Fikirku melanglang buana mencari sebuah jawaban yang sejak satu pekan ini tak kudapatkan dari kakek. Tentang orang-orang yang mengincarku serta rahasia yang ditutup-tutupi oleh Abah dan Mamah.
"Neng, ada Mang Burhan datang berkunjung. Katanya mau bertemu sama Neng," tegur mamah yang berdiri di ambang pintu kamar. Aku pun segera beranjak menghampiri tamu yang katanya ingin bertemu denganku itu.
Kutangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai sapaan pada pria paruh baya yang tengah duduk berbincang dengan Abah di kursi tua yang ada di ruang tamu. "Bagaimana kabar Bu Burhan sekarang, Mang?" tanyaku basa-basi.
"Alhamdulillah Neng, berkat Neng istri saya sudah sembuh seperti sedia kala," ujarnya sumringah.
"Hakekatna karena Allah, Mang. Abdi mah ngan saukur perantara, Allah nu langkung uninga sareng anu ngagaduhan tapak damel," sanggahku meluruskan. Aku hanya perantaranya saja.
(Hakikatnya karena Allah. Saya hanya sekedar perantara, Allah yang lebih tahu dan hanya dia yang memiliki kehendak atas segalanya)
Mang Burhan menyodorkan amplop putih ke arah depan. Aku sendiri menautkan kedua alis dan menatap Abah yang juga balas menatapku. "Ini hanya sekedar rasa terimakasih saya sama Neng karena membantu istri saya. Tolong diterima, Neng.”
"Tidak perlu repot-repot, Mang. Saya ikhlas menolong istri Amang. Saya tahu rasanya saat keluarga kita mendapatkan perlakuan keji seperti itu, saya juga pernah merasakannya," tolakku halus.
Mang Burhan tampak berpikir sejenak, "ini bukan imbalan, Neng. Ini sebagai bentuk rasa bersyukur keluarga saya atas sehatnya istri saya.”
"Terima saja, Nyimas," timpal Abah.
Dengan ragu kuambil amplop itu serta tak lupa mengucapkan terima kasih pada Mang Burhan. Ternyata tak hanya amplop itu saja yang dikirim beliau ke rumah ini. Beberapa bahan makanan seperti kelapa, agar-agar mentah, gula merah, dan lain sebagainya turut dikirimkan sebagai ungkapan terima kasih.
"Bah," panggilku setelah Mang Burhan pamit undur diri.
"Ya, Nyimas.”
"Yang ngincar Nyimas itu siapa? Terus maksudnya yang buyut Siliwangi itu apa?” tanyaku entah yang keberapa kali selama tiga minggu aku tinggal di sini.
Abah tersenyum, lalu mengelus punggung tanganku. "Yakin, mau tahu?" tanyanya. Aku mengangguk seraya tersenyum.
"Mereka itu dukun penganut ilmu hitam yang sejak jaman nenek moyang dulu memusuhi kita, Neng. Alasannya Abah sendiri kurang tahu, tetapi katanya leluhur mereka porak poranda di tangan salah satu keturunan Prabu Siliwangi," jelas Abah.
"Hubungannya denganku apa? Bukankah itu cerita masa lalu, lalu kenapa mereka masih memupuk dendam itu hingga sekarang?"
Abah menghela nafas dalam. Pandangannya lurus menerawang entah ke mana. "Mereka tidak bisa menerima kekalahan, itu sebabnya mereka mengincar Nyimas yang merupakan keturuan termuda. Mereka tahu kalau Nyimas masih rentan dan mudah untuk digapai. Namun, mereka salah besar karena mereka tidak tahu kalau sejak dalam rahim, Nyimas mendapatkan penjagaan dari semua leluhur."
Aku mangut-mangut meski sebenarnya tak paham dengan penjelasan beliau. Aku memang pernah membaca artikel tentang Raja Kerajaan Pasundan itu, tetapi tidak pernah menyangka jika aku memiliki hubungan darah dengannya.
"Ingat! Jangan sampai lalai dalam membentengi diri dari mereka yang syirik dan dengki pada kita. Terutama jika kamu sedang halangan. Kamu harus lebih hati-hati karena biasanya saat itu kondisimu lemah dan akan mudah bagi mereka untuk mengganggumu." Nasihat Abah sebelum beranjak hendak ke masjid.
***
Bakda isya aku bersama Ayu dan Silfi melihat anak-anak marawis yang tengah berlatih untuk menyambut Isra Miraj yang akan diadakan dua minggu lagi. Tak hanya itu saja, santri lain sibuk menyiapkan perlombaan yang akan diadakan mulai besok malam.
