***
"Namamu Ayu bukan, sini kubantu,"
Ajakan itu ga bakal saya lupakan, setelah 2 tahun bersama-sama di SMP. Meski kami sangat minim berbincang, namun akhirnya dia memanggil namaku. Kak Indri, majikanku di toko kelontong memberi tahu jalan menuju SMK yang saya tuju tidak melulu aman. Kadang-kadang ada begundal yang anti dengan pengidap sindrom ludens seperti saya.
Setelah mengajukan cuti untuk mendaftar ulang, Kak Indri memeluk saya erat. Ia mengucapkan lagi ucapan selamat karena berhasil diterima di sekolah yang baik dengan beasiswa. Saya tidak akan lupa pertemuan pertama kali di depan toko itu saat saya masih kecil. Kak Indri datang dengan sebuah handuk.
"Kamu sakit dan dengan matamu yang kuning itu, tidak akan ada rumah sakit yang akan merawatmu," katanya waktu itu dengan wajah serius. Saat itu karena ketakutan, saya memilih berlari.
Saya tidak tahu berapa lama saya berada di jalan, dipikul, dihina dan didera. Saya tidak sendiri namun mereka tid
[gerbong masinis] "Gila! itu binatang apa!?" Jimi terkejut yang melihat dari kejauhan perubahan bentuk Contus menjadi besar. "Jimi. Tunggu sebentar, mari kita pikirkan strategi," ajak Hanuman, namun kali ini tangannya menepuk pundak Jimi. "Hanuman, kamu sudah mau melihat ke arah gue?" Jimi senang merasakan ada perubahan dalam hubungannya dengan Hanuman. "Kita kesampingkan itu dulu, anggap dengan kekuatanmu, keberadaan saya semakin tebal dan makin mudah dirasakan," balas Hanuman. "Kita berhasil mengulur waktu, tapi kereta ini membawa banyak sandera. Contus pintar dengan menempatkan seluruh sandera di gerbong depan," sambung Hanuman. Jimi menidurkan Kani yang rupanya pingsan karena kelelahan, dahinya berkeringat namun nafasnya stabil. ia juga melihat gerbong depan yang memang dipenuhi cukup banyak penumpang yang seluruhnya tertidur atau pingsan. "Contus tahu jika kita memotong gerbang depan, maka gerbong di belakangnya akan berhe
"Panas banget!" ucap Ayu yang tidak terasa membakar sedikit maskernya. Yongki dengan cepat merangkul dan menutupi wajah Ayu. Kida juga merasakan rasa panas namun memilih menahannya karena ada tugas yang perlu ia lakukan saat semburan api ini berkurang."Jimi! tangkap ini!" Ayu melempar sebuah kapak besar yang tadi ia gunakan untuk mengalahkan Mustang. Ia tidak tahu di mana Jimi berada karena saat ia melihat ke arah gerbong dimana Contus berada, ruangan itu masih diselimuti api yang membara.Berkat serangan Ayu terakhir, Contus masih bergerak sangat lambat dalam merespon serangan api Jimi. Namun sepertinya serangan api Jimi tidak berpengaruh pada Contus."Dapat! Terima kasih mba Kida!" teriakan Jimi terdengar jelas oleh Kida, menghapus kekhawatirannya seketika."Yuda!" Teriakan Jimi terdengar kembali, kali ini disusul oleh suara tebasan yang membelah daging dan erangan Contus."Teriakan Contus!? Jimi mampu melukai Contus!" seru Yongki. Ia kemudian m
Yongki menunjukkan kapasitasnya dalam mengatur strategi. Meski kemampuan Contus yang masih misterius pasca serangan terakir, Ia berusaha merakit informasi yang dimiliki seluruh pihak. Seluruhnya memperhatikan secara serius, Ayu sesekali melirik melihat kepulan asap yang sesekali bergerak di arah Contus."Mba Kida, engga lebih baik kamu ikut bergabung di sini?" tanya Jimi yang memperhatikan Kida malah asik mengeluarkan dan menginvetarisasi bermacam senjata yang ia bisa keluarkan entah dari mana."Tinggalkan dia, Jimi. Kida mungkin adalah sangat sedikit dari mangata yang mampu melakukan banyak hal secara sekaligus," ucap Yongki. Jimi terpukau dengan pernyataan itu, namun ia mencoba meledek."Baik bang. Saya perhatikan wajah Mba Kida yang sedang serius sangat cantik juga.." celetuk Jimi. Tiba-tiba sebuah pisau besar terjatuh dari pegangan Kida, membuat seluruh orang menoleh kecuali Ayu yang membuang muka dan menahan tawa."Haah.. Sudah, jangan ganggu seniorm
