Alis Raya mengerut dalam kala melihat seorang wanita memeluk Edard dengan mesra. Bahkan wanita itu dengan beraninya mencium Edard di depan Raya. Hei! Apa dia tidak lihat kalau Edard bersama orang lain? Siapa sih wanita itu? Bisa-bisanya bersikap agresif terhadap lelaki yang bukan mukhrimnya. Ditambah lagi Edard sepertinya tidak risih dengan kehadiran wanita itu. Buktinya lelaki itu malah mengulas senyum lebar.Raya menatap sekeliling. Banyak sekali orang yang memperhatikan dirinya dengan tatapan iba. Sial! Ia merasa seperti nyamuk disini. Lebih baik ia pergi saja. Toh, untuk apa melihat kemesraan dua orang yang tak tau malu itu. Buang-buang waktu saja.Raya berniat melangkahkan kakinya meninggalkan Edard. Namun lengannya dicekal oleh Edard. Raya meliriknya sinis."Je, kenalkan ini Raya," ujar Edard sembari merangkul pundak Raya.Raya menggerakkan bahunya risih akan keberadaan tangan Edard. Wanita yang dipanggil "Je" itu menatap Raya dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Waja
"Biar aku yang antar kamu ke kampus."Raya yang sedang menyisir rambutnya itu sontak memalingkan wajahnya menatap Edard yang sudah berdiri di ambang pintu. Kening gadis itu mengernyit, sedikit heran dengan keinginan Edard yang tiba-tiba itu? Tumben sekali, biasanya Edard lebih mengutamakan berangkat pagi ke kantor."Tumben. Kesambet apa kamu? Tapi nggak usah, aku bisa berangkat sendiri," kata Raya lagi.Ia hanya malas saja jika nanti Edard akan merecokinya sepanjang perjalanan. Lelaki itu sangat bawel jika menyangkut dirinya. Membuat Raya risih.Edard melangkah masuk ke kamar sembari bersedekap dada. Menatap Raya dengan pandangan menilik."Kamu mau bertemu dengan lelaki itu, ya? Makanya tidak mau aku antar," tuduh Edard.Yah, bukannya ia berniat menuduh Raya. Hanya saja ia tidak suka melihat Raya berdekatan dengan lelaki kemarin. Bahkan kelihatannya mereka cukup akrab. Siapa lelaki itu? Bukankah kata Davin, Raya tidak suka berdekatan dengan lelaki manapun selain Davin?Raya mendelik m
Sumpah serapah jelas keluar dari bibir Raya apalagi saat mengingat bagaimana dengan gamblangnya, Edard melayangkan satu kecupan manis di bibirnya tanpa permisi.Hei! Bibir Raya yang awalnya masih suci jelas ternodai oleh tindakan Edard yang menurutnya kurang ajar. Ya, jelas saja kurang ajar meskipun mereka sudah menikah, tapi meraka menikah hanya di atas kertas. Tapi kenapa Edard selalu bersikap kalau mereka ini menikah sungguhan? Sangat menyebalkan.Raya tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kedua pipinya. Ternyata itu Edard yang baru saja menempelkan sebotol minuman dingin ke pipinya."Ish!" Dengus Raya dengan sebal. Ia mengusap pipinya yang basah karena embun minuman itu.Edard duduk di sebelah Raya yang tampak cemberut. Lelaki itu tertawa pelan melihat ekspresi kesal milik gadis itu. Terlihat sangat menggemaskan. Bahkan Edard baru menyadari kalau istrinya itu menggemaskan.Saat ini mereka tengah duduk di sebuah taman kota. Sore hari yang cukup cerah. Apalagi Raya y
