Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 45: Pertarungan di Lorong Gelap

Share

Bab 45: Pertarungan di Lorong Gelap

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-22 06:36:24

Udara di dalam lorong bangunan kuno terasa **dingin dan pengap**, menyelinap ke paru-paru seperti kabut beku yang membawa bau debu tua serta logam berkarat—aroma tajam yang menggigit hidung dan meninggalkan rasa getir di tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil yang bertaburan di langit-langit berkilau samar, seperti nyala lilin yang sekarat, melemparkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu yang penuh retakan halus.

**Boneka-boneka makhluk aneh** berdiri kaku di sepanjang lorong, tubuh kayu mereka yang lapuk dan logam berkarat berderit pelan seolah menahan napas, wujud terdistorsi mereka memenuhi ruangan dengan ketegangan yang tak terucap, seperti penjaga bisu yang menunggu perintah.

Kael berdiri di depan kelompok, mantel basahnya menempel erat di tubuh yang lelah, dinginnya kain terasa seperti beban tambahan di pundaknya yang kaku. **Tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman** yang lemah, nyala itu bergetar seperti api kecil yang hampir padam, matanya biru menyipit taja
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 46: Duel dengan Boneka Sapi Raksasa

    Udara di sepanjang lorong bangunan kuno terasa mencekik dan berat, dipenuhi oleh aroma debu kering yang tajam, bercampur dengan wangi logam berkarat yang menusuk dan kayu lapuk yang menyengat tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit memancarkan sinar yang redup, seolah lilin hampir padam, menciptakan bayangan bergetar di dinding batu yang retak halus. Getaran langkah yang berat mengguncang lantai, debu tua rontok dari celah-celah dengan suara desiran lembut, sementara deritan kayu dan dentingan logam semakin mendekat, menyelimuti lorong dalam suasana tegang yang terlihat seolah hidup. Kael berdiri tegak di depan kelompok, mantel basahnya melekat pada tubuh yang kelelahan, dinginnya kain terasa seperti beban di bahu yang tegang. Tangan kanannya berkilauan dengan energi hijau kehitaman yang lembut, meliuk seperti nyala api kecil di tengah tiupan angin, matanya yang biru menyipit tajam menatap dalam kelam dengan napas yang berat. Detak jantungnya berdegup kencang,

    Last Updated : 2025-03-23
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 47: Pelarian ke Ruang Token Penyihir Kuno

    Udara di lorong bangunan kuno terasa sesak dan berat, membawa aroma debu kering yang menggigit hidung seperti serbuk besi tua, bercampur logam berkarat yang tajam dan kayu lapuk yang meninggalkan rasa kering di tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau lemah, seperti bara nyaris padam, melemparkan bayang-bayang gemetar ke dinding retak yang kini hidup dengan boneka-boneka kecil—mata merah mereka menyala terang bagai bara haus darah. Derit kayu dan gesekan logam kecil mengisi ruangan dengan suara mengerikan, bercampur getaran langkah berat boneka raksasa yang bergema seperti detak jantung kuno, menyelimuti udara dengan aura tekanan yang mencekik. Kael berdiri teguh di tengah kelompok, mantel basahnya melekat erat di tubuh yang lelah, dingin kain terasa seperti belenggu yang mencengkeram pundaknya yang gemetar, setiap ototnya bergetar oleh getaran lantai yang tak henti. Tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman yang lemah, nyala itu berkedip seperti

    Last Updated : 2025-03-23
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 48: Cahaya Token dan Transformasi Sophia

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin namun bersih, membawa aroma kayu tua yang dipoles dan logam terjaga baik, kontras dengan lorong berdebu yang penuh ancaman di luar pintu kayu tebal yang kini berderit hebat. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu halus, seolah ruangan ini menahan napas di tengah dentuman keras rantai raksasa yang menghantam pintu separuh tertutup. Kael duduk bersandar pada dinding, mantel basahnya melekat di tubuh yang lelah, matanya biru menatap peti terpelihara di tengah ruang—token emas kecil di dalamnya berkilau lembut, seperti harapan yang rapuh di tengah kegelapan. Sarah dan Laila berlutut di sisi Murphy yang terbaring pucat, botol potion rendah kini kosong di tangan mereka, sementara Sophia berdiri diam, matanya cokelat besar melirik pintu dengan ketakutan tersembunyi di balik raut polosnya. Kael menghela napas panjang, jantungnya masih berdebar oleh pertarungan sebelumnya, pi

    Last Updated : 2025-03-24
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 49: Rahasia Token dan Luncur Lendir

