"Kumaha Neng, lancar di jalanna?" tanya Abah yang baru saja pulang sehabis mengajar. Sebenarnya belum waktunya beliau selesai mengajar. Namun, karena mendengar cucu kesayangannya datang, akhirnya beliau menyuruh seseorang untuk menggantikannya.
"Alhamdulillah, Bah. Hanya sedikit gangguan dari makhluk wanita yang terus saja bertanya apa aku melihatnya atau tidak." Aku menghembuskan nafas dalam saat kembali mengingat sosok wanita itu.
"Abaikan saja. Dia tidak mungkin bisa mendekat karena kamu sudah berada di tempat yang aman.”
Kami pun kembali berbincang sambil menunggu makan malam yang disiapkan Mamah dan dua orang santri di dapur. Aku memilih menghampiri Mamah dan meninggalkan Abah yang tengah berbincang dengan Pak Ahmad.
Samar kudengar keduanya tengah membahas mengenai ilmu sihir yang dikirim ke keluargaku. Beberapa saat kemudian, kami makan dengan lauk seadanya, tetapi terasa begitu nikmat. Selesai makan, aku memilih untuk mencari angin sebentar karena merasa gerah. Wajar saja, mengingat daerah itu memang dekat dengan pantai.
Semilir angin malam membalut tubuhku yang hanya menggunakan gamis berbahan tipis tetapi tidak menerawang. Beberapa santri terlihat berlalu lalang meski waktu sudah mendekati tengah malam.
Di lantai dua, tatapanku tak sengaja bertemu dengan tatapan seorang pemuda yang kebetulan baru keluar dari dalam kelas.
"Neng, masuk. Sudah malam, pamali!" tegur Mamah dari ambang pintu.
"Ya, Mah." Aku pun dengan patuh memasuki rumah panggung sederhana itu.
"Mamah sudah minta Abah menghubungi sepupu kamu, Ranti supaya kamu ada temannya di sini," serunya seraya menunjukkan kamar yang akan aku tempati selama di sini.
"Hatur nuhun, Mah," balasku seraya memeluknya sebelum beranjak ke kamar.
(Terimakasih)
Kurebahkan tubuh lelah ini di atas tempat pembaringan yang tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman. Karena rasa lelah setelah perjalanan panjang, akhirnya aku pun terlelap dalam buaian mimpi.
Mimpi yang membawaku ke sebuah hutan berkabut. Suara burung pemakan bangkai saling bersahutan dan memekakan telinga. Astagfirullah, di mana aku sekarang. Kususuri jalan di depan yang tertutupi kabut. Namun, berapa lama pun aku berjalan tetap saja kembali ke tempat semula aku berdiri tadi.
Bibirku terus melafalkan istigfar saat sekelebat bayangan hitam terus berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya di depan. Seekor anjing hitam dengan lidah menjulur menatap tajam ke arahku. Refleks aku mundur beberapa langkah hingga membentur pohoh pinus besar di belakang.
Anjing itu mulai menggonggong dan mengejarku. Aku berlari sekuat tenaga sambil melafalkan ayat kursi dan ayat lainnya yang kuhafal. Anjing itu semakin mendekat, tetapi langkahku makin berat.
Akhirnya aku terjungkal ke tanah karena tersandung akar pohon yang mencuat ke permukaan. Kulihat anjing hitam tadi semakin mendekat, dan tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok kakek tua berbaju hitam. Kakek itu tiba-tiba saja menyentuh pergelangan kakiku dan menghilang ditelan kabut putih yang entah sejak kapan mendekat kemari.
"Sri, Neng, bangun Geulis." Suara Mamah membangunkanku.
Kuatur napas yang sedikit memburu dan beberapa kali mengucap istigfar. Jam menunjukkan pukul empat dini hari dan itu artinya sebentar lagi waktunya salat subuh berjamaah.
"Ayo bersiap, kita ke masjid untuk shalat berjamaah," ajak Mamah.
Beberapa menit kemudian, kami jalan beriringan. Suara lantunan muratal terdengar begitu menyejukkan hati dari pengeras suara masjid di depan.
Satu per satu santri dan jamaah sekitar masjid mulai berdatangan untuk melaksanakan salat berjamaah.
Suara kumandang azan subuh menggetarkan hatiku yang sedikit kalut setelah mengalami mimpi buruk semalam.
Siapa gerangan pemilik suara merdu itu? Aku sendiri tak bisa melihatnya karena tempat itu disekat dengan hijab yang lumayan tinggi. Selesai salat, aku berdoa kepada sang pemilik jiwa agar senantiasa berada dalam lindungannya. Tak lupa, aku pun meminta supaya kedua orang tuaku senantiasa terhindar dari segala marabahaya yang mengintai mereka.