Lalu lalang kendaraan tampak padat karena ini merupakan jam pulang kerja. Seorang gadis dengan pakaian mini itu tengah duduk di salah satu caffe yang berada di dekat jalan. Gadis itu terlihat sedang mengotak-atik ponselnya. Entah apa yang dia lihat, namun tampaknya sangat serius.Sesekali gadis itu menyesap jus alpukat yang tinggal setengah itu, kemudian ia kembali menatap layar ponselnya. Udara dingin tak membuat gadis dengan pakaian mini itu merasa kedinginan. Ia malah terlihat biasa-biasa saja. Sampai ada seseorang yang datang menghampirinya.“Maaf, aku terlambat,” ujar orang yang baru datang itu. Kemudian menarik kursinya ke belakang dan duduk.Gadis itu mendecak sinis. “Kau tahu? Aku sudah menghabiskan waktu dua jam hanya untuk menunggumu disini. Menyebalkan sekali!” gerutunya kesal.Orang itu meringis kecil kemudian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Matanya menatap ada tiga gelas kosong berada di hadapannya. Membuktikan ba
Brakk!!Seorang gadis cantik dengan dress berwarna merah itu tampak terkejut dalam duduknya. Beberapa lembar foto dirinya dengan lelaki terpampang jelas di sana. Mulutnya terbuka, masih syok melihat itu. Kemudian ia menaikkan pandangannya, menatap wajah lelaki di depannya. Wajah itu tampak tegang. Rahangnya mengetat. Guratan emosi terpancar jelas. Mengeluarkan aura intimidasi yang mampu membuat nyali gadis itu menciut.“Apa maksudmu?” tanya lelaki itu dengan suara rendah, menahan emosinya agar tidak meledak di hadapan gadis itu.Sementara gadis itu merundukkan kepalanya. Tak berani menatap mata elang lelaki itu. “A-aku…”“Kenapa kau tega melakukan ini padaku?!” bentak lelaki itu. Tak mampu lagi menahan gejolak emosi dalam dirinya.Rasa marah, kecewa, serta sakit semuanya berpadu menjadi satu. Gadis itu, satu-satunya gadis yang sangat ia cintai, yang sangat ia kasihi, ternyata bermain belakang dengan lelaki
Raya langsung menarik lengan lelaki itu yang terentang. Membuat lelaki itu terhuyung ke belakang. Karena posisi Raya berada di belakang lelaki itu, otomatis ketika lelaki itu terjatuh ke belakang, badannya menimpa Raya. Alhasil keduanya jatuh dengan posisi lelaki itu berada di atas tubuh Raya.Tatapan Raya memaku pada wajah lelaki yang berada di atasnya. Lelaki itu terlihat tampan meski dalam keadaan gelap seperti ini. Tatapan tajam lelaki itu membuat Raya tak mampu untuk sekedar mengalihkan pandangan barang sedetik saja. Bahkan aroma tubuhnya yang maskulin begitu memanjakan indra penciuman Raya. Raya mengerjap pelan seperti tersadar ke alam sadarnya. Ia segera mendorong lelaki itu dengan kasar. Membuat lelaki itu terguling ke samping.Raya segera bangkit dari posisinya. Gadis itu menepuk pelan pantatnya yang kotor. Ia menatap geram lelaki yang kini tengah duduk dengan posisi kaki di tekuk. Mata lelaki itu menatap kosong ke sungai yang ada di depannya. Raya yang niatny
Raya menatap layar televisi dengan kesal. Bagaimana tidak? Sekarang semua saluran menayangkan berita tentang Edard Stollin yang jalan dengan gadis lain yang bukan tunangannya. Dan parahnya lagi, gadis itu adalah dirinya sendiri. Membuat Raya merasa seperti gadis selingkuhan Edard. Lagi pula bukannya lelaki itu tidak memiliki kekasih? Ah, lebih tepatnya baru saja putus karena ditinggalkan oleh pacarnya.Raya memijat kepalanya yang mendadak pusing. Merasa menyesal karena telah menjadikan Edard sebagai pasangan sewaannya yang malah berujung menyusahkan seperti ini. Seharusnya ia tidak menolong Edard saat itu. Biarkan saja lelaki itu bunuh diri, toh itu bukan hal yang penting untuk Raya.“Argghhh! Menyebalkan!” pekik Raya sembari memukuli bantal yang ada dipangkuannya.Hari ini gadis itu sedang tidak ada kelas. Biasanya ia akan pergi berjalan-jalan atau sekedar me time. Bukannya Raya tidak memiliki teman. Banyak gadis yang ingin berteman dengan Raya. Han
