Aku pamit kembali ke kamarku. Jujur jika berlama-lama di meja makan, aku takut jika tidak bisa lagi menahan air mataku.Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka berdua.Setelah sampai di dalam kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tutup wajahku dengan batal agar tak ada yang mendengar suara tangisanku.Aku menangis sampai tertidur. Aku terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu.Aku lihat sudah pukul satu dini hari. Aku penasaran siapa yang mengetuk pintu kamarku malam-malam begini.Ketika aku membuka pintu, ternyata mas Ikhsan sudah berdiri disana.Mas Ikhsan langsung masuk kedalam kamar.Mas Ikhsan langsung memeluk tubuhku."Dek... Maafin Laras ya... Mungkin dia belum bisa menguasai rasa cemburunya." Ucapnya sambil mengecup keningku."Mas... Kenapa kesini? Nanti bagaimana jika Mbak Laras tahu.""Laras sudah tidur. Mas kangen sama kamu." Jawabnya. Mas Ikhsan memintaku untuk melayaninya."Bukankah Mas sudah dilayani mbak Laras?""Beda dong Dek... Pelayananmu membuatku suli
Air mataku luruh membasahi pipiku.Tanpa aku sadari ternyata Mbok Minah sudah berdiri di depan pintu kamar."Nyonya... Boleh Mbok masuk?"Aku hanya mengangguk. Mbok Minah langsung memeluk ku."Nyonya silahkan peluk Mbok jika nyonya butuh seseorang untuk mengurangi beban Nyonya." Aku langsung memeluk Mbok Minah dengan erat. Tangisku pecah. Aku menangis sejadi-jadinya."Nyonya... Mbok tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Tapi Mbok bisa merasakan bagaimana rasanya kesedihan Nyonya saat ini."Setelah aku menumpahkan semuanya hatiku mulai terasa lega. Mbok Minah memberi ku segelas air."Nyonya... Yakinlah setiap ujian pasti ada hikmahnya. Mbok yakin suatu saat nyonya akan bahagia lahir dan batin.""Terima kasih ya Mbok."Hari-hariku habiskan bersama Mbok Minah. Aku belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama. Mbok Minah memanggil seorang ustadzah untuk mengajariku. Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah satu bulan ini mas Ikhsan tidak pulang kerumahku.Mas Ikhsan juga tidak per
Hari ini adalah hari dimana mas Ikhsan bersamaku. Namun aneh, ketika mas Ikhsan datang ternyata Mbak Laras juga ikut."Mas... Har ini waktunya kamu bersama ku. Kenapa ada mbak Laras?""Hahahaha... Airin! Kamu kan sudah hamil. Jadi mas Ikhsan sudah tidak harus menidurimu lagi dan mas Ikhsan sudah tidak aku ijinkan lagi untuk meluangkan waktu bersamamu.""Apa! Jadi mbak tidak mengijinkan mas Ikhsan untuk bersamaku? Mbak membiarkan aku melewati masa kehamilan ini sendirian?""Alah! Tidak usah manja! Bukankah kamu sudah biasa di tinggal pergi laki-laki yang sudah menidurimu! Jadi anggap saja mas Ikhsan sebagai pelangganmu bukan suami." Ucap mbak Laras dengan entengnya."Tidak bisa begitu dong Mbak! Jika aku harus melalui masa kehamilan ini seorang diri. Maka jangan pernah berharap kalian bisa melihat anak ini!" Ancamku"Sayang... Pulang lah... Biar mas disini malam ini menemani Airin. Karena kata Dokter, Dia tidak boleh stres diawal kehamilan karena bisa berefek keguguran." Ucap mas Ikhsan
