Pembicaraan empat orang tersebut kini menjadi lebih intens. Jimi menduga Afif ingin mundur selangkah agar mengetahui tujuan dari pembagian pilihan yang terlalu dini dilakukan. Namun, dalam kepala Afif muncul pikiran yang lain. Ia Harus mampu mengeluarkan informasi terbaik yang dapat digunakan mereka berdua, karena pembagian dua biro dengan tugas dan fungsi yang terlalu bertolak belakang tersebut dapat menambah beban pikiran mereka nanti.
"Penyebab kematian?" tanya Afif lagi.
"Ini pertanyaanmu yang terakhir, jika tidak puas juga, gue bakal cabut dari sini" ujar Damar dengan seringai di wajahnya.
"Kematian mangata seluruhnya disebabkan luka serius karena pertarungan dengan Terak, sementara kematian penambang dikarenakan paparan radiasi yang timbul saat ekskavasi" jelas Damar lagi.
"Baiklah, kita tidak dapat membuang waktu lebih lama lagi. Anggota lain memiliki waktu hingga tujuh hari untuk memutuskan, namun tidak dengan kalian yang hanya memiliki sisa waktu enam menit sebelum jatuh tempo" timpal Yongki.
"Sebentar! kenapa jadi terburu-buru?! Gue memang sudah menentukan pilihan, tapi perasaan gundah apa ini!?" Batin Jimi terguncang ditekan dalam kondisi seperti ini.
Afif yang sepertinya sudah tahu akan kondisi Jimi, segera memukul pundak Jimi dan mengejeknya. Saat itulah, Jimi sadar jika pikirannya terlampau jauh melangkah, padahal saat mereka berdua sepakat melompati pagar sekolah, bukannya segala resiko akan mereka tanggung.
"Ayo, Hilmi sekarang giliran lo memutuskan!" Seru Afif. Jimi mengangguk seraya berkata.
"Pembasmian Terak adalah prioritas gue bang!" ujar Jimi mantap. Afif gantian melempar seringai di wajahnya ke arah Damar.
"Sori bang Damar, alasan gue ga jauh berbeda dengan Hilmi" celetuk Afif diselingi senyum tipis.
Mendengar jawaban tersebut, Damar cemberut sementara wajah Yongki justru berbinar. Yongki memastikan kembali jawaban mereka sebelum akhirnya waktu habis dan bel pintu terdengar lagi. Kali ini terdengar cukup panjang dan dibarengi dengan habisnya antrian orang-orang ke dalam ruang arsip tersebut.
"Baiklah, rugi kalian" Ucap Damar seraya bangun dari kursinya dan meminta dua bingkisan yang berada di depan Jimi dan Afif. Mereka berdua menyerahkannya tanpa beban sedikitpun.
"Terima kasih bang" ucap merek berdua bersamaan.
"Hm. Jangan lupakan perangai kalian, itu penting" Tutup Damar yang kemudian berjalan masuk ke dalam ruang arsip tersebut.
"Kalian tahu apa isi bingkisan tadi?" tanya Yongki.
"Cincin yang dipakai Soca kan? berat dan berwarna hitam pekat" jawab Jimi cepat.
"Isinya uang. 50 juta rupiah tunai. uang yang bakal Damar tawarin ke kalian jika diantara kalian masih ada yang bimbang untuk memilih pekerjaan di Agora Beak" jelas Yongki sambil menyandarkan punggungnya.
Jimi dan Afif terkejut bukan main. Baru saja mereka memegang uang sebanyak itu dan melewatkannya begitu saja. Yongki terkekeh melihat ekspresi terkejut dan lemas mereka berdua.
"Tapi ini membuktikan Biro Penambang bersungguh-sungguh merekrut anggota baru, apalagi targetnya di akhir tahun cukup berat" ujar Yongki lagi.
"Memang berapa orang angkatan kami yang direkrut Agora Beak?" tanya Jimi.
"Dari 52 orang murid baru dengan sindrom ludens, hanya 2 orang yang menolak ikut, hanya 7 orang yang mau bergabung biro mangata. Dengan adanya kalian, jumlahnya jadi 9 orang. Ini sebenarnya tidak terlalu buruk" jawab Yongki.