Bibirku tersungging saat melihat Kang Fakhri yang tengah melatih para santri baru memainkan satu persatu alat marawis bersama santri senior lainnya. Ternyata selain suaranya yang merdu dia juga pintar memainkan alat marawis.
"Teh, bisa tolong bantu membuat soal untuk cerdas cermat, gak?" Sebuah tepukan pelan di bahu membuatku mengalihkan pandangan ke arah samping.
Aku tersenyum saat mendapati Risma yang menegurku tadi. "Iya, bisa, ayo." Kami segera beranjak meninggalkan aula menuju kelas satu sanawi. Di sana sudah ada dua santriah lain yang juga tengah menyusun teks pidato yang akan dibagikan untuk anak-anak tingkat diniyah.
Kami berdua mulai menyusun pertanyaan yang akan diajukan untuk cerdas cermat yang akan diadakan di malam terakhir perlombaan. Cukup lama kami menyusun satu persatu pertanyaan dari beberapa kitab yang sudah diajarkan.
"Alhamdulillah!" ujar kami serempak saat semuanya selesai. Aku pamit dan kembali menghampiri Ayu di aula tempat latihan marawis. Namun, Ayu sudah tidak ada di sana. Anak-anak marawis juga satu persatu sudah meninggalkan tempat, dan hanya ada beberapa santri senior yang sedang merapihkan alat marawis.
Aku berbalik hendak meninggalkan tempat itu sebelum akhirnya sebuah sapaan menghentikanku. "Belum pulang?" sapanya.
Aku menoleh sekilas dan kembali memfokuskan pandangan ke arah ujung kaki yang tampak sedikit dari ujung gamis yang digunakan. "Iya, tadinya saya pikir Ayu masih di sini," sahutku.
"Dia sudah pulang ke kobong satu jam yang lalu," kata Fakhri memberi tahu.
"Ya, kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum." Kubalikkan kembali tubuh dan menuruni satu persatu undakan tangga.
"Siapa, Kang?" Samar kudengar seseorang bertanya pada Kang Fakhri.
"Cucunya Ceng Ilham," jawab Fakhri.
"Cantik, ya." Hening. Fakhri tidak menanggapi seruan dari temannya itu.
Hembusan angin menyapaku saat berjalan di halaman depan pondok untuk kembali ke rumah. Rasanya ada yang aneh, tetapi aku tidak tahu apa itu. Kuhiraukan sekitar dan melanjutkan langkah.
Seperti biasa aku membaringkan tubuh setelah mengambil wudhu sebelumnya. Entah baru berapa jam tertidur, suara benturan seperti batu yang dilemparkan ke dinding membuatku terjaga. Inisiatif aku mengintip dari celah jendela kamar. Tidak ada apa pun, hanya terlihat gelap saja. Mungkin ranting jatuh, pikirku positif.
Kuletakkan satu tangan di atas bantal seraya berusaha memejamkan mata kembali. Namun, sekelebat wajah Kang Fakhri tiba-tiba saja muncul hingga terpaksa aku pun kembali mendudukkan diri dan beberapa kali mengucap istigfar.
"Apa aku menyukai pemuda itu? tapi, bagaimana mungkin. Kami hanya bertemu beberapa kali, itupun tanpa sengaja. Ini tidak benar Sri! Dia mungkin sudah memiliki calon istri," gumamku menasehati diri sendiri.
Mataku akhirnya kembali terpejam setelah beberapa saat, dan lagi-lagi suara berisik dari luar menganggu. Kali ini suaranya bukan seperti benda yang dilempar ke dinding seperti tadi. Namun, suara seseorang yang tengah mengobrol di depan.
"Aya naon, Bah?" tanyaku menghampiri Abah yang tengah mengobrol dengan Fakhri di depan pintu masuk.
"Katanya ada kesurupan masal di kobong satu." Aku terperanjat kaget mendengarnya. Bagaimana bisa?.
"Neng, ayo atuh bantu Mamah." Suara Mamah membuyarkan lamunanku. Segera kuraih baju hangat di atas tempat tidur dan menyusul di belakang Mamah dan Abah menuju kobong santri.
