Beberapa orang tidak pernah tau bagaimana rasanya tenggelam dalam jurang masa lalu. Atau bisa jadi mereka telah mengarungi lebih dulu dan mampu berdiri dipuncak masa depan.
Tetapi aku masih di sini. Di persimpangan jalan antara masa lalu dan masa depan. Rupanya kepalaku telah belajar menoleh kebelakang teramat dalam sampai aku salah kereta. Kereta masa depan yang seharusnya ku naiki. Aku malah bersandar nyaman dengan kereta masa lalu.
Sampai suatu ketika logika itu datang menyadarkan ku. Seharusnya aku tidak pernah ada didalam kereta ini.
Dalam kondisi sadar dan tidak aku mencoba untuk lari. Diantara gerbong-gerbong sesekali aku terjatuh. Ku dapati sebuah pintu. Tetapi kereta tidak mau berhenti. Dia terus berjalan cepat. Yang bisa aku lakukan untuk menyadarkan diriku sendiri hanya satu. Melukai diri sendiri agar fokus ke masa depan.
Aku memutuskan untuk lompat dari kereta. Mengabaikan suatu kemungkinan bahwa tubuhku akan remuk redam. Tidak apa. Dari pada aku akan terlihat naif dan menyedihkan di dalam sini selamanya. Bahkan sampai melupakan orangtuaku. Tidak!
đ«
Jalanan tidak akan pernah berubah. Dan semesta tidak akan pernah menunggu untuk aku sadar dari ratapan.
Wajahku kini penuh awan mendung yang berusaha ku tekan sedemikian rupa agar menyingkir.
Kutarik paksa gelang karet yang bertengger kuat dipergelangan tanganku sendiri. Bunyinya tidak terlalu keras. Membuatku tidak cukup puas karena ini tidak mampu menyingkirkan pemikiran-pemikiran yang terus menggelayut manja di otak.
Karena kurasa tidak cukup menyakitkan aku mencubit secara berulang lenganku sendiri. Berharap semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di sesali dan ditakuti di dunia ini. Selama aku yakin!
Tidak! Percuma saja. Sekuat apapun aku menyakiti diriku sendiri. Otak tetap saja memiliki alurnya sendiri. Apa aku perlu memotong nadi?
Terkejut. Seseorang menampik pundaku cukup kuat. Sampai gemuruh dalam otak mendadak sirna sepersekon. Aku memalingkan wajah. Ku dapati seseorang yang tengah memasang tampang sok garang tetapi masih dengan gaya kemayu.
"Apa! Mati aja sono sekalian! Nih ya," ujar pemuda kemayu tersebut. Kata-katanya masih mengambang minta diteruskan. Dan dengan gerakan spontan pemuda itu menarik kedua ujung bibirku sampai membentuk sebuah lekukan manis, "senyum! Kan cantik kalau gitu," matanya masih menerawang jauh menatap kearahku, "heran aku. Buang sono jauh-jauh gelang karetnya!"
Sangat kentara sekali bahwa pemuda tersebut tampak kesal. Kendati demikian bukannya aku gondok tetapi malah kuterbitkan senyum lebih lebar dari sebelumnya.
"Makasih, Ren."
"Ya." Ketus, singkat. Tetapi dalam batinnya aku tau Rendi tidak seperti itu.
Kata Rendi ada banyak alasan kenapa ia masih stay denganku. Katanya "Rani itu baik."