"Siapa 2 orang yang tidak mau ikut itu?" Afif bertanya penasaran.
"Stop. Peraturan tidak tertulis di Agora Beak. Jangan pernah penasaran dengan urusan orang lain, termasuk jika hal itu sudah berada di ujung lidah kalian. Pendam dan diam saja. Masing-masing punya masa lalu kelam dan memilih mencari uang di sini, bagi mereka juga bukan pilihan yang baik, namun hanya penderita sindrom ludens yang dapat mengguanakan bahan Sovanite. Kita semua tidak benar-benar menghadapi kenyataan, hanya kabur dari masyarakat.." tiba-tiba ucapan Yongki dipotong Jimi.
"Itu keterlaluan" ucap Jimi singkat dengan tatapan tajam ke arah Yongki.
"Mungkin kalian bisa menyangkalnya, tapi apa kalian ingin kembali ke dunia luar? Mereka yang menjadi mangata hanya berlagak seperti pahlawan, padahal dirinya dipenuhi dendam dan pengakuan. Sedangkan menjadi penambang, artinya kalian menjual nyawa dengan mendulang uang selama kalian sekolah" Yongki menceramahi mereka berdua.
Afif berusaha menahan emosi Yongki, meski ia menyangkal melibatkan emosinya dalam ucapannya barusan. Jimi merasa ucapan Yongki ada benarnya, karena ia lebih lama menghabiskan waktunya di sini, daripada di dunia luar. Muncul keinginan Jimi untuk mencari tahu.
"Lantas, bagaimana dengan lo bang Yongki, apa motivasi lo bergabung dengan Agora Beak?" akhirnya Jimi mengeluarkan pertanyaannya.
"Mencari lawan sepadan" ujarnya singkat.
Percakapan itu tidak lama berlangsung, Yongki segera meminta mereka berdua untuk masuk ke dalam ruang arsip, karena masa absensi penampang sudah selesai. ia juga menjelaskan di dalam ada beberapa pintu, ambil pintu ke dua menuju ruang ganti dan loker, ada loker dengan nama mereka di sana. Jimi dan Afif lantas meninggalkan seniornya itu dalam kesendirian di ruangan depan tersebut.
Saat memasuki pintu dengan papan penanda bertuliskan arsip di atasnya, mereka berdua menemui sebuah lorong luas, dengan beberapa pintu di bagian kanan, sedangkan bagian kiri kosong dipenuhi lukisan.
Sesuai arahan, mereka tiba di pintu ke dua, mengetuk dan membukanya. Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali deretan loker berwarna putih susu dengan nama dan nomor di depannya. mereka mencari nama mereka dan menemukannya di bagian tengah dengan kolom nomor yang masih kosong.
"Yang lain punya nomor, hanya punya kita yang tidak" celetuk Afif.
"Sudah, namanya juga anak baru, lo mengharapkan apa?" balas Jimi seraya membuka loker miliknya, didalamnya hanya ada beberapa rak dan laci dengan kunci.
"Hilmi, buka laci paling besar, ada paket buat kita!" seru Afif seraya membuka paket tersebut dan berlari ke kamar ganti.
Perlengkapan mereka berdua sudah disiapkan, dintaranya pakaian dan beberapa botol minuman, entah apa isinya. Pakaian yang mereka kenakan sama persis dengan pakaian Yongki, setelan hitam dengan pelindung dada dan sepatu kerja berwarna hitam.
Begitu mereka selesai berpakaian, dalam ruangan itu ada sebuah ruangan di ujung deretan loker, ruang yang cukup besar dengan banyak kursi dan beberapa meja. Di dalam ruangan tersebut duduk seseorang memperhatikan mereka berdua, sambil sesekali mencatat di sebuah buku.
"Mi, lo liat sesuatu ga di ujung lorong ini? kayak ada orang" ucap Afif setengah berbisik.
"Oh ya, mana.." belum sempat Jimi melirik, Afif menahan pundaknya untuk tidak segera melengos.