Aku sedikit takut dengan ucapan Mas Ikhsan. Jujur saja aku memang tidak pernah tahu sedikit pun tentang Mas Ikhsan maupun Mbak Laras. Dan bodohnya lagi aku tidak mencaritahu terlebih dahulu siapa mereka. Apakah mereka itu orang baik atau malah sebaliknya.Keesokan harinya kami pulang. Mas Ikhsan menurunkanku di depan pagar. Mas Ikhsan tidak bisa mampir kerumah, karena Mbak Laras sudah menunggu dirumah. "Dek, Mas antar sampai sini saja ya...""Kenapa tidak mau masuk dulu?""Nanti Laras curiga jika Mas mampir,""Ya sudahlah pulang sana!"jawabku kesal, percuma juga jika aku memaksa mas Ikhsan untuk masuk kerumah karena kami pasti akan bertengkar, bagi mas Ikhsan perasaan mbak Laras yang terpenting. Mas Ikhsan tidak mau Mbak Laras curiga. Jadi Dia harus segera sampai rumah. Setelah kepergian Mas Ikhsan, ternyata Bagas sudah berdiri di belakangku."Mari, Nyonya kita masuk." ajaknya, aku hanya mengangguk. Dan berjalan di depannya. Begitu melihatku, Mbok Minah langsung menghampiriku.A
Karena capek menangis aku akhirnya tertidur. Aku terbangun ketika mendengar suara pintu kamar terbuka.Aku berpikir jika itu mbak Laras. Karena dia tadi yang mengunci pintu jadi sudah pasti mbak Laras yang memegang kuncinya. Tapi ternyata dugaanku salah. Ketika pintu terbuka, ternyata Mas Ikhsan datang dengan membawa gelas berisi susu."Dek... Minum susu dulu ya... Biar anak Mas tumbuh sehat.""Mas... Tolong lepaskan aku dari sini. Aku janji akan menjadi istri yang seperti kamu inginkan.""Dek... Jika kamu mau menjadi istri yang penurut, Mas akan coba untuk membujuk Laras.""Penurut bagaimana lagi? Apa selama ini aku belum jadi istri penurut bagi mu!""Maksud Mas. Adek jangan pernah membantah Laras. Agar, Mas bisa membantu adek untuk kembali ke rumah sana." Entah mengapa hati kecilku tidak percaya dengan semua ucapan mas Ikhsan. Aku merasa jika Mas Ikhsan hanya berbohong kepadaku."Baiklah Mas. Aku akan berusaha selalu menjadi istri yang penurut untuk mu dan menjadi adik madu yang ba
Mas Ikhsan melepas pelukannya. Mbak Laras begitu pias melihatku."Airin! Kamu mau bunuh anakku ha!""Maksud Mbak apa?""Kamu sengaja tidak makan agar anak ku mati!""Mbak! Aku tidak berselera makan juga karena ulahmu! Jadi jangan selalu menyalahkan aku. Jangan egois!""Memang salah apa aku ha!""Mbak! Aku hanya ingin makan disuapi Mas Ikhsan sekali saja, tapi kamu marah lalu merendahkanku dan menamparku, lalu mbak tanya salahnya apa? Mbak waras tidak sich!""Halah! Itu hanya alasan kamu saja. Kamu itu mau mengambil kesempatan dengan cara menggunakan kehamilanmu. Kamu pikir aku ini orang b*d*h! Perempuan murahan seperti kamu itu pasti akan menghalalkan segala cara agar bisa merebut hati mas Ikhsan. Dan lambat laun kamu akan membuat mas Ikhsan lupa denganku dan bahkan bisa juga kamu akan meminta mas Ikhsan menceraikan aku. Kamu pasti akan memanfaatkan kendunganmu itu untuk menjerat suamiku!""Mbak! Aku memang memiliki masa lalu yang buruk. Tapi, aku bukan orang yang seperti Mbak tuduhkan
