Sejak lulus SMK di usia sembilan belas tahun. Aku memilih tidak melanjutkan kuliah. Mencoba peruntungan bekerja di dunia luar untuk sekedar meringankan beban orang tua.
Dua hari. Setiap sekonnya terasa begitu cepat. Sampai tanpa sadar waktu liburan ku buang percuma tanpa bercanda gurau dengan keluarga, membosankan.
Tubuh-tumbuhan hijau berdiri menjulang. Kutatap lembut penuh kilas balik memori, aku mencoba menerawang. Sesuatu hal yang aku andai-andaikan, tidak akan pernah terjadi di dalam keluargaku.
Suara deru bus mendadak lenyap termakan udara. Perjalanan ku kembali bekerja ke resto Jogja mendadak hilang berkabut. Pikiranku tidak lagi ditempat. Tidak lagi mengamati ke luar jendela bus seperti kebanyakan penumpang.
Memori dalam otak mendongkrak isi kabin paling belakang. Memilah sampai menemukan cerita usang. Sebuah dongeng yang terasa nyata nan sakit.
Dalam buku masa lalu itu aku menghela nafas pendek-pendek. Lelah sehabis pulang sekolah yang aku tempuh hanya dengan jalan kaki. Berhenti manekin di depan pintu dengan seragam smp. Tanganku lantas mengambang pada ganggang pintu, berangsur turun saat samar-samar terdengar orang yang tengah berdebat. Aku lantas merunduk.
Tanpa mengucap salam ataupun basa-basi lain, aku menerobos pintu utama itu begitu saja. Membiarkan kaki berlenggang ke arah pintu pembatas antara ruang tamu dan dapur rumah bergaya limasan tersebut. Berhenti di sana.
"Aku tak pernah membandingkan. Sebenarnya apa, sih kurangnya aku? Sabar, iya? Istri mana yang tahan menghadapi suami yang tidak mau menafkai keluarganya?" ujar Ratna pilu. Beliau itu berusaha tegar sambil mengupas mete dengan alat pemotong kusus tradisional.
"Baik. Sebaiknya kamu kembalikan uang yang pernah aku berikan ke kamu! Saat ini juga! Mana?"
Ibu berdecak. Selalu saja seperti itu. Ayah akan selalu mengungkit masa lalu untuk menskak ibu. Lagi pula, bukankah memang sudah kewajiban seorang suami menafkai keluarganya? Dan Darmo, satu kali merantau itu memberikan sebagian uang pada ibu. Untuk apa jika harus diungkit dikemudian hari?
"Kalau kamu memang ngotot. Kamu belah, tuh otak Rani! Uangnya aku gunakan buat menyekolahkan dia."
Tetesan terasa begitu hangat menyelimuti wajah. Rasanya begitu dalam menusuk. Tangis yang membeku tanpa bisa aku tumpahkan dengan lantang. Mengikat kuat dadaku. Sesak.
"Kamu mau pisah, hah?" Ayah berdiri, otaknya terasa mendidih saat mendengar ucapan ibu. Dia menatap ibu yang duduk memunggunginya.
"Pisah saja. Aku malah untung."
Aku tidak ingin ada hal yang buruk terjadi setelah ini. Walaupun kata 'cerai' dari ayah maupun ibuki diucapkan sekedar untuk menggertak. Tetap saja, sebuah pernikahan adalah ikatan suci yang tidak dapat dipermainkan begitu saja. Apalagi dalam islam, ketika seorang suami mengucap kata cerai. Maka haram hukumnya keluarga itu tetap bersama. Yang artinya, secara agama orangtuaku telah pisah. Baik ayah maupun ibu selalu mengucapkan kalimat pantangan itu setiap pertengkaran dimulai.
"Baik. Kalau begitu semua hewan peliharaan aku yang bawa. Termasuk Rani, anakku."
Tidak! Aku tidak mau.
Ingin saja aku berteriak kencang ditengah pertikaian mereka. Tetapi entah mengapa, masa itu. Rasanya kaki ini memaku kuat dengan lantai plester.
"Ajak aja kalau pun anaknya mau." ujar ibu cuek.
"Brengsek." Ayah berteiak sambil melempar pisau dapur dari meja ke arah Dara, kelinci putih kesayangan ku yang tengah berlenggang. Suara memekikan telinga itu berbaur dengan darah dari telinga hewan malang tersebut. Aku membekap mulut, tangis meledak makin menjadi. Bahkan hewan lucu yang tidak mengerti apapun turut menjadi korban.
Pria paruh baya berusia 45 tahun itu menjauh dari dapur. Sekilas aku dapat melihat mata sendu sang ayah saat berjalan melewatiku. Hal yang ayahku tau, sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau ikut dengannya.
Sorot mataku mengikuti ayah yang tidak menyadari kehadiranku, sampai tenggelam pada pintu utama. Deru honda fisz-R semakin meredam. Pasti sang ayah akan ke rumah kakek di Deles. Yang berjarak sekitar tiga desa dari rumah ini.
Aku berjongkok saat sampai di depan kelinci malang yang tak bernyawa tersebut. Dengan lembut jemariku menggusap tubuh yang mulai kaku. Hatiku membeku, seakan ikut mati bersama temanku satu-satunya di rumah. Tubuhku bergetar meredam isak tangis. Beberapa kali aku menyeka, beberapa kali pula air mataku luruh ke tanah.
Mataku membidik ke arah ibu. Aku tau, beliau tidak setegar itu menyembunyikan sakit hatinya dengan bersikap seolah tidak ada yang terjadi barusan. Aku tau, lengan yang sibuk bergerak mengupas mete itu bergetar menahan perih luka yang terus tergores sampai belasan tahun lamanya, belasan tahun terpendam. Bahkan, aku yang notabene anaknya tidak cukup berani menenangkan beliau. Aku takut, jika aku bertanya maka ibu akan teringat degan luka dihatinya lagi.
Selama ini ibu sudah cukup lelah dengan sikap ayah yang tempramen, sikap ayah yang tidak mau menafkai keluarga. Selama ini, ibu berusaha tegar dengan perbedaan yang ada antara teman-temannya yang lain. Disaat semua temannya tinggal mengurus rumah. Ibu tidak. Karena dirinya harus sibuk banting tulang, duduk setiap hari mengupas mete tanpa istirahat.
Mungkin pekerjaan itu tampak sepele jika kebanyakan orang lain memandang. Tapi tidak, karena ibu harus mengupas mete dari pabrik itu setiap hari. Upah yang dia dapat pun tidak sebanding, karena setiap mengupas 10 kilo mete beliau hanya akan diberi upah 10 ribu. Sedangkan mengupas mete sampai benar-benar bersih itu memerlukan waktu 9 jam.
Ibuku tidak bisa memilih pekerjaan lain selain itu. Karena kondisi kedua kakinya yang cacat sejak lahir, membuat ibuku tidak mampu berkutat dengan pekerjaan lain yang mengharuskan berdiri terlalu lama.
Cairan bening menetes untuk kesekian kali. Mendamba sebuah kedamaian tanpa ingatan. Aku ingin melupa walau sejenak. Luka dalam hati, batin dan raga. Merong-rong seluruh tubuh, sampai hanya sebuah kilas balik ingatan mampu membuatku menangis, terbacok untuk kesekian kali setiap aku mengingat.
Aku ingin memiliki keluarga harmonis seperti temanku yang lain. Yang mampu bercanda gurau. Paling tidak saling mengerti setiap ada konflik. Apa mungkin tidak hanya aku saja yang mengalami hal ini?
Ada sesuatu yang aneh didalam bus ini. Melaju dengan kecepatan di atas rata-rata sopir tampak gugup. Aku yang duduk tepat di depan dekat pintu kernek samar melihat gerak bibir pengemudi dengan kernek. Rem blong!Jalanan terus menurun semakin mempercepat laju bus. Para penumpang yang tidak paham hanya diam. Tidak pernah tau jika nyawa terancam.Tiba-tiba dari arah depan terdapat mobil yang hendak menyeberang agresif. Terkejut! Sopir bus yang aku tumpangi membanting setir ke kanan. Tanpa rem menabrak beton pembatas jalan. Selayaknya terbius kilat oleh waktu. Tidak ada yang sempat berteriak. Bus terpelanting sejauh sepuluh meter dari arah tabrakan. Bagian depan ringsek parah. Beruntung jalanan masih sepi. Hingga kecelakaan itu tunggal.Aku yang terhimpit kursi berangsur keluar. Meninggalkan orang-orang dengan kondisinya masing-masing. Tidak ada yang bisa dibilang baik-baik saja. Bahkan bisa kuduga ada beberapa yang meninggal.