"Tapi tolong lihat dulu di pundak gue ada sesuatu.. ga?" ucapan Afif lama-lama menjadi pelan.
Jimi melihat pundaknya dan secara ajaib melihat tangan mencengkram. Tangan dengan jari lentik dan kuku berwarna hitam. Sekilas ia ingat film-film horor jepang yang belum lama ini ia lihat. Afif menatap Jimi, seolah bertanya apa yang mencengkram pundaknya. Jimi pelan dan kaku menarik bibirnya untuk tersenyum, untuk meyakinkan ia menambahkan jempol.
"Ga, Ga ada apa-apa kok b,b,bro" kata Jimi berusaha menenangkan Afif.
"Bohong!" Hardik Afif yang ketakutan setengah mati. Dari pantulan bayangan loker Afif sendiri dapat melihat sebuah kepala muncul dari pundaknya yang lain.
"Hei, Jimi si Mata Setan dan Afif. em, pengabdi setan. Bang Herman sudah menunggu kalian." suara wanita yang halus terdengar di dekat telinga Afif.
Seketika Afif terperanjat dan berpindah ke sisi Jimi. Mereka berdua kemudian mendapati seorang perempuan berdiri di belakang tempat Afif tadi. Perempuan dengan rambut panjang, sepanjang pinggang, lebat dan salah satu matanya tertutup rambut tersebut. Berdiri setengah membungkuk, namun dari posisi tersebut ia mampu menyamai tinggi Afif. Ia kemudian melambaikan tangan melihat mereka berdua yang telah memergoki leluconnya.
"Lo, lo siapa?" tanya Afif gemetar.
"He he, Gue orang kok, sayang. Gue seangkatan kalian, nama gue Bonora Daniarti, panggil gue Nora" ucapnya. Matanya sayu dan senyum kecilnya membuat image gothic yang melekat pada dirinya begitu terasa.
"Salam kenal Nora, Kalau lo memang suka Afif, silahkan diambil" balas Jimi sembari menarik lengan Afif.
"Sialan lo, mi!. Nora ya? Nama lo Nora kan? sa, salam kenal juga. Tadi Bang Herman Siapa?".
"Ah. itu, Bang Herman, Kepala Bagian Litbang dan Keamanan" Jawab Nora sambil menunjuk ke arah ruang kaca yang berada di ujung ruangan.
Dari kejauhan Afif dan Jimi melihat seseorang yang sudah berdiri dan menyandarkan kedua tangannya di dinding kaca tersebut. Kepalanya menunduk sehingga wajahnya tidak terlihat. Afif segera memberi tanda kepada Jimi untuk segera beranjak mendekati orang tersebut, khawatir ada tahapan yang mungkin saja dapat mereka lewati.
Mereka segera berlari menghampiri orang itu, meninggalkan Nora yang masih melambaikan tangan. Setibanya di pintu ruangan tersebut mereka berusaha menegur orang tersebut, awalnya tidak berhasil. Namun di panggilannya yang kedua ia akhirnya menoleh dan kemudian duduk di sebuah kursi yang membelakangi dinding kaca tersebut.
"Haaahhhh... Silahkan duduk!" sosok itu seorang laki-laki dengan postur tinggi tegap. Rambutnya cepak dengan motif pusaran di tepi kiri dan kanan rambutnya. Suara helaan nafasnya yang panjang seperti tanda kegusarannya terhadap kehadiran Jimi dan Afif.
"Gi, gimana bang?" tanya Afif.
"Mari kita selesaikan. Di depan kalian adalah perlengkapan pertarungan individu, 8 cincin shrapnel[1]. Gaji diberikan setelah masa purnama dan biaya pengobatan ditanggung masing-masing. Ada yang belum kalian pahami?" Herman menjelaskan seperti dalam satu tarikan, tanpa koma dan jeda. Jimi dan Afif termangu mendengarnya, seolah salah dengar.
"Bang! jadi bisa gue buka ya?! iya! Makasih bang! langsung gue coba sekalian ya,bang?! iya! Terima kasih lagi bang!" Jimi melakukan Monolog agar tidak memperpanjang percakapan dengan Herman.