đź
PuterisenjaTidak ada yang hidup dalam raga yang bisu. Tidak ada yang berdetak dalam raga yang merobot.Ada banyak sekali alasan untuk aku ingin kembali ke masa lalu dan merubah segalanya. Tapi keadaan dan kenyataan memaksa untuk tak acuh."Rani! Cepetan, jadi makan tidak?"Aku masih asik dengan android yang melekat ditangan ketika mendengar suara merdu dari arah dapur. Merebahkan tubuh santai di ranjang berkelambu usang. Sambil tengkurap, aku cukup terkejut dengan teriakan beliau.Tanpa aba-aba aku segera mematikan setelan video di android yang memang berisi konten hot kissing. Bergegas bangun dari tengkurap, aku mulai berjalan sambil mengikat rambut yang berantakan tak ubahnya jerami kusut. Di sana aku mendapati ibu yang tengah sibuk memasak."Lauknya apa?" Ujarku ringan. Seolah tidak memiliki rasa penyesalan dengan apa yang telah ku tonton sebelum ini.Tayangan tersebut hampir seti
Sejak lulus SMK di usia sembilan belas tahun. Aku memilih tidak melanjutkan kuliah. Mencoba peruntungan bekerja di dunia luar untuk sekedar meringankan beban orang tua.Merantau ke Jogja bekerja sebagai karyawan rumah makan. Itu tidak masalah. Karena yang paling penting adalah kenyamanan ku. Seengaknya, aku tidak mendengar cek-cok yang setiap hari berkumandang di rumah. Hanya sebulan sekali ketika aku liburan.Dua hari. Setiap sekonnya terasa begitu cepat. Sampai tanpa sadar waktu liburan ku buang percuma tanpa bercanda gurau dengan keluarga, membosankan.Tubuh-tumbuhan hijau berdiri menjulang. Kutatap lembut penuh kilas balik memori, aku mencoba menerawang. Sesuatu hal yang aku andai-andaikan, tidak akan pernah terjadi di dalam keluargaku.Suara deru bus mendadak lenyap termakan udara. Perjalanan ku kembali bekerja ke resto Jogja mendadak hilang berkabut. Pikiranku tidak la
Ada sesuatu yang aneh didalam bus ini. Melaju dengan kecepatan di atas rata-rata sopir tampak gugup. Aku yang duduk tepat di depan dekat pintu kernek samar melihat gerak bibir pengemudi dengan kernek. Rem blong!Jalanan terus menurun semakin mempercepat laju bus. Para penumpang yang tidak paham hanya diam. Tidak pernah tau jika nyawa terancam.Tiba-tiba dari arah depan terdapat mobil yang hendak menyeberang agresif. Terkejut! Sopir bus yang aku tumpangi membanting setir ke kanan. Tanpa rem menabrak beton pembatas jalan. Selayaknya terbius kilat oleh waktu. Tidak ada yang sempat berteriak. Bus terpelanting sejauh sepuluh meter dari arah tabrakan. Bagian depan ringsek parah. Beruntung jalanan masih sepi. Hingga kecelakaan itu tunggal.Aku yang terhimpit kursi berangsur keluar. Meninggalkan orang-orang dengan kondisinya masing-masing. Tidak ada yang bisa dibilang baik-baik saja. Bahkan bisa kuduga ada beberapa yang meninggal.
Ini gila! Ternyata kekesalanku tidak cukup sampai disitu. Kali ini Miko tidak memiliki inisiatif membawakan diriku helm jika berniat menjemput.Kepalang tai ayam sudah terinjak aku tidak mungkin mencari ojol sedangkan niat pemuda satu ini tulus tanpa terpikir.Selayaknya maling takut digrebek aku merunduk takut-takut begitu melewati polisi yang tengah merapikan tata tertib. Mengecek satu-satu kendaraan yang lewat. Beruntung saat ini jalanan Janti cukup ramai. Dengan gesit Miko mampu menyelinap dari pandangan polisi.Aku cukup bernapas lega sampai ke tenggorokan. Tiba-tiba kembali tercekat dengan pertanyaan Miko, "kamu hafal jalannya kan?""Hah? Ya nggaklah. Biasanya kan aku cuman naik bus terus mesen ojol. Kukira kamu tau.""Enggaklah, kan aku baru pertama ini nganter kamu."Laju motor Miko sedikit melambat. Kali ini aku yakin sepenuhnya bahwa pemuda yang saat ini menyetir motor tersebut telah dilanda dilema."Katanya kemarin ka
"Serius?""Iya, nanti belok ke kiri pas ada tikungan di depan. Pasti ada plakat 'Rasa nikmat'."Miko mengangguk paham. "Masak apa aja di sana?""Semua masakan Nusantara. Banyak sih, seperti opor, lodeh," kujelaskan secara singkat sampai akhirnya Miko menyeletuk ringan, "Belok sini?""Iya, tuhkan langsung ada plakatnya."Tepat setengah enam mereka tiba di warung. Langsung saja aku berujar setelah turun dari motor, "nanti, kamu hapal jalan pulang?""Taulah. Tuh kalau lewat jalan lurus itu kita bakal sampai di jalan besar. Tepat yang kita lewati dua kali tadi," Miko menjawab dengan enteng."Hah? Lah itu tau jalannya." Apasih Miko?"Tau. Tapi aku nggak paham nama-nama gangnya tadi."Kali ini aku lebih memilih cuek. Ku ajak Miko masuk. Pemuda tersebut menolak. Lebih memilih duduk disalah satu kursi rumah makan tersebut.