Mas Ikhsan pergi meninggalkanku dikamar sendirian. Seperti itulah dirinya, setiap habis bertengkar pasti langsung pergi entah kemana.Aku juga tidak mau ambil pusing kemana Mas Ikhsan pergi. Palingan juga nanti juga pulang kalau hatinya sudah tenang.Benar saja tiga jam kemudian akhirnya Dia pulang. Mas Ikhsan datang dengan membawa beberapa paper bag."Dek... Lihat apa yang Mas bawa." ucapnya dengan wajah sumringah sambil menunjukkan barang yang dia bawa.Aku hanya tersenyum melihat hal itu. Ya walaupun sebenarnya hatiku masih tidak suka dengan apa yang dia katakan tadi."Terima kasih Mas.""Kok kamu seperti tidak suka dengan apa yang aku bawa ini Dek?""Suka kok Mas.""Wajahmu memperlihatkan jika senyum itu paslu.""Mas tolong! Buat aku nyaman.""Iya dech... Maaf, bukan maksud Mas membuatmu tidak nyaman, mas hanya ingin berusaha membuatmu bahagia.""Aku pasti bahagia jika apa yang mas lakukan ini ikhlas bukan karena sesuatu,""Mas ikhlas sayang, Mas benar-benar ikhlas melakukan semua
"Itu hanya anakku dan Laras bukan anakmu!""Bagaimana bisa ini bukan anakku sedangkan aku yang mengandungnya.""Kamu hanya berkewajiban mengandung dan melahirkan, selebihnya kamu tidak berhak apa-apa!""Bagaimana aku bisa tidak berhak?""Ya kerena dari awal kamu sudah mengetahui hal itu, jika aku menikahimu hanya ingin memiliki keturunan,""Benar, hanya ingin memiliki keturunan, tapi mas lupa, jika keturunanmu saat ini ada didalam perutku dan aku bisa pergi kapan saja darimu dan kamu maupun mbak Laras tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.""Kamu jangan main-main ya Dek! Mas tidak suka kamu ancam seperti itu!"Aku tidak mengancammu, tapi aku bicara kenyataan, aku akan membawa pergi anak ini jika kamu selalu menyakiti hatiku,""Sakit hatimu itu tidak mendasar! Kamu terluka oleh perasaanmu sendiri jadi jangan libatkan anakku dalam hal ini!""Sudahlah Mas! Aku mau tidur saja. Muak aku dengan pertengkaran yang seperti ini terus!"Aku langsung beranjak pergi meninggalkan Mas Ikhsan. Aku la
Setelah acara tujuh harian, aku langsung terbang ke kalimantan. Setelah sampai disana, aku lalu menceritakan semuanya kepada mbok Inah. "Mbok... Aku mungkin hanya satu atau dua minggu disini, karena aku sudah memutuskan untuk balik ke jakarta.""Mbok ikut Non. Mbok tidak mau di tinggal sendirian disini.""Kalau mbok ikut, lalu siapa yang akan mengurus rumah ini?""Tapi, mbok tidak mau disini sendirian Non. Pokoknya mbok ikut kemana Non pergi. Mbok tidak mau jauh dari Non. Hanya Non yang mbok miliki. Tolong ajak mbok ya." ucapnya dengan raut wajah sedih dan memohon kepadaku. Aku berpikir sejenak. Aku jadi kepikiran Ahmad dan Maman. Bukankah aku memiliki dua rumah, jadi satu bisa di tempati oleh Maman dan anaknya dan yang ini bisa di tempati Ahmad dan anaknya. Jadi anggap saja ini adalah rumah dinas untuk mereka. "Baiklah, Mbok ikut aku pulang ke Jakarta."Mbok Inah sangat senang mendengar hal itu, dia langsung menghambur kepelukanku sambil menangis. Setelah itu ak
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Adam. Karena Perawat tidak mengijinkan kami untuk masuk. Aku benar-benar cemas dan takut. Aku takut jika terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Kami lalu menunggu dengan perasaan yang sangat cemas dan takut. Dan benar saja. Ketakutan kami terbukti. Ketika Dokter keluar ruangan, Dokter menyatakan jika Adam sudah meninggal dunia. Aku yang mendengar hal itu langsung berlari masuk dan memeluk tubuh Adam yang mulai terasa dingin itu. "Adam... Bangun Nak... Ini Kak Airin. Kakak datang untuk menjemput kalian." "Dam... Buka matamu Nak... Ayo buka matamu lihat Kakak sudah datang. Kakak janji tidak akan meninggalkan kalian lagi.""Adam... Ayo buka matamu. Kakak mohon Dam buka matamu sekali saja. Apa kamu tidak kasihan dengan adik-adikmu di panti. Mereka pasti menunggu kepulangan mu. Dam kakak mohon buka matamu." ucapku dengan tangisan yang sudah benar-benar tak dapat aku bendung lagi. Anita mendekat dan memelukku. Aku tahu Dia juga me