Afif terkejut melihat tindkan Jimi, namun reaksi yang berkebalikan ditunjukkan Herman. Bukannya naik pitam, malah ia melipat tangannya di depan dada dan mengangguk-angguk.
"Bagus, memang laki-laki seharusnya lebih mudah paham dan siap mengambil resiko" ujar Herman sambil melihat Jimi yang mulai mengenakan cincin shrapnel tersebut satu-persatu.
"Arghh.. sialaaann! kenapa organisasi ini isinya orang aneh semuaa!!" Afif menjerit dalam namun akhirnya membuka kotak di depannya dan mengikuti Jimi.
---
Glosarium
[1] Shrapnel; ditemukan oleh Henry Shrapnel dan efektif digunakan pada perang waterloo (1815). Prinsipnya, peluru ditembakkan dari meriam dan ledakkannya akan melemparkan puluhan peluru yang lebih kecil sehingga menjangkau area yang luas.
Jimi sudah hampir selesai mengenakan seluruh cincin shrapnel yang lubangnya besar itu. jika digunakan bersamaan sejajar, akan membentuk jajaran besi hitam dengan garis kuning yang berwarna terang. Sesuai dugannya, cincin tersebut cukup berat namun ada sensasi kekuatan yang mengalir ke tubuhnya."Bagaimana perasaanmu? ada perubahan?" Tanya Herman dengan wajah penuh kebanggaan. Kini seringai itu hampir berubah menjadi sombong."Kesemutan, tapi luar biasa bang!" Jimi kegirangan dan langsung membenturkan shrapnel tersebut sama lain.Melihat kondisi tersebut, raut wajah Herman berubah 180 derajat. Ada seutas bengis yang hadir di air wajahnya. Afif lebih cepat menyadarinya saat Jimi akan membenturkan senjata itu. Saat Herman bangkit dari duduk, membentangkan kedua lengannya dan menunjuk dengan telunjuk dan jari tengah, persis posisi menembak, Afif berusaha menghentikan keduanya.Afif menyilangkan tangannya, namun sebelum bersilang, salah satu cincin shrapnelnya
Jimi dan Afif kini jatuh dalam posisi yang berjauhan. Mereka terhenyak mendapati pukulan telak. Herman masih berdiri tegak dan meminta mereka untuk bangun. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.10, dan hawa dingin datang bersamaan dengan cahaya purnama sudah menyeruak. "Afif. Gue cukup terkejut lo bisa berpindah ke belakang gue, pertahankan. Jimi, atur nafas lo. Kita mulai lagi" Komentar Herman layaknya pelatih. Jimi berlari kencang ke arah Herman, mungkin ia mencoba peruntungannya lagi. Pukulan yang ia kerahkan kini lebih rendah, mungkin mengincar perut. Herman menangkis pukulan tersebut dengan teratur dan santai. Melihat celah lagi, Herman melakukan pose pistol lagi, Afif merespon gerakan tersebut. Afif berusaha menduplikasi gerakannya dengan menyilang lengan sambil menggesekkan shrapnel. Sesuai perhitungannya, Ia memang berpindah namun lokasinya yang berbeda. Kini ia justru berada satu meter di belakang Jimi. Belakangan, Afif akan jauh memperbaiki ini
Selesai mantra itu diucapkan, Jimi menangkis serangan Shabnock dengan tangan kosong. Aura Jimi berubah drastis, seolah-olah ada yang merasukinya. Shabnock sempat kaget namun tidak gentar dan kembali meluncurkan serangan-serangan fisik kepada Jimi, namun lagi-lagi Jimi dapat menahan serangan tersebut. Evan terpental untuk menyelamatkan dua orang penambang, kemudian bangkit dan meminta mereka berdua pergi menuju El-dorado. Evan kemudian membuka tangannya dan menutup pandangan pada dua buah objek, satu penambang yang tertusuk tombak Shabnock dan satu lagi sebuah pot tanaman yang tergeletak di tengah jalan. Saat kedua objek tersebut tertutup oleh telapak tangan evan, ia lantas menggeraan kedua lengganya bersilangan. Hasilnya, kedua objek tersebut saling bertukar tempat. Kekuatan Evan adalah "Swipe", memperbolehkannya menukar tempat dua buah objek yang dapat ditutupi kedua telapak tangannya. Evan cekatan memindahkan seluruh korban di lapangan, terutama yang terlal
