Semua orang menoleh dan melihat seorang wanita cantik berdiri di ujung meja mereka. Dia terlihat elegan namun pembawaannya modern. Keheningan menyelimuti kerumunan itu ketika mereka menyadari bahwa wanita itu tidak lain adalah si empunya pesta, Fiona Hernanda. Kemunculan Fiona Hernanda yang tiba-tiba langsung membuat heboh para tamu. Bisikan dan ekspresi terkejut langsung terdengar di seluruh ruangan saat perhatian semua orang beralih dari pertengkaran Darwin ke sosok anggun yang baru saja tiba. "Siapa itu?" seseorang bergumam, tidak bisa mempercayai mata mereka. "Oh, astaga! Bukankah itu Fiona Hernanda?" seru tamu lain, mereka mulai mengenalinya. “Mana mungkin, kamu pasti bercanda. Bagaimana mungkin Fiona yang dulu itu bisa secantik ini?” yang lain menimpali, mereka masih tidak percaya. Mereka terlihat takjub dan agak terintimidasi oleh transformasi Fiona, serta kehadiran yang berwibawa. Fiona dari dulu memang pintar, tapi saat masih kuliah dia masih kekurangan secara finansial
Ketegangan di ruangan itu meningkat, semua orang berdesak-desakan untuk mendapatkan perhatian Fiona setelah mengetahui ceritanya. Tiba-tiba, sebagai CEO saat ini, Fiona telah berubah dari sekadar teman sekelas menjadi simbol kesuksesan, prestasinya menghapus citra masa lalunya. Fokus mereka sudah beralih dari Darwin, seolah-olah tidak pernah terjadi sebelumnya, kini mereka melontarkan sanjungan yang ditujukan kepada Fiona. Elise dan Jessica, dengan anggun, berjalan mendekati Fiona, niat mereka jelas. Elise, melontarkan senyum paling menawan pada Fiona, topeng pesona atas niat sebenarnya. “Fiona, kamu terlihat sangat bersinar! Sungguh menginspirasi menyaksikan perjalananmu,” ujarnya dengan manis, suaranya terdengar tidak tulus. Jessica tidak ketinggalan, ikut serta dengan semangat yang dilebih-lebihkan. "Benar! Kami selalu tahu kamu akan membuat gebrakan besar. Menyaksikan hal itu terjadi sekarang, sungguh spektakuler," dia berbohong, matanya mengamati Fiona untuk mencari tanda-tand
Mata Fiona berbinar akan kebahagiaan dari perkataan Trevor. Dia berbalik ke arah Darwin dengan tatapan tulus yang memenuhi suasana dengan kehangatan. “Benarkah itu, Darwin? Kamu sudah bercerai?” Nada suaranya seakan bercampur dengan prihatin dan sedikit rasa berharap yang ganjil. Darwin, yang sedikit terkejut dengan reaksi Fiona mengangguk. “Iya, memang sulit, tetapi aku memilih untuk maju,” balasnya. Suaranya terdengar stabil meskipun kata-kata Trevor seakan telah mengaduk-aduk emosinya. Senyum Fiona melebar, matanya berbinar-binar dengan sebuah ide. “Darwin, itu... sungguh menyenangkan untuk didengar. Bukan pada bagian yang sulit, tentu saja, tapi senang melihatmu terbebas dari kegagalan dan berbicara mengenai melangkah maju,” dia melihat sekeliling ke wajah-wajah penuh semangat yang menyaksikan percakapan mereka, lalu kembali fokus pada Darwin, “Bagaimana menurutmu jika kamu bergabung dengan perusahaanku? Aku yakin aku memiliki posisi yang sempurna untukmu sebagai Kepala Teknologi
“Beraninya kamu?” Geram Fiona, sorot matanya menajam. “Beraninya kalian ada yang meremehkan integritas atau kesuksesan Darwin?”Elise dan Jessica saling bertukar pandangan gugup, tiba-tiba sadar mereka telah mendesak Fiona terlalu jauh. Senyuman di wajah mereka menghilang, kepercayaan diri mereka hilang tersapu oleh sorotan tajam mata Fiona. Namun, Trevor yang sudah tenggelam akan kecemburuannya menolak untuk menyerah. “Oh, ayolah Fiona. Sudah jelas dia hanya mencoba untuk membuatmu terkagum. Kami sebagai teman hanya sedang memperingatkanmu, meyakinkanmu untuk tidak jatuh pada tipuannya.”Postur tubuh Fiona masih menegak, sorot matanya dialihkan ke ‘temannya’ dengan campuran antara kekecewaan dan merendahkan. “Menakjubkan,” ujarnya, suranya berubah menjadi elegan dengan nada yang menusuk, “Seberapa cepat kalian semua menuduh hidup seseorang. Keputusan Darwin adalah keputusannya sendiri, dia pasti memiliki alasan yang tidak mungkin kalian mengerti karena kalian sibuk dengan pikiran dan