Aku tahu, mereka tengah berada dalam incaran orang-orang munafik itu. Namun, tak ada satu makhluk pun yang memiliki kekuasaan tanpa seizin Allah.
"Astagfirullah." Saat hendak bangun dari duduk, kakiku tiba-tiba saja sukar digerakkan dan terasa begitu sakit.
"Kenapa, Neng?" tanya Mamah yang baru selesai melaksanakan salat sunahnya.
"Kaki Sri sakit, Mah." Aku meringis seraya memegangi pergelangan kaki kiriku yang seperti dipatahkan.
"Kelamaan duduk mungkin, Teh," sela seorang santri yang duduk di sampingku.
"Biasanya juga gak begini," sahutku.
Entah siapa yang memanggil Abah, sebab kakekku itu sudah berada di belakang. "Umapi uih, mapah bakal kiat teu, Neng?" tanyanya.
(Kalau pulang, jalan kaki bakal kuat gak,)
"InsyaAllah Bah." Aku pun berdiri dengan dibantu oleh Silfi dan juga Ayu.
***
"Semalam, kamu lupa berwudhu sebelum tidur, Neng?" tanya Abah yang duduk di samping tempat tidur.
Astagfirulah, aku memang lupa berwudhu dan membaca doa kemarin malam. Karena lelah aku melupakan semuanya, maafkan aku ya Allah.
"Iya, Bah. Semalam, karena lelah Sri langsung tidur," jawabku jujur.
"Ada mimpi aneh?" tanya Mamah yang masuk membawa segelas air putih.
"Iya." Aku pun mulai menceritakan mimpiku semalam. Abah tampak mangut-mangut, sedang Mamah tampak sangat khawatir setelah mendengar penuturanku barusan.
Abah mulai membacakan ayat ruqyah pada air yang dibawa Mamah tadi. Setelahnya, air itu diberikan padaku untuk diminum dan diusapkan ke pergelangan kaki yang sakit. Meski masih terasa sakit, tetapi setidaknya tidak separah tadi.
"Lain kali, jangan sampai lupa berwudhu dan baca ayat kursi sebelum tidur! Supaya terhindar dari orang-orang syirik dan dengki!" nasihat Abah.
"Iya, Bah." Setelah itu aku pun memilih beristirahat karena masih sakit.
Sore menjelang, kakiku sudah bisa digerakkan dan aku tengah membantu Mamah menjemur kerupuk di halaman depan rumah.
"Assalamualaikum," sapa sebuah suara dari belakang. Aku lantas menoleh dan membalas salam itu.
"Ustaz Ilham-nya ada, Teh?" tanya pria yang kemarin malam sempat beradu pandang denganku.
"Ada Kang, di dalam. Silahkan," sahutku mempersilakannya masuk.
Aku berjalan ke arah dapur membantu Mamah memasak untuk makan malam nanti. Suara seseorang mengucap salam membuat kami berdua saling bertukar pandang. "Biar Sri yang lihat, Mah." Aku pun berjalan ke arah pintu depan.
Mataku berbinar seketika saat melihat siapa yang mengucap salam tadi. "Ranti," seruku seraya memeluknya erat.
"Kumana damang, Teh?" sapanya balik memelukku erat.
(Apa kabar)
"Alhamdulilah sehat, ayo." Aku segera menariknya ke dalam menemui Mamah.
Kami bertiga sedikit berbincang seraya melanjutkan acara masak yang sempat tertunda tadi. Dari sana aku tahu kalau Ranti ternyata pindah pondok ke kampung sebelah. "Aku kira kamu masih mondok di sini?" tanyaku.
"Enggak ,Teh. Soalnya kata Ibu biar dekat rumah. Makanya pindah," jawab Ranti.
"Yah, gak bisa nemenin dong selama aku di sini," ujarku sedih. Meski kami tinggal berjauhan, tetapi Ranti adalah sepupuku yang paling dekat denganku. Dia adalah anak dari bibi pihak ayahku.
"Paling bisa cuma seminggu. Gak pa-pa, kan?" tanya Ranti.
"Iya," sahutku antusias. Yang terpenting kami bisa bersama meski hanya sementara.
