Macam mana kalau rumah ini di sita sama rentenir itu? Satu milyar bukan perkara uang sedikit. Sementara cicilan tiap bulan hanya buat membayar bunga. Sampai kapan macam itu terus?"Bau pengar yang menguar diselingi suara Ayuk Siti mengaduk di wajan semakin men
Uang sekolah, jajan bocah-bocah, biaya dapur, bensin, gaji Ayuk Siti. Kenyataan yang membuatku geleng-geleng kepala. Pantas saja, meski menikah dengan anak orang kaya, Ayuk Fatma tetap bekerja, meski menjadi bidan di rumah sakit swasta dengan gaji yang tidak seberapa."Berapa persen memangnya bunga bank itu?""Tiga setengah persen.""Flat?""Iya."Inalillahi. Berarti Bang Sam ngasih makan pemilik bank jahanam itu tiga puluh lima juta perbulan. Untuk sebuah perusahaan kecil seperti itu memang cukup membuat Bang Sam kepayahan. Belum termasuk operasional perusahaan termasuk membayar karyawan.Pantas saja, dia terlihat tidak berharga di depan Abah. Kerja siang malam tidak ada hasilnya "Abang mau begini terus?""Abang belum punya jalan keluar, Dek. Ke mana nyari uang sebanyak itu untuk menebusnya."Kepalaku penuh. Berpikir jalan mana yang harus aku tempuh untuk membantu laki-laki payah di depanku ini."Jual mobil.""Hah?""Jual mobil Abang itu.""Mana ada mobil seken seharga satu milyar,
"Biar apa, Kak?" tanyaku. Benar-benar tidak paham dengan kelakuan kakak kelas sekamarku itu."Biar cepat hilang bekasnya.""Bisa memangnya pakai bawang?""Tiga hari hilang," jawab Kak Ani penuh percaya diri."Makanya punya pacar, Rin. Biar ada pengalamanmu." Kak Desi menimpali.Bagaimana aku akan pacaran jika keadaanku paling menyedihkan? Sebagai anak asrama yang sekolah di bidang kesehatan, bisa membayar uang kuliah tanpa menunggak saja sudah merupakan kesyukuran yang luar biasa.Ekonomi orang tua yang pas-pasan tetapi bercita-cita tinggi, membuat Bapak dan Ibu harus banting tulang, membagi rezeki untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan makan.Alih-alih berpakaian modis seperti teman-teman yang gaul dan banyak kenalan, aku justru mengandalkan beasiswa dan jungkir balik belajar agar nilaiku bisa dijadikan garansi, untuk tetap menerima dana hibah hingga tamat kuliah.Aku juga harus bermanis-manis dan serajin mungkin di lahan praktik agar lebih dulu diajari sama kakak pegawai. Memij
"Kenapa? Abang takut kehilangan aset buat tebar pesona dan merayu cewek Abang di luar sana?" Aku menyerang balik."Cewek apa pula Adek ini?""Lia. Siapa dia?"Ada keterkejutan sesaat di wajah Bang Sam, meski dia tutupi sedemikian rupa."Lia siapa?""Dak usah sok dak kenal. Tanya diri Abang sendiri." Aku mendongak dan menunjuk dada lelaki itu. "Abang yang lebih tau. Lagian, malu, Abang. Umur sudah gaek masih menyusu sama Amak. Jadi uang yang Adek kasih berputar-putar bae dari Amak balik ke Amak? Omong kosong Abang bilang ada duit dari perusahaan untuk operasional rumah.""Memang ada. Tapi dak cukup.""Jadi, sekali lagi Adek tanya, sampai kapan mau macam itu? Anak-anak makin besar, makin banyak."Kali ini Bang Sam terdiam."Jadi benar sangka aku, kau nikah sama Sam karena matre." Amak yang entah datang dari mana sekonyong-konyong menyahut."Maksud Amak apa?" tanyaku heran. Seakan dia tahu pasti apa yang sedang kami perdebatkan."Amak dengar kau nak jual mobil Sam.""Itu sangka Abang, Ma
