"Teh," sapa seseorang dari belakang saat aku hendak kembali dari masjid. Sore itu hanya aku seorang yang pergi salat berjamaah karena Ranti tengah berhalangan dan Mamah ada urusan di rumah salah satu warga.
Aku menoleh ke belakang, di mana pemuda yang tadi bertamu ke rumah Abah berdiri beberapa meter di depanku.
"Saya?" tunjukku pada diri sendiri. Dia menatapku sekilas dan mengangguk. Setelah itu pandangannya kembali turun ke tanah.
"Ini." Dia memberikan sebuah bingkisan yang entah apa isinya.
"Untuk saya?" tanyaku memastikan.
"Iya! Saya dengar kaki Teteh sakit setelah bermimpi aneh kemarin malam, itu sebabnya saya memberikan ini sebagai obat sekaligus penangkal sihir," serunya seraya menundukkan pandangan.
"Nuhun, Kang." Aku tersenyum dan sedikit mengangguk. Meski mungkin dia tidak akan melihatnya, tetapi tidak jadi masalah. Yang terpenting aku menghargai usahanya yang memberi obat.
"Cara penggunaannya tinggal diseduh dengan air hangat dan bacakan surah tiga qul serta ayat kursi, masing-masing tujuh kali sebelum diminum dan oleskan pada kaki yang sakit," serunya sebelum pamit undur diri.
Sesampai di rumah, aku langsung membuka bingkisan yang diberikan pemuda tadi. "Cie yang dapat bingkisan, dari siapa tuh?" ledek Ranti yang keluar dari kamarnya seraya terkekeh.
"Naon atuh? pira ning ubar," sahutku memutar mata melihat ekspresi jahil Ranti yang tidak ada ubahnya sejak dulu.
(Apaan, orang cuma obat)
"Yang ngasih, siapa, Teh? Kok senyum-senyum sih Ranti lihat tadi," selidiknya dengan mata yang memicing.
"Siapa yang senyum-senyum? Mungkin kamu salah lihat, atau minus kamu bertambah, tuh," elakku.
"Iyakah?" Dia beberapa kali memeriksa kaca matanya untuk memastikan jika minusnya tidak bertambah.
"Pulang nanti minta ganti lensa deh sama Bapak," serunya seraya kembali ke kamar. Syukurlah dia tidak bertanya yang macam-macam.
Kembali kulanjutkan membuka bingkisan tadi. Isinya daun kering mirip daun teh, tetapi bukan daun teh. Sepertinya daun bidara yang dikeringkan. Aku sempat baca di internet kalau daun bidara memang memiliki khasiat untuk penangkal ilmu sihir dan baik juga untuk kesehatan.
Kucoba merebusnya dengan air panas sesuai yang dianjurkan Akang-akang tadi. Setelah jadi, kubacakan surah tiga qul dan ayat kursi dan meminumnya. Rasanya asing di lidah. Namun sebagai ikhtiar untuk kesembuhan, aku pun meminumnya sebagian dan mengulaskan sebagian lainnya ke pergelangan kaki.
"Bismillah! Nyungkeun jalan sareatna, Gusti!" gumamku dalam hati sambil mengusapkan air rebusan itu ke sekitar kaki yang sakit.
(Semoga sembuh, Ya Allah)
***
Selama satu minggu aku rutin meminum air rebusan daun bidara pemberian pemuda itu dan hasilnya alhamdulillah sudah terlihat. Kakiku sudah tidak terasa sakit lagi sekarang. Pak Ahmad yang tidak jadi pulang satu minggu lalu karena kondisiku akhirnya kembali ke Jakarta setelah subuh tadi.
Ranti juga sudah kembali ke pondoknya. Dia berjanji kalau libur nanti akan berkunjung lagi ke sini. Sekarang aku pun mulai ikut mengaji di pondok. Ternyata pelajaran agama itu susah-susah gampang, ya. Apa lagi ilmu Nahwu, aku harus berpikir ekstra karenanya.
Aku yang tertinggal jauh harus belajar lebih giat mulai sekarang. Beruntung Ayu dan Silfi mau membantuku memahami pelajaran dan meminjamkan catatan mereka.
"Gimana ngajinya, Neng?" tanya Abah.
"Lieur, Bah!" sahutku tersenyum kecil sambil kembali mengulas pelajaran kemarin malam.
"Nanti juga paham, jalani saja." Abah beranjak dari tempat duduknya untuk mengajar di kelas ulya, atau kelas santri yang sudah dewasa.
