Share

Penguasa

Penulis: Airin Ahmad
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Biar apa, Kak?" tanyaku. Benar-benar tidak paham dengan kelakuan kakak kelas sekamarku itu.

"Biar cepat hilang bekasnya."

"Bisa memangnya pakai bawang?"

"Tiga hari hilang," jawab Kak Ani penuh percaya diri.

"Makanya punya pacar, Rin. Biar ada pengalamanmu." Kak Desi menimpali.

Bagaimana aku akan pacaran jika keadaanku paling menyedihkan? Sebagai anak asrama yang sekolah di bidang kesehatan, bisa membayar uang kuliah tanpa menunggak saja sudah merupakan kesyukuran yang luar biasa.

Ekonomi orang tua yang pas-pasan tetapi bercita-cita tinggi, membuat Bapak dan Ibu harus banting tulang, membagi rezeki untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan makan.

Alih-alih berpakaian modis seperti teman-teman yang gaul dan banyak kenalan, aku justru mengandalkan beasiswa dan jungkir balik belajar agar nilaiku bisa dijadikan garansi, untuk tetap menerima dana hibah hingga tamat kuliah.

Aku juga harus bermanis-manis dan serajin mungkin di lahan praktik agar lebih dulu diajari sama kakak pegawai. Memij
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Titip   Lia Siapa?

    "Kenapa? Abang takut kehilangan aset buat tebar pesona dan merayu cewek Abang di luar sana?" Aku menyerang balik."Cewek apa pula Adek ini?""Lia. Siapa dia?"Ada keterkejutan sesaat di wajah Bang Sam, meski dia tutupi sedemikian rupa."Lia siapa?""Dak usah sok dak kenal. Tanya diri Abang sendiri." Aku mendongak dan menunjuk dada lelaki itu. "Abang yang lebih tau. Lagian, malu, Abang. Umur sudah gaek masih menyusu sama Amak. Jadi uang yang Adek kasih berputar-putar bae dari Amak balik ke Amak? Omong kosong Abang bilang ada duit dari perusahaan untuk operasional rumah.""Memang ada. Tapi dak cukup.""Jadi, sekali lagi Adek tanya, sampai kapan mau macam itu? Anak-anak makin besar, makin banyak."Kali ini Bang Sam terdiam."Jadi benar sangka aku, kau nikah sama Sam karena matre." Amak yang entah datang dari mana sekonyong-konyong menyahut."Maksud Amak apa?" tanyaku heran. Seakan dia tahu pasti apa yang sedang kami perdebatkan."Amak dengar kau nak jual mobil Sam.""Itu sangka Abang, Ma

  • Titip   Nyaris Saja

    Kampus yang baru berdiri kurang dari lima tahun itu kini ada di hadapan. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk pulih seratus persen.Aku masuk ke lobi dan celingukan. Tadi sebelum berangkat sudah mengabari Ayu Ami akan datang."Mau ketemu Bu Ami, di mana ya, Pak?"Lewat kaca pembatas ruang yang di beri lubang, aku bertanya pada seseorang yanv berjaga di sana."Sebentar."Laki-laki itu meraih telepon antar ruang dan berbicara dengan seseorang."Bu Ami ada di ruangannya. Sebelah sana, Bu."Dia menunjuk ke sisi kiri bangunan. Ruangan dengan pintu terbuka itu menghadap ke kolam ikan."Baik. Terima kasih, Pak."Aku bergegas melangkah ke arah yang ditunjukkan. Lalu mendapati perempuan berwajah teduh itu sedang memberikan arahan pada dua orang mahasiswi yang duduk di depannya. Ayuk Ami mencoret-coret kertas sambil berkata-kata.Bimbingan skripsi. Kurasa.Ayuk Ami mendongak, tersenyum dan berbisik, "sebentar." Kode yang membuatku mengangguk dan duduk di sudut, pada kursi tamu yang di

  • Titip   First Meet

    Aku hanya perlu membuktikan pada diri sendiri bahwa mampu melakukan apa yang harus dilakukan. Aku tidak akan membiarkan orang lain masuk dan menyakiti. Hanya aku yang punya kontrol atas hatiku, bukan orang lain.Maka kini, aku memilih tidak peduli. Terserah Amak mau ngomong apa.Air dingin yang membasuh seluruh tubuh membuatku sedikit menggigil, kemudian tangan refleks memutar pemanas air dan menyelesaikan ritual mandi. Aku sudah merasa lebih sehat dari sebelumnya. Barangkali semangat itu bangkit karena aku akan kembali bekerja. Harus kusiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat. Menyiapkan keperluan Zain, Zidan, dan Amanda. Rasanya ini jauh lebih mudah daripada bekerja di rumah sakit dengan sift jaga berganti-ganti.Selesai salat malam dan subuh, aku bergegas ke dapur. Ayuk Siti sudah sibuk sendiri di depan kompor.Aku menghela napas berkali-kali, sebab mencium aroma tumisan selalu memancing mual. Pun begitu, kukuatkan dan meyakinkan hati bahwa aku bisa melaluinya."Lah bangun, Ri