Malam menunjukkan pukul 22.40, artinya sudah 40 menit Shabnock berada di dunia manusia. Strategi pertempuran melawan terak secara umum dibagi menjadi 3. Pertama mengalahkan di dunia manusia secepat mungkin. Kedua, menahan Terak selama mungkin hingga bulan terbenam."Taktik terakhir adalah meninggalkan portal dan menguburnya dalam-dalam," ucap Herman sambil membungkus jari telunjuk dan tengahnya dengan perban elastis."Me, memang bisa kita meninggalkan sekolah ini, bang?" Inge masih menahan serangan tombak Shabnock yang terus dilempar bertubi. Suara lolongan Shabnock terdengar memprovokasi mereka berdua."Jelas enggak mungkin. Tapi itu perintah terakhir yang diberikan kepada seluruh kapten jika kondisinya memungkinkan," balas Herman. Sesekali Herman mengusap-usap jari yang sudah dibungkus tersebut."Inge, tunggu aba-aba gue. Jika telat, serangan gue bakal menabrak tameng pelindungmu dan berbalik mengenai kita. Jadi perhatikan baik-baik," ujar Herman yang d
Hantaman di gedung sekolah akhirnya mengagetkan seluruh orang yang berada di lapangan. Mereka yang berdiri terjatuh dan yang berlari akan tersungkur ke depan. Semua mata mencari sumber dentuman tersebut apalagi setelahnya jilatan api membumbung tinggi. Beberapa orang yang mendampingi Damar terbelalak dan saling bertatapan, mereke kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Damar."Kapten tiga orang yang bersembunyi di dalam ruang kelas saat Shabnock keluar portal," bisik salah satu penambang."Astaga! lo serius!?" Damar terkejut seraya melihat ke arah gedung yang sebagian besar dindingnya sudah retak besar."Dona pasti sudah mengaktifkan kemampuan turunannya. Kita tidak bisa sembarangan keluar dari kastil ini. Cek di ruang evakusasi, apa ada Pras di sana." Damar memberikan instruksi yang langsung dipatuhi kedua orang penambang tersebut, mereka segera beranjak menuju ruang bawah tanah.Damar begitu cemas mendengar laporan kedua orang tersebut, bertambahnya kor
Kekuatan Gita adalah binding. Kemampuan turunan yang membuatnya dapat membuat rangkaian rantai untuk menahan sesuatu. Ia dibekali delapan cincin shrapnel, namun hanya dua yang ia kenakan di masing-masing telunjuk. Saat ia mengaktifkan kemampuannya, keenam sisa cincin sharpel akan membebntuk ratus mata rantai yang memanjang, masuk ke tanah, keluar dari tanah di dekat lokasi target dan mengikatnya. "Arghh!!" Gita menahan tekanan yang kuat akibat Afif dan Inge yang menerjang kuat Donni dan Nora. Puluhan rantai muncul dari tanah dan menangkap mereka berempat. Gita menahan kuda-kuda agar lengannya kuat menahan tarikan tersebut. Begitu mereka berempat jatuh akibat rantai Gita. sebuah lembing menabrak medan tameng, menancap sekitar 5 centimeter dan berhenti total. Medan tameng tersebut kemudian menghancur lembing tersebut berkeping-keping. "Dona! kerja bagus!" teriak Danti kepada Dona yang masih duduk di dalam lingkaran. Tatapannya yang awalnya mengantuk me