Begitu mereka menapakkan kaki ke luar, mereka disambut oleh semilir angin malam yang berhembus mengenai kulit mereka. Fiona mengarahkan Darwin ke mobilnya yang diparkir, sedan mewah berwarna hitam yang ramping dan berkilau di bawah sorotan lampu jalan. Garis-garis elegannya menunjukkan kecepatan dan kenyamanan, yang menjadi bukti selera dan status Fiona. “Maafkan aku, Darwin,” Fiona memulai, suaranya lembut, diwarnai dengan penyesalan saat dia membuka kunci mobil dengan bunyi bip. “Aku tidak pernah ingin malam ini berubah menjadi... seperti ini.” Darwin menoleh ke arahnya, matanya memantulkan cahaya lembut lampu jalan. “Fiona, kamu tidak perlu minta maaf. Sungguh,” dia bersikeras, nadanya lembut namun tegas. “Mereka... orang konyol itu,” katanya, sambil tersenyum kecut, “Mereka tidak patut kamu khawatirkan.” “Namun, mereka jahat dan itu semua karena aku.” Desak Fiona, alisnya berkerut karena khawatir saat dia membukakan pintu penumpang untuknya, sebuah isyarat kepedulian padanya. “J
Lisa seakan membeku saat matanya menatap Darwin. Sekelibat emosi berkecamuk di wajahnya. Terkejut, kesal, dan cemburu. Senyumnya yang cantik berubah seketika menggaris datar. Dia mengerjapkan kedua matanya, untuk meyakinkan dirinya bahwa itu bukan imajinasinya sematanya, lalu membukanya dan tetap melihat Darwin. Dia masih tidak dapat memercayai matanya. Dari semua orang di dunia ini, dia bertemu dengan Darwin. Bukan hanya itu saja, dia bersama wanita yang terlihat menawan, bahkan terlihat lebih menawan dari dirinya. Kecemburuan menjalari hatinya. Bagaimana bisa Darwin, orang yang selalu dipandangnya sebagai pecundang, bisa mendapatkan seseorang yang begitu menawan ini?“Astaga, ternyata Darwin,” sahut Lukas dengan keras, membuat orang lain memalingkan pandangannya ke mereka. “Senang bertemu denganmu di tempat seperti ini.”Melihat Lukas dan Lisa bersama tidak hanya kembali menyulut perasaan Darwin akan pengkhianatan, tetapi juga membuatnya merasakan antara kesedihan dan kemarahan, se
Lisa dan Lukas bertukar pandangan, berusaha pulih dari serangan Fiona. Lukas menelan ludahnya, memaksakan senyum kaku. “Baiklah, kami benar-benar menginginkan yang terbaik bagi kalian. Bukankah memalukan apabila penampilan itu menipu?” Dia menatap Darwin dengan penuh arti.Mata Fiona menyipit saat dia mengamati Lukas. Sikap arogannya mulai retak di bawah tekanan. "Penampilan? Atau egomu yang rapuh karena sekarang setelah keadaan berubah?" Lisa mengatupkan rahangnya, lubang hidungnya melebar saat dia menyaksikan percakapan itu. Beraninya wanita ini berbicara seperti ini kepada mereka! Namun, dia khawatir akan membuat kesalahan lagi terhadap taipan bisnis seperti Fiona. Menarik napas perlahan dan hati-hati, Lisa menggunakan nada halus, hampir penuh kasih sayang saat dia mengalihkan perhatiannya kembali ke Fiona. "Sayangku, kami hanya mencoba memberimu beberapa petunjuk. Begini, Ayah Lukas, William Adiguna, mempunyai pengaruh besar di Kota Jakarta, memiliki banyak bisnis, termasuk Ind
Percakapan sengit mereka tiba-tiba disela oleh seorang pelayan, yang mendekat dengan sungkan, namun dia menegur tegas. "Saya harus meminta Anda untuk tidak terlalu berisik. Ini adalah tempat yang terhormat, dan kita perlu menjaga suasana damai." Wajah Lukas kini menunjukkan kemarahan yang nyaris tak terkendali, dia menoleh ke arah pelayan, tinjunya mengepal di sisi tubuhnya seolah-olah dia secara fisik menahan amarahnya. "Baik," semburnya dengan gigi terkatup, kata-katanya seperti racun. "Tetapi kami menolak untuk duduk di dekat... orang-orang ini." Tatapannya yang jijik mengarah tajam pada Fiona dan Darwin, sebuah batas yang jelas. Lisa, yang menggemakan sentimen Lukas menambahkan dengan nada berbisa dalam, "Tentu saja. Kami lebih suka tidak berbagi tempat dengan... bajingan seperti itu." Bibirnya melengkung saat mendengar kata itu, rasa jijiknya terlihat jelas. Dia mengibaskan rambutnya, berusaha tampak memegang kendali situasi, namun gemetar di tangannya menggagalkannya. Pelaya