(Kobong=Asrama tempat tidur para santri)
Author POV"Dasar anak tidak berguna! Mau sampai kapan kamu diam dan tidak mau mencari keberadaan gadis itu, hah?" bentak seorang pria paruh baya pada anak bungsunya.Pemuda itu mengepalkan tangannya kuat, meredam amarah yang sudah naik keubun-ubun. Kalau saja pria di depan itu bukan ayahnya, mungkin dia sudah bertindak kasar sejak tadi."Papa jangan salahkan Rendi dong. Salahkan tuh, Om Pandu yang tidak mau mengatakan di mana keberadaan Srikandi sekarang," sungutnya tak terima."Ngelawan kamu, ya! mau jadi anak durhaka kamu?" hardik pria itu."Pa, kalau mudah juga udah dari tiga minggu lalu aku menemukan Sri. Kalau mudah juga kenapa gak Papa aja sih yang samperin Srikandi," ketusnya.Satu orang pemuda lainnya tampak menuruni tangga, hendak menghampiri kedua orang yang tengah berselisih itu. "Makanya otak tuh dipake, bukannya jadi pajangan doang," selanya dengan senyuman mengejek."Diam, Bang! Kalau mau Abang aja yang gantiin aku buat dapetin Srikandi," tukasnya."Kalau bisa udah dari
"Kumaha wae carana urang kudu bisa meunangkeun eta getih budak awewe turunan Siliwangi," tegas seorang pria paruh baya dengan setelan pangsi berwarna hitam pada dua orang di depannya.(Bagimanapun caranya kita harus bisa mendapatkan darah gadis keturunan Siliwangi)Mereka percaya jika darah gadis yang masih suci itu mampu meruntuhkan pagar gaib yang menyegel kekuatan leluhur mereka yang terletak di kawasan hutan belantara yang terkenal dengan nama Leuweung Sancang 8.Seorang pria berpeci putih maju ke depan dengan percaya diri dan berucap, "saya akan memerintahkan anak saya supaya mendapatkan darah gadis itu, Ki."Penampilan mereka benar-benar menipu mata siapa saja. Di depan terlihat alim, tetapi sebenarnya di belakang mereka bisa melukai siapa saja yang mereka tidak sukai."Bagimana dengan guna-guna yang kita kirim beberapa hari lalu?" tanya pria satunya lagi."Tidak mempan. Ada yang menghalangi dan menjaga gadis itu secara tak kasat mata," jawab sang dukun."Berarti kita harus memi
POV PanduNamaku Pandu Jayaraksa. Usia memasuki 43 tahun dan aku memiliki seorang putri bernama Srikandi, atau orang sering memanggilnya Nyimas. Aku dan istri, Intan memiliki Nyimas setelah sebelumnya mengalami keguguran hingga 6 kali.Sebagai putri satu-satunya, kami menginginkan yang terbaik untuk Sri sekaligus tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya. Orang tua mana yang tega melihat anaknya menjadi sasaran orang-orang biadab yang iri pada kami.Itu sebabnya kami mengirim Sri ke tanah leluhurnya yang ada di tanah Sunda, Garut. Sebetulnya tempat itu pun tak lantas aman untuknya. Namun, kami tidak memiliki tempat lain untuk mengamankan putri semata wayang kami itu."Kirim saja ke tempat Abah-nya, Mas. Aku yakin dia akan aman di sana. Setidaknya sampai urusan kita di sini selesai," ujar Intan saat kami berdikusi beberapa hari setelah dia kembali pulih dari sakitnya selama beberapa bulan ini."Di sana jauh lebih tidak aman lagi, Bu. Mungkin mereka akan lebih mudah mendapatkan Sri untu
POV SriAcara Isra Miraj akhirnya berjalan dengan lancar tanpa kendala. Namun sayang, Abah tidak ada di tengah-tengah kami karena beliau masih berjuang dengan sakitnya hingga sekarang. Sudah terhitung satu pekan Abah terbaring di atas kasur. Banyak ustaz yang bergantian mengunjungi Abah seraya mendoakan kesembuhannya.Hari ini adalah hari terakhir kami menggelar acara Isra Miraj dengan bershalawat bersama. Ratusan santri di tambah para jamaah sekitar pesantren memenuhi masjid serta tenda yang sengaja kami pasang di luar ruangan.Dengan diiringi pukulan marawis, kami semua khusyuk melantunkan bait demi bait shalawat kepada sang panutan alam."Teh, Akang yang tadi jadi vokal, siapa?" tanya Ranti saat kami dalam perjalanan menuju rumah setelah acara selesai."Fakhri. Kenapa, naksir, ya?" selorohku menggodanya. Pipi Ranti langsung bersemu merah saat kutanyai hal itu. Benar-benar lucu hingga aku pun tak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi wajahnya."Jangan digodain atuh Teh, malu," ren