"Nama saya Regita Widyanata, panggil saja Gita!" Seru Gita saat memperkenalkan dirinya pertama kali di depan pertemuan pertama Agora Beak bagi murid baru. Gita kembali mengingat masa lalunya hingga bagaimana harga diri menjadi bagian hidup si Silver Chain mangata.***Selesai memperkenalkan diri, kami, anak kelas 1 diminta ikut ke ruangan yang berisi loker, di ujungnya ada sebuah ruang rapat yang rupanya dapat diatur kapasitas pesertanya. Saat itu, Aku dan 12 anak lain yang memilih menjadi mangata akan menjadi tes kecocokan shrapnel. Namaku selalu dipanggil lebih dahulu karena bertubuh kecil dan berwajah manis, orang selalu melakukan itu sejak aku kecil dulu, hal itu sungguh mengganggu.Di depan sebuah meja berdiri seorang laki-laki, matanya berwarna coklat, tinggi dan berambut pendek bergelombang. Sambil tersenyum ia terus memberikan arahan akan pentingnya penggunaan shrapnel bagi seorang mangata. Aku yang sedari tadi merasa diistimewakan tidak begitu
Malam itu, berkat Mas Hendra tidak ada satupun korban jiwa kecuali dirinya. Mba Danti yang membantu pindah, kembali ke sekolah terus memberiku semangat, namun kata-katanya seolah tidak memiliki arti. Selang dua hari sejak aku dirawat di bangsal perawatan Agora Beak, petugas administrasi menghampiriku untuk membuat laporan. "Siang mba, rapat pimpinan memintamu untuk membuat laporan dan melaporkan di depan rapat" ujar perempuan muda itu, sepertinya dia angkatan baru. "Kapan rapatnya?" tanyaku ketus. "Besok malam." jawabnya singkat. "Baik, akan saya kerjakan." memang aku punya pilihan apa. "Saya bisa membantumu untuk membuat laporan karena it.." ucapannya tiba-tiba membuat darahku mendidih. "Diam! Saya bisa mengerjakannya sendiri, buat apa bantuan orang lain yang tidak mengerti kerasnya berhadapan dengan Terak!" Aku membentaknya, meluapkan amarah yang selang berganti dengan rasa kehilangan. Perempuan itu terdiam sambil menunduk. "
[Lapangan Belakang Sekolah]Benso sebenarnya berada di posisi sadar dan tidak sadar, karena bagaimanapun akhir pertarungannya dengan Sriti tidak begitu baik. Namun saat ia bangun kesekian kali dengan menggunakan seluruh kekuatannya, ia melihat situasi yang pelik. Di dekatnya berdiri Glori yang dengan cekatan menggunakan jemarinya mengontrol robot besar dengan remot pengendali."Siapa perempuan ini? Dia lagi bertarung? .. itu Tulus dan Arin.. yang terluka parah?" Kesadarannya semakin pulih. Ia juga menyadari Sriti yang terbaring diam di balik balutan shimurgh miliknya."Jangan mati, jangan mati, jangan mati," ucap Benso berkali-kali saat ia membuka balutan shimurgh tersebut. Sriti mengalami luka bakar dan kulitnya melepuh.Benso kemudian mendekatkan telinya ke hidung dan mulut Sriti, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Angin yang berhembus dan turunnya hujan hitam sempat menyulitkannya menemukan tanda tersebut. Hingga akhirnya ia per
Ujang menjerit sejadinya saat sebuah tombak trisula menembus pahanya. Awalnya ia kaget melihat benda bulat raksasa yang dapat dihentikan dengan mudah oleh penjaga sekolah yang mendadak sebagian tubuhnya berubah menjadi robot. Namun ia tidak menyangka jika salah satu temannya malah melesatkan tombak trisula kearahnya. Pegangan tangannya di rambut Indri yang sedang ia jambak lantas mengendur."Upgrade!" ucap indri seraya menggenggam trisula tersebut.Batang besi trisula tersebut berubah warna menjadi keputihan, namun yang mencolok adalah bobotnya yang menjadi lebih berat. Seketika membuat Ujang terjatuh karena tidak kuat menahan sakit dan beban trisula. Mendapati dirinya terbebas dari Ujang, Indri mengusap hidupnya yang sedari tadi mengeluarkan darah karena dihajar Ujang."Bocah brengsek! Lo apain besinya sampai menjadi berat banget! Bangsat!" Umpat Ujang yang masih saja menyerang Indri.Mendengar celotehan itu, Indri bergeming dan menikmati jeritan Ujang.