Aku tidak menyangka dengan segala pertanyaan yang keluar dari mulut pemuda tersebut."Ku tolak," mungkin. Aku belum sepenuhnya yakin. Tidak pernah paham dengan diriku sendiri."Cowok yang ngedeketin kamu sekarang siapa aja?""Nggak ada, semua cuman teman. Buka aja hpku kalau nggak percaya," jawabku enteng. Seolah tidak ada perang batin yang saat ini sedang bergemuruh di tubuh Miko. Pemuda tersebut sedang tidak baik-baik saja menahan kecemburuan. Karena ia tau betul. Aku adalah tipikal orang yang cuek dengan semua orang yang selama ini berusaha mencari perhatianku.Tanpa ragu aku menodongkan android pada Miko. Namun pemuda tersebut menolak. "Nggak usah, itu privasi.""Nggak papa, aku nggak punya rahasia apapun." Aku bukan tipikal orang yang peduli akan tindakan orang lain. Belum cukup paham sesuatu yang mana seharusnya menjadi privasi dan mana bukan. Kendati demikian aku masih mamp
Dalam sebuah jamuan makan dua pasang suami istri masih asuk bercengkrama ria. Tanpa sadar perempuan bergaun putih gading tersebut melirik lagu pada pria diserang mejanya. Hal itu dibalas dengan tatapan tegas.Kejadian tersebut tidak pernah disadari oleh pasangan masing-masing, meski dua pasang suami istri duduk dalam satu meja.Mereka tidak pernah sadar jika sebelum itu keduanya telah bercumbu mesra. Dalam sebuah kamar mandi hotel, berendam bersama. Meraup seluruh pangutan bibir dengan rakus. Sampai akhirnya cukup lelah karena tidak leluasa.Pemuda tersebut membawa perempuan ke ranjang dengan kondisi remang-remang. Mendudukkan diri diujung ranjang dan memberi isyarat agar perempuan tersebut melakukan aksi ganas.Adegan selanjutnya membakar seluruh tubuhku. Meski tidak sampai seks atau terekspose secara jelas tubuh yang telanjang tersebut aku tetap merasa puas.Satu kebiasaan buruk menonton
Sebongkah tawa menggema dari android ku. Miko tampak lebih riang karena telah terpuaskan oleh rasa dongkol Farhan."Plis, Ran. Jangan deket-deket Mikolah. Dia itu nggak baik buat kamu."Aku hanya cukup tersenyum. Aku tau betul bagian mana yang dimaksud Farhan tidak baik. Karena dulu Miko merupakan pecandu alkohol. Sering mabuk meski dalam kadar ringan. Bahkan pemuda tersebut masih sempat merokok di depan Rani dan Farhan saat ini.Untuk hal seperti itu. Aku tidak terlalu ambil beban. Miko belum tentu akan menjadi jodohku. Lagipula aku bisa merubah Miko menjadi lebih baik seiring waktu."Udahlah, Far," ujaran Miko terjeda oleh kekehannya sendiri. Sembari menyisir rambutnya yang pangang menggunakan jari Miko kembali melanjutkan, "kalau cemburu ya bilang cemburu aja." Dari nada suaranya yang tampak angkuh terdengar jelas. Miko merasa seolah telah menang mendapatkanku.Tetapi satu hal yang past
"Kayaknya Angga suka deh sama kamu."Aku tidak cukup bodoh untuk menyadarinya. Tetapi apa peduliku? Yang kupikirkan saat ini hanya ketenangan batin. Tidak lebih."Tau dari mana?""Keliatan jelas banget dari matanya. Gelagatnya juga kelihatan tidak suka dengan kehadiranku." Aku tidak cukup paham kenapa Farhan terkekeh saat mengucapkan itu. Tetapi ia kembali meneruskan, "dia itu kaya bocil. Pikirannya belum dewasa.""Tauu, kamu saja juga gitu.""Lah, kalau aku kan kaya gini biar ngimbangin kamu."Saat itu aku hanya bisa tersenyum kecil. Tidak tau harus seperti apa menanggapi. Tapi satu hal yang pasti, terkadang aku membenci semesta. Ia mampu melambatkan atau mempercepat waktu. Dan yang mengesalkan ia tidak berkoordinasi denganku. Dia lancang mempercepat waktu sampai larut malam. Bahkan sebelum aku bisa merasakan arti dari perjalanan ini.