Setelah mendudukan Kani kembali, Jimi mencari sebuah kotak berisi mesin atau sejenisnya. Ia menemukan sebuah kotak panel di kabin masinis. Dengan sekali tarikan, kotak panel tersebut terputus dari kabel yang mengikatnya. Jimi juga mematahah sebuah batang besi pegangan."Ok! sudah siap semua. Ini harusnya cukup," pikir Jimi. Keringat membasahi keningnya, ia paham waktu dan momennya semakin kritis. Jimi membopong kembali Kani yang masih lemas dan memapahnya hingga melintasi satu gerbong di belakang gerbong yang berisi sandera."Obor!" dengan dipusatkannya semburan api pada tangan, tongkat besi yang digenggam Jimi kini diselimuti api hitam, namun tidak melelehkan benda tersebut."Jimi, sebelum gue pingsan lagi. Dengarkan ini baik-baik," ucap Kani dengan nada bicara yang pelan dan lirih."Simpan untuk nanti saja. Bang Yongki juga sudah berpacaran dengan Mba Ayu," ucap Jimi ringan. Kani terbelalak mendengar ucapan Jimi, ia tidak menyangka mendengar hal tersebu
"Gue juga ada teman yang seperti batu di kelas, Ayu," celetuk Yongki. Ayu mengangguk dengan wajah sok serius. "Benar juga, di kelas saya juga ada. Tapi apa orang seperti itu bisa ditaklukan hatinya?" balas Ayu. Yongki menggeleng pelan seperti hilang harapan. "Mungkin bisa, tapi sulit. Bisa jadi wanita itu harus menunggu bertahun-tahun. Tapi siapa yang tahu." kini giiran Jimi yang manggut-manggut. "Jadi memang menjadi seorang perempuan itu sulit apalagi kalau pria yang ia sukai.." belum selesai Jimi bicara, Kida sudah terlanjur emosi. "Berisik! kalian semua berisik! Gue ga mau ikut penugasan bareng kalian lagi!" omel Kida dengan kedua tangan yang terkepal. Bukannya takut, namun Yongki dan Ayu malah terkekeh. "Ok, ok. Gue minta maaf. Gue engga ngomong lagi. Hi hi. Ayu, sekarang kita fokus," ucap Yongki dengan nafas yang berusaha ia atur agar tawanya bisa hilang. Ayu masih membuang muka dan cekikikn kecil. Jimi menunduk berusaha menghindari mata
[Stasiun Mangga Besar] "Gue harus menyusul ke Monas, semoga mereka sudah menemukan letak into terak Contus," batin Kani. Ia sedang berlari menyusuri tangga untuk keluar dari stasiun. Walaupun ia telat, Kani masih bisa memberitahu yang lain soal inti terak tersebut. Saat ia sampai di di depan stasiun ada pengendara motor yang mengebut dan berhenti tepat di depannya. Seluruh yang sedang menunggu mendadak menjauh. Pengendara motor dengan pakaian serba gelas itu menawarkan helm kepada Kani, namun Kani enggan menerimanya. Sadar ada yang salah, pengendara itu membuka kaca helmya dan melihat Kani dengan mata kuningnya. Kani segera menyambar helm itu dan naik di jok belakang. Tanpa basa-basi pengendara itu memacu motornya dengan sangat cepat meninggalkan Stasiun Mangga Besar. "Kita kemana?!" tanya pengendara itu. "Gambir bang! Contus akan menyerang tempat penyimpanan mineral galian di ruang bawah tanah Monas!" balas Kani, ia kemudian mengelua
Tidak ada waktu, Contus menaruh kepercayaan diri yang tinggi pada daya tahan tubuhnya. Ia mengayun tubuh Ayu dan dan memukulnya kepalanya. Sekejap guncangan keras di kepala membuat perempuan itu setengan pingsan, kesadaran hampir hilang total. "Ayu!!" Teriakan Yongki semakin samar di telinga Ayu. Contus belum juga tenang karena ia harus berkonsentrasi penuh menerima serangan harpoon Yongki. "Yong.. ki? Ah, sebentar lagi efek merpati akan hilang. Saya harus membantu Yongki.." gumam Ayu. Kesadarannya sudah makin hilang, darah mulai mengalir dari hidungnya. Yongki sudah terbebas dari injakan Contus namun hanya salah satu lengannya yang dapat ia gunakan. Ayu memperhatikan dengan baik bagaimana Yongki berusaha keras mengerahkan kekuatanya untuk menggerakan harpoon itu menembus dada Contus. Nama Ayu terus diteriakan Yongki berulang-ulang, padahal saat Yongki melepas nafasnya kembali, darah kembali memuncrat dari dalam mulutnya. "S
[Peron Stasiun Juanda]Zap!Kekuatan Ayu sekejap hilang. Tidak lama berselang sebuah ledakan besar terlihat dari kejauhan, namun getarannya terasa hingga tempat mereka berdiri. Jimi dan Kida memang awalnya berdiri sejajar melihat ke arah rel, namun mendengar suara ledakan, mereka menoleh dan sedikit beranjak dari tempatnya. Belum ada juga satu patah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua.Suara lolongan Contus yang samar namun terdengar bersamaan dengan tubuhnya yang mendadak membesar terlihat dari kejauhan. Saat Contus menyemburkan api hitam besar dan panjang terakhir, baru ada sebuah reaksi yang muncul di antara mereka."Engga adil.. Kalian engga adil," Isak Kida yang kemudian berlari meninggalkan Jimi sendiri."Kida.." Peron stasiun itu terasa sangat sepi hanya Jimi yang berdiri di buai hembusan angin malam. Pakaian Jimi sudah compang-camping dan perlahan rasa sakit akibat luka saya dan lebam mulai bermunculan."Nak