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin dan kaku, membawa aroma kayu tua yang dipoles dan logam kuno, kontras dengan lorong berdebu yang penuh ancaman di luar pintu kayu tebal yang terus bergetar hebat. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu halus, sementara dentuman rantai raksasa dan derit boneka kecil yang mencoba merangsek masuk menggema seperti irama kegelapan yang tak pernah usai. Kael duduk bersandar pada dinding, matanya biru menatap Sophia yang kini berdiri dengan kulit manusia biasa, pikirannya berputar penuh pertanyaan tentang gadis kecil yang baru saja berubah di hadapan mereka. Kael menarik napas dalam, jantungnya berdetak kencang oleh rasa ingin tahu yang membakar, lalu melangkah mendekati Sophia dengan hati-hati. “Sophia, siapa sebenarnya kau? Dan siapa orang tua yang kau maksud itu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh tekanan, mata birunya menyipit mencari jawaban di wajah kecil yang men

    Last Updated : 2025-03-24
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 50: Pelarian dari Bangunan Kuno

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin dan tebal, membawa aroma kayu tua yang lapuk dan logam kuno, sementara dentuman keras rantai raksasa mengguncang pintu kayu yang kini penuh celah kecil. Cahaya redup dari permata di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang boneka kecil yang bergerak agresif di luar, mata merah mereka menyala seperti bara haus darah. Kael berdiri di dekat luncur lendir Sophia, tangannya mengepal erat, matanya biru menyipit penuh tekad saat menatap pintu yang hampir jebol, jantungnya berdebar oleh ancaman yang menanti. Sophia melangkah maju, tangan mungilnya terangkat, dan lendir bening mengalir dari tubuhnya, memperkuat luncur di bawah mereka. “Pegang erat—kita keluar sekarang!” katanya, suaranya halus namun tegas, lalu menembakkan bola lendir besar dari tangannya, menghantam pintu seperti batu raksasa hingga kayu itu berderit keras dan terbuka lebar. Luncur lendir melaju cepat, mencengkeram kaki Kael dan kelompoknya dengan lembut namun kuat, m

    Last Updated : 2025-03-25
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 51: Pelarian Melalui Sungai dan Misteri Portal

    Udara di lereng gunung terasa dingin dan basah, angin kencang membawa aroma tanah lembap dan rerumputan liar yang bergoyang liar di sisi tebing berbatu. Luncur lendir Sophia melaju cepat menuruni gunung, permukaannya licin namun kuat mencengkeram kaki Kael dan kelompoknya, meski getaran keras dari batu-batu kecil yang terlepas membuat mereka bergoyang hebat. Kael mengepalkan tangan, matanya biru menyipit penuh fokus, jantungnya berdebar oleh urgensi waktu—monster serigala jadian dan parasit gelap yang mereka bunuh sebelumnya bisa bangkit kapan saja. Laila mengeluarkan frekuensi sonik rendah, suara berdengung halus menggema di udara, menghancurkan batu-batu kecil yang menghalangi jalur luncur dengan pecahan tajam yang beterbangan. Sarah menunjuk arah dengan Mata Sihir, mata ungunya menyala terang, “Ke bawah—sungai di sana!” serunya, suaranya tegas meski napasnya tersengal, sementara Murphy mengaktifkan perisai emas tipis, melindungi mereka dari serpihan batu yang menyengat kulit. L

    Last Updated : 2025-03-25
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 52: Hutan Misterius dan Gua Madu

    Cahaya hijau kehitaman dari portal Perpustakaan Tersegel melingkupi Kael dan kelompoknya. Udara dingin lorong berganti dengan hembusan hangat yang membawa aroma daun basah, kayu tua, dan tanah lembap. Pusaran energi menarik mereka ke dalam kegelapan berputar, membuat jantung Kael berdegup kencang. Matanya yang biru menyipit, mencoba menembus bayang-bayang yang bergerak cepat di sekitarnya. Tiba-tiba, kaki mereka mendarat di tanah empuk. Rumput basah menyentuh kulit dengan dingin yang menusuk, sementara pepohonan raksasa menjulang di sekitar mereka. Daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin lembut, menciptakan bisikan samar di tengah keheningan hutan asing ini. Kael bangkit dengan cepat, tangannya meraba bola lendir Sophia yang licin dan dingin di dalam saku mantelnya. Matanya memindai sekeliling—Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia berdiri tak jauh darinya, utuh di bawah kanopi hijau tebal yang hampir menutupi langit. “Kita keluar bersama,” gumamnya lega, meski alisnya berkerut menatap

    Last Updated : 2025-03-26
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 53: Penyergapan Beruang Magis

    Udara di dalam gua terasa dingin dan lembap, aroma tanah basah Aethel bercampur dengan manisnya madu dari genangan keemasan. Namun, auman beruang magis mengguncang dinding gua, membuat Kael dan kelompoknya menegang, keringat dingin membasahi kulit mereka. Kael menarik napas dalam-dalam, matanya biru menyipit penuh tekad. Tangannya menyala tipis dengan kabut hijau kehitaman—Racun Melemahkan dari Teknik Racun Tiga Mayat yang ia kuasai. “Kita sergap beruang itu—dagingnya bisa jadi bekal dan memulihkan Sophia,” katanya, suaranya rendah namun tegas. Ia melirik kelompoknya, “Aku akan jadi umpan; kalian sembunyi di balik batu dan serang saat aku beri isyarat.” Sarah mengangguk cepat, mata ungunya menyala dengan Mata Sihir. Tangannya menciptakan ilusi samar yang menyamarkan Murphy, Laila, dan Sophia di balik batu besar. Bayang-bayang mereka lenyap dalam dinding berlumut. “Aku akan sembunyikan kalian—beruang itu pasti tahu ada penyusup,” katanya, suaranya tegang namun fokus, napasnya terse

    Last Updated : 2025-03-26

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 98 – Harta Tersembunyi dan Bahaya di Balik Lorong

    Begitu pintu tersembunyi itu terbuka, pandangan mereka langsung disambut oleh pemandangan yang membuat napas tercekat. Di balik dinding batu yang tampak polos itu tersembunyi sebuah ruangan rahasia—penuh dengan bekalan yang ditumpuk tinggi, seolah-olah gudang ini sengaja dipersiapkan untuk menghadapi bencana besar. Murphy melangkah lebih dulu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. "Apa... semua ini... bekalan?" gumamnya penuh kekaguman, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Rak demi rak dipenuhi makanan kering, roti keras, daging asap, buah-buahan awet. Lebih dalam ke ruangan itu, barisan peti kayu besar tersusun rapi, masing-masing terisi potion beraneka warna, senjata dari logam berkualitas, serta perlengkapan perang—baju zirah, busur, anak panah, bahkan beberapa gulungan mantra. "Apakah ini milik Ordo Umbra?" bisik Murphy, suaranya bergetar antara takjub dan girang. "Kenapa mereka menyembunyikannya di tempat seperti ini?" Suaranya menggantung

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 97: Serangan Senyap dan Rahasia Tersembunyi

    Lorong rahasia itu menggigil dalam kegelapan. Dinding-dinding batu kasar, dingin dan basah, memantulkan gema langkah cepat Kael, Paman Peter, dan Lyra. Bau tanah lembap bercampur amis darah baru—sisa penjaga luar yang mereka tumbangkan—menguar, bercampur dengan kabut ungu ilusi yang membelai ujung lorong seperti hantu lapar. Di kejauhan, kapten Ordo Umbra berdiri terhuyung. Sosoknya tinggi, berjubah hitam seperti perwujudan malam, pedangnya berkilau redup dalam cahaya sihir. Matanya liar, terperangkap dalam labirin halusinasi yang menggerogoti nalar. Tiga anak buahnya, kehilangan kendali, saling menyerang membabi buta, dentang pedang mereka memekik di ruang sempit itu. Kael mengatupkan rahangnya, menarik napas pelan, lalu mengompresi sihir Racun Melemahkan di telapak tangannya. Mata birunya menyipit, fokus memburu detik yang tepat. “Paman, cek ujung lorong. Pastikan tak ada yang lain!” bisiknya. Suaranya tegas, tapi ada getar kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. Paman Peter men

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 96: Serangan Senyap di Lorong Rahasia

    Hutan Eldoria terbungkus kegelapan malam, hanya suara raungan monster samar dan gemerisik dedaunan yang mengisi udara. Kabut tipis menyelimuti tanah, menyembunyikan langkah Kael, Paman Peter, dan Sophia saat luncur lendir Sophia meluncur diam, membawa mereka menuju bukit utara. Luncur itu, licin namun kokoh seperti ular hidup, bergerak tanpa suara, menghindari ranting dan batu dengan presisi. Kael berjongkok di depan, tangannya meremas kantong ruang, matanya biru memindai bayang-bayang, sihir racunnya berdengung pelan di nadinya. Paman Peter, jubahnya menyala samar oleh rune kamuflase, menatap ke depan, alisnya berkerut mengingat luka pedang bayang kemarin. Sophia, matanya merah berkilat di bawah tudung, mengendalikan luncur, bibirnya melengkung tipis, seolah menikmati ketegangan. Mereka berhenti di tepi bukit, bersembunyi di balik pohon raksasa yang akarnya menjalar seperti jaring. Di depan, mulut lorong rahasia—lubang batu tersembunyi di sisi bukit, ditutupi lumut dan rune samar—d

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 95: Perburuan dan Lorong Rahasia

    Malam di hutan Eldoria berlalu dengan damai, meski raungan monster sesekali menggema di kejauhan, menggetarkan dedaunan pohon-pohon raksasa. Gua markas kelompok Kael, tersembunyi di balik akar kuno dan lumut tebal, tetap aman. Kabut lendir Sophia, yang diciptakan secara sporadis di mulut gua, menghilangkan bau mereka, menipu hidung monster yang berkeliaran. Api unggun meredup, hanya menyisakan bara hangat, dan kelompok tidur nyenyak, energi mereka pulih setelah hari penuh ketegangan. Pagi menyapa dengan sinar fajar yang menyelinap melalui celah-celah hutan, membangunkan kelompok dengan aroma sup jamur dan roti panggang yang disiapkan Paman Peter. “Bangun, makan dulu sebelum kerja!” katanya, wajahnya kerut tapi matanya cokelat penuh semangat, mengaduk panci di unggun. Kael, yang sudah bangun, memeriksa kantong ruangnya, memastikan bekal darurat aman. “Kita habiskan daging kering dulu,” katanya tenang, matanya biru fokus. “Hari ini kita akan pergi memburu monster yang bisa dimakan,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 94: Kantong Ruang dan Ancaman Identitas

    Hutan Eldoria menyelimuti malam dengan kegelapan tebal, hanya suara jangkrik dan dedaunan bergoyang yang memecah sunyi. Di celah pohon-pohon raksasa, di mana lumut tebal menutup tanah dan akar kuno menjalar, ketegangan menyelimuti kelompok Kael dan empat murid akademi Vitrum. Jubah abu-abu murid-murid itu kotor darah, potion hijau di tangan pemimpin perempuan menyala samar, matanya cokelat penuh curiga. Murphy, pedang sihirnya terangkat, mendengus marah, amarahnya membara atas “pengkhianatan” murid Vitrum yang kabur. Udara terasa berat, seperti menanti percikan api meledakkan pertempuran baru. Pemimpin perempuan Vitrum, rambut cokelat terikat, mengangkat tangan, suaranya goyah tapi tegas. “Berhenti! Kami tahu kalian marah karena kami kabur tadi. Tapi kami tak punya pilihan—potion kami habis, kami tak bisa lawan lagi. Jika tetap di sana, kami cuma jadi sasaran serangan kalian atau penyerang lain. Kami minta maaf jika membuat kalian marah.” Ia menundukkan kepala, tanda tulus, diiku

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 93: Potion dan Ketegangan Hutan

    Hutan di luar Eldoria berguncang oleh ledakan, pohon-pohon raksasa bergoyang, daun-daun berjatuhan seperti hujan. Raungan dan jeritan samar bergema, diselingi dentuman keras yang makin mendekat ke gua markas kelompok Kael. Api unggun di gua meredup, asap sup jamur Paman Peter masih menguar, tapi semua berdiri waspada, tangan mencengkeram senjata atau sihir. Molly dan Vale, kini pulih sepenuhnya pasca-evolusi, berkicau tajam, sisik zamrud dan bulu hijau mereka berkilau, cakar dan angin siap. Kael menatap kegelapan hutan, matanya biru menyipit. “Ledakan itu bukan sembarang pertempuran,” katanya tegang. “Kita cari tahu apa itu—dan apakah ancaman untuk kita. Molly, Vale, kalian ikut. Yang lain, formasi rapat, siap serang.” Ia mengangguk ke Lyra, yang botol airnya menyala samar, dan Sophia, yang lendirnya bergetar di tangan, matanya cokelat menyala antusias. Mereka keluar dari gua, langkah hati-hati, menyusuri hutan lebat. Akar-akar kuno menjalar di tanah, lumut tebal menutup batu, ud

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 92: Abu Monster dan Ledakan Hutan

    'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 91: Luncur Lendir dan Bebola Racun

    Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 90: Badai Monster dan Kepungan Wyvern

    Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status