Sepanjang jalan menuju pondok, pikirku masih mencoba mengingat di mana kiranya aku bertemu kakek yang kutabrak di pasar. Aku sampai mengabaikan obrolan kedua temanku yang sejak tadi asyik berbincang mengenai barang belanjaan masing-masing."Eh iya Sri, kamu kan indigo," ujar Ayu tiba-tiba saat kami bertiga melewati pemakaman umum yang lumayan luas saat hendak kembali pulang. Aku mengangguk dan menungu lanjutan perkataan Ayu."Aku mau tahu, di pohon besar itu ada apa?" tunjuk Ayu pada sebuah pohon beringin yang terletak di sudut TPU.Aku dan Silfi mengikuti arah pandang Ayu menuju pohon tua itu, tetapi tidak ada apapun di sana. "Tidak ada satu pun makhluk astral yang tingggal di pohon itu. Tidak ada," jawabku yakin."Masa sih," kata Ayu tak percaya.Aku kemudian mengangguk dan mengedarkan pandangan ke sekitar area pemakaman. Atensiku teralih pada sebuah pohon dengan ukuran kecil. Ada aura hitam yang begitu pekat dan begitu mencekam. Di sana juga ada beberapa makhluk gaib dengan berbaga
"Lepas!" teriakku pada kuntilanak merah itu. Tangannya terus terarah padaku yang tengah berlari menghindarinya. Apa dia ingin mencengkram rambutku kemudian dibawa ke tempat tinggalnya? Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.Langkahku semakin terseok. Kaki yang terkilir semakin bengkak, dan sejak tadi tidak ada tanda-tanda akan keluar dari hutan ini. Apa ini sebuah labirin? Kenapa sejak tadi aku hanya berputar-putar saja di sini?.Akhrinya kuputuskan untuk berhenti berlari meski setan betina itu semakin mendekat karena suara kikikannya yang semakin jelas di gendang telinga. Kemudian aku duduk di atas rerumputan yang basah dengan air hujan dan memejamkan mata.Kuabaikan semua suara gangguan dan tetap memejamkan mata seraya memanjatkan Asma Allah. Kunti itu menarik paksa jilbab yang kupakai, dan aku membiarkannya serta lanjut berzikir."Ya Allah, jika ini semua hanya mimpi maka bangunkan aku segera. Namun, jika ini semua adalah tipuan salah satu makhlukmu, maka tunjukkan wu
Fakhri POVAhmad Fakhri, itulah nama yang diberikan Abah Ilham padaku saat pertama kali menginjakkan kaki di pondok pesantren miliknya. Beliau sudah seperti orang tua bagiku. Karena disaat seluruh kerabat menolak mengurusku yang hidup sebatang kara setelah kematian kedua orang tua, beliau merangkul dan membawaku ke tempatnya.Abah juga yang membiayai pendidikanku dari sekolah dasar hingga SMP. Untuk meringankan bebannya, aku pun memutar otak dan ikut program beasiswa. Hingga mengenyam bangku perkuliahan, alhamdulillah aku menyelesaikannya dengan jalur beasiswa.Dengan ijazah sarjana seharusnya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang baik di luaran sana. Namun, aku tidak menggunakan kesempatan itu dan memilih mengabdi pada pondok tempatku menimba ilmu agama.Aku sadar jika hutang budi ini tidak bisa dibalas dengan apapun pada Bah Ilham. Beliau dan Mamah sudah sangat baik hingga mau mengurus anak yatim piatu sepertiku. Aku tidak mungkin meninggalkan keduanya diusia mereka sekarang. Sebisa m
Cukup lama aku dan Kang Idrus berada di rumah Abah karena ada sesuatu yang harus kami bahas dengan beliau yang berhubungan dengan pondok. Terhitung satu bulan lagi akan diadakan perlombaan antar pesantren tingkat nasional dan alhamdulillah santri kami ikut berpartisipasi dalam beberapa perlombaan, yang diantaranya MTQ, dakwah, dan Hadroh."Bah, ninggalan Nyimas, teu?" tanya Mamah menghampiri kami bertiga.(Lihat Nyimas, tidak?)"Di kamarna panginteun," jawab Abah.(Di kamar mungkin)"Tidak ada, hanya ada Ranti di sana," ujar Mamah khawatir."Cobi tinggal, Mah. Bilih di ruang keluarga," timpalku.(Coba lihat, Mah. Mungkin di ruang keluarga)Wanita yang sudah kuanggap Ibu itu segera menuju ruang keluarga yang berada di pojok kanan rumah ini. Dan benar saja, Sri tengah meringkuk di atas sofa dengan bertumpu pada sebelah tangannya.Tanpa terasa bibirku tertarik ke atas saat melihat bagaimana gadis cantik itu tertidur seperti bayi. Begitu pulas dan tidak terganggu sama sekali dengan keribu