"Teh," sapa seseorang dari belakang saat aku hendak kembali dari masjid. Sore itu hanya aku seorang yang pergi salat berjamaah karena Ranti tengah berhalangan dan Mamah ada urusan di rumah salah satu warga.Aku menoleh ke belakang, di mana pemuda yang tadi bertamu ke rumah Abah berdiri beberapa meter di depanku."Saya?" tunjukku pada diri sendiri. Dia menatapku sekilas dan mengangguk. Setelah itu pandangannya kembali turun ke tanah."Ini." Dia memberikan sebuah bingkisan yang entah apa isinya."Untuk saya?" tanyaku memastikan."Iya! Saya dengar kaki Teteh sakit setelah bermimpi aneh kemarin malam, itu sebabnya saya memberikan ini sebagai obat sekaligus penangkal sihir," serunya seraya menundukkan pandangan."Nuhun, Kang." Aku tersenyum dan sedikit mengangguk. Meski mungkin dia tidak akan melihatnya, tetapi tidak jadi masalah. Yang terpenting aku menghargai usahanya yang memberi obat."Cara penggunaannya tinggal diseduh dengan air hang
Pikiranku masih dipenuhi kejadian beberapa hari yang lalu saat sebuah benda mirip bola api hendak menyerangku. Siapa yang dimaksud Abah orang yang mengincarku itu dan apa alasannya dia mengincarku. Apa mereka saingan bisnis ayah? Tapi tidak ada yang tahu aku pergi ke Garut, bagaimana bisa mereka mengirim benda seperti itu ke sini.Ayu berjalan ke arahku. "Sri, bantu ngajar di kelas diniyah, yuk," ajaknya, menghampiriku yang duduk melamun di anak tangga kelas Sanawi."Iya, sebentar." Aku segera mengekor di belakang Ayu menuju kelas diniyah. Anak-anak usia SD itu tampak bingung menatapku yang mungkin terlihat asing di mata mereka."Kenalkeun, ieu namina Teh Sri, cucuna Ceng Ilham." Ayu memperkenalkanku di depan anak-anak didiknya.(Kenalkan, namanya kak Sri, cucu Ustaz Ilham)Anak-anak itu tersenyum ramah dan menyalamiku satu persatu. Ternyata asyik juga menemani Ayu mengajar di sana. Anak-anaknya pada pintar, meski ada sebagian yang belum lancar tap
"Neng, gimana kalau belajar meruqyah?" seru Mamah saat kami menjemur keripik di halaman depan rumah."Kenapa Mah? Apa karena kejadian beberapa hari lalu itu, ya?" tanyaku."Bukan itu. Mamah rasa kamu perlu belajar karena Mamah sudah cukup tua kalau semisal ada orang yang membutuhkan bantuan Mamah. Neng ‘kan masih muda, jadi Mamah berfikir Neng juga bisa membantu sekitar yang membutuhkan," jelas mamah."Kan ada santri lain yang lebih mampu, Mah. Mamah ajarin saja mereka," imbuhku.Mamah tampak menghela nafas dalam. Entah ada apa, tapi wajahnya terlihat sedih mendengar menolakanku itu. Aku merasa tidak tega melihat wajah sedih wanita yang sudah kuanggap Ibu kedua setelah Ibuku itu."Baiklah, Neng mau belajar," seruku. Wajah Mamah berubah tersenyum dan kami pun kembali melanjutkan aktifitas kami.***Sebelum mempelajari ruqyah, Abah terlebih dahulu memperkenalkan macam-macam sihir yang berjumlah sepuluh menurut salah satu buku Tauh
Fikirku melanglang buana mencari sebuah jawaban yang sejak satu pekan ini tak kudapatkan dari kakek. Tentang orang-orang yang mengincarku serta rahasia yang ditutup-tutupi oleh Abah dan Mamah."Neng, ada Mang Burhan datang berkunjung. Katanya mau bertemu sama Neng," tegur mamah yang berdiri di ambang pintu kamar. Aku pun segera beranjak menghampiri tamu yang katanya ingin bertemu denganku itu.Kutangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai sapaan pada pria paruh baya yang tengah duduk berbincang dengan Abah di kursi tua yang ada di ruang tamu. "Bagaimana kabar Bu Burhan sekarang, Mang?" tanyaku basa-basi."Alhamdulillah Neng, berkat Neng istri saya sudah sembuh seperti sedia kala," ujarnya sumringah."Hakekatna karena Allah, Mang. Abdi mah ngan saukur perantara, Allah nu langkung uninga sareng anu ngagaduhan tapak damel," sanggahku meluruskan. Aku hanya perantaranya saja.(Hakikatnya karena Allah. Saya hanya sekedar perantara, Allah yang lebih tahu dan hanya dia yang memiliki kehenda