Kening Raya mengkerut dalam saat mobil yang di kendarai oleh Edard berhenti di sebuah toko berlian yang terkenal di kota ini. Pikirannya menerka-nerka bantuan apa yang dibutuhkan lelaki itu di tempat ini? Meminta Raya untuk memilihkan perhiasan untuk kekasihnya barunya? Atau mungkin kekasihnya yang kemarin sudah kembali? Ah, entahlah. Raya tidak peduli dengan itu. Toh, bukan urusan dia juga. Tujuannya hanya ingin balas budi lalu setelah itu selesai.Tangan Edard terulur menyentil kening Raya yang mengkerut dengan pelan. “Jangan terlalu dalam, nanti cepat tua,” ujarnya pelan.Raya melotot mendengar ucapan Edard. Ia menepis kasar tangan lelaki itu yang masih bertengger di keningnya. “Jauhkan tanganmu! Aku tidak mau ada gosip baru yang muncul di media,” ketusnya.“Kita jalan berdua seperti ini saja sudah menimbulkan gosip,” sinis Edard membuat Raya mencebik kesal.Malas berlama-lama dengan Edard, Raya memilih untuk keluar
Sumpah serapah jelas keluar dari bibir Raya apalagi saat mengingat bagaimana dengan gamblangnya, Edard melayangkan satu kecupan manis di bibirnya tanpa permisi.Hei! Bibir Raya yang awalnya masih suci jelas ternodai oleh tindakan Edard yang menurutnya kurang ajar. Ya, jelas saja kurang ajar meskipun mereka sudah menikah, tapi meraka menikah hanya di atas kertas. Tapi kenapa Edard selalu bersikap kalau mereka ini menikah sungguhan? Sangat menyebalkan.Raya tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kedua pipinya. Ternyata itu Edard yang baru saja menempelkan sebotol minuman dingin ke pipinya."Ish!" Dengus Raya dengan sebal. Ia mengusap pipinya yang basah karena embun minuman itu.Edard duduk di sebelah Raya yang tampak cemberut. Lelaki itu tertawa pelan melihat ekspresi kesal milik gadis itu. Terlihat sangat menggemaskan. Bahkan Edard baru menyadari kalau istrinya itu menggemaskan.Saat ini mereka tengah duduk di sebuah taman kota. Sore hari yang cukup cerah. Apalagi Raya y
"Biar aku yang antar kamu ke kampus."Raya yang sedang menyisir rambutnya itu sontak memalingkan wajahnya menatap Edard yang sudah berdiri di ambang pintu. Kening gadis itu mengernyit, sedikit heran dengan keinginan Edard yang tiba-tiba itu? Tumben sekali, biasanya Edard lebih mengutamakan berangkat pagi ke kantor."Tumben. Kesambet apa kamu? Tapi nggak usah, aku bisa berangkat sendiri," kata Raya lagi.Ia hanya malas saja jika nanti Edard akan merecokinya sepanjang perjalanan. Lelaki itu sangat bawel jika menyangkut dirinya. Membuat Raya risih.Edard melangkah masuk ke kamar sembari bersedekap dada. Menatap Raya dengan pandangan menilik."Kamu mau bertemu dengan lelaki itu, ya? Makanya tidak mau aku antar," tuduh Edard.Yah, bukannya ia berniat menuduh Raya. Hanya saja ia tidak suka melihat Raya berdekatan dengan lelaki kemarin. Bahkan kelihatannya mereka cukup akrab. Siapa lelaki itu? Bukankah kata Davin, Raya tidak suka berdekatan dengan lelaki manapun selain Davin?Raya mendelik m