Aku tidak tahu apa yang terjadi disana. Aku segera berkemas dan langsung memesan tiket pesawat lewat online.Si Mbok sedikit terkejut ketika aku mengatakan jika aku besok harus pergi. Sepertinya si Mbok tahu kemana aku akan pergi jadi dia tidak banyak bertanya kepadaku.Setelah selesei berkemas. Entah mengapa aku tiba-tiba teringat akan Yusuf. Aku memang sudah lama tidak pernah ke makamnya. "Maafkan mama ya sayang sudah lama mama tidak menengok Yusuf" ucapku dalam hati. Tanpa terasa air mataku menetes.Rasa rindu yang teramat dalam menyelimuti hatiku. Aku menangis sejadi-jadinya dengan menenggelamkan wajahku ke bantal agar si Mbok tak dapat mendengar suara tangisanku.Aku menangis sampai tertidur."Mbak Laras?" Kenapa aku seperti melihat mbak Laras. Apakah benar itu mbak Laras.Aku mengikuti perempuan yang sangat mirip mbak Laras itu. Dia berjalan dengan santai sambil menggendong seorang anak kecil. Dan Tunggu!!! Bukankah anak dalam gendongannya itu seperti anakku Yusuf? Iya. Itu ada
Aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang melempari mobilku dengan batu. Maman yang melihat hal itu segera turun."He! Kenapa kamu melempar batu itu ke mobil?"Aku yang melihat Maman emosi langsung segera turun. Aku tidak mau jika Maman sampai lepas kendali."Man. Kamu masuk saja, saya kenal dengannya.""Ta-tapi,Bu.""Sudah kamu masuk saja ke dalam mobil, biar saya selesaikan masalah ini."Maman lalu masuk ke dalam mobil tanpa membantah ku sedikit pun.Setelah Maman masuk ke mobil, aku berjalan ke arah Rudi."Kenapa kamu melempari mobil Tante?" Tanyaku dengan nada lembut"Tante harus bertanggung jawab. Kembalikan kaki bapak seperti dulu agar ibu tidak memarahi bapak setiap hari." Ucapnya sambil menangis"Rudi... Maafkan Tante, Tante tidak bisa membuat kaki bapakmu utuh seperti dulu.""Pokoknya aku tidak mau tahu, Tante harus bertanggung jawab. Sekarang bapak tidak tahu dimana karena di usir ibu." Ucap Rudi masih dengan menangis"Apakah kamu tidak tahu bapakmu sekarang dimana? Apaka
Aku menajamkan penglihatanku untuk memastikan apa yang aku lihat itu benar. "Mbok... Apa i-itu Ahmad?""iya, Non. Sepertinya itu nak Ahmad. Tapi untuk apa dia di taman ini sendirian?""Coba mbok kesana dan pastikan apakah dia benar-benar Ahmad.""Baik, Non."Lalu si mbok berjalan kearah orang yang kami duga adalah Ahmad. Symbol menunggu si mbok, aku menghubungi Manana. "Man... Bagaimana ketemu sama Ahmad dan keluarganya?""Maaf Bu, kata para tetangga pak Ahmad sudah pindah kontrakan.""Pindah?""Iya, Bu. Katanya mereka habis ribut besar dan keesokkan harinya anak dan istrinya pergi meninggalkan rumah, sedangkan pak Ahmad diusir pemilik kontrakan.""Ya sudah sekarang kamu jemput saya di taman dekat cafe tadi.""Baik, Bu. Ini saya sudah dekat."Setelah itu aku matikan sambungan telephone. Aku melihat si mbok berbicara dengan laki-laki itu, karena aku penasaran akhirnya aku putuskan untuk mendekat kearah mereka. Dan benar saja dugaanku, laki-laki itu benar-benar Ahmad.
