Chapter 2
"Bukankah kau sudah... Ah! Apa apaan ini?!" teriak Jeffrey menunjuk wajah wanita di depannya.
Wanita itu mengernyit dalam. Apanya yang salah sampai sampai pria di depannya berteriak tidak jelas seperti itu.
"Maaf? Kau mengenalku?" tanyanya
Jeffrey terduduk lemas bersandar mobilnya, "Jadi kau mati suri?"
"Hah?!" wanita itu tidak habis pikir. Sejak kapan dirinya mati?
"Aku hampir gila karena memikirkanmu! Gaun pengantinmu tiba tiba di dalam lemariku, dan tadi tidak ada catatan apapun tentangmu di rumah sakit,"
"Gaun pengantin? Mati suri?"
Wanita itu cukup takut dengan Jeffrey. Bagaimana tidak, tiba tiba ia dituduh mati suri, lalu disangkut pautkan dengan gaun pengantin. Apa masalah pria di depannya ini. Buru buru ia memungut sisa belanjaan yang berserakan dan berlari tunggang langgang dari Jeffrey.
Sedangkan Jeffrey hanya bergumam, "Tidak ada kata terimakasih? Bagus,"
Jeffrey melanjutkan perjalanannya pulang. Di rumah, ia membuka lemari dan gaun pengantin itu masih di sana. Ia sempat berfikir ada kekuatan magis atau apapun hingga gaun ini bisa tiba di rumahnya. Sedetik kemudian ia mengangkat bahunya acuh. Ia tidak peduli apapun dan kembali ke kehidupan monotonnya.
Seminggu berlalu...
Jeffrey telah resmi menggantikan tuan Zhong CEO sebelumnya. Tugasnya kini cukup ringan karena tidak sebegitu padat biasanya ia membuat tumpukan laporan. Selain itu pekerjaannya juga akan dibantu oleh skretaris yang terlihat masih muda dan menarik. Pantas saja tuan Zhong betah berlama lama menjabat CEO.
Baru saja terlintas di benaknya gambaran Rosie sekertaris tuan Zhong yang sekarang jadi sekertarisnya, kini wanita itu mengetuk pintu ruangan pribadinya sebelum Jeffrey mempersilahkan masuk.
Wanita itu menyerahkan stopmap dengan tatapan bersalah.
"Surat pengunduran diri?" tanya Jeffrey setelah membuka stopmap yang Rosie beri.
"Maaf, bukannya aku tidak ingin menjadi sekertarismu, tapi aku berani bersumpah, baru tadi malam suamiku memintaku untuk berhenti bekerja,"
"Kenapa?"
"Kandunganku memasuki bulan ke 4,"
Jeffrey mengerjapkan matanya. Rosie terlihat masih muda untuk mengandung.
"Setidaknya bekerjalah untukku sampai aku mendapat sekertaris baru," ucap Jeffrey pada akhirnya.
Rosie mengangguk setuju dan meninggalkan ruangannya.
Kini wanita itu kembali duduk di mejanya dan berkutat dengan schedule Jeffrey yang akan datang. Rosie menghembuskan nafas kasar. Seharusnya ia akan pulang dan bermanja dengan suaminya saat ini. Tapi nyatanya ia kembali disibukkan dengan ribuan huruf yang mengganggu pikirannya.
"Jadwal laporan jadwal laporan, ah malas sekali," gerutu Rosie
"Kenapa tidak pulang? Kukira kau ke ruangan CEO untuk meminta pengunduran diri," ucap Lalice, teman Rosie yang bekerja di bagian editing.
"Aku tetap bekerja sampai dia punya sekertaris baru," ucap Rosie merengut.
Alih alih memberi solusi terlebih dulu, Lalice malah tertawa melihat Rosie yang sudah tidak punya semangat kerja.
"Kalau menunggu lowongan, Jeffrey akan melakukan seleksi yang membuatmu lebih lama di sini," ucap Lalice memegangi perutnya yang masih keras karena tertawa.
Benar yang dikatakan Lalice. Jeffrey tidak akan serta merta percaya begitu saja dengan orang asing yang bahkan siapapun tidak mengenalnya. Siapa tahu nantinya ia tidak bekerja sesuai target dan tidak bijaksana saat bekerja, ia bisa rugi.
Rosie terlihat berpikir, "Jadi aku harus mencari pengganti?"
"Benar,"
"Bagaimana kalau kau saja. Kenaikan pangkat," ucap Rosie mengedipkan matanya.
"Tapi aku cinta tugasku yang sekarang. Kenapa kau tidak menyeret Yuna saja?"
"Yuna? Kadang aku berpikir, kapan ia beristirahat? Mengurus rumah, mengurus adiknya, neneknya, belum lagi jika ia harus bekerja,"
Diantara 2 orang sahabatnya, hanya Yuna yang tidak bergabung di perusahaan yang sama dengannya maupun Lalice. Satu satunya alasan adalah karena pada saat Lalice dan Rosie melamar pekerjaan ini, Yuna masih enggan bekerja dan merawat adiknya yang baru berumur 1 tahun. Terlebih orang tuanya baru saja meninggal 3 bulan sebelumnya. Meski begitu, mereka tetap saling menyempatkan waktu untuk sekedar berjalan jalan atau makan bersama.
Lalice mengangguk, "Dengan begitu ia bisa lebih mencukupi kebutuhan keluarganya kan?"
"Benar! Pulang kerja nanti aku akan mampir ke rumahnya. Kau mau ikut?"
"Harus!"
###
"Ayolah Yuna, kau tidak kasihan dengan Rosie? Kandungannya memasuki bulan ke-4 dan kau tega melihatnya kelelahan bekerja?"
Tak henti hentinya Lalice membujuk Yuna untuk menerima tawaran Rosie. Yuna sendiri selalu beralasan ia nyaman dengan pekerjaannya sekarang menjadi buruh di pabrik swasta. Padahal siapapun tau, pekerjaan Yuna terbilang cukup kasar dengan upah relatif rendah.
"Ah, baiklah baiklah. Aku menerima tawaran ini. Tapi kalau tuan CEO menolak, aku tidak akan kembali menginjakkan kakiku di sana," ucap Yuna pada akhirnya.
Baik Lalice maupun Rose, mereka berdua bersorak riang dan memeluk Yuna hangat.
"Untuk merayakannya kita—"
"Rayakan saat aku sudah gajian saja. Aku tidak ingin menghambur hamburkan uang sebelum itu," ucap Yuna menyela Rosie.
Rosie mengusap tengkuknya canggung. "Maaf,"
Hari semakin larut. Lalice dan Rosie memutuskan untuk pulang.
"Ingat, besok pukul 10 pagi jangan sampai terlambat. Berpakaianlah semenarik mungkin," ingat Rosie.
"Siapa tahu tuan CEO akan jatuh hati denganmu," timpal Lalice.
Yuna hanya tersenyum menanggapi. Sudah biasa kedua sahabatnya mengolok oloknya seperti itu.
"Hati hati di jalan!"
Paginya, Yuna cukup bersemangat menyambut hari ini. Ia menyiapkan sarapan, mandi, kemudian duduk di depan meja riasnya.
"Ada beberapa yang sudah menjamur, apa tidak papa?" gumam Yuna.
Pada akhirnya ia tetap menggunakan make up yang berjamur itu karena tidak ada pilihan lain. Berharap semoga kulitnya tidak rusak.
"Kakak mau kemana? Tidak kerja?" tanya Hendery, adik Yuna yang berumur 5 tahun.
Mungkin karena ia melihat kakaknya bersolek. Biasanya jika hanya pergi bekerja Yuna tidak pernah berdandan dan selalu tampil biasa. Tapi kali ini, ia mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok span hitam selutut, ditambah high heels milik ibunya, ia terlihat dewasa dan anggun. Terlebih saat ia mengoles tipis lilstick merah hati di bibirnya yang penuh. Rambutnya ia ikat bawah supaya terlihat rapi.
"Ini kakak mau berangkat. Jaga nenek ya," ucap Yuna mengecup kening adiknya sekilas, kemudian berpamitan dengan neneknya.
Gadis itu berjalan menyusuri trotoar untuk ke halte terdekat. Mulutnya tidak berhenti bergumam tentang apa apa saja yang sudah ia bawa.
Yuna mendengus, "Sepertinya sudah lengkap. Ya tuhan berikan kelancaran untuk ini. Amin,"
Chapter 3"Tenang saja bos. Kau tidak akan kecewa dengan ini. Dia gadis yang bertanggung jawab dan punya etos kerja yang tinggi," ucap Rosie menggebu gebu di ruangan CEO.Jeffrey mengangguk sekilas, "Aku penasaran dengan pilihanmu. Sebagus itukah dia?""Tentu saja! Kalau tidak bagus, aku tidak akan mengajaknya turut serta ke sini,"Suara telepon kantor berbunyi nyaring, sudah bisa di tebak, pasti dari resepsionis."Ya?"..."Bawa langsung kemari,"Rosie menatap Jeffrey curiga, "Dari siapa?""Resepsionis. Sebentar lagi ia akan datang. Kembalilah ke tempatmu. Untuk selanjutnya aku akan kembali memanggilmu kemari,""Siap bos,"Rosie berjalan menuju biliknya kembali. Dalam hati ia berharap semoga Yuna lolos interview dan diterima saat ini juga."Psstt, gimana?" kepala Lalice menyembul m
Chapter 4"Membayar para petugas rumah sakit untuk merahasiakan kematian surimu, atau entahlah. Aku jelas ingat membawamu ke dalam mobilku dan megantar mayatmu ke rumah sakit,""Jeff, kenapa aku malah takut denganmu," ucap Yuna menatap Jeffrey was was.Benar saja. Bagi Yuna, Jeffrey sangat mudah mengarang cerita yang mengatas namakan dirinya. Terlebih ia juga menuduhnya menyuap petugas rumah sakit. Oh ayolah. Yuna bukan dari kalangan orang berada untuk sekedar menyuap petugas rumah sakit."Takut kenapa? Aku tidak akan memecatmu untuk masalah obrolan ringan ini,"Ah, Yuna memutar bola matanya malas, "Kalau begitu, berhenti menuduhku dengan hal hal ringan ini. Ah, apakah ini bentuk candaan?""Candaan? Aku serius. Waktu itu pukul 11 malam, aku baru saja pulang lembur dan melihatmu tergeletak di jalan. Entah tabrak lari atau apapun yang terjadi, seakan akan kau terjatuh dari langit,"
Chapter 5Yuna melenguh, dan mendapati dirinya sudah berada di dalam mobil. Sperti milik Jeffrey. Ya, ia sedikit tahu tentang itu ketika melihat blazer yang tadi Jeffrey kenakan bertengger di kursi kemudi. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, "Sudah jam pulang,"Kemudian matanya beralih ke luar jendela, dimana Jeffrey baru saja keluar dari minimarket membawa kantung palstik yang entah apa isinya."Akhirnya kau bangun. Ini soda," ucap Jeffrey menyodorkan sekaleng cola pada Yuna."Terimakasih,"Yuna menenggak sedikit colanya kemudian menatap Jeffrey dengan tatapan bersalah, "Maaf merepotkanmu,""Jadi seharusnya aku meninggalkanmu sendiri di ruanganku yang sebentar lagi dikunci? Baiklah lain kali akan kulakukan itu,"Yuna melotot. Ia tahu Jeffrey sedang berusaha mengajaknya bercanda. Tapi bangun tidur membuatnya kehilangan sebagian moodnya."Bisakah kau m
Chapter 6"Bagusnya pakai ini atau ini?" tanya Lalice menenteng dua dress.Yuna mengangkat kepalanya, "Yang warna peach,""Ah seleramu payah," ejek LalicePayah? Padahal tadi Lalice yang bertanya padanya. Gadis itu sangat sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan untuk menjenguk Rosie. Benar, tadi malam Rosie telah melahirkan putra pertamanya. Dan rencananya, Lalice dan Yuna akan menjenguknya malam ini."Ini bagus kan?" tanya Lalice menyodorkan dress berwarna merah terang dengan potongan dada yang cukup rendah. Terlihat cukup kecil untuk ukuran tubuh Lalice, tapi sepertinya gaun ini bisa melar mengikuti bentuk tubuh yang memakainya."Bagus, terlihat berkelas," ucap Yuna seadanya.Lalice hendak masuk kamar dan mengganti baju sebelum ia teringat sesuatu, "Kau tidak mengganti pakaianmu?""Kenapa dengan pakaianku sekarang? Sepertinya baik baik saja," u
Chapter 7"Ada apa Yuna?" Jeffrey berlari dan memeluk Yuna yang tengah menutup wajahnya. Badannya gemetar hebat."Kepala! Aku lihat kepala di dalam freezer,"Jeffrey berniat untuk melihat yang ada di dalam freezer. Tapi diurungkan karena Yuna menarik lengannya. Gadis itu menatap Jeffrey sayu."Tak apa. Tetaplah di belakangku dan pegang aku kuat kuat," ucap Jeffrey.Mereka berdiri dan mengendap endap melihat apa yang ada di dalam freezer. Yang ditemukan hanya bunga es dan mangkuk plastik berisi ayam potong. Jeffrey mengambilnya dan menyodorkan kepada Yuna."Ini yang kau lihat?" tanya Jeffrey.Yuna berangsur angsur menjauh dari Jeffrey, "Aku melihat itu, disamping kepala dengan wajah persis sepertiku,"Jeffrey menghela nafasnya, tangannya terulur mengusap pucuk kepala Yuna, "Tenanglah. Ayo kita lanjutkan nasi gorengnya?""Baik. Bawa s
Chapter 8Yuna mendorong keras tubuh Jeffrey. Entah kenapa badannya tiba tiba panas. Bukan karena ucapan Jeffrey, tapi badannya merasa seperti dibakar hidup hidup. Ia berdiri, melucuti semua pakaiannya dan berlari ke arah dimana gaun pengantin disimpan.Jeffrey tentu saja merasa heran. Ia berlari menyusul Yuna di kamarnya. Betapa terkejutnya pria itu melihat Yuna dengan gaun pengantin dari lemarinya kini tengah mengoles lipstick merah menyala. Ia tersenyum menatap Jeffrey yang mematung di ambang pintu melalui pantulan cermin.Gadis yang mirip dengan Yuna, atau dia memang Yuna? Sedetik kemudian Jeffrey megerjap. Ia melihat leher gadis itu dan melihat ada beberapa kissmark di sana."Yuna, kenapa tiba tiba memakai gaun itu?" ucap Jeffrey mendekat. Ia yakin sosok didepannya adalah Yuna. Yuna yang baru saja ia cumbu di ruang tengah.Kini Yuna bangkit, matanya menatap wajah Jeffrey, sedangkan tangannya ia
Chapter 9"Kalian melakukannya?" bisik Sicheng."Tidak. Err, hanya ciuman. Tidak lebih,"Sicheng mendengus, "Padahal tidak perlu ditutupi,""Dia melakukannya dengan lembut? Atau kasar?" tanya Sicheng lagi.Sebenarnya Yuna tidak cukup paham dengan perkataan Sicheng, ia hanya mengangguk sekenanya. Selama ini Jeffrey tidak pernah berbuat kasar padanya kan. Tapi Yuna ragu ada maksud lain dari Sicheng."Ah syukurlah. Mengerikan jika seorang pria melakukannya dengan kasar pada pengalaman pertama seorang wanita. Tunggu, kau belum pernah melakukannya kan sebelumnya?" ucap Sicheng.Baru saja Yuna paham kemana arah obrolan ini. Apa apaan? Masalah seperti ini tidak seharusnya dibicarakan. Lagipula, ia tidak melakukannya. Belum."Dasar mesum! Aku tidak ingin melakukannya sebelum ada hubungan yang jelas!" Yuna berulang kali memukul Sicheng dengan gulungan kertas
Chapter 10Tidak ingin mengingkari janji, Yuna berjalan santai ke parkiran. Sebenarnya sudah lewat 30 menit dari jam pulang. Sengaja gadis itu keluar lebih lama untuk menghindari tatapan tidak menyenangkan dari rekan rekan kerjanya. Selain Lalice dan Sicheng tentunya."Maaf malah jadi kau yang menunggu," ucap Yuna melihat Jeffrey bermain ponsel dengan bersandar di depan mobilnya.Pria itu tersenyum hangat, "Tak apa. Menghindari teman temanmu kan?"Yuna mengangguk. Jeffrey tentu paham dengan ini. Seorang bos yang terkenal cukup ramah dengan karyawannya dirumorkan mengalami cinta lokasi dengan sekretaris yang bahkan baru beberapa bulan bekerja di sini. Terlebih, sebagian besar wanita di kantor mengagumi Jeffrey lebih dari apapun. Hal itu membuat Yuna kerap kali mendapat pelototan sinis dari kebanyakan mereka."Jadi, bagaimana? Tinggalah di rumahku. Ayo kita rencanakan sebuah pernikahan," ucapan Jeffre
Chapter 24Jeffrey berteriak kala talenan menghantam kepalanya. Sedetik kemudian sudah banyak darah yang keluar dari bekas hantaman itu diiringi kekehan Yuna. Gadis itu malah terlihat sangat puas. Semakin Jeffrey mengerang, semakin kuat pula energi negatif yang ditimbulkan dari sosok yang ada di dalam tubuh Yuna."Kau menikmatinya sayang?" Tanya Yuna.Suasana semakin mencekam. Ditambah matahari yang urung menampakkan sinarnya karena tertutup awan tebal. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan.Diam diam, hujan dan suasana seperti ini mengingatkannya pada kala pertama ia menemukan gaun itu. Otaknya terus berputar mencari cara supaya gaun itu harus terlepas dari tubuh Yuna tanpa melukai gadis itu. Matanya melirik pisau yang ia genggam, kemudian mengingat ada renda yang bila lepas akan memisahkan antara bagian bawah dan atas dari gaun itu.Benar! Jeffrey harus mencari cara untuk melepasnya. Jahitan it
Chapter 23Yang Jeffrey dapat adalah nihil. Benar, tidak ada informasi apapun tentang profil itu. Di berandanya hanya ada sebuah foto yang menandai akun Jeffrey. Tanpa informasi apapun, selain tanggal lahirnya. Di situ tertulis '14 Februari 1987' tepat dimana seseorang yang pernah menjadi bagian dari dirinya lahir.Anehnya, postingan ini baru saja dikirimkan 6 bulan yang lalu. Semua tampak ganjil ketika Jeffrey mengingat 6 bulan yang lalu, dirinya bertemu dengan Yuna. Ia mengambil tangkapan layar sebelum mematikan ponselnya dan menatap ke kamar mandi yang sudah terlihat gelap. Seingatnya belum ada suara pintu terbuka dan ia tahu betul Yuna belum keluar dari sana."Yuna?" Panggil Jeffrey seraya menuju ke pintu kamar mandi.Kepala Jeffrey melongok masuk, memastikan kekasihnya tidak sedang bercanda. Tapi tidak sesuai dugaannya. Tidak ada Yuna, dan bahkan tidak ada bekas air di kloset maupun lantai kamar mandi. Tampak s
Chapter 22"Jangan dipikirkan terus. Lama lama kau bisa gila. Cepat makanlah sebelum panasnya hilang," Ucap Jeffrey.Mereka sudah berada di restoran yang direservasi Jeffrey. Awalnya Yuna pikir kekasihnya hanya akan menyewa satu meja, tapi yang ia dapat adalah satu ruangan VIP lengkap dengan penyajian dan pelayanan ekstra. Ini lebih dari luar biasa baginya. Jeffrey bukanlah berasal dari keluarga yang kaya raya, meskipun kini dirinya adalah seorang CEO, tapi Jeffrey pernah bercerita jika dirinya selalu hidup dalam kesederhanaan."Yah, kau benar. Mimpi hanyalah bunga tidur," Yuna termenung sesaat, "Tapi bagaimana jika mimpi adalah petunjuk?""Maksudmu?" Heran Jeffrey.Yuna menyenderkan punggungnya di kursi, "Apakah menurutmu ini kebetulan? Ada nenek, ibu, dan wanita tua itu. Aku juga melihat dua orang yang terlihat mirip denganmu,"Pembicaraan ini mulai terdengar serius di telinga Jef
Chapter 21Kini Yuna tengah berkeliling market yang tadinya ditunjukkan oleh satpam. Tidak ada yang terlalu ingin dibeli sebenarnya. Tapi gadis itu tetap memaksakan kakinya menjelajahi minimarket ini. Di dalam keranjang tangannya hanya ada satu cup mi instant dan dua kaleng coca cola."Gila, aku berkeliling hanya untuk tiga benda ini," Gumam Yuna menatap iba keranjangnya. Ia mengedikkan bahu sebelum menuju ke kasir.Syukur antreannya tidak cukup panjang. Ia bisa sekalian menyantap mie nya di sini. Tempat ini ramai, dan kondisi di sini tidak memungkinkan untuk barang barang tak kasat mata mengganggunya. Yah, setidaknya itulah yang ia pikirkan. Gadis itu menuju salah satu bangku yang di sediakan minimarket untuk menyantap mie instant nya.Lamat lamat Yuna mendengar wanita tua mengomel dengan menggenggam ponselnya. Sepertinya masalah yang cukup serius. Terlihat dari raut wajah wanita itu yang mengerutkan keningny
Chapter 20"Bagus, ternyata kau sudah mulai bekerja hari ini?"Yuna bersedekap menatap kekasihnya yang tengah memakai sepatu. Sudah rapi, lengkap dengan stelan kemeja dan blazernya. Ia pikir, mereka akan menghabiskan hari ini bersama. Entah jalan jalan atau di dalam kamar, yah salahkan Jeffrey yang menambah embel embel 'berlibur' diucapannya kemarin. Tidak heran jika Yuna mengira ini akan menjadi liburan layaknya honeymoon."Tidak akan terlalu lama. Aku akan pulang nanti siang. Selama aku bekerja jangan keluar dari villa," Ucap Jeffrey."Lalu? Mengurung diri seharian? Sendiri?"Jeffrey terkekeh sebelum ia bangkit dan mengacak rambut Yuna perlahan, "Kalau ingin keluar, bilanglah dengan satpam, dan beritahu kemana kau pergi. Jaga jaga siapa tau aku pulang dan kau masih asik dengan jalan jalanmu, aku bisa menjemputmu,""Ah, sudah hampir terlambat. Aku pergi dulu sayang. Sampa
Chapter 19"Ssshhh, apa yang terjadi?" Tanya Jeffrey.Sedangkan Yuna masih saja menggeliat tak karuan. Sekujur tubuhnya panas, seakan dibakar hidup hidup. Padahal AC menyala dengan suhu 20°C. Seharusnya sudah sangat dingin. Tapi gadis itu masih menggeliat dan mengerang. Bahkan sekujur tubuhnya basah kuyup berkeringat.Mau tidak mau Jeffrey membantu Yuna melepas bajunya. Menyisakan dalaman. Meski begitu Yuna masih bergerak liar. Ia semakin mengerang dan memberontak kala Jeffrey menahan tangannya. Tenaga Jeffrey saja rasanya tidak cukup kuat untuk menahan Yuna. Pria itu sedikit menindih Yuna dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Yuna yang masih memberontak.Takut? Tentu saja. Jeffrey bahkan menutup matanya rapat rapat di sana. Hingga ia tersadar Yuna sudah mulai tenang, Jeffrey mengangkat kepalanya. Namun, bukan Yuna yang telanjang yang ia temukan. Melainkan Yuna dengan gaun pengantin. Sangat aneh. Bahkan Jeffre
Chapter 18"Huh! Kau bukan Yuna!" erang Jeffrey melihat sosok tadi, kini berada di depannya lagi.Tidak ada jawaban. Sosok itu malah tersenyum miring, dengan membawa sebuah batu. Sedetik kemudian gadis itu mengangkat batu tinggi tinggi, menghantamkannya tepat mengenai kepala Jeffrey. Oh tentu saja tidak segampang yang kalian pikir. Jeffrey segera berlari tunggang langgang dan memasuki area gereja. Baru bisa ia bernafas lega melihat sosok tadi berbalik menuju hutan."Hey,""Yuna!"Jeffrey tersentak kala Yuna tiba tiba sudah berada di belakangnya, menepuk pundak Jeffrey pelan. Meski begitu, cukup untuk membuat Jeffrey terlonjak."Aku mencarimu ke parkiran, dan ternyata kau di sini. Acaranya sudah mulai. Ayo," ucapnya.Kini mereka berjalan menuju acara resepsi Lalice dan Sicheng. Menjadi saksi mata janji suci yang diucapkan, hingga cincin yang disematkan. Dan saat yang
Chapter 17Pagi ini masih sama sibuknya dengan kemarin. Tapi setidaknya, Yuna bisa menyempatkan makan siang dan pulang seperti biasa nanti. Tidak ada Lalice dan Sicheng rasanya sangat sepi. Biasanya mereka akan bergurau sejenak atau memakan permen karet diam diam. Tapi kini, saat waktu luang Yuna hanya memainkan ponselnya. Saling berkirim pesan dengan Jeffrey. Yah, seperti yang dikatakan Jeffrey semalam, tugas mereka saling terikat langsung.Hingga sebuah email masuk, berisi undangan observasi salah satu cabang proyek Jeffrey di pulau Jeju, Korea Selatan. Dengan cekatan ia meneruskan pesan itu ke Jeffrey dan berakhir ia harus ke ruangannya."Masih kurang jelas?" tanya Yuna begitu ia duduk di hadapan Jeffrey.Jeffrey terkekeh, "Sudah. Tapi, ada satu hal yang harus aku bicarakan langsung denganmu,"Tidak menjawab, Yuna lebih memilih untuk menunggu kalimat yang Jeffrey ucapkan selanjutnya.
Chapter 16Hari ini Lalice dan Sicheng sudah mulai mengambil cuti menyisakan Yuna yang semakin sibuk di setiap menitnya. Bahkan ia rela melewatkan jam makan siangnya lagi demi setumpuk map yang sebagian besar belum ia sentuh."Lihat siapa yang akan lembur hari ini," ucap Johnny, bukan, lebih tepatnya pria itu mengolok olok Yuna sekarang. Bahkan dengan entenganya pria itu terkikik.Yuna mendengus, "Ada beberapa yang malam ini juga harus di serahkan,"Gadis itu meregangkan otot ototnya sejenak sebelum menghela napas dan menyeruput kopi panas."Kalau begini jadinya, bisa bisa aku pulang larut," lanjutnya.Johnny terkikik, "Mau ku temani? Aku menganggur di rumah,""Kalau tidak membantuku percuma saja," ucap Yuna.Lagi lagi pria di sampingnya terkikik riang, "Setidaknya kau tidak sendiri di sini. Aku bisa kau ajak bicara kalau kalau bosan,"