Alis Raya mengerut dalam kala melihat seorang wanita memeluk Edard dengan mesra. Bahkan wanita itu dengan beraninya mencium Edard di depan Raya. Hei! Apa dia tidak lihat kalau Edard bersama orang lain? Siapa sih wanita itu? Bisa-bisanya bersikap agresif terhadap lelaki yang bukan mukhrimnya. Ditambah lagi Edard sepertinya tidak risih dengan kehadiran wanita itu. Buktinya lelaki itu malah mengulas senyum lebar.Raya menatap sekeliling. Banyak sekali orang yang memperhatikan dirinya dengan tatapan iba. Sial! Ia merasa seperti nyamuk disini. Lebih baik ia pergi saja. Toh, untuk apa melihat kemesraan dua orang yang tak tau malu itu. Buang-buang waktu saja.Raya berniat melangkahkan kakinya meninggalkan Edard. Namun lengannya dicekal oleh Edard. Raya meliriknya sinis."Je, kenalkan ini Raya," ujar Edard sembari merangkul pundak Raya.Raya menggerakkan bahunya risih akan keberadaan tangan Edard. Wanita yang dipanggil "Je" itu menatap Raya dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Waja
Raya menepuk pipinya berulang kali. Pikirannya masih melayang pada insiden tadi pagi. Bisa-bisanya Edard bersikap tidak senonoh padanya. Sembarangan menciumnya. Tentu saja hal itu membuat Raya kesal. Tapi, selain rasa kesal, perasaan aneh lebih mendominasi dirinya.Bahkan jantungnya seperti bekerja dua kali lebih cepat saat Edard menciumnya. Memang hanya sekilas, tapi tetap saja. Ini adalah yang pertama bagi Raya. Wajar jika Raya merasa aneh.Ditambah lagi dengan panggilan "sayang" yang lelaki itu sematkan. Sial! Kesambet apa dia sampai berubah jadi semanis itu. Ingin membuat Raya jatuh cinta? Tidak semudah itu. Apalagi hanya dengan ucapan manis, Raya sudah sering mendapatkan itu dari Sam yang sangat menyukainya.Perkara kejadian itu, Raya memutuskan untuk mengurung diri di kamar daripada harus bertemu dengan Edard. Berhubung ini hari libur, sudah pasti lelaki itu ada di rumah. Untung saja Emily sedang pergi bersama teman-temannya. Jadi ia tidak perlu berakting menjadi istri Edard se
Kicauan burung kian terdengar bersahutan. Mengusik tidur tenang gadis yang masih setia di bawah gulungan selimut. Sinar mentari pun sudah naik. Menerobos masuk melalui kaca jendela.Gadis itu melenguh pelan. Tangannya terentang, meregangkan otot-otot. Selimut itupun tersibak, menampakkan gadis yang tengah mengusap kedua wajahnya.Gadis itu beranjak duduk dan menilik jam yang ada di nakasnya. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Beruntung ini hari minggu, ia tidak perlu berangkat kuliah.Raya, gadis itupun bergegas turun dari ranjangnya dan berjalan menuju walk in closet. Berniat untuk mencuci mukanya.Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada Edard. Semalam ia mengunci kamarnya, sudah pasti lelaki itu tidak bisa masuk. Lantas dimana lelaki itu tidur?Raya menggelengkan kepalanya. Untuk apa ia memikirkan Edard? Masalah lelaki itu tidur dimana saja bukanlah urusannya. Toh, rumahnya ini memiliki banyak kamar. Jadi tidak perlu berlebihan.Meskipun jika Emily melihatn
Kedua netra yang bertabrakan itu saling memutuskan kontak. Raya melengos begitu saja dan masuk ke dalam tanpa peduli dengan Edard yang terus memperhatikannya. Biar saja, demi apapun Raya membenci Edard yang egois seperti ini. Sudah memiliki kesepakatan namun dengan seenak jidatnya Edard mengubah kesepakatan itu. Ia pikir Raya akan setuju? Cih!Raya berjalan menuju kamarnya lalu mengunci pintu. Terserah bagaimana nanti Edard menjelaskan pada Emily perihal mereka yang tidak tidur satu kamar. Salah siapa mencari masalah dengan Raya.Sementara itu, Edard yang kini tengah berbaring di sofa ruang keluarga tampak termenung. Pandangannya menatap lurus ke plafon di atasnya. Memikirkan tindakannya barusan. Apa ia salah mengatakan itu pada Raya? Atau mungkin, apa ini terlalu cepat sehingga Raya belum siap menerimanya?"Sedang apa, Ed?" Edard tersentak kaget ketika mendapati Emily berjalan ke arahnya. Lelaki itu menilik jam yang tergantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Edar
Raya lantas membeku kala mendapati Edard tengah berbaring di ranjangnya. Lelaki itu berbaring dengan lengan yang ditekuk untuk menumpu kepalanya. Matanya menyorot tajam ke arah Raya yang masih mematung di ambang pintu."Kenapa baru pulang?" tanya Edard dengan nada yang dingin. Wajahnya terlihat datar, tidak sumringah seperti biasanya.Raya menelan salivanya kelat. Sial! Kenapa Edard bisa berada di kamarnya? Bukankah lelaki itu belum pulang? Bahkan mobilnya saja tidak ada di parkiran.Raya menaikkan pandangannya serta menatap Edard dengan acuh. Setidaknya ia tidak boleh terlihat takut, toh bukannya di perjanjian kemarin tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi? Edard juga sudah menyetujui itu. Lantas kenapa sekarang lelaki itu menyalahi perjanjiannya?Raya menutup pintu lalu melangkah masuk. Tidak enak kalau nanti di dengar oleh Emily. "Apa urusannya sama kamu? Mau aku pulang jam berapa dan pergi kemana, itu bukan urusanmu," ketus Raya sembari meletakkan tas jinjingnya ke atas mej
"Maaf menunggu lama," ujar Raya.Gadis itu baru saja dari kamar mandi. Meninggalkan Egar cukup lama. Egar menoleh, lalu mengulas senyum tipisnya. "Nggak papa," ujarnya.Kemudian Egar menyerahkan ponsel di genggaman tangannya pada Raya. Gadis itu mengernyitkan kening mendapati ponsel miliknya berada di tangan Egar lalu mengambilnya."Kenapa ada di kamu?" tanya Raya bingung.Pasalnya, sebelum ke kamar mandi, ponsel itu berada di atas meja kerjanya. Lalu sekarang ada pada Egar, terlihat aneh bukan? Tidak salahnya juga kan kalau Raya menaruh curiga pada lelaki itu?Egar tersenyum canggung. "Ponselmu berdering sejak tadi. Jadi aku-""Kau mengangkatnya?" Sela Raya.Egar mengangguk. "Iya. Maaf, Ray."Raya memejamkan matanya kesal. Bagaimana bisa Egar selancang itu mengangkat telepon miliknya? Dengan segera Raya mengecek siapa yang baru saja menelponnya.Mata gadis itu membuka begitu mendapati banyak pesan dan juga panggilan tak terjawab. Damn! Jika itu dari Davin, maka Raya tidak akan pedul
"Apa kabar, Bu?" tanya salah satu pegawai yang berada di pintu masuk menyambut kedatangan Raya.Raya tersenyum kecil. "Baik. Kalian bagaimana?" tanyanya kembali."Kami baik-baik saja, Bu. Apalagi sekarang restaurant milik kita ramai pengunjung. Jelasnya, omset per-bulan juga ikut melonjak drastis," paparnya pada Raya.Raya hanya tersenyum tipis. Pengaruh tangan Edard memang cukup kuat. Meskipun Raya sudah berkali-kali menolak, namun Edard tetap keras kepala ingin membantu mengembangkan usahanya.Sekarang lihat saja, ada banyak perubahan interior di setiap sudut ruangannya. Dan pastinya semua itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Pernikahan pura-pura ini, kenapa rasanya seperti nyata? Bahkan Edard kerap kali ikut campur dalam urusan pribadinya. Sangat berbeda dengan kesepakatan di awal."Mari masuk, Bu."Pegawai itu mengantar Raya untuk masuk ke ruang kerjanya. Raya pun menurut. Ah, dia lupa. Gadis itu menoleh ke belakang, mendapati Egar yang tersenyum ke arahnya."Ayo, Gar." Ray