Author POV"Dasar anak tidak berguna! Mau sampai kapan kamu diam dan tidak mau mencari keberadaan gadis itu, hah?" bentak seorang pria paruh baya pada anak bungsunya.Pemuda itu mengepalkan tangannya kuat, meredam amarah yang sudah naik keubun-ubun. Kalau saja pria di depan itu bukan ayahnya, mungkin dia sudah bertindak kasar sejak tadi."Papa jangan salahkan Rendi dong. Salahkan tuh, Om Pandu yang tidak mau mengatakan di mana keberadaan Srikandi sekarang," sungutnya tak terima."Ngelawan kamu, ya! mau jadi anak durhaka kamu?" hardik pria itu."Pa, kalau mudah juga udah dari tiga minggu lalu aku menemukan Sri. Kalau mudah juga kenapa gak Papa aja sih yang samperin Srikandi," ketusnya.Satu orang pemuda lainnya tampak menuruni tangga, hendak menghampiri kedua orang yang tengah berselisih itu. "Makanya otak tuh dipake, bukannya jadi pajangan doang," selanya dengan senyuman mengejek."Diam, Bang! Kalau mau Abang aja yang gantiin aku buat dapetin Srikandi," tukasnya."Kalau bisa udah dari
"Kumaha wae carana urang kudu bisa meunangkeun eta getih budak awewe turunan Siliwangi," tegas seorang pria paruh baya dengan setelan pangsi berwarna hitam pada dua orang di depannya.(Bagimanapun caranya kita harus bisa mendapatkan darah gadis keturunan Siliwangi)Mereka percaya jika darah gadis yang masih suci itu mampu meruntuhkan pagar gaib yang menyegel kekuatan leluhur mereka yang terletak di kawasan hutan belantara yang terkenal dengan nama Leuweung Sancang 8.Seorang pria berpeci putih maju ke depan dengan percaya diri dan berucap, "saya akan memerintahkan anak saya supaya mendapatkan darah gadis itu, Ki."Penampilan mereka benar-benar menipu mata siapa saja. Di depan terlihat alim, tetapi sebenarnya di belakang mereka bisa melukai siapa saja yang mereka tidak sukai."Bagimana dengan guna-guna yang kita kirim beberapa hari lalu?" tanya pria satunya lagi."Tidak mempan. Ada yang menghalangi dan menjaga gadis itu secara tak kasat mata," jawab sang dukun."Berarti kita harus memi
POV PanduNamaku Pandu Jayaraksa. Usia memasuki 43 tahun dan aku memiliki seorang putri bernama Srikandi, atau orang sering memanggilnya Nyimas. Aku dan istri, Intan memiliki Nyimas setelah sebelumnya mengalami keguguran hingga 6 kali.Sebagai putri satu-satunya, kami menginginkan yang terbaik untuk Sri sekaligus tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya. Orang tua mana yang tega melihat anaknya menjadi sasaran orang-orang biadab yang iri pada kami.Itu sebabnya kami mengirim Sri ke tanah leluhurnya yang ada di tanah Sunda, Garut. Sebetulnya tempat itu pun tak lantas aman untuknya. Namun, kami tidak memiliki tempat lain untuk mengamankan putri semata wayang kami itu."Kirim saja ke tempat Abah-nya, Mas. Aku yakin dia akan aman di sana. Setidaknya sampai urusan kita di sini selesai," ujar Intan saat kami berdikusi beberapa hari setelah dia kembali pulih dari sakitnya selama beberapa bulan ini."Di sana jauh lebih tidak aman lagi, Bu. Mungkin mereka akan lebih mudah mendapatkan Sri untu
POV SriAcara Isra Miraj akhirnya berjalan dengan lancar tanpa kendala. Namun sayang, Abah tidak ada di tengah-tengah kami karena beliau masih berjuang dengan sakitnya hingga sekarang. Sudah terhitung satu pekan Abah terbaring di atas kasur. Banyak ustaz yang bergantian mengunjungi Abah seraya mendoakan kesembuhannya.Hari ini adalah hari terakhir kami menggelar acara Isra Miraj dengan bershalawat bersama. Ratusan santri di tambah para jamaah sekitar pesantren memenuhi masjid serta tenda yang sengaja kami pasang di luar ruangan.Dengan diiringi pukulan marawis, kami semua khusyuk melantunkan bait demi bait shalawat kepada sang panutan alam."Teh, Akang yang tadi jadi vokal, siapa?" tanya Ranti saat kami dalam perjalanan menuju rumah setelah acara selesai."Fakhri. Kenapa, naksir, ya?" selorohku menggodanya. Pipi Ranti langsung bersemu merah saat kutanyai hal itu. Benar-benar lucu hingga aku pun tak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi wajahnya."Jangan digodain atuh Teh, malu," ren
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t