Anna terkekeh. "A-apa maksudmu? Aku tidak menyembunyikan apa pun."Bodohnya Anna, dia mengatakan itu sembari masih menyembunyikan tangannya ke balakang. Edgar yang tak bisa dibodohi pun sontak meraih paksa tangan Anna hingga benda yang ada di genggaman Anna berpindah ke tangannya. "Test pack?" Edgar menatap test pack, lalu beralih menatap Anna. "Kau hamil?""Iya, aku hamil."Tepat setelah Anna menjawab, Edgar membawa Anna ke dalam pelukannya. Dia sungguh sangat bahagia mengingat dirinya akan menjadi seorang ayah nantinya. Pernikahannya dengan Anna baru berjalan sekitar empat bulan dan Edgar sangat bersyukur karena Tuhan memberinya keturunan secepat itu. "Terima kasih, Anna. Aku sangat bahagia.""Hn. Tadinya aku akan memberimu kejutan yang luar biasa, tapi kau sudah mengetahuinya duluan." Anna menghela napas panjang. Kejutannya gagal total bahkan sebelum kejutan itu dibuat sedemikian rupa. "Ah, maaf. Apa seharusnya aku tidak mengetahuinya sekarang?" ucap Edgar. Edgar bukan orang ya
"Ed, ada apa?" tanya Anna ketika melihat Edgar terburu-buru pergi ke kamar mandi. Sudah tiga minggu sejak Anna dikabarkan hamil, kini usia kandungannya adalah enam minggu. Anna tampak baik-baik saja selama kehamilan pertamanya, hanya Edgar yang bermasalah.Edgar mencuci mulutnya dengan air di wastafel, lalu keluar dari kamar mandi. "Dua hari ini perutku tidak enak," ucap Edgar seraya duduk di samping Anna. "Kau muntah lagi?" Ya. Kemarin pagi Edgar mual-mual dan sekarang pun begitu. Entah apa yang terjadi padanya, namun ini pertama kalinya dia merasakan perutnya sangat aneh. "Ini masih pagi, tapi tenagaku seperti terkuras habis," lirih Edgar. Wajahnya sedikit pucat setelah kembalinya dari kamar mandi. "Bagaimana kalau kita memanggil Dokter Bryan? Sepertinya kau harus diperiksa, Ed.""Tidak sekarang, Anna. Aku hampir terlambat pergi ke kampus. Hari ini ada rapat rutin para dosen, aku harus segera berangkat ke sana." Edgar tidak bisa menunda pekerjaannya hanya karena mual-mual. Dia
Anna terkekeh ketika mengingat penjelasan Dokter Bryan mengenai sindrom couvade yang dialami Edgar. Dia berpikir, apakah Edgar sangat mengkhawatirkan kehamilannya sehingga mengalami sindrom tersebut? Sungguh samgat tidak bisa dipercaya. "Kau kenapa?" tanya Grace seraya mengangkat satu alisnya ke atas, dia heran karena mendapati temannya yang terkekeh-kekeh sendiri. "Aku sedang menertawakan Edgar. Suamiku itu mengalami morning sickness menggantikanku." "Begitu rupanya. Aku memang pernah mendengar bahwa seorang suami pun bisa mengalami morning sickness saat istrinya sedang hamil, tapi aku tidak pernah berpikir kalau Profesor Edgar akan mengalaminya." Siapa sangka jika seorang dosen yang terkenal dingin itu bisa mengalami morning sickness? Grace bahkan tidak bisa membayangkannya. "Ya. Morning sickness adalah bagian dari sindrom couvade. Katanya Edgar mengalami itu karena terlalu khawatir dengan kehamilanku dan karena dia akan menjadi ayah." "Sindrom kofad atau apalah itu, tapi
Anna ingin pergi menemui Edgar, namun situasinya sangat membingungkan. Mengapa Kevin harus ada di samping Edgar dan muncul ketika ada Grace di sampingnya? "Grace, bolehkah aku menemui Edgar? Aku mengkhawatirkannya karena wajahnya tampak tidak baik-baik saja," ucap Anna lagi. "Pergi lah. Aku akan menunggumu di taman." Grace tidak ingin menunjukkan kesedihannya di hadapan pria yang dia sukai, lebih baik dia menjaga jarak terlebih dahulu sampai perasaannya membaik. Anna menghampiri Edgar yang sedang memegang dahinya. Wajahnya sedikit pucat, bahkan sepertinya dia tidak bisa berdiri sendiri hingga Kevin harus memegangi bahu Edgar agar tidak jatuh. "Ed, apa kau mual lagi?" tanya Anna dengan wajah khawatir. "Tidak, aku hanya sedikit pusing."Melihat Edgar yang tidak berdaya sontak membuat Anna sedih. Seharusnya dia memaksa Edgar untuk tetap beristirahat di apartemen. Lihat? Akibat Edgar bersikeras untuk pergi ke kampus, dia diserang sindrom couvade itu lagi. "Sebaliknya kau membawanya
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih