Pertanyaan macam apa itu? jawabannya sudah jelas kan, kegiatan kalian asik, pukul-pukulan dengan monster. Lagipula kalian menggali sesuatu dari tanah, jelas ada yang kalian kumpulkan. Hal misterius itu akan menarik siapa saja untuk bergabung, bukan? Afif menggerutu dalam kepalanya, ini juga yang menjadi landasan kenapa ia enggan mengikuti ekskul yang garis birokrasinya cenderung kaku.
"Saya tidak ingin melihat anak lain menjadi yatim piatu karena ulah Terak" Jawab Jimi singkat.
Mendengar jawabannya itu, Listu tidak segera merespon dan melirik ke arah Afif. Bersilangan dengan Jimi, Afif bukan pria yang begitu saja menyebutkan resolusi diri hanya karena antusias sesaat. Namun jawaban Jimi juga yang perlahan membuka hati Afif untuk berterus terang dan tidak sekedar ikut-ikutan.
"Saya tidak ingin dianggap penyakit oleh adik perempuan saya karena sindrom ini" akhirnya Afif turut menjawab singkat.
"Hah. naif juga kalian" balas Listu. Ucapan yang menyakitkan, namun hanya dibalas bisu oleh mereka berdua.
"Lo ingin balas dendam, sementara diri lo ingin pengakuan. Naif dan bisa saja nanti kalian berbalik jadi musuh kami. Tapi, itu jawaban yang jarang kami dapat dapatkan, apalagi kalian sudah sempat melihat-lihat mineral itu" sambung Listu, ia kini berkacak pinggang, raut wajahnya terlihat memikirkan sesuatu namun ia menahannya.
"Hm.. Mba.. Mau tanya" Afif memberanikan diri bertanya, meski ia sepertinya tidak yakin dengan pertanyaannya.
"Tanya dengan berlutut! Sampah!" hardik Listu.
Kali ini tanpa membuat waktu, Afif segera berlutut dan kemudian menyampaikan pertanyaannya. Jimi terkejut melihat Afif yang benar-benar berlutut padahal sebelumnya mereka berhasil menahan diri.
"Apa mba sudah punya pacar!?" tanya Afif dengan nada tinggi seolah-olah pertanyaannya itu begitu lama ia simpan.
"He he he, belum diterima saja sudah berani ngajak jalan ya.." Listu memandang Afif dengan mengangkat sedikit kepala seolah-oleh memandang dengan penuh nista, begitu juga Jimi yang kaget dengan pertanyaan Afif.
Afif dan Jimi kini cukup khawatir karena menyaksikan sendiri kemampuan individu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Sekelebat Listu juga melirik Jimi dengan tatapan yang sama seolah menantangnya untuk mengatakan hal yang sama dengan Afif.
"Kapten. Hentikan. Ini saya bawakan formulir dan pulpennya" tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang sudah berdiri di belakang Listu, perawakannya tidak begitu tinggi namun wajahnya dipenuhi kecemasan.
"Ck, seperti biasa, selalu mengagetkan ya. Benso, serahkan kepada mereka berdua, dari gue cukup, mereka lulus" Ujar Listu seraya pergi meninggalkan mereka bertiga.
".. Dan letakkan dokumen-dokumen tersebut di meja gue" tambah Listu. Ketiga anak remaja itu benar-benar memperhatikan cara berjalan Listu hingga akhirnya Benso sadar dan memanggil mereka berdua.
"Ok, sudah cukup menatap Kapten Listu-nya, silahkan isi formulir, dan tanda tangan di bawah ini" Benso tergopoh-gopoh membagikan formulir yang cukup tebal dan dua buah pulpen.
Afif tidak membaca isi lembar formulir itu namun hanya memain-mainkannya sambil sesekali bertanya, sedangkan Jimi mencari bagian mana yang harus ia isi. Benso segera menjawab dan membimbing mereka mengisi formulir tersebut. Rupanya cukup singkat, hanya perlu menulis nama panjang dan beberapa kali tanda tangan.
"Yang ini perlu ditandatangani juga?" tanya Afif yang sudah lebih dahulu menyelesaikan formulirnya.
"Cukup! sampai disitu!" seru Ari yang seraya mengambil formulir tersebut dan mengecek apa ada kolom tanda tangan yang salah di isi.
"Kok ada satu lembar yang menggunakan kop kementerian? kalian kerja buat pemerintah?" Tanya Jimi penuh curiga.
"Kalian akan tahu jawabannya saat bergabung. Intinya organisasi ini hanya bekerja sebulan maksimal lima hari dan tidak ada waktu menjawab pertanyaan kalian yang tidak ada kaitannya dengan teknis" jawab Ari dengan cepat.
Mendengar jawaban itu Jimi jadi malas untuk bertanya kembali dan memilih diam. Namun, Afif yang sedari tadi memperhatikan ujung conveyor belt yang masuk ke sebuah tabung sebesar mobil kemudian mengacungkan jarinya ke atas.
"Pak Guru, saya ingin bertanya!" tanya Afif cepat.
"Saya bukan guru, nama saya Benso Kastiawan dan saya kakak kelas kalian di tingkat dua" balas Ari.
"Dua pertanyaan, satu teknis dan satu non teknis".
"hm!" Benso seperti menyanggupi.
"Apa yang harus kami lakukan selanjutnya? dan bagaimana Mba Listu dapat mempengaruhi kami berdua?" tanya Afif menyesuaikan kecepatan bicara Ari dan Jimi tahu jika Afif sedang meledek.
"Kalian datang kembali besok malam jam tujuh. Setiba di pos satpam cukup tunjukkan sindrom ludens kalian" Jawab Ari.
"Baik!" Jawab mereka berdua bersamaan.
"hm.. untuk kemampuan Mba Listu ya. Sejauh ini yang kami tahu hanya namanya, binatang jalang[1], efeknya membuat lawan bicara menjadi iba dan over symphaty. Hanya itu" sambung Benso lagi yang berusaha mengingat-ingat.
"Kami sudah bisa pergi?" tanya Afif.
"Iya, kalian sudah bisa pergi" jawab Benso datar, Namun mereka berdua seperti melupakan sesuatu.
"Ga ada larangan bang? seperti apa gitu?" Jimi keheranan, penutup ini seperti bukan yang ada di dalam benaknya.
"Oh! iya jelas, jangan membicarakan apapun tentang ini di luar jam kerja. Jika kalian dengan sengaja atau tidak, membocorkan satu halpun di luar sana, akan ada yang menjemput kalian" Benso benar-benar membuat jantung mereka berdua berdegup kembali, seolah ada yang mereka lewatkan namun sekarang telah terpenuhi.
Afif dan Jimi kemudian pamit pulang. Saat mereka pergi meninggalkan Benso, di belakangnya kembali terlihat hilir muduk pekerja tambang, sepertinya mereka berganti shift. Sama seperti pekerja perempuan yang menegur Jimi, Benso juga tidak serta merta langsung pergi setelah Afif dan Jimi melangkah jauh. Tatapannya yang panjang sungguh membuat tidak nyaman.
"Gila ya, masih dilihatin coba, padahal kita serius mau pulang" celetuk Afif sambil menyandarkan kepalanya di kedua tangannya di belakang.
"Tapi gue ga merasakan apa-apa dari pandangan Bang Ben, fif. Buat gue, kok ada perasaan empati saat mereka melihat ke arah kita yang berjalan pergi" balas Jimi.
Tanpa mereka sadari, saat pergi dari El-dorado, mereka melewati sisi gedung yang lain. Sisi gedung yang lokasinya lebih dekat dengan pos keamanan. Sepertinya karena mereka terbiasa melewati gerbang sekolah untuk pulang, maka saat mengobrol, alam bawah sadar mereka tetap membawa mereka ke pos keamanan.
"Oia, fif. Ada yang mau gue tanya. Kenapa saat melempar pertanyaan vulgar lo ke Mba Listu, lo sampai berlutut di depannya? Apa jangan-jangan.." belum selesai Jimi bicara, Afif segera memotong.
"Cukup! sampai disitu!" Seru Afif sambil menutup kedua wajahnya dengan dua telapak tangannya. Ia sungguh tidak menyangka hatinya mengirim sinyal untut berlutut di hadapan perempuan.
"Muka lo kenapa begitu!? Gue ga mikirim apa-apa! Sumpah!" Afif kembali menyangkal saat ia membuka telapak tangannya dan melihat ke arah Jimi. Wajahnya menunjukkan raut jijik dengan dahi yang berkerut.
"Arghh!!" Afif kalah dan memilih menjerit, menduga Jimi terlanjur mempercayai keyakinannya.
Begitu mendekati teras pos keamanan, dua orang bertubuh tinggi tegap sudah siap menghadang. Petugas satu berdiri dekat pagar siap mencegat, sementara temannya berdiri di depan teras. televisi menyala menyiarkan saluran berita dengan asbak yang dipenuhi putung rokok di depannya.
"Berhenti, dari mana kalian malam-malam begini di sekolah!?" hardik petugas keamanan yang sudah mencegat Jimi dan Afif.
Mereka berdua akhirnya menyadari jika mereka tidak melakukan hal serupa saat masuk, yaitu melompati pagar. Kini mereka harus berhadapan dengan penjaga sekolah yang wajahnya saja baru mereka lihat hari ini. Afif sudah membayangkan skorsing dan poin pelanggaran yang akan ia koleksi apabila penjaga ini melapor ke sekolah.
"Ja, jadi gini pak, kami.." Afif melangkah maju berusaha membangun negosiasi, namun Jimi justru menyela.
"Fif! tunggu!" Sela jimi yang kemudian berjalan maju dan menatap dalam-dalam wajah petugas keamanan itu.
Tidak berapa lama, petugas itu mengangguk dan meliirik ke arah Afif yang rupanya sudah mengenakan kacamatanya. Afif kelihatan bingung saat melihat ke arah Jimi dan petugas tersebut yang telah menatapnya juga. Ia berusaha memahami dan akhirnya melepas kacamatanya. Menatap mata petugas keamanan itu dalam-dalam. Perasaan takut dan gelisah terpancar jelas di wajah dan desahan nafasnya.
"Baiklah. Silahkan lewat" ucap petugas keamanan tersebut seraya meninggalkan mereka berdua dan kembali ke teras, duduk dan melanjutkan menonton acara di televisi bersama temannya. Afif dan Jimi yang lega, cara mereka berhasil digunakan. Tanpa bicara mereka segera membuka gerbang yang tidak dikunci dan keluar dari sekolah. Setelah cukup jauh dari sekolah, barulah mereka bicara satu sama lain.
"Kenapa tadi kita ga lompat pagar lagi!?" ujar Afif dengan nada setengah tinggi.
"Tapi setelah tadi, kita tahu kan cara masuk sekolah dengan aman besok malam" balas Jimi yang diiringi senyum puas.
"Ya sudah, sekarang kita kemana nih? Gue laper banget".
"Kita cari warkop, makan mie, terus cabut balik. Lagian baru jam dua.. Hah! Jam dua!" Jimi histeris saat tahu mereka sudah melewati tengah malam saat posisi di tengah jalan.
"Sudah, kita ke warnet saja. Makan dan numpang mandi di sana, menjelang fajar baru kita balik" usul Afif yang langsung disetujui Jimi.
Paginya mereka berdua sudah sampai di sekolah lagi dan menatap papan tulis dengan kantuk dan mulut menguap berkali-kali. Jika biasanya mereka langsung membuka buku pelajaran dan menyiapkan alat tulis, kali ini ingin rasanya kembali tidur karena lelah yang luar biasa.
"Afif, lo sudah ngerjakan PR Fisika hari ini?" teman Afif yang duduk di belakang, mencolek dan bertanya penasaran.
"Hm? PR? Fisika? Sudah kok, Endah, tinggal dikumpul ke Bu Anjas".
"Bu Anjas itu guru Biologi" ucap Endah.
"oh.. Hah! PR Fisika! Endah kenapa lo baru bilang sekarang!?" Seru Afif yang baru menyadari kebodohannya.
"Blok! berisik! nih salin punya gue saja" ujar Jimi sambil menyodorkan buku tulis dengan sampul rapi dan bertuliskan FISIKA di atasnya.
"Seriusan! Makasih banget, Hilmi! tapi kok buku lo rapi banget kaya punya cewe, jijik!" Afif sudah menerima buku tulis tersebut dan menimang-nimangnya.
"Cukup sampai disitu, gue batalin" balas Jimi santai yang ditolak Afif saat tangannya berusaha mengambil kembali buku tersebut.
Dari baris belakang remaja berisik itu, Endah yang hampir menawarkan buku tulisnya kepada Afif mengurungkan niatnya meski sebelumnya sempat terpukau dengan sampul buku tulis Jimi. Teman sebangkunya, Anita, menepuk pundaknya dan memberinya semangat.
---
Glosarium;
[1] Binatang jalang; bagian dari satu baris sebuah puisi karya Chairil Anwar "AKU" yang ditulis pada tahun 1943.
Oktober 2004, Presiden ke-enam Republik Indonesia dilantik, diawali dengan pelantikan anggota DPR dan diakhiri dengan Pelantikan kabinet Republik Indonesia Bersatu. Tersirat harapan dari Presiden baru tersebut karena beberapa minggu sebelumnya, pejuang HAM, Munir tewas di dalam pesawat. Penerbangan tujuan Singapur menuju Amsterdam tersebut menjadi penerbangan terakhir Munir. Pada bulan-bulan tersebut, kondisi ekonomi sosial nasional tergolong stabil namun diintai lingkaran bencana.Bulan itu tergolong kering dan siang hari merupakan waktu yang tepat untuk menjemur pakaian. Namun demikian, awal bulan Oktober merupakan peralihan ke awal musim penghujan, sehingga sempat beberapa kali hujan dengan intensitas ringan, kondisi inilah yang menambah hawa lembab dan panas, terutama di dalam kelas."Hilmi, hawa panas begini dan lo masih berseragam lengkap dengan ujung kemeja dimasukkan celana" Afif berkomentar sambil meletakkan kepalanya di atas meja."Ini mata pelajaran f
Pembicaraan empat orang tersebut kini menjadi lebih intens. Jimi menduga Afif ingin mundur selangkah agar mengetahui tujuan dari pembagian pilihan yang terlalu dini dilakukan. Namun, dalam kepala Afif muncul pikiran yang lain. Ia Harus mampu mengeluarkan informasi terbaik yang dapat digunakan mereka berdua, karena pembagian dua biro dengan tugas dan fungsi yang terlalu bertolak belakang tersebut dapat menambah beban pikiran mereka nanti. "Penyebab kematian?" tanya Afif lagi. "Ini pertanyaanmu yang terakhir, jika tidak puas juga, gue bakal cabut dari sini" ujar Damar dengan seringai di wajahnya. "Kematian mangata seluruhnya disebabkan luka serius karena pertarungan dengan Terak, sementara kematian penambang dikarenakan paparan radiasi yang timbul saat ekskavasi" jelas Damar lagi. "Baiklah, kita tidak dapat membuang waktu lebih lama lagi. Anggota lain memiliki waktu hingga tujuh hari untuk memutuskan, namun tidak dengan kalian yang hanya memiliki sisa w
Jimi sudah hampir selesai mengenakan seluruh cincin shrapnel yang lubangnya besar itu. jika digunakan bersamaan sejajar, akan membentuk jajaran besi hitam dengan garis kuning yang berwarna terang. Sesuai dugannya, cincin tersebut cukup berat namun ada sensasi kekuatan yang mengalir ke tubuhnya."Bagaimana perasaanmu? ada perubahan?" Tanya Herman dengan wajah penuh kebanggaan. Kini seringai itu hampir berubah menjadi sombong."Kesemutan, tapi luar biasa bang!" Jimi kegirangan dan langsung membenturkan shrapnel tersebut sama lain.Melihat kondisi tersebut, raut wajah Herman berubah 180 derajat. Ada seutas bengis yang hadir di air wajahnya. Afif lebih cepat menyadarinya saat Jimi akan membenturkan senjata itu. Saat Herman bangkit dari duduk, membentangkan kedua lengannya dan menunjuk dengan telunjuk dan jari tengah, persis posisi menembak, Afif berusaha menghentikan keduanya.Afif menyilangkan tangannya, namun sebelum bersilang, salah satu cincin shrapnelnya
Jimi dan Afif kini jatuh dalam posisi yang berjauhan. Mereka terhenyak mendapati pukulan telak. Herman masih berdiri tegak dan meminta mereka untuk bangun. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.10, dan hawa dingin datang bersamaan dengan cahaya purnama sudah menyeruak. "Afif. Gue cukup terkejut lo bisa berpindah ke belakang gue, pertahankan. Jimi, atur nafas lo. Kita mulai lagi" Komentar Herman layaknya pelatih. Jimi berlari kencang ke arah Herman, mungkin ia mencoba peruntungannya lagi. Pukulan yang ia kerahkan kini lebih rendah, mungkin mengincar perut. Herman menangkis pukulan tersebut dengan teratur dan santai. Melihat celah lagi, Herman melakukan pose pistol lagi, Afif merespon gerakan tersebut. Afif berusaha menduplikasi gerakannya dengan menyilang lengan sambil menggesekkan shrapnel. Sesuai perhitungannya, Ia memang berpindah namun lokasinya yang berbeda. Kini ia justru berada satu meter di belakang Jimi. Belakangan, Afif akan jauh memperbaiki ini
Selesai mantra itu diucapkan, Jimi menangkis serangan Shabnock dengan tangan kosong. Aura Jimi berubah drastis, seolah-olah ada yang merasukinya. Shabnock sempat kaget namun tidak gentar dan kembali meluncurkan serangan-serangan fisik kepada Jimi, namun lagi-lagi Jimi dapat menahan serangan tersebut. Evan terpental untuk menyelamatkan dua orang penambang, kemudian bangkit dan meminta mereka berdua pergi menuju El-dorado. Evan kemudian membuka tangannya dan menutup pandangan pada dua buah objek, satu penambang yang tertusuk tombak Shabnock dan satu lagi sebuah pot tanaman yang tergeletak di tengah jalan. Saat kedua objek tersebut tertutup oleh telapak tangan evan, ia lantas menggeraan kedua lengganya bersilangan. Hasilnya, kedua objek tersebut saling bertukar tempat. Kekuatan Evan adalah "Swipe", memperbolehkannya menukar tempat dua buah objek yang dapat ditutupi kedua telapak tangannya. Evan cekatan memindahkan seluruh korban di lapangan, terutama yang terlal
Malam menunjukkan pukul 22.40, artinya sudah 40 menit Shabnock berada di dunia manusia. Strategi pertempuran melawan terak secara umum dibagi menjadi 3. Pertama mengalahkan di dunia manusia secepat mungkin. Kedua, menahan Terak selama mungkin hingga bulan terbenam."Taktik terakhir adalah meninggalkan portal dan menguburnya dalam-dalam," ucap Herman sambil membungkus jari telunjuk dan tengahnya dengan perban elastis."Me, memang bisa kita meninggalkan sekolah ini, bang?" Inge masih menahan serangan tombak Shabnock yang terus dilempar bertubi. Suara lolongan Shabnock terdengar memprovokasi mereka berdua."Jelas enggak mungkin. Tapi itu perintah terakhir yang diberikan kepada seluruh kapten jika kondisinya memungkinkan," balas Herman. Sesekali Herman mengusap-usap jari yang sudah dibungkus tersebut."Inge, tunggu aba-aba gue. Jika telat, serangan gue bakal menabrak tameng pelindungmu dan berbalik mengenai kita. Jadi perhatikan baik-baik," ujar Herman yang d
Hantaman di gedung sekolah akhirnya mengagetkan seluruh orang yang berada di lapangan. Mereka yang berdiri terjatuh dan yang berlari akan tersungkur ke depan. Semua mata mencari sumber dentuman tersebut apalagi setelahnya jilatan api membumbung tinggi. Beberapa orang yang mendampingi Damar terbelalak dan saling bertatapan, mereke kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Damar."Kapten tiga orang yang bersembunyi di dalam ruang kelas saat Shabnock keluar portal," bisik salah satu penambang."Astaga! lo serius!?" Damar terkejut seraya melihat ke arah gedung yang sebagian besar dindingnya sudah retak besar."Dona pasti sudah mengaktifkan kemampuan turunannya. Kita tidak bisa sembarangan keluar dari kastil ini. Cek di ruang evakusasi, apa ada Pras di sana." Damar memberikan instruksi yang langsung dipatuhi kedua orang penambang tersebut, mereka segera beranjak menuju ruang bawah tanah.Damar begitu cemas mendengar laporan kedua orang tersebut, bertambahnya kor
Kekuatan Gita adalah binding. Kemampuan turunan yang membuatnya dapat membuat rangkaian rantai untuk menahan sesuatu. Ia dibekali delapan cincin shrapnel, namun hanya dua yang ia kenakan di masing-masing telunjuk. Saat ia mengaktifkan kemampuannya, keenam sisa cincin sharpel akan membebntuk ratus mata rantai yang memanjang, masuk ke tanah, keluar dari tanah di dekat lokasi target dan mengikatnya. "Arghh!!" Gita menahan tekanan yang kuat akibat Afif dan Inge yang menerjang kuat Donni dan Nora. Puluhan rantai muncul dari tanah dan menangkap mereka berempat. Gita menahan kuda-kuda agar lengannya kuat menahan tarikan tersebut. Begitu mereka berempat jatuh akibat rantai Gita. sebuah lembing menabrak medan tameng, menancap sekitar 5 centimeter dan berhenti total. Medan tameng tersebut kemudian menghancur lembing tersebut berkeping-keping. "Dona! kerja bagus!" teriak Danti kepada Dona yang masih duduk di dalam lingkaran. Tatapannya yang awalnya mengantuk me
[Lapangan Belakang Sekolah]Benso sebenarnya berada di posisi sadar dan tidak sadar, karena bagaimanapun akhir pertarungannya dengan Sriti tidak begitu baik. Namun saat ia bangun kesekian kali dengan menggunakan seluruh kekuatannya, ia melihat situasi yang pelik. Di dekatnya berdiri Glori yang dengan cekatan menggunakan jemarinya mengontrol robot besar dengan remot pengendali."Siapa perempuan ini? Dia lagi bertarung? .. itu Tulus dan Arin.. yang terluka parah?" Kesadarannya semakin pulih. Ia juga menyadari Sriti yang terbaring diam di balik balutan shimurgh miliknya."Jangan mati, jangan mati, jangan mati," ucap Benso berkali-kali saat ia membuka balutan shimurgh tersebut. Sriti mengalami luka bakar dan kulitnya melepuh.Benso kemudian mendekatkan telinya ke hidung dan mulut Sriti, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Angin yang berhembus dan turunnya hujan hitam sempat menyulitkannya menemukan tanda tersebut. Hingga akhirnya ia per
Ujang menjerit sejadinya saat sebuah tombak trisula menembus pahanya. Awalnya ia kaget melihat benda bulat raksasa yang dapat dihentikan dengan mudah oleh penjaga sekolah yang mendadak sebagian tubuhnya berubah menjadi robot. Namun ia tidak menyangka jika salah satu temannya malah melesatkan tombak trisula kearahnya. Pegangan tangannya di rambut Indri yang sedang ia jambak lantas mengendur."Upgrade!" ucap indri seraya menggenggam trisula tersebut.Batang besi trisula tersebut berubah warna menjadi keputihan, namun yang mencolok adalah bobotnya yang menjadi lebih berat. Seketika membuat Ujang terjatuh karena tidak kuat menahan sakit dan beban trisula. Mendapati dirinya terbebas dari Ujang, Indri mengusap hidupnya yang sedari tadi mengeluarkan darah karena dihajar Ujang."Bocah brengsek! Lo apain besinya sampai menjadi berat banget! Bangsat!" Umpat Ujang yang masih saja menyerang Indri.Mendengar celotehan itu, Indri bergeming dan menikmati jeritan Ujang.
[Lapangan depan El-Dorado]Listu sudah berdiri berhadapan dengan terak besar yang terus menyebut dirinya sebagai Moret. Terak berbentuk terenggiling berdiri tersebut cukup banyak bicara namun ia belum juga menyerang Listu, kecuali berdiri mengamankan sesuatu. Sembari mengulur waktu, Listu membaca situasi dan lingkungannya."Sebelum menggunakan shrapnel, gue memang merasa mampu menggunakan kekuatan turunan tanpa shrapnel. Tapi setelah gue pakai, kondisi tubuh gue lebih stabil, telinga gue terlalu pengang.." gumam Listu. Perlahan namun pasti, rasa sakit ditubuhnya menghilang seiring dengan regenerasi."Buff!"Listu berteriak dan mengubah penampilan yang dikelilingi dengan lingkaran, mantra dan cahaya. Moret terkesima dan segera menutup matanya karena awalnya silau melihat perubahan tersebut. Listu menggenggam sebuah tongkat yang ia gunakan sebagai senjatanya, seluruh buff support diarahkan kepada dirinya. konsentrasi daya yang besar pada sa
[Bangsal Perawatan] "Yunita, hei yunita. Bangun," panggil suara seorang laki-laki ke arah Yunita yang masih terbaring di ranjang lengkap tertutup selimut. Suaranya yang awalnya samar tersebut perlahan terdengar jelas. Kepalanya pengar, matanya begitu berat untuk dibuka, namun Yunita terus berusaha. Pandangannya akhirnya mulai terlihat, ia mendapati Teja dan Herman berdiri di samping ranjang. Sekilas ia melihat Teja yang wajahnya dipenuhi plester dan beberapa bagian tubuhnya dibalut perban. "Gue baru tau, anggota Fraksi bisa bermalas-malasan di atas ranjang," seloroh Teja. ".. Diam, sudah lama gue tidur?" tanya Yunita perlahan, ia berkali-kali mengedipkan mata untuk mengatur cahaya yang masuk ke matanya. "Lumayan mba, kami memindahkan ranjangmu dari ruangan sebelumnya karena si anak baru masih memiliki radiasi," ujar Herman yang masih memegang kruk di lengan sebelahnya. "Jimi? oh.. apa dampaknya?" "Pemulihan lo
[Gudang barang bekas] Seseorang berjalan perlahan sambil sesekali melihat ke arah Soca meninggalkan gudang. Orang itu adalah seorang perempuang yang mengenakan seragam sekolah. Saat mengetahui tempat tumpukan barang bekas yang ia tuju berada di dalam wadah besar berdinding cukup tinggi, ia kemudian melihat sekeliling dan menemukan barang bekas lain yang dapat dijadikan pijakan naik. Tidak lama terdengar suara demtuman dari arah luar gudang. Perempuan tersebut menghentikan sejenak langkahnya, ia yakin ada masalah besar yang timbul dari arah sekolah. Setelah sampai di puncak tumpukan barang bekasi ia lanjutkan dengan berjalan meniti dan mencari pijakan yang kuat. Karena perempuan itu menggunakan rok maka langkahnya cukup panjang mencapai pijakan yang cukup jauh. "Ah! di situ rupanya!" gumam perempuan tersebut saat melihat jejak darah yang mengarah ke satu titik. Di titik itu juga ia melihat kaki yang terjuntai lengkap dengan sepatu kets dan kao
Pancuran asap yang membumbung tinggi itu juga mengingatkan ingatan Linda. Sesaat ia berserah pasrah apabila kepalanya lepas tiba-tiba akibat serangan mendadak mangata. Misinya menghancurkan sirkulasi energi mineral yang ditimbun organisasi Agora Beak sudah usai. Namun mendadak ingatan masa lalunya muncul. Ada anak lain selain Soca yang mendapat berkah lebih dan ia berada di sisi yang terang, bukan sisinya."Getanama ceri.. harusnya kamu ikut dihakimi disini.." ucap Linda perlahan, kepalanya yang awalnya dingin mendadak mendidih."Kamu menuruti perintah Papa dan Mama namun setelah terak itu datang mencerahkan.. kamu pergi dan membela kebenaran.. Munafik.. Oportunis.. Apa mungkin tugasku belum selesai disini hingga seluruh penghuni Rumah Basaria memilih sisi yang benar.." renung Linda.Dari semburan itu tiba-tiba tanah seolah sobek dan membuka sebuah portal layaknya portal di malam purnama. Dua sosok berwarna hitam dengan tinggi hampir mencapai 3 meter muncul meng
[Lapangan Belakang Sekolah] [Benso vs Sriti] Pertarungan Benso dan Sriti terhenti sebentar setelah semburan asap hitam yang menjulang tinggi. Benso segera melirik ke arah Sriti, berharap kemarahannya kepada para pemberontak benar terbukti dengan wajah puas mereka. Namun, Benso tidak menemukan ekspresi itu wajah Sriti. Air mukanya bukan puas, meyeringai atau tersenyum bangga. Apa yang dilihat Benso adalah wajah gadis yang pasrah dan tidak menikmati satu detikpun hidupnya. Sriti memang dikenal pendiam dan memiliki nada bicara yang unik, namun perempuan yang satu angkatan dengan Benso tersebut lebih sering menyendiri dan bergaul dengan Linda atau Glori, sifat umumnya penderita ludens. "Sudah puas!? Kita selesaikan sekarang, Sriti!" seru Benso bengis. Sriti terkejut dan kembali mengendalikan dirinya yang sempat terbawa suasana. "Lo engga mengerti arti usaha Linda," balas Sriti yang kemudian melayang kembali.
[Lorong penyimpanan Biro Penambang]"Mba, lo merasakan itu juga?" tanya Afif yang bersandar di dinding. Ia merasakan kekuatan di dalam tubunya keluar masuk dengan perlahan sehingga tidak stabil."Ini jauh lebih besar daripada kekuatan kita semalam. Mba Linda sepertinya sudah bergerak," jawab Gina berdiri sambil memandangi langit-langit."Tapi, terima kasih karenanya badan gue perlahan-lahan membaik," ucap Afif yang perlahan merambat berdiri."Kita harus keluar. Labirin milik Bang Cecep harusnya sudah permanen mati, kita bisa langsung menuju lantai atas," ajak Gina yang mencoba melompat berkali-kali."Mba, lo engga perlu berputar saat melompat. Celana dalam berenda hanya pantas digunakan Tari," celetuk Afif yang tidak sengajak memperhatikan gerakan Gina."Lo juga Tari Fans Club!? awalnya gue pikir fans Tari yang cowo itu normal sampai gue tahu kalian memperhatikan detail penampilan dan pakaian Tari.. Menjijikan," balas Gina y
[Sebuah Gudang Barang Bekas di Luar Sekolah] [Herna Mischa vs Soca Damun Arsa] "Lo punya kekuatan yang gue engga tahu apa kemampuannya. Engga mau membuat pertarungan ini adil?" tanya Mischa dengan senyum. Ia masih tenang dan menganggap enteng pertarungannya dengan Soca. "Ten folds. Kemampuan yang terlalu berbahaya bahkan bagi seorang Umbu sekalipun," jawab Soca datar. "Hei bocah. jangan membandingkan kemampuan gue dengan Umbu. Tidak adil. Dia terlalu lemah untuk gue". "Maka, jangan jadikan alasan adil sebagai caramu untuk menang, Mishca," Soca kemudian memutar sebuah tutup botol tersebut untuk membuka isinya. Mischa bergerak cepat dengan mencengkram sebuah kipas duduk bebas yang terserak dan melemparnya ke arah Soca. Soca terkejut namun refleksnya menangkis benda tersebut, yang tidak Soca antisipasi adalah saat kipas tersebut adalah debu dan beberapa benda kecil bertebaran menghalangi pandangan Soca. M