Ini gila! Ternyata kekesalanku tidak cukup sampai disitu. Kali ini Miko tidak memiliki inisiatif membawakan diriku helm jika berniat menjemput.Kepalang tai ayam sudah terinjak aku tidak mungkin mencari ojol sedangkan niat pemuda satu ini tulus tanpa terpikir.Selayaknya maling takut digrebek aku merunduk takut-takut begitu melewati polisi yang tengah merapikan tata tertib. Mengecek satu-satu kendaraan yang lewat. Beruntung saat ini jalanan Janti cukup ramai. Dengan gesit Miko mampu menyelinap dari pandangan polisi.Aku cukup bernapas lega sampai ke tenggorokan. Tiba-tiba kembali tercekat dengan pertanyaan Miko, "kamu hafal jalannya kan?""Hah? Ya nggaklah. Biasanya kan aku cuman naik bus terus mesen ojol. Kukira kamu tau.""Enggaklah, kan aku baru pertama ini nganter kamu."Laju motor Miko sedikit melambat. Kali ini aku yakin sepenuhnya bahwa pemuda yang saat ini menyetir motor tersebut telah dilanda dilema."Katanya kemarin ka
"Serius?""Iya, nanti belok ke kiri pas ada tikungan di depan. Pasti ada plakat 'Rasa nikmat'."Miko mengangguk paham. "Masak apa aja di sana?""Semua masakan Nusantara. Banyak sih, seperti opor, lodeh," kujelaskan secara singkat sampai akhirnya Miko menyeletuk ringan, "Belok sini?""Iya, tuhkan langsung ada plakatnya."Tepat setengah enam mereka tiba di warung. Langsung saja aku berujar setelah turun dari motor, "nanti, kamu hapal jalan pulang?""Taulah. Tuh kalau lewat jalan lurus itu kita bakal sampai di jalan besar. Tepat yang kita lewati dua kali tadi," Miko menjawab dengan enteng."Hah? Lah itu tau jalannya." Apasih Miko?"Tau. Tapi aku nggak paham nama-nama gangnya tadi."Kali ini aku lebih memilih cuek. Ku ajak Miko masuk. Pemuda tersebut menolak. Lebih memilih duduk disalah satu kursi rumah makan tersebut.
Aku tidak menyangka dengan segala pertanyaan yang keluar dari mulut pemuda tersebut."Ku tolak," mungkin. Aku belum sepenuhnya yakin. Tidak pernah paham dengan diriku sendiri."Cowok yang ngedeketin kamu sekarang siapa aja?""Nggak ada, semua cuman teman. Buka aja hpku kalau nggak percaya," jawabku enteng. Seolah tidak ada perang batin yang saat ini sedang bergemuruh di tubuh Miko. Pemuda tersebut sedang tidak baik-baik saja menahan kecemburuan. Karena ia tau betul. Aku adalah tipikal orang yang cuek dengan semua orang yang selama ini berusaha mencari perhatianku.Tanpa ragu aku menodongkan android pada Miko. Namun pemuda tersebut menolak. "Nggak usah, itu privasi.""Nggak papa, aku nggak punya rahasia apapun." Aku bukan tipikal orang yang peduli akan tindakan orang lain. Belum cukup paham sesuatu yang mana seharusnya menjadi privasi dan mana bukan. Kendati demikian aku masih mamp
Dalam sebuah jamuan makan dua pasang suami istri masih asuk bercengkrama ria. Tanpa sadar perempuan bergaun putih gading tersebut melirik lagu pada pria diserang mejanya. Hal itu dibalas dengan tatapan tegas.Kejadian tersebut tidak pernah disadari oleh pasangan masing-masing, meski dua pasang suami istri duduk dalam satu meja.Mereka tidak pernah sadar jika sebelum itu keduanya telah bercumbu mesra. Dalam sebuah kamar mandi hotel, berendam bersama. Meraup seluruh pangutan bibir dengan rakus. Sampai akhirnya cukup lelah karena tidak leluasa.Pemuda tersebut membawa perempuan ke ranjang dengan kondisi remang-remang. Mendudukkan diri diujung ranjang dan memberi isyarat agar perempuan tersebut melakukan aksi ganas.Adegan selanjutnya membakar seluruh tubuhku. Meski tidak sampai seks atau terekspose secara jelas tubuh yang telanjang tersebut aku tetap merasa puas.Satu kebiasaan buruk menonton