Kampus yang baru berdiri kurang dari lima tahun itu kini ada di hadapan. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk pulih seratus persen.Aku masuk ke lobi dan celingukan. Tadi sebelum berangkat sudah mengabari Ayu Ami akan datang."Mau ketemu Bu Ami, di mana ya, Pak?"Lewat kaca pembatas ruang yang di beri lubang, aku bertanya pada seseorang yanv berjaga di sana."Sebentar."Laki-laki itu meraih telepon antar ruang dan berbicara dengan seseorang."Bu Ami ada di ruangannya. Sebelah sana, Bu."Dia menunjuk ke sisi kiri bangunan. Ruangan dengan pintu terbuka itu menghadap ke kolam ikan."Baik. Terima kasih, Pak."Aku bergegas melangkah ke arah yang ditunjukkan. Lalu mendapati perempuan berwajah teduh itu sedang memberikan arahan pada dua orang mahasiswi yang duduk di depannya. Ayuk Ami mencoret-coret kertas sambil berkata-kata.Bimbingan skripsi. Kurasa.Ayuk Ami mendongak, tersenyum dan berbisik, "sebentar." Kode yang membuatku mengangguk dan duduk di sudut, pada kursi tamu yang di
Aku hanya perlu membuktikan pada diri sendiri bahwa mampu melakukan apa yang harus dilakukan. Aku tidak akan membiarkan orang lain masuk dan menyakiti. Hanya aku yang punya kontrol atas hatiku, bukan orang lain.Maka kini, aku memilih tidak peduli. Terserah Amak mau ngomong apa.Air dingin yang membasuh seluruh tubuh membuatku sedikit menggigil, kemudian tangan refleks memutar pemanas air dan menyelesaikan ritual mandi. Aku sudah merasa lebih sehat dari sebelumnya. Barangkali semangat itu bangkit karena aku akan kembali bekerja. Harus kusiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat. Menyiapkan keperluan Zain, Zidan, dan Amanda. Rasanya ini jauh lebih mudah daripada bekerja di rumah sakit dengan sift jaga berganti-ganti.Selesai salat malam dan subuh, aku bergegas ke dapur. Ayuk Siti sudah sibuk sendiri di depan kompor.Aku menghela napas berkali-kali, sebab mencium aroma tumisan selalu memancing mual. Pun begitu, kukuatkan dan meyakinkan hati bahwa aku bisa melaluinya."Lah bangun, Ri
Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,
Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss
Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s
Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal
Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel
Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul
Menjelang Dzuhur, seluruh rangkaian acar selesai, meninggalkan kenangan pahit bagi sebagian orang. Maksudku, bagi perempuan-perempuan itu.Mereka mundur diri satu persatu dengan muka ditekuk, kecuali perempuan berambut merah. Satu-satunya yang mendatangi Bang Sam dengan tatapan menantang.Dia justru duduk tepat di depan kami sambil menikmati kudapan. Santai sekali. Atau berusaha santai. Sebab dia tampak menarik napas panjang berkali-kali.Bang Sam semakin blingsatan. Mau kabur dilihat Abah dan banyak orang, tetap berada di tempat dia sepertinya akan diserang. Perempuan berambut emas itu berkali-kali menatap Bang Sam dengan tajam. Tidak terlalu lama setelah itu, seluruh undangan telah pulang. Perempuan itu bangkit dan berjalan keluar, aku mengawasinya. Dia duduk di atas motor dan menyulut sebatang rokok. Sementara bagian katering sibuk membenahi bekas prasmanan.Azan Zhuhur berkumandang, Abah dan Amak izin pulang duluan. Mereka mengajak Bapak dan Ibu serta. Tidak ada lagi yang terting
Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i
Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja