Chapter 3
"Tenang saja bos. Kau tidak akan kecewa dengan ini. Dia gadis yang bertanggung jawab dan punya etos kerja yang tinggi," ucap Rosie menggebu gebu di ruangan CEO.
Jeffrey mengangguk sekilas, "Aku penasaran dengan pilihanmu. Sebagus itukah dia?"
"Tentu saja! Kalau tidak bagus, aku tidak akan mengajaknya turut serta ke sini,"
Suara telepon kantor berbunyi nyaring, sudah bisa di tebak, pasti dari resepsionis.
"Ya?"
...
"Bawa langsung kemari,"
Rosie menatap Jeffrey curiga, "Dari siapa?"
"Resepsionis. Sebentar lagi ia akan datang. Kembalilah ke tempatmu. Untuk selanjutnya aku akan kembali memanggilmu kemari,"
"Siap bos,"
Rosie berjalan menuju biliknya kembali. Dalam hati ia berharap semoga Yuna lolos interview dan diterima saat ini juga.
"Psstt, gimana?" kepala Lalice menyembul melihat Rosie yang nampak gelisah.
"Semoga lancar. Sepertinya sekarang interview sedang berlangsung," ucap Rosie.
Lalice mengangguk paham. Ia juga berharap Yuna diterima di sini. Melihat kondisinya maupun keluarganya, ia cukup prihatin. Yuna jelas menekan keuangan di rumahnya untuk bertahan hidup. Bohong jika ia mengatakan semua baik baik saja.
Di sisi lain, Yuna melangkah mengikuti resepsionis dengan gugup. Lebih tepatnya, ia tidak sabar melihat seperti apa wajah bosnya. Dia tidak naif. Itu normal. Dari yang Rosie bilang kemarin, CEO nya berumur 25 tahun. Cukup muda bukan? Sedang Yuna sendiri baru berusia 22 tahun.
Resepsionis mengetuk pintu ruangan bosnya hingga muncul kata 'masuk' dari dalam.
"Semoga berhasil," ucap Resepsionis menepuk pundak Yuna pelan.
Perlahan, gadis itu membuka pintu. Ditatapnya sang CEO yang tengah sibuk dengan laptopnya. Pandangan mereka bertemu saat Jeffrey mendongak.
"Pengantin?!" teriak Jeffrey
Yuna mematung di tempat. Lagi lagi pria itu memanggilnya pengantin. Oh ayolah, dia masih lajang. Sedetik kemudian Jeff menggeleng pelan dan mempersilahkan Yuna masuk.
"Ini, berkas berkas beserta identitas saya," ucap Yuna menyerahkan stopmap biru.
"Umur 22?"
"Benar tuan,"
"Terlalu muda untuk mati. Syukurlah ternyata kau mati suri,"
Oke, sudah cukup Yuna pusing. Ia memberanikan diri memberi penjelasan kepada bos nya.
"Mohon maaf sebelumnya. Saya belum pernah mati dan saya belum pernah menikah. Bahkan saya tidak punya kekasih," ucap Yuna pelan di akhir.
"Well, bagus. Kekasih hanya akan menghambat pekerjaanmu. Punya pengalaman?"
"Tidak, saya bekerja di pabrik tekstil sebelum ini,"
Jeffrey mengangguk, ia melempar beberapa pertanyaan dan syukurlah Yuna bisa melaluinya dengan lancar. Akhir kata, Jeffrey menjabat tangan Yuna.
"Bekerjalah mulai sekarang. Sepertinya Rosie sangat ingin bermanja dengan suaminya. Tunjukkan yang terbaik hari ini dan seterusnya supaya aku bisa mempercayaimu. Good luck,"
"Terimakasih pak,"
Yuna segera memulai mengerjakan tugasnya. Awalnya gadis itu merasa kesulitan karena pengetahuannya tentang 'digital' cukup minim. Tapi dengan senang hati Lalice meluangkan waktunya untuk mengajari beberapa cara mengoperasikan komputer. Sedang Rosie sudah pulang sejak posisinya digantikan oleh Yuna. Ia keluar kantor dengan sedikit berjingkat yang berakhir mendapat pelototan dadi Lalice dan Yuna karena tidak memperdulikan janin dalam kandungannya.
"Ini, rumus excel. Cepat atau lambat kau akan membutuhkannya," ucap Lalice menyodorkan buku kecil berisi rumus rumus Ms. Excel.
"Ah, terimakasih. Bekerja seperti ini jauh melelahkan dari pabrik," bisik Yuna.
Lalice sedikit tergelak, "Kalau sudah mahir pasti nyaman kok. Jauh lebih baik dari bekerja serabutan,"
Yuna tersenyum kecut. Padahal dirinya waktu bekerja di pabrik tekstil sudah menjadi karyawan tetap. Hari ini ia mengambil cuti di pabrik untuk melakukan interview. Berjaga jaga siapa tau nanti tidak sesuai ekspektasi jadi ia tetap bisa bekerja di pabrik.
###
Hari ini tidak terlalu melelahkan bagi Yuna. Jeffrey tidak ada pertemuan yang harus melibatkan dirinya, dan sepanjang hari ia hanya duduk di depan komputer. Beruntung ia punya teman —orang dalam— yang bisa membawanya masuk ke perusahaan besar hanya dengan ijazah SMA.
Yuna berjalan pelan menuju rumahnya. Yah sekarang pukul 4 sore. Sengaja gadis itu tidak naik angkot, lagipula sedari tadi ia hanya duduk di kursi dalam ruangan sejuk. Katakan saja berolahraga. Dirinya bisa lemas jika sepanjang ia bekerja hanya duduk dan menatap komputer.
"Hey Yuna!"
Gadis itu berbalik, mendapati bosnya tengah berlari ke arahnya. Ia menghela nafas kasar, bahkan sudah siap jika tiba tiba bosnya mengamuk. Bukannya Yuna berbuat salah, tapi biasanya bos memanggil untuk 2 hal. Buruk atau baik.
"Ada apa bos?" tanya Yuna.
Jeffrey masih terengah engah, "Huh... Sebentar biarkan aku bernapas,"
Kemudian ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, "Baik. Jangan panggil aku bos. Kita tidak berada di kantor. Kau paham?"
"Lalu?"
"Panggil Jeff. Aku tau umur kita berbeda 2 tahun. Tapi, terdengar akrab kan?"
Yuna mengangguk paham, "Kenapa kau berlarian?"
"Ah! Benar. Mau makan malam denganku?" tawar Jeffrey.
"Sebagai salam perkenalan. Kau sekertarisku dan kita akan sering bersama. Aku tidak ingin mati canggung dengan sekertarisku," lanjutnya.
Yuna tersenyum ringan. Rupanya Jeffrey tidak mau Yuna salah paham. Tanpa ragu dan karena alasan pengakrab-an diri, Yuna mengangguk dan mengikuti Jeffrey yang berjalan di depannya.
"Tadi aku sudah memesan makanan di sana," tunjuk Jeff di sebuah tempat makan cepat saji.
"Lalu aku melihatmu, jadi ku ajak sekalian saja," lanjutnya.
"Begitu? Terimakasih,"
Jeffrey mengernyit, "Untuk apa?"
"Telah mengajakku bergabung,"
Jeffrey tergelak sesaat. Ia berjalan mundur untuk melihat Yuna dengan jelas. Sudah cukup lama ia merasa kesepian seorang diri. Tapi kini, ia bahkan tidak menyangka gelak tawanya kembali. Yuna sangat polos di matanya.
"Jangan berjalan mundur," ucap Yuna
"Kenapa?"
"Kalau jatuh kau sendiri yang malu,"
Lagi lagi Jeffrey terkikik. Ia berjalan sejajar dengan Yuna dan mengamati gadis itu dari samping.
"Sangat mirip," gumam Jeffrey.
"Siapa yang mirip?"
Jeffrey menggeleng dan menunjukkan meja tempat makanannya. Ia membiarkan Yuna untuk memesan beberapa makanan atau minuman.
"Apa yang kau lihat saat mati? Bagaimana bisa hidup lagi?" tanya Jeffrey.
Yuna mendesah gusar, "Sudah cukup kau menuduhku mati suri lah, pengantin wanita lah. Aku sudah bilang tadi, aku belum pernah menyentuh gaun pengantin, dan aku belum pernah merasakan mati. Tidak perlu jauh jauh, bahkan aku belum pernah pingsan,"
"Jangan mengelak Yuna, jelas jelas aku yang membawamu ke rumah sakit. Kau menyuap mereka?"
"Menyuap? Untuk apa?"
Chapter 4"Membayar para petugas rumah sakit untuk merahasiakan kematian surimu, atau entahlah. Aku jelas ingat membawamu ke dalam mobilku dan megantar mayatmu ke rumah sakit,""Jeff, kenapa aku malah takut denganmu," ucap Yuna menatap Jeffrey was was.Benar saja. Bagi Yuna, Jeffrey sangat mudah mengarang cerita yang mengatas namakan dirinya. Terlebih ia juga menuduhnya menyuap petugas rumah sakit. Oh ayolah. Yuna bukan dari kalangan orang berada untuk sekedar menyuap petugas rumah sakit."Takut kenapa? Aku tidak akan memecatmu untuk masalah obrolan ringan ini,"Ah, Yuna memutar bola matanya malas, "Kalau begitu, berhenti menuduhku dengan hal hal ringan ini. Ah, apakah ini bentuk candaan?""Candaan? Aku serius. Waktu itu pukul 11 malam, aku baru saja pulang lembur dan melihatmu tergeletak di jalan. Entah tabrak lari atau apapun yang terjadi, seakan akan kau terjatuh dari langit,"
Chapter 5Yuna melenguh, dan mendapati dirinya sudah berada di dalam mobil. Sperti milik Jeffrey. Ya, ia sedikit tahu tentang itu ketika melihat blazer yang tadi Jeffrey kenakan bertengger di kursi kemudi. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, "Sudah jam pulang,"Kemudian matanya beralih ke luar jendela, dimana Jeffrey baru saja keluar dari minimarket membawa kantung palstik yang entah apa isinya."Akhirnya kau bangun. Ini soda," ucap Jeffrey menyodorkan sekaleng cola pada Yuna."Terimakasih,"Yuna menenggak sedikit colanya kemudian menatap Jeffrey dengan tatapan bersalah, "Maaf merepotkanmu,""Jadi seharusnya aku meninggalkanmu sendiri di ruanganku yang sebentar lagi dikunci? Baiklah lain kali akan kulakukan itu,"Yuna melotot. Ia tahu Jeffrey sedang berusaha mengajaknya bercanda. Tapi bangun tidur membuatnya kehilangan sebagian moodnya."Bisakah kau m
Chapter 6"Bagusnya pakai ini atau ini?" tanya Lalice menenteng dua dress.Yuna mengangkat kepalanya, "Yang warna peach,""Ah seleramu payah," ejek LalicePayah? Padahal tadi Lalice yang bertanya padanya. Gadis itu sangat sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan untuk menjenguk Rosie. Benar, tadi malam Rosie telah melahirkan putra pertamanya. Dan rencananya, Lalice dan Yuna akan menjenguknya malam ini."Ini bagus kan?" tanya Lalice menyodorkan dress berwarna merah terang dengan potongan dada yang cukup rendah. Terlihat cukup kecil untuk ukuran tubuh Lalice, tapi sepertinya gaun ini bisa melar mengikuti bentuk tubuh yang memakainya."Bagus, terlihat berkelas," ucap Yuna seadanya.Lalice hendak masuk kamar dan mengganti baju sebelum ia teringat sesuatu, "Kau tidak mengganti pakaianmu?""Kenapa dengan pakaianku sekarang? Sepertinya baik baik saja," u
Chapter 7"Ada apa Yuna?" Jeffrey berlari dan memeluk Yuna yang tengah menutup wajahnya. Badannya gemetar hebat."Kepala! Aku lihat kepala di dalam freezer,"Jeffrey berniat untuk melihat yang ada di dalam freezer. Tapi diurungkan karena Yuna menarik lengannya. Gadis itu menatap Jeffrey sayu."Tak apa. Tetaplah di belakangku dan pegang aku kuat kuat," ucap Jeffrey.Mereka berdiri dan mengendap endap melihat apa yang ada di dalam freezer. Yang ditemukan hanya bunga es dan mangkuk plastik berisi ayam potong. Jeffrey mengambilnya dan menyodorkan kepada Yuna."Ini yang kau lihat?" tanya Jeffrey.Yuna berangsur angsur menjauh dari Jeffrey, "Aku melihat itu, disamping kepala dengan wajah persis sepertiku,"Jeffrey menghela nafasnya, tangannya terulur mengusap pucuk kepala Yuna, "Tenanglah. Ayo kita lanjutkan nasi gorengnya?""Baik. Bawa s
Chapter 8Yuna mendorong keras tubuh Jeffrey. Entah kenapa badannya tiba tiba panas. Bukan karena ucapan Jeffrey, tapi badannya merasa seperti dibakar hidup hidup. Ia berdiri, melucuti semua pakaiannya dan berlari ke arah dimana gaun pengantin disimpan.Jeffrey tentu saja merasa heran. Ia berlari menyusul Yuna di kamarnya. Betapa terkejutnya pria itu melihat Yuna dengan gaun pengantin dari lemarinya kini tengah mengoles lipstick merah menyala. Ia tersenyum menatap Jeffrey yang mematung di ambang pintu melalui pantulan cermin.Gadis yang mirip dengan Yuna, atau dia memang Yuna? Sedetik kemudian Jeffrey megerjap. Ia melihat leher gadis itu dan melihat ada beberapa kissmark di sana."Yuna, kenapa tiba tiba memakai gaun itu?" ucap Jeffrey mendekat. Ia yakin sosok didepannya adalah Yuna. Yuna yang baru saja ia cumbu di ruang tengah.Kini Yuna bangkit, matanya menatap wajah Jeffrey, sedangkan tangannya ia
Chapter 9"Kalian melakukannya?" bisik Sicheng."Tidak. Err, hanya ciuman. Tidak lebih,"Sicheng mendengus, "Padahal tidak perlu ditutupi,""Dia melakukannya dengan lembut? Atau kasar?" tanya Sicheng lagi.Sebenarnya Yuna tidak cukup paham dengan perkataan Sicheng, ia hanya mengangguk sekenanya. Selama ini Jeffrey tidak pernah berbuat kasar padanya kan. Tapi Yuna ragu ada maksud lain dari Sicheng."Ah syukurlah. Mengerikan jika seorang pria melakukannya dengan kasar pada pengalaman pertama seorang wanita. Tunggu, kau belum pernah melakukannya kan sebelumnya?" ucap Sicheng.Baru saja Yuna paham kemana arah obrolan ini. Apa apaan? Masalah seperti ini tidak seharusnya dibicarakan. Lagipula, ia tidak melakukannya. Belum."Dasar mesum! Aku tidak ingin melakukannya sebelum ada hubungan yang jelas!" Yuna berulang kali memukul Sicheng dengan gulungan kertas
Chapter 10Tidak ingin mengingkari janji, Yuna berjalan santai ke parkiran. Sebenarnya sudah lewat 30 menit dari jam pulang. Sengaja gadis itu keluar lebih lama untuk menghindari tatapan tidak menyenangkan dari rekan rekan kerjanya. Selain Lalice dan Sicheng tentunya."Maaf malah jadi kau yang menunggu," ucap Yuna melihat Jeffrey bermain ponsel dengan bersandar di depan mobilnya.Pria itu tersenyum hangat, "Tak apa. Menghindari teman temanmu kan?"Yuna mengangguk. Jeffrey tentu paham dengan ini. Seorang bos yang terkenal cukup ramah dengan karyawannya dirumorkan mengalami cinta lokasi dengan sekretaris yang bahkan baru beberapa bulan bekerja di sini. Terlebih, sebagian besar wanita di kantor mengagumi Jeffrey lebih dari apapun. Hal itu membuat Yuna kerap kali mendapat pelototan sinis dari kebanyakan mereka."Jadi, bagaimana? Tinggalah di rumahku. Ayo kita rencanakan sebuah pernikahan," ucapan Jeffre
Chapter 11Awalnya memang Jeffrey sengaja berjalan mendahului Yuna. Tapi ketika melewati lorong sepi, ia berhenti sejenak untuk menyejajarkan langkahnya dengan Yuna, kemudian merangkul gadis itu."Kau mungil. Menyenangkan saat aku merangkulmu. Terlebih memelukmu," ucap Jeffrey mendaratkan kecupan singkat di pelipis Yuna."Haruskah aku menghentikan dietku?" ucap Yuna."Diet? Kau diet?"Yuna mengangguk. Sebenarnya tidak benar benar diet. Acap kali ia kedapatan makan gorengan di pinggir jalan. Meski begitu, ia tetap menyebutnya diet selama tidak memakan nasi."Entah bagaimana caramu diet, tapi lekuk tubuhmu terlihat jelas dan berisi. Yah walaupun lengan serta tulang rusukmu yang terlihat tidak memiliki daging,"Yuna terkikik. Baru saat ia sampai di ruangan CEO, Jeffrey memutar tubuh Yuna untuk menghadap ke arahnya. Ia sempat tersenyum sebelum menyambar bibir Yuna. Dari
Chapter 24Jeffrey berteriak kala talenan menghantam kepalanya. Sedetik kemudian sudah banyak darah yang keluar dari bekas hantaman itu diiringi kekehan Yuna. Gadis itu malah terlihat sangat puas. Semakin Jeffrey mengerang, semakin kuat pula energi negatif yang ditimbulkan dari sosok yang ada di dalam tubuh Yuna."Kau menikmatinya sayang?" Tanya Yuna.Suasana semakin mencekam. Ditambah matahari yang urung menampakkan sinarnya karena tertutup awan tebal. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan.Diam diam, hujan dan suasana seperti ini mengingatkannya pada kala pertama ia menemukan gaun itu. Otaknya terus berputar mencari cara supaya gaun itu harus terlepas dari tubuh Yuna tanpa melukai gadis itu. Matanya melirik pisau yang ia genggam, kemudian mengingat ada renda yang bila lepas akan memisahkan antara bagian bawah dan atas dari gaun itu.Benar! Jeffrey harus mencari cara untuk melepasnya. Jahitan it
Chapter 23Yang Jeffrey dapat adalah nihil. Benar, tidak ada informasi apapun tentang profil itu. Di berandanya hanya ada sebuah foto yang menandai akun Jeffrey. Tanpa informasi apapun, selain tanggal lahirnya. Di situ tertulis '14 Februari 1987' tepat dimana seseorang yang pernah menjadi bagian dari dirinya lahir.Anehnya, postingan ini baru saja dikirimkan 6 bulan yang lalu. Semua tampak ganjil ketika Jeffrey mengingat 6 bulan yang lalu, dirinya bertemu dengan Yuna. Ia mengambil tangkapan layar sebelum mematikan ponselnya dan menatap ke kamar mandi yang sudah terlihat gelap. Seingatnya belum ada suara pintu terbuka dan ia tahu betul Yuna belum keluar dari sana."Yuna?" Panggil Jeffrey seraya menuju ke pintu kamar mandi.Kepala Jeffrey melongok masuk, memastikan kekasihnya tidak sedang bercanda. Tapi tidak sesuai dugaannya. Tidak ada Yuna, dan bahkan tidak ada bekas air di kloset maupun lantai kamar mandi. Tampak s
Chapter 22"Jangan dipikirkan terus. Lama lama kau bisa gila. Cepat makanlah sebelum panasnya hilang," Ucap Jeffrey.Mereka sudah berada di restoran yang direservasi Jeffrey. Awalnya Yuna pikir kekasihnya hanya akan menyewa satu meja, tapi yang ia dapat adalah satu ruangan VIP lengkap dengan penyajian dan pelayanan ekstra. Ini lebih dari luar biasa baginya. Jeffrey bukanlah berasal dari keluarga yang kaya raya, meskipun kini dirinya adalah seorang CEO, tapi Jeffrey pernah bercerita jika dirinya selalu hidup dalam kesederhanaan."Yah, kau benar. Mimpi hanyalah bunga tidur," Yuna termenung sesaat, "Tapi bagaimana jika mimpi adalah petunjuk?""Maksudmu?" Heran Jeffrey.Yuna menyenderkan punggungnya di kursi, "Apakah menurutmu ini kebetulan? Ada nenek, ibu, dan wanita tua itu. Aku juga melihat dua orang yang terlihat mirip denganmu,"Pembicaraan ini mulai terdengar serius di telinga Jef
Chapter 21Kini Yuna tengah berkeliling market yang tadinya ditunjukkan oleh satpam. Tidak ada yang terlalu ingin dibeli sebenarnya. Tapi gadis itu tetap memaksakan kakinya menjelajahi minimarket ini. Di dalam keranjang tangannya hanya ada satu cup mi instant dan dua kaleng coca cola."Gila, aku berkeliling hanya untuk tiga benda ini," Gumam Yuna menatap iba keranjangnya. Ia mengedikkan bahu sebelum menuju ke kasir.Syukur antreannya tidak cukup panjang. Ia bisa sekalian menyantap mie nya di sini. Tempat ini ramai, dan kondisi di sini tidak memungkinkan untuk barang barang tak kasat mata mengganggunya. Yah, setidaknya itulah yang ia pikirkan. Gadis itu menuju salah satu bangku yang di sediakan minimarket untuk menyantap mie instant nya.Lamat lamat Yuna mendengar wanita tua mengomel dengan menggenggam ponselnya. Sepertinya masalah yang cukup serius. Terlihat dari raut wajah wanita itu yang mengerutkan keningny
Chapter 20"Bagus, ternyata kau sudah mulai bekerja hari ini?"Yuna bersedekap menatap kekasihnya yang tengah memakai sepatu. Sudah rapi, lengkap dengan stelan kemeja dan blazernya. Ia pikir, mereka akan menghabiskan hari ini bersama. Entah jalan jalan atau di dalam kamar, yah salahkan Jeffrey yang menambah embel embel 'berlibur' diucapannya kemarin. Tidak heran jika Yuna mengira ini akan menjadi liburan layaknya honeymoon."Tidak akan terlalu lama. Aku akan pulang nanti siang. Selama aku bekerja jangan keluar dari villa," Ucap Jeffrey."Lalu? Mengurung diri seharian? Sendiri?"Jeffrey terkekeh sebelum ia bangkit dan mengacak rambut Yuna perlahan, "Kalau ingin keluar, bilanglah dengan satpam, dan beritahu kemana kau pergi. Jaga jaga siapa tau aku pulang dan kau masih asik dengan jalan jalanmu, aku bisa menjemputmu,""Ah, sudah hampir terlambat. Aku pergi dulu sayang. Sampa