Sebongkah tawa menggema dari android ku. Miko tampak lebih riang karena telah terpuaskan oleh rasa dongkol Farhan."Plis, Ran. Jangan deket-deket Mikolah. Dia itu nggak baik buat kamu."Aku hanya cukup tersenyum. Aku tau betul bagian mana yang dimaksud Farhan tidak baik. Karena dulu Miko merupakan pecandu alkohol. Sering mabuk meski dalam kadar ringan. Bahkan pemuda tersebut masih sempat merokok di depan Rani dan Farhan saat ini.Untuk hal seperti itu. Aku tidak terlalu ambil beban. Miko belum tentu akan menjadi jodohku. Lagipula aku bisa merubah Miko menjadi lebih baik seiring waktu."Udahlah, Far," ujaran Miko terjeda oleh kekehannya sendiri. Sembari menyisir rambutnya yang pangang menggunakan jari Miko kembali melanjutkan, "kalau cemburu ya bilang cemburu aja." Dari nada suaranya yang tampak angkuh terdengar jelas. Miko merasa seolah telah menang mendapatkanku.Tetapi satu hal yang past
Layaknya ombak pasang surut. Gemuruh dalam dada menciptakan debaran keras. Jantungku seolah menolak bertengger manis di dalam tubuhku sendiri. Aku membalas satu persatu pesan dari Miko, masih dengan pemikiran runyam yang menggelayut."Bersikaplah layaknya seorang laki-laki dewasa, Mik.": RaniMiko:"Sikapku yang mana yang nggak dewasa, Ran. Aku ngelakuin ini cuman mau liat kamu beneran suka atau nggak sama aku. Kamu tau sendiri. Aku maunya serius. Nggak akan main-main lagi."Aku menghela nafas, apa yang sedang dibuktikan Miko? Apa yang sedang Miko cari tau dariku? Semua hal yang aku rasain tidak bisa ditebak dan diukur begitu saja sesuai dengan pemahaman Miko! Apalagi membawa orang-orang dari luar hanya untuk menguji perasaanku?"
Pembawaan sikapku cukup tenang. Tidak ada rasa sesal yang berarti. Aku tidak yakin dengan perasaan Miko padaku.Menghembuskan nafas sedemikian lancar. Membuat aku hampir lupa bahwa aku tidak sendiri. Ada Angga yang saat ini tengah menatap intens di meja kursi tempat bumbu-bumbu dapur tertata rapi. Cukup lama menyimak segala gerak-gerik aku hanya memasang ekspresi datar."Ada apa?" Angga bertanya."Aku kalah," aku menjawab tidak minat. Tidak memiliki hafsu untuk mengumbar semua yang aku alami. Aku lantas pergi begitu saja. Meninggalkan jejak keheningan untuk Angga di dapur.Siang itu giliran Angga yang berjaga. Menunggu Nurul memanggilnya kalau ada pelanggan yang ingin dibuatkan minum. Kendat
"Kayaknya Angga suka deh sama kamu."Aku tidak cukup bodoh untuk menyadarinya. Tetapi apa peduliku? Yang kupikirkan saat ini hanya ketenangan batin. Tidak lebih."Tau dari mana?""Keliatan jelas banget dari matanya. Gelagatnya juga kelihatan tidak suka dengan kehadiranku." Aku tidak cukup paham kenapa Farhan terkekeh saat mengucapkan itu. Tetapi ia kembali meneruskan, "dia itu kaya bocil. Pikirannya belum dewasa.""Tauu, kamu saja juga gitu.""Lah, kalau aku kan kaya gini biar ngimbangin kamu."Saat itu aku hanya bisa tersenyum kecil. Tidak tau harus seperti apa menanggapi. Tapi satu hal yang pasti, terkadang aku membenci semesta. Ia mampu melambatkan atau mempercepat waktu. Dan yang mengesalkan ia tidak berkoordinasi denganku. Dia lancang mempercepat waktu sampai larut malam. Bahkan sebelum aku bisa merasakan arti dari perjalanan ini.