[Lapangan depan El-Dorado]Listu sudah berdiri berhadapan dengan terak besar yang terus menyebut dirinya sebagai Moret. Terak berbentuk terenggiling berdiri tersebut cukup banyak bicara namun ia belum juga menyerang Listu, kecuali berdiri mengamankan sesuatu. Sembari mengulur waktu, Listu membaca situasi dan lingkungannya."Sebelum menggunakan shrapnel, gue memang merasa mampu menggunakan kekuatan turunan tanpa shrapnel. Tapi setelah gue pakai, kondisi tubuh gue lebih stabil, telinga gue terlalu pengang.." gumam Listu. Perlahan namun pasti, rasa sakit ditubuhnya menghilang seiring dengan regenerasi."Buff!"Listu berteriak dan mengubah penampilan yang dikelilingi dengan lingkaran, mantra dan cahaya. Moret terkesima dan segera menutup matanya karena awalnya silau melihat perubahan tersebut. Listu menggenggam sebuah tongkat yang ia gunakan sebagai senjatanya, seluruh buff support diarahkan kepada dirinya. konsentrasi daya yang besar pada sa
[Bangsal Perawatan] "Yunita, hei yunita. Bangun," panggil suara seorang laki-laki ke arah Yunita yang masih terbaring di ranjang lengkap tertutup selimut. Suaranya yang awalnya samar tersebut perlahan terdengar jelas. Kepalanya pengar, matanya begitu berat untuk dibuka, namun Yunita terus berusaha. Pandangannya akhirnya mulai terlihat, ia mendapati Teja dan Herman berdiri di samping ranjang. Sekilas ia melihat Teja yang wajahnya dipenuhi plester dan beberapa bagian tubuhnya dibalut perban. "Gue baru tau, anggota Fraksi bisa bermalas-malasan di atas ranjang," seloroh Teja. ".. Diam, sudah lama gue tidur?" tanya Yunita perlahan, ia berkali-kali mengedipkan mata untuk mengatur cahaya yang masuk ke matanya. "Lumayan mba, kami memindahkan ranjangmu dari ruangan sebelumnya karena si anak baru masih memiliki radiasi," ujar Herman yang masih memegang kruk di lengan sebelahnya. "Jimi? oh.. apa dampaknya?" "Pemulihan lo
[Gudang barang bekas] Seseorang berjalan perlahan sambil sesekali melihat ke arah Soca meninggalkan gudang. Orang itu adalah seorang perempuang yang mengenakan seragam sekolah. Saat mengetahui tempat tumpukan barang bekas yang ia tuju berada di dalam wadah besar berdinding cukup tinggi, ia kemudian melihat sekeliling dan menemukan barang bekas lain yang dapat dijadikan pijakan naik. Tidak lama terdengar suara demtuman dari arah luar gudang. Perempuan tersebut menghentikan sejenak langkahnya, ia yakin ada masalah besar yang timbul dari arah sekolah. Setelah sampai di puncak tumpukan barang bekasi ia lanjutkan dengan berjalan meniti dan mencari pijakan yang kuat. Karena perempuan itu menggunakan rok maka langkahnya cukup panjang mencapai pijakan yang cukup jauh. "Ah! di situ rupanya!" gumam perempuan tersebut saat melihat jejak darah yang mengarah ke satu titik. Di titik itu juga ia melihat kaki yang terjuntai lengkap dengan sepatu kets dan kao
Pancuran asap yang membumbung tinggi itu juga mengingatkan ingatan Linda. Sesaat ia berserah pasrah apabila kepalanya lepas tiba-tiba akibat serangan mendadak mangata. Misinya menghancurkan sirkulasi energi mineral yang ditimbun organisasi Agora Beak sudah usai. Namun mendadak ingatan masa lalunya muncul. Ada anak lain selain Soca yang mendapat berkah lebih dan ia berada di sisi yang terang, bukan sisinya."Getanama ceri.. harusnya kamu ikut dihakimi disini.." ucap Linda perlahan, kepalanya yang awalnya dingin mendadak mendidih."Kamu menuruti perintah Papa dan Mama namun setelah terak itu datang mencerahkan.. kamu pergi dan membela kebenaran.. Munafik.. Oportunis.. Apa mungkin tugasku belum selesai disini hingga seluruh penghuni Rumah Basaria memilih sisi yang benar.." renung Linda.Dari semburan itu tiba-tiba tanah seolah sobek dan membuka sebuah portal layaknya portal di malam purnama. Dua sosok berwarna hitam dengan tinggi hampir mencapai 3 meter muncul meng
[Lapangan Belakang Sekolah] [Benso vs Sriti] Pertarungan Benso dan Sriti terhenti sebentar setelah semburan asap hitam yang menjulang tinggi. Benso segera melirik ke arah Sriti, berharap kemarahannya kepada para pemberontak benar terbukti dengan wajah puas mereka. Namun, Benso tidak menemukan ekspresi itu wajah Sriti. Air mukanya bukan puas, meyeringai atau tersenyum bangga. Apa yang dilihat Benso adalah wajah gadis yang pasrah dan tidak menikmati satu detikpun hidupnya. Sriti memang dikenal pendiam dan memiliki nada bicara yang unik, namun perempuan yang satu angkatan dengan Benso tersebut lebih sering menyendiri dan bergaul dengan Linda atau Glori, sifat umumnya penderita ludens. "Sudah puas!? Kita selesaikan sekarang, Sriti!" seru Benso bengis. Sriti terkejut dan kembali mengendalikan dirinya yang sempat terbawa suasana. "Lo engga mengerti arti usaha Linda," balas Sriti yang kemudian melayang kembali.
[Lorong penyimpanan Biro Penambang]"Mba, lo merasakan itu juga?" tanya Afif yang bersandar di dinding. Ia merasakan kekuatan di dalam tubunya keluar masuk dengan perlahan sehingga tidak stabil."Ini jauh lebih besar daripada kekuatan kita semalam. Mba Linda sepertinya sudah bergerak," jawab Gina berdiri sambil memandangi langit-langit."Tapi, terima kasih karenanya badan gue perlahan-lahan membaik," ucap Afif yang perlahan merambat berdiri."Kita harus keluar. Labirin milik Bang Cecep harusnya sudah permanen mati, kita bisa langsung menuju lantai atas," ajak Gina yang mencoba melompat berkali-kali."Mba, lo engga perlu berputar saat melompat. Celana dalam berenda hanya pantas digunakan Tari," celetuk Afif yang tidak sengajak memperhatikan gerakan Gina."Lo juga Tari Fans Club!? awalnya gue pikir fans Tari yang cowo itu normal sampai gue tahu kalian memperhatikan detail penampilan dan pakaian Tari.. Menjijikan," balas Gina y
[Sebuah Gudang Barang Bekas di Luar Sekolah] [Herna Mischa vs Soca Damun Arsa] "Lo punya kekuatan yang gue engga tahu apa kemampuannya. Engga mau membuat pertarungan ini adil?" tanya Mischa dengan senyum. Ia masih tenang dan menganggap enteng pertarungannya dengan Soca. "Ten folds. Kemampuan yang terlalu berbahaya bahkan bagi seorang Umbu sekalipun," jawab Soca datar. "Hei bocah. jangan membandingkan kemampuan gue dengan Umbu. Tidak adil. Dia terlalu lemah untuk gue". "Maka, jangan jadikan alasan adil sebagai caramu untuk menang, Mishca," Soca kemudian memutar sebuah tutup botol tersebut untuk membuka isinya. Mischa bergerak cepat dengan mencengkram sebuah kipas duduk bebas yang terserak dan melemparnya ke arah Soca. Soca terkejut namun refleksnya menangkis benda tersebut, yang tidak Soca antisipasi adalah saat kipas tersebut adalah debu dan beberapa benda kecil bertebaran menghalangi pandangan Soca. M