Chapter 19"Ssshhh, apa yang terjadi?" Tanya Jeffrey.Sedangkan Yuna masih saja menggeliat tak karuan. Sekujur tubuhnya panas, seakan dibakar hidup hidup. Padahal AC menyala dengan suhu 20°C. Seharusnya sudah sangat dingin. Tapi gadis itu masih menggeliat dan mengerang. Bahkan sekujur tubuhnya basah kuyup berkeringat.Mau tidak mau Jeffrey membantu Yuna melepas bajunya. Menyisakan dalaman. Meski begitu Yuna masih bergerak liar. Ia semakin mengerang dan memberontak kala Jeffrey menahan tangannya. Tenaga Jeffrey saja rasanya tidak cukup kuat untuk menahan Yuna. Pria itu sedikit menindih Yuna dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Yuna yang masih memberontak.Takut? Tentu saja. Jeffrey bahkan menutup matanya rapat rapat di sana. Hingga ia tersadar Yuna sudah mulai tenang, Jeffrey mengangkat kepalanya. Namun, bukan Yuna yang telanjang yang ia temukan. Melainkan Yuna dengan gaun pengantin. Sangat aneh. Bahkan Jeffre
Chapter 18"Huh! Kau bukan Yuna!" erang Jeffrey melihat sosok tadi, kini berada di depannya lagi.Tidak ada jawaban. Sosok itu malah tersenyum miring, dengan membawa sebuah batu. Sedetik kemudian gadis itu mengangkat batu tinggi tinggi, menghantamkannya tepat mengenai kepala Jeffrey. Oh tentu saja tidak segampang yang kalian pikir. Jeffrey segera berlari tunggang langgang dan memasuki area gereja. Baru bisa ia bernafas lega melihat sosok tadi berbalik menuju hutan."Hey,""Yuna!"Jeffrey tersentak kala Yuna tiba tiba sudah berada di belakangnya, menepuk pundak Jeffrey pelan. Meski begitu, cukup untuk membuat Jeffrey terlonjak."Aku mencarimu ke parkiran, dan ternyata kau di sini. Acaranya sudah mulai. Ayo," ucapnya.Kini mereka berjalan menuju acara resepsi Lalice dan Sicheng. Menjadi saksi mata janji suci yang diucapkan, hingga cincin yang disematkan. Dan saat yang
Chapter 17Pagi ini masih sama sibuknya dengan kemarin. Tapi setidaknya, Yuna bisa menyempatkan makan siang dan pulang seperti biasa nanti. Tidak ada Lalice dan Sicheng rasanya sangat sepi. Biasanya mereka akan bergurau sejenak atau memakan permen karet diam diam. Tapi kini, saat waktu luang Yuna hanya memainkan ponselnya. Saling berkirim pesan dengan Jeffrey. Yah, seperti yang dikatakan Jeffrey semalam, tugas mereka saling terikat langsung.Hingga sebuah email masuk, berisi undangan observasi salah satu cabang proyek Jeffrey di pulau Jeju, Korea Selatan. Dengan cekatan ia meneruskan pesan itu ke Jeffrey dan berakhir ia harus ke ruangannya."Masih kurang jelas?" tanya Yuna begitu ia duduk di hadapan Jeffrey.Jeffrey terkekeh, "Sudah. Tapi, ada satu hal yang harus aku bicarakan langsung denganmu,"Tidak menjawab, Yuna lebih memilih untuk menunggu kalimat yang Jeffrey ucapkan selanjutnya.
Chapter 16Hari ini Lalice dan Sicheng sudah mulai mengambil cuti menyisakan Yuna yang semakin sibuk di setiap menitnya. Bahkan ia rela melewatkan jam makan siangnya lagi demi setumpuk map yang sebagian besar belum ia sentuh."Lihat siapa yang akan lembur hari ini," ucap Johnny, bukan, lebih tepatnya pria itu mengolok olok Yuna sekarang. Bahkan dengan entenganya pria itu terkikik.Yuna mendengus, "Ada beberapa yang malam ini juga harus di serahkan,"Gadis itu meregangkan otot ototnya sejenak sebelum menghela napas dan menyeruput kopi panas."Kalau begini jadinya, bisa bisa aku pulang larut," lanjutnya.Johnny terkikik, "Mau ku temani? Aku menganggur di rumah,""Kalau tidak membantuku percuma saja," ucap Yuna.Lagi lagi pria di sampingnya terkikik riang, "Setidaknya kau tidak sendiri di sini. Aku bisa kau ajak bicara kalau kalau bosan,"