Seringkali aku berusaha menebak. Kata apa saja yang telah diucapkan Desi tentangku pada Farhan. Sanjungankah? Atau bahkan keburukan?Entah mengapa aku menjadi sepeduli ini mengenai pendapat Farhan tentang diriku. Terlepas dari iya atau tidak Desi mengumpat dibelakangku. Yang paling penting untuk saat ini hanya satu. Farhan masih menghubungiku walau sekedar butuh.Tepat pukul 8 malam nanti Farhan berjanji akan datang. Mengajakku keliling Jogja, terutama Malioboro. Meski aku sudah sering ketempat itu, pasti akan lain lagi rasanya jika Farhan yang menemani.Dengan diiringi rasa nano-nano aku membereskan resto untuk tutup. Hal itu tidak lepas dari kebahagiaan yang menular pada Bu Ikhlas. Beliau sesekali mengarahkan aku untuk bersiap-siap. Baju apa yang sekiranya pantas dipakai?Rasanya jantung seolah ingin lepas dari asalnya begitu paham Farhan datang lebih awal. N
Aku mengangguk tanpa ragu, meletakkan android milikku ke atas meja. "pakai saja, nggak disandi," ujarku ringan. Dulu pernah bersama dengan Farhan selama dua bulan lebih membuatku dan ia layaknya kakak adik. Kupikir tidak ada yang salah dengan terbuka padanya.Dengan wajah pucat tanpa ekspresi tersebut aku tak acuh menatap Farhan melakukan sesuatu pada androidku. Sekilas aku mendengar dari belakang Desi masih setia mendongeng merdu bersama Bu Ikhlas dan Nurul. Dan Angga masih setia bercinta dengan game yang aku tidak tau apa namanya dibangku pojok, terpisah menyendiri.Selama aku bekerja dua bulan ini, Angga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Berselancar jauh meninggalkan posisinya. Tentu saja aku tidak peduli dengan siapapun. Bagaimanapun."Hai, Mik!"Secara mendadak aku tersadar. "Kamu ngapain, Han?"Sekilas senyum licik menjelma jail. Farhan menurunkan posisi android ku yang semula b
Seperti biasa, dalam acara makan malam bersama sebagai karyawan aku duduk tersisih. Satu meja dengan Angga dan saling berhadapan. Sungguh aneh jika Bu Ikhlas dan Nurul yang baru keluar dari rumah lebih memilih meja lain. Sedangkan setiap meja mampu menampung empat orang. Terdapat banyak celah di mejaku untuk mereka bergabung. Tatkala begitu, aku sungguh tidak peduli. Mereka punya hak atas apa yang ingin mereka lakukan.Dalam keheningan yang menyapu temaram selepas menuntaskan makanan, aku lebih memilih sibuk dengan android. Membuat cerita fantasi berjudul "Wolf Fair Eyes" di Wattpad. Mengabaikan Nurul dan Bu Ikhlas yang sibuk bercanda gurau. Sedangkan Angga? Aku yakin bahwa pemuda tersebut sibuk bermain game.Berbeda dari malam biasanya, saat ini mereka tengah menanti seseorang. Aku tidak tahu siapa itu, dan tentunya aku tidak peduli. Bu Ikhlas bilang namanya Desi. Menurut ceritanya Desi dulu hanyalah anak berandal yang suka mengumpat sana-sini. Namun lambat laun segal
'Alam pernah berkata...Ada kalanya dua pasang manusia yang saling mencinta itu kadang ditakdirkan tidak untuk bersama. Mereka hanya akan melengkapi separuh rasanya untuk orang lain yang dirasa lebih pantas mendapatkanya. Dan itu terjadi antar aku denganmu. Ada rasa sesal yang tidak pernah bisa membalikkan waktu ketika aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri.'Catatan kecil tersebut seakan menjelma bebatuan terjal yang menimpaku secara bersamaan. Kesakitannya seolah becek tanpa pengering.Jika resiko mencintai adalah terluka. Maka aku adalah pemegang rekor murni, tanpa terbalas telah meninggalkan bekas. Lelah akan harap yangku bangun sendiri.