Aku kembali kembali pulang untuk mengurus semuanya sebelum anak panti aku bawa. Setelah sampai rumah aku langsung bercerita kepada si Mbok. Dan aku senang si Mbok sangat mendukungku. Aku lalu memanggil Maman. "Man... Bagaimana? Apakah tanah yang aku minta sudah dapat?""Alhamdulillah sudah Bu.""Baiklah, bagaimana surat menyuratnya?""Mereka minta di bayar setengah dulu bu dan setelah kita bayar mereka akan mengurus sertifikatnya dan balik nama sekalian jadi kita terima beres.""Apakah mereka bisa dipercaya?""Insha Allah bisa Bu.""Baiklah tolong kamu atur kapan saya bisa menemui mereka. Karena saya butuh cepat dan ingin segera saya bangun.""Tapi, Bu. Untuk membangun rumah seperti yang ibu inginkan itu membutuhkan waktu yang lumayan lama."Aku terdiam, karena aku baru sadar jika aku tak berpikir sejauh itu. Aku hanya berpikir dapat tanah dan langsung di bangu. Aku tidak berpikir jika membangun sebuah rumah yang cukup besar itu membutuhkan waktu berbulan-bulan. "Kamu benar j
Aku pergi meninggalkan mas Ikhsan tanpa menoleh lagi. Aku takut dengan ancaman mas Ikhsan. Aku harus segera pergi dari kota ini dan membawa anak-anak panti. Mereka tidak terlalu banyak hanya berjumlah sekitar lima belas orang. Jadi aku yakin bisa menghidupi mereka.Anak-anak panti ada beberapa yang sudah beranjak dewasa jadi bisa saja mereka membantuku untuk mengurus mereka yang sebagian masih kecil. Aku akan membangunkan rumah yang layak disana. "Kamu masih lamakah?"tanya Anita dalam panggilan telepon "Tidak kok, sebentar lagi aku pulang"jawabku"Ya sudah aku tunggu, jangan lama-lama dan hati-hati dijalan,"ucapnya lagi dan setelah itu panggilan diakhiri. Aku langsung segera pulang kerumah Bu Wulan karena Anita sudah menelepon terus. Aku tahu jika Anita sangat mengkhawatirkan aku. "Akhirnya kamu datang juga, Rin,"ucapnya sambil memegang tanganku yang baru turun dari mobil. Aku hanya tersenyum melihatnya. Setelah sampai aku langsung membantu mereka menyiapkan segala sesuatu
Tubuhku bergetar setelah membaca pesan dari Anita. Aku langsung menghubungi Anita. "Nit..." ucapku dengan menangis. Aku sudah tidak dapat lagi menahan air mataku. "Rin... Kamu harus ikhlas. Mungkin ini yang terbaik untuk Bu Wulan." jawab Anita menenangkan aku. "Bagaimana aku bisa ikhlas Nit. Bu Wulan seperti itu karena aku.""Rin. Kamu tidak boleh menyalahkan dirimu. Ini semua terjadi karena Ikhsan jadi ini bukan salah kamu.""Nit... Aku sudah dibandara dan akan segera sampai dirumah sakit.""Ya sudah aku tunggu kamu disini. Kamu yang sabar ya Rin."Bu Wulan meninggal sebelum bertemu denganku. Aku sangat sedih dan sangat marah terhadap Mas Ikhsan. Jika bukan karena mas Ikhsan men*s*knya pasti semua ini tidak akan terjadi.Setelah sampai rumah sakit aku langsung disambut oleh Anita. Aku menangis dalam pelukannya. "Nit, semua ini salahku, andai aku tidak masuk dalam kehidupan mereka, semua ini tidak akan pernah terjadi,"ucapku sambil menangis. Anita lalu mengusap air mat
Mbak Sekar yang melihat kedatanganku langsung berjalan kearahku dan langsung memelukku sambil menangis."Bu Airin. Lihatlah bagaimana keadaan suamiku sekarang." Ucapnya sambil menangis. Aku yang muak dengan sandiwaranya langsung melepas pelukan mbak Sekar. "Maaf, Saya sudah mendengar semuanya!""Apa yang Bu Airin dengar?""Semuanya!"Mbak Sekar dan Ahmad sangat terkejut mendengar ucapanku. "Ja--di... Bu Airin mendengar perdebatan kami?" tanya Ahmad dengan terbata. Sedangkan mbak Sekar hanya terdiam dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Iya! ""Baguslah jika Bu Airin sudah mendengar semuanya, jadi tidak ada yang harus kami tutupi lagi,"jawab Sekar tanpa ada rasa bersalah sedikit pun "Kenapa harus ditutupi? Apa yang ingin kalian bicarakan dengan saya?""Bu... Maafkan Saya... Saya bersedia ibu pecat jika apa yang kami bicarakan tadi telah menyinggung perasaan ibu." ucap Ahmad dengan wajah penuh sesal dan sangat berbanding terbalik dengan istrinya Sekar. Sekar seolah tertantan