Malam harinya aku kembali mengaji, tetapi kali ini bukan pelajaran Nahwu seperti kemarin, katanya sekarang itu jadwalnya pelajaran Tauhid oleh ustaz Idrus. Setengah jam kami semua menunggu sang ustaz yang tak kunjung mengisi kelas malam ini.
"Tidak biasanya ustaz telat masuk. Kalaupun ada keperluan, biasanya ada santri senior yang menggantikannya," ujar Ayu yang duduk di sampingku.
Tak lama kemudian, seorang pria duduk di bangku tempat pengajar. Aku tidak tahu siapa karena posisinya sedang menunduk membenarkan alat pengeras yang ada di bawah meja. Setelah dia kembali duduk dengan tegak, barulah aku tahu siapa guru pengganti itu.
"Kang Fakhri itu emang ganteng dari segala sudut," celetuk Silfi yang cengengesan sambil memperhatikan pemuda di depan yang mulai menerangkan isi materi. Dia juga memberitahu kalau ustaz Idrus berhalangan hadir karena urusan mendadak.
Jadi nama pria itu Fakhri. Kami semua kembali fokus mendengarkan penjelasan kang Fakhri sambil sesekali menuliskan materi penting di buku masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan itu artinya kelas berakhir.
Aku yang tengah menyalin tulisan Ayu tidak sadar kalau semua santri sudah keluar dari kelas. Tinggal aku seorang diri di sana. Aku pun bergegas keluar dari kelas karena perasaan tak enak yang tiba-tiba muncul.
"Astagfirullah." Aku terkejut saat membuka pintu keluar berbarengan dengan Kang Fakhri yang juga membuka pintu khusus santri putra. Rupanya sejak tadi kami berada dalam satu ruangan yang sama.
"Acan mulih, Teh?" sapanya ramah.
(Belum pulang?)
"Iya, Kang. Keasyikan nulis tadi,” sahutku.
"Ya sudah, mari." Kami berjalan dengan Kang Fakhri di depan dan aku beberapa langkah di belakangnya.
"Kang?" panggilku ragu.
"Terima kasih untuk daun bidaranya. Alhamdulillah kaki saya sudah tidak sakit lagi berkat Akang," ujarku.
Dia pun menghentikan langkahnya dan aku yang berjalan menunduk di belakangnya hampir saja menabrak tubuh jangkung itu. "Tidak perlu berterima kasih, saya hanya perantara saja. Teteh sembuh atas izin Allah," sahutnya merendah.
Kami pun berpisah di sebuah perempatan. Aku menuju rumah Abah dan Fakhri menuju asrama putra yang berada 10 meter dari rumah Abah.
Bulu kudukku tiba-tiba saja berdiri saat melewati kebun yang terletak di samping masjid. Sekelebat bayangan putih tampak bertengger di atas pohon nangka yang ada di sana.
"Awas!" Sebuah suara mengejutkanku yang langsung terduduk karena dorongan seseorang.
Sebuah benda mirip bola yang dilapisi api tampak berputar-putar di atas kepala dan hendak menabrak tubuh ini. Beruntung seseorang mendorongku tadi.
Mendengar ada keributan, Abah dan Mamah langsung berlari menghampiriku yang masih terduduk di tanah. "Aya naon, Ri?" tanya Abah menghampiri Fakhri yang baru selesai membaca ayat ruqyah untuk mengusir benda tadi.
(Ada apa, Ri?)
"Ada yang berniat jahil sama Teteh," jawabnya seraya menatapku sekilas.
"Alhamdulillah Neng, untung teu 'ku nanaon." Mamah langsung membantuku berdiri dan segera membawaku masuk ke rumah.
(Untung tidak kenapa-napa)
Abah dan Fakhri masih berbincang di luar. Entah apa yang mereka bicarakan dengan tampang serius seperti itu.
"Kumaha bu, si Neng teh anger bahaya calik didieu teh. Loba anu nginceurna!" ujar Abah menghela nafas berat sambil menatapku.
(Bagaimana bu, si Neng tetap bahaya tinggal di sini teh. Banyak yang mengincarnya).
Pikiranku masih dipenuhi kejadian beberapa hari yang lalu saat sebuah benda mirip bola api hendak menyerangku. Siapa yang dimaksud Abah orang yang mengincarku itu dan apa alasannya dia mengincarku. Apa mereka saingan bisnis ayah? Tapi tidak ada yang tahu aku pergi ke Garut, bagaimana bisa mereka mengirim benda seperti itu ke sini.Ayu berjalan ke arahku. "Sri, bantu ngajar di kelas diniyah, yuk," ajaknya, menghampiriku yang duduk melamun di anak tangga kelas Sanawi."Iya, sebentar." Aku segera mengekor di belakang Ayu menuju kelas diniyah. Anak-anak usia SD itu tampak bingung menatapku yang mungkin terlihat asing di mata mereka."Kenalkeun, ieu namina Teh Sri, cucuna Ceng Ilham." Ayu memperkenalkanku di depan anak-anak didiknya.(Kenalkan, namanya kak Sri, cucu Ustaz Ilham)Anak-anak itu tersenyum ramah dan menyalamiku satu persatu. Ternyata asyik juga menemani Ayu mengajar di sana. Anak-anaknya pada pintar, meski ada sebagian yang belum lancar tap
"Neng, gimana kalau belajar meruqyah?" seru Mamah saat kami menjemur keripik di halaman depan rumah."Kenapa Mah? Apa karena kejadian beberapa hari lalu itu, ya?" tanyaku."Bukan itu. Mamah rasa kamu perlu belajar karena Mamah sudah cukup tua kalau semisal ada orang yang membutuhkan bantuan Mamah. Neng ‘kan masih muda, jadi Mamah berfikir Neng juga bisa membantu sekitar yang membutuhkan," jelas mamah."Kan ada santri lain yang lebih mampu, Mah. Mamah ajarin saja mereka," imbuhku.Mamah tampak menghela nafas dalam. Entah ada apa, tapi wajahnya terlihat sedih mendengar menolakanku itu. Aku merasa tidak tega melihat wajah sedih wanita yang sudah kuanggap Ibu kedua setelah Ibuku itu."Baiklah, Neng mau belajar," seruku. Wajah Mamah berubah tersenyum dan kami pun kembali melanjutkan aktifitas kami.***Sebelum mempelajari ruqyah, Abah terlebih dahulu memperkenalkan macam-macam sihir yang berjumlah sepuluh menurut salah satu buku Tauh
Fikirku melanglang buana mencari sebuah jawaban yang sejak satu pekan ini tak kudapatkan dari kakek. Tentang orang-orang yang mengincarku serta rahasia yang ditutup-tutupi oleh Abah dan Mamah."Neng, ada Mang Burhan datang berkunjung. Katanya mau bertemu sama Neng," tegur mamah yang berdiri di ambang pintu kamar. Aku pun segera beranjak menghampiri tamu yang katanya ingin bertemu denganku itu.Kutangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai sapaan pada pria paruh baya yang tengah duduk berbincang dengan Abah di kursi tua yang ada di ruang tamu. "Bagaimana kabar Bu Burhan sekarang, Mang?" tanyaku basa-basi."Alhamdulillah Neng, berkat Neng istri saya sudah sembuh seperti sedia kala," ujarnya sumringah."Hakekatna karena Allah, Mang. Abdi mah ngan saukur perantara, Allah nu langkung uninga sareng anu ngagaduhan tapak damel," sanggahku meluruskan. Aku hanya perantaranya saja.(Hakikatnya karena Allah. Saya hanya sekedar perantara, Allah yang lebih tahu dan hanya dia yang memiliki kehenda
Author POV"Dasar anak tidak berguna! Mau sampai kapan kamu diam dan tidak mau mencari keberadaan gadis itu, hah?" bentak seorang pria paruh baya pada anak bungsunya.Pemuda itu mengepalkan tangannya kuat, meredam amarah yang sudah naik keubun-ubun. Kalau saja pria di depan itu bukan ayahnya, mungkin dia sudah bertindak kasar sejak tadi."Papa jangan salahkan Rendi dong. Salahkan tuh, Om Pandu yang tidak mau mengatakan di mana keberadaan Srikandi sekarang," sungutnya tak terima."Ngelawan kamu, ya! mau jadi anak durhaka kamu?" hardik pria itu."Pa, kalau mudah juga udah dari tiga minggu lalu aku menemukan Sri. Kalau mudah juga kenapa gak Papa aja sih yang samperin Srikandi," ketusnya.Satu orang pemuda lainnya tampak menuruni tangga, hendak menghampiri kedua orang yang tengah berselisih itu. "Makanya otak tuh dipake, bukannya jadi pajangan doang," selanya dengan senyuman mengejek."Diam, Bang! Kalau mau Abang aja yang gantiin aku buat dapetin Srikandi," tukasnya."Kalau bisa udah dari