Seringkali aku berusaha menebak. Kata apa saja yang telah diucapkan Desi tentangku pada Farhan. Sanjungankah? Atau bahkan keburukan?Entah mengapa aku menjadi sepeduli ini mengenai pendapat Farhan tentang diriku. Terlepas dari iya atau tidak Desi mengumpat dibelakangku. Yang paling penting untuk saat ini hanya satu. Farhan masih menghubungiku walau sekedar butuh.Tepat pukul 8 malam nanti Farhan berjanji akan datang. Mengajakku keliling Jogja, terutama Malioboro. Meski aku sudah sering ketempat itu, pasti akan lain lagi rasanya jika Farhan yang menemani.Dengan diiringi rasa nano-nano aku membereskan resto untuk tutup. Hal itu tidak lepas dari kebahagiaan yang menular pada Bu Ikhlas. Beliau sesekali mengarahkan aku untuk bersiap-siap. Baju apa yang sekiranya pantas dipakai?Rasanya jantung seolah ingin lepas dari asalnya begitu paham Farhan datang lebih awal. N
Aku mengangguk tanpa ragu, meletakkan android milikku ke atas meja. "pakai saja, nggak disandi," ujarku ringan. Dulu pernah bersama dengan Farhan selama dua bulan lebih membuatku dan ia layaknya kakak adik. Kupikir tidak ada yang salah dengan terbuka padanya.Dengan wajah pucat tanpa ekspresi tersebut aku tak acuh menatap Farhan melakukan sesuatu pada androidku. Sekilas aku mendengar dari belakang Desi masih setia mendongeng merdu bersama Bu Ikhlas dan Nurul. Dan Angga masih setia bercinta dengan game yang aku tidak tau apa namanya dibangku pojok, terpisah menyendiri.Selama aku bekerja dua bulan ini, Angga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Berselancar jauh meninggalkan posisinya. Tentu saja aku tidak peduli dengan siapapun. Bagaimanapun."Hai, Mik!"Secara mendadak aku tersadar. "Kamu ngapain, Han?"Sekilas senyum licik menjelma jail. Farhan menurunkan posisi android ku yang semula b
Seperti biasa, dalam acara makan malam bersama sebagai karyawan aku duduk tersisih. Satu meja dengan Angga dan saling berhadapan. Sungguh aneh jika Bu Ikhlas dan Nurul yang baru keluar dari rumah lebih memilih meja lain. Sedangkan setiap meja mampu menampung empat orang. Terdapat banyak celah di mejaku untuk mereka bergabung. Tatkala begitu, aku sungguh tidak peduli. Mereka punya hak atas apa yang ingin mereka lakukan.Dalam keheningan yang menyapu temaram selepas menuntaskan makanan, aku lebih memilih sibuk dengan android. Membuat cerita fantasi berjudul "Wolf Fair Eyes" di Wattpad. Mengabaikan Nurul dan Bu Ikhlas yang sibuk bercanda gurau. Sedangkan Angga? Aku yakin bahwa pemuda tersebut sibuk bermain game.Berbeda dari malam biasanya, saat ini mereka tengah menanti seseorang. Aku tidak tahu siapa itu, dan tentunya aku tidak peduli. Bu Ikhlas bilang namanya Desi. Menurut ceritanya Desi dulu hanyalah anak berandal yang suka mengumpat sana-sini. Namun lambat laun segal
'Alam pernah berkata...Ada kalanya dua pasang manusia yang saling mencinta itu kadang ditakdirkan tidak untuk bersama. Mereka hanya akan melengkapi separuh rasanya untuk orang lain yang dirasa lebih pantas mendapatkanya. Dan itu terjadi antar aku denganmu. Ada rasa sesal yang tidak pernah bisa membalikkan waktu ketika aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri.'Catatan kecil tersebut seakan menjelma bebatuan terjal yang menimpaku secara bersamaan. Kesakitannya seolah becek tanpa pengering.Jika resiko mencintai adalah terluka. Maka aku adalah pemegang rekor murni, tanpa terbalas telah meninggalkan bekas. Lelah akan harap yangku bangun sendiri.
"Ish, kamu mah ngga tau. Bahasa cinta itu indah. Nanti kamu sakit hati loh ngga pernah mau berjuang selagi bisa.""Cinta itu relatif, In. Dia bakal datang dan pergi kapan saja dan kepada hati siapa saja kamu mau, asalkan kita ilhlas dan sungguh-sungguh. Ngga bakal sakit hati, deh." Kala itu aku masih berpegang teguh.Semilir angin menjeda perdepatan. Meluangkan otak untuk berpikir jernih. Kata yang barusan terucap. Apakah iya? Aku bahkan ragu dengan diriku sendiri. Aku hanya berusaha menipu untuk sejumput ketenangan."Aku bingung banget sama perasaanku sendiri." Ina memusatkan perhatiannya ke arahku yang menunduk, memainkan rerumputan yang tampak hijau."Kamu cuman terlalu sering me
Beberapa kenangan mungkin perlu diingat. Tetapi jangan pernah lupa bahwa sejak awal masalalu telah berkomitmen dengan posisi terbelakang. Tidak perlu terlalu miring menoleh. Karena di depan ada seseorang yang menunggu perjalanan.Dalam deburan ombak kenangan. Siapa yang sangka jika hiruk priuknya merupakan alunan melodi sepi yang cukup nikmat untuk dilewatkan.Mengabaikan seluruh penat, lelah. Pandangan lurus ke depan. Langit-langit kamar tampak putih remang seolah memberi dukungan luas untuk beranggan. Sepersekon mendetikkan setiap hembusan nafas. Seolah merasakan lelahnya masing-masing. Aku dan kedua temanku, Bu Ikhlas dan Nurul berjajar dengan posisi tidur tersendiri dalam satu kamar dengan kasur lipat tipis.Larutnya waktu tidak cukup membuat mata almond dan elangku tertutup. Bentuk mata yang berbeda dalam satu wajah. Yang kadang membuatku tidak terlalu pede. Tetapi aku cukup puas dengan pipi dekik yang selalu malu-mal
Pembawaan sikapku cukup tenang. Tidak ada rasa sesal yang berarti. Aku tidak yakin dengan perasaan Miko padaku.Menghembuskan nafas sedemikian lancar. Membuat aku hampir lupa bahwa aku tidak sendiri. Ada Angga yang saat ini tengah menatap intens di meja kursi tempat bumbu-bumbu dapur tertata rapi. Cukup lama menyimak segala gerak-gerik aku hanya memasang ekspresi datar."Ada apa?" Angga bertanya."Aku kalah," aku menjawab tidak minat. Tidak memiliki hafsu untuk mengumbar semua yang aku alami. Aku lantas pergi begitu saja. Meninggalkan jejak keheningan untuk Angga di dapur.Siang itu giliran Angga yang berjaga. Menunggu Nurul memanggilnya kalau ada pelanggan yang ingin dibuatkan minum. Kendat
Layaknya ombak pasang surut. Gemuruh dalam dada menciptakan debaran keras. Jantungku seolah menolak bertengger manis di dalam tubuhku sendiri. Aku membalas satu persatu pesan dari Miko, masih dengan pemikiran runyam yang menggelayut."Bersikaplah layaknya seorang laki-laki dewasa, Mik.": RaniMiko:"Sikapku yang mana yang nggak dewasa, Ran. Aku ngelakuin ini cuman mau liat kamu beneran suka atau nggak sama aku. Kamu tau sendiri. Aku maunya serius. Nggak akan main-main lagi."Aku menghela nafas, apa yang sedang dibuktikan Miko? Apa yang sedang Miko cari tau dariku? Semua hal yang aku rasain tidak bisa ditebak dan diukur begitu saja sesuai dengan pemahaman Miko! Apalagi membawa orang-orang dari luar hanya untuk menguji perasaanku?"