  • Titip   Mengintip

    "Di sini?""Iyaa."Bu Ami yang serta-merta nongol dari balik pintu membuatku tersenyum lega. Sebab, mulut rasanya gatal ingin menanyakan di mana Reri kenal Bang Sam. Jika keceplosan, barangkali satu pintu yang bisa kumasuki untuk menyelidiki lewat perempuan ini bakal tertutup."Ayok! Saya tunjukkan tempatnya." Bu Amy mengajakku.Aku berdiri dan mengucapkan terima kasih pada Bu Reri.Sekali lagi, aku harus bertemu dengan tangga. Hal yang sering memicu tegang di perut. Namun sebab sudah terlanjur, aku tidak boleh mundur. Ruangan yang lebar dengan bilik-bilik tertutup korden biru muda menyapaku. Hawa dingin, patung tengkorak, lemari-lemari besar berisi instrumen, tumpukan laken, dan bermacam barang-barang praktikum seolah mengucapkan salam. Melihatnya saja sudah membuatku pusing.Mulai hari ini, aku harus mulai familiar dengan nama semua alat dan letaknya. Bu Ami menyerahkan padaku dua buah buku, memberikan arahan singkat tentang apa saja yang harus kulakukan, kemudian berlalu. Menin

  • Titip   Laundry

    Membuat satu tempat laundry di dekat kampus ini sepertinya ide bagus juga.Aku hanya perlu mencari data berapa jumlah mahasiswa dan bagaimana selama ini mereka mencuci. Aku bangkit dan mengumpulkan semangat. Mengabaikan hubunganku yang rumit dengan Bang Sam, aku harus bisa berdiri dengan kokoh agar tidak dipandang sebelah mata oleh Amak dan dunia.Kata-kata perempuan sepuh itu menyakitkan sekali. Seolah-olah memang aku yang menjebak putranya. Sungguh nista. Kaki perlahan menuruni undakan. Rasa tegang di perut mulai reda. Aku hanya perlu membangun sugesti positif bahwa tidak ada yang akan menyakitiku jika jiwaku tidak mengizinkannya. Meski sulit.Meski kadang aku gagal melakukannya. Dedaunan aglonema yang berjajar rapi di dalam pot yang menghiasi sisi sepanjang lorong lantai bawah, terangguk-angguk dibelai angin. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja. Seorang mahasiswi melintas. Lekas aku memanggilnya. "Dek!"Dia berhenti dan mendekat."Iya, Kak?"Aku tersenyum dan m

  • Titip   Pinjam Hapenya

    Dengan pergumulan dan gerakan yang random, laki-laki itu kena dorongan kakiku tepat di perut dan terguling ke lantai. Ya, ampun. Ini suami istri atau sesama atlet gulat? Aku terkesiap dan meluncur ke bawah. Dia menunduk sambil memegangi kepalanya bagian belakang yang mungkin terbentur lantai. Bukannya menolong, tangan kanannya yang bebas aku raih untuk membuka kunci ponselnya.Berhasil. Aku berderap menjauh dan membuka segera aplikasi chat dan seketika darahku berdesir hebat. Apa-apaan ini? Percakapan beruntun dari enam perempuan sekaligus. Kata mesra, sanjung puji, dan janji-janji manis bertebaran memenuhi layar yang kubaca. Otakku loading sesaat. Kukira lelaki yang terlihat alim di awal dulu, menyelingkuhi satu orang saja, ternyata dia kolektor wanita.Bang Sam terduduk pasrah sambil bersandar ke pinggir tempat tidur. Matanya sayu penuh kepasrahan. Kali ini dia tidak bisa lagi mengelak. "Bukan main. Ck ck ck. Abang sudah pro sebagai pemain." Kulemparkan ponsel menjijikkan itu k

  • Titip   Perang Dingin

    Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja

  • Titip   Grand Opening

    Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i

Bab terbaru

  • Titip   Jurnal Terakhir

    Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,

  • Titip   Sebuah Cerpen

    Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss

  • Titip   Silent Mode

    Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s

  • Titip   Perang

    Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal

  • Titip   Cari Kesempatan

    Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel

  • Titip   Ultimatum

    Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul

  • Titip   Undangan Istimewa

    Menjelang Dzuhur, seluruh rangkaian acar selesai, meninggalkan kenangan pahit bagi sebagian orang. Maksudku, bagi perempuan-perempuan itu.Mereka mundur diri satu persatu dengan muka ditekuk, kecuali perempuan berambut merah. Satu-satunya yang mendatangi Bang Sam dengan tatapan menantang.Dia justru duduk tepat di depan kami sambil menikmati kudapan. Santai sekali. Atau berusaha santai. Sebab dia tampak menarik napas panjang berkali-kali.Bang Sam semakin blingsatan. Mau kabur dilihat Abah dan banyak orang, tetap berada di tempat dia sepertinya akan diserang. Perempuan berambut emas itu berkali-kali menatap Bang Sam dengan tajam. Tidak terlalu lama setelah itu, seluruh undangan telah pulang. Perempuan itu bangkit dan berjalan keluar, aku mengawasinya. Dia duduk di atas motor dan menyulut sebatang rokok. Sementara bagian katering sibuk membenahi bekas prasmanan.Azan Zhuhur berkumandang, Abah dan Amak izin pulang duluan. Mereka mengajak Bapak dan Ibu serta. Tidak ada lagi yang terting

  • Titip   Grand Opening

    Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i

  • Titip   Perang Dingin

    Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja

DMCA.com Protection Status