"Kumaha wae carana urang kudu bisa meunangkeun eta getih budak awewe turunan Siliwangi," tegas seorang pria paruh baya dengan setelan pangsi berwarna hitam pada dua orang di depannya.(Bagimanapun caranya kita harus bisa mendapatkan darah gadis keturunan Siliwangi)Mereka percaya jika darah gadis yang masih suci itu mampu meruntuhkan pagar gaib yang menyegel kekuatan leluhur mereka yang terletak di kawasan hutan belantara yang terkenal dengan nama Leuweung Sancang 8.Seorang pria berpeci putih maju ke depan dengan percaya diri dan berucap, "saya akan memerintahkan anak saya supaya mendapatkan darah gadis itu, Ki."Penampilan mereka benar-benar menipu mata siapa saja. Di depan terlihat alim, tetapi sebenarnya di belakang mereka bisa melukai siapa saja yang mereka tidak sukai."Bagimana dengan guna-guna yang kita kirim beberapa hari lalu?" tanya pria satunya lagi."Tidak mempan. Ada yang menghalangi dan menjaga gadis itu secara tak kasat mata," jawab sang dukun."Berarti kita harus memi
POV PanduNamaku Pandu Jayaraksa. Usia memasuki 43 tahun dan aku memiliki seorang putri bernama Srikandi, atau orang sering memanggilnya Nyimas. Aku dan istri, Intan memiliki Nyimas setelah sebelumnya mengalami keguguran hingga 6 kali.Sebagai putri satu-satunya, kami menginginkan yang terbaik untuk Sri sekaligus tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya. Orang tua mana yang tega melihat anaknya menjadi sasaran orang-orang biadab yang iri pada kami.Itu sebabnya kami mengirim Sri ke tanah leluhurnya yang ada di tanah Sunda, Garut. Sebetulnya tempat itu pun tak lantas aman untuknya. Namun, kami tidak memiliki tempat lain untuk mengamankan putri semata wayang kami itu."Kirim saja ke tempat Abah-nya, Mas. Aku yakin dia akan aman di sana. Setidaknya sampai urusan kita di sini selesai," ujar Intan saat kami berdikusi beberapa hari setelah dia kembali pulih dari sakitnya selama beberapa bulan ini."Di sana jauh lebih tidak aman lagi, Bu. Mungkin mereka akan lebih mudah mendapatkan Sri untu
POV SriAcara Isra Miraj akhirnya berjalan dengan lancar tanpa kendala. Namun sayang, Abah tidak ada di tengah-tengah kami karena beliau masih berjuang dengan sakitnya hingga sekarang. Sudah terhitung satu pekan Abah terbaring di atas kasur. Banyak ustaz yang bergantian mengunjungi Abah seraya mendoakan kesembuhannya.Hari ini adalah hari terakhir kami menggelar acara Isra Miraj dengan bershalawat bersama. Ratusan santri di tambah para jamaah sekitar pesantren memenuhi masjid serta tenda yang sengaja kami pasang di luar ruangan.Dengan diiringi pukulan marawis, kami semua khusyuk melantunkan bait demi bait shalawat kepada sang panutan alam."Teh, Akang yang tadi jadi vokal, siapa?" tanya Ranti saat kami dalam perjalanan menuju rumah setelah acara selesai."Fakhri. Kenapa, naksir, ya?" selorohku menggodanya. Pipi Ranti langsung bersemu merah saat kutanyai hal itu. Benar-benar lucu hingga aku pun tak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi wajahnya."Jangan digodain atuh Teh, malu," ren
Sepanjang jalan menuju pondok, pikirku masih mencoba mengingat di mana kiranya aku bertemu kakek yang kutabrak di pasar. Aku sampai mengabaikan obrolan kedua temanku yang sejak tadi asyik berbincang mengenai barang belanjaan masing-masing."Eh iya Sri, kamu kan indigo," ujar Ayu tiba-tiba saat kami bertiga melewati pemakaman umum yang lumayan luas saat hendak kembali pulang. Aku mengangguk dan menungu lanjutan perkataan Ayu."Aku mau tahu, di pohon besar itu ada apa?" tunjuk Ayu pada sebuah pohon beringin yang terletak di sudut TPU.Aku dan Silfi mengikuti arah pandang Ayu menuju pohon tua itu, tetapi tidak ada apapun di sana. "Tidak ada satu pun makhluk astral yang tingggal di pohon itu. Tidak ada," jawabku yakin."Masa sih," kata Ayu tak percaya.Aku kemudian mengangguk dan mengedarkan pandangan ke sekitar area pemakaman. Atensiku teralih pada sebuah pohon dengan ukuran kecil. Ada aura hitam yang begitu pekat dan begitu mencekam. Di sana juga ada beberapa makhluk gaib dengan berbaga
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t