"Ish, kamu mah ngga tau. Bahasa cinta itu indah. Nanti kamu sakit hati loh ngga pernah mau berjuang selagi bisa.""Cinta itu relatif, In. Dia bakal datang dan pergi kapan saja dan kepada hati siapa saja kamu mau, asalkan kita ilhlas dan sungguh-sungguh. Ngga bakal sakit hati, deh." Kala itu aku masih berpegang teguh.Semilir angin menjeda perdepatan. Meluangkan otak untuk berpikir jernih. Kata yang barusan terucap. Apakah iya? Aku bahkan ragu dengan diriku sendiri. Aku hanya berusaha menipu untuk sejumput ketenangan."Aku bingung banget sama perasaanku sendiri." Ina memusatkan perhatiannya ke arahku yang menunduk, memainkan rerumputan yang tampak hijau."Kamu cuman terlalu sering me
Beberapa kenangan mungkin perlu diingat. Tetapi jangan pernah lupa bahwa sejak awal masalalu telah berkomitmen dengan posisi terbelakang. Tidak perlu terlalu miring menoleh. Karena di depan ada seseorang yang menunggu perjalanan.Dalam deburan ombak kenangan. Siapa yang sangka jika hiruk priuknya merupakan alunan melodi sepi yang cukup nikmat untuk dilewatkan.Mengabaikan seluruh penat, lelah. Pandangan lurus ke depan. Langit-langit kamar tampak putih remang seolah memberi dukungan luas untuk beranggan. Sepersekon mendetikkan setiap hembusan nafas. Seolah merasakan lelahnya masing-masing. Aku dan kedua temanku, Bu Ikhlas dan Nurul berjajar dengan posisi tidur tersendiri dalam satu kamar dengan kasur lipat tipis.Larutnya waktu tidak cukup membuat mata almond dan elangku tertutup. Bentuk mata yang berbeda dalam satu wajah. Yang kadang membuatku tidak terlalu pede. Tetapi aku cukup puas dengan pipi dekik yang selalu malu-mal
Pembawaan sikapku cukup tenang. Tidak ada rasa sesal yang berarti. Aku tidak yakin dengan perasaan Miko padaku.Menghembuskan nafas sedemikian lancar. Membuat aku hampir lupa bahwa aku tidak sendiri. Ada Angga yang saat ini tengah menatap intens di meja kursi tempat bumbu-bumbu dapur tertata rapi. Cukup lama menyimak segala gerak-gerik aku hanya memasang ekspresi datar."Ada apa?" Angga bertanya."Aku kalah," aku menjawab tidak minat. Tidak memiliki hafsu untuk mengumbar semua yang aku alami. Aku lantas pergi begitu saja. Meninggalkan jejak keheningan untuk Angga di dapur.Siang itu giliran Angga yang berjaga. Menunggu Nurul memanggilnya kalau ada pelanggan yang ingin dibuatkan minum. Kendat
Layaknya ombak pasang surut. Gemuruh dalam dada menciptakan debaran keras. Jantungku seolah menolak bertengger manis di dalam tubuhku sendiri. Aku membalas satu persatu pesan dari Miko, masih dengan pemikiran runyam yang menggelayut."Bersikaplah layaknya seorang laki-laki dewasa, Mik.": RaniMiko:"Sikapku yang mana yang nggak dewasa, Ran. Aku ngelakuin ini cuman mau liat kamu beneran suka atau nggak sama aku. Kamu tau sendiri. Aku maunya serius. Nggak akan main-main lagi."Aku menghela nafas, apa yang sedang dibuktikan Miko? Apa yang sedang Miko cari tau dariku? Semua hal yang aku rasain tidak bisa ditebak dan diukur begitu saja sesuai dengan pemahaman Miko! Apalagi membawa orang-orang dari luar hanya untuk menguji perasaanku?"