[Lapangan Belakang Sekolah]Benso sebenarnya berada di posisi sadar dan tidak sadar, karena bagaimanapun akhir pertarungannya dengan Sriti tidak begitu baik. Namun saat ia bangun kesekian kali dengan menggunakan seluruh kekuatannya, ia melihat situasi yang pelik. Di dekatnya berdiri Glori yang dengan cekatan menggunakan jemarinya mengontrol robot besar dengan remot pengendali."Siapa perempuan ini? Dia lagi bertarung? .. itu Tulus dan Arin.. yang terluka parah?" Kesadarannya semakin pulih. Ia juga menyadari Sriti yang terbaring diam di balik balutan shimurgh miliknya."Jangan mati, jangan mati, jangan mati," ucap Benso berkali-kali saat ia membuka balutan shimurgh tersebut. Sriti mengalami luka bakar dan kulitnya melepuh.Benso kemudian mendekatkan telinya ke hidung dan mulut Sriti, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Angin yang berhembus dan turunnya hujan hitam sempat menyulitkannya menemukan tanda tersebut. Hingga akhirnya ia per
Ujang menjerit sejadinya saat sebuah tombak trisula menembus pahanya. Awalnya ia kaget melihat benda bulat raksasa yang dapat dihentikan dengan mudah oleh penjaga sekolah yang mendadak sebagian tubuhnya berubah menjadi robot. Namun ia tidak menyangka jika salah satu temannya malah melesatkan tombak trisula kearahnya. Pegangan tangannya di rambut Indri yang sedang ia jambak lantas mengendur."Upgrade!" ucap indri seraya menggenggam trisula tersebut.Batang besi trisula tersebut berubah warna menjadi keputihan, namun yang mencolok adalah bobotnya yang menjadi lebih berat. Seketika membuat Ujang terjatuh karena tidak kuat menahan sakit dan beban trisula. Mendapati dirinya terbebas dari Ujang, Indri mengusap hidupnya yang sedari tadi mengeluarkan darah karena dihajar Ujang."Bocah brengsek! Lo apain besinya sampai menjadi berat banget! Bangsat!" Umpat Ujang yang masih saja menyerang Indri.Mendengar celotehan itu, Indri bergeming dan menikmati jeritan Ujang.
[Lapangan depan El-Dorado]Listu sudah berdiri berhadapan dengan terak besar yang terus menyebut dirinya sebagai Moret. Terak berbentuk terenggiling berdiri tersebut cukup banyak bicara namun ia belum juga menyerang Listu, kecuali berdiri mengamankan sesuatu. Sembari mengulur waktu, Listu membaca situasi dan lingkungannya."Sebelum menggunakan shrapnel, gue memang merasa mampu menggunakan kekuatan turunan tanpa shrapnel. Tapi setelah gue pakai, kondisi tubuh gue lebih stabil, telinga gue terlalu pengang.." gumam Listu. Perlahan namun pasti, rasa sakit ditubuhnya menghilang seiring dengan regenerasi."Buff!"Listu berteriak dan mengubah penampilan yang dikelilingi dengan lingkaran, mantra dan cahaya. Moret terkesima dan segera menutup matanya karena awalnya silau melihat perubahan tersebut. Listu menggenggam sebuah tongkat yang ia gunakan sebagai senjatanya, seluruh buff support diarahkan kepada dirinya. konsentrasi daya yang besar pada sa
[Bangsal Perawatan] "Yunita, hei yunita. Bangun," panggil suara seorang laki-laki ke arah Yunita yang masih terbaring di ranjang lengkap tertutup selimut. Suaranya yang awalnya samar tersebut perlahan terdengar jelas. Kepalanya pengar, matanya begitu berat untuk dibuka, namun Yunita terus berusaha. Pandangannya akhirnya mulai terlihat, ia mendapati Teja dan Herman berdiri di samping ranjang. Sekilas ia melihat Teja yang wajahnya dipenuhi plester dan beberapa bagian tubuhnya dibalut perban. "Gue baru tau, anggota Fraksi bisa bermalas-malasan di atas ranjang," seloroh Teja. ".. Diam, sudah lama gue tidur?" tanya Yunita perlahan, ia berkali-kali mengedipkan mata untuk mengatur cahaya yang masuk ke matanya. "Lumayan mba, kami memindahkan ranjangmu dari ruangan sebelumnya karena si anak baru masih memiliki radiasi," ujar Herman yang masih memegang kruk di lengan sebelahnya. "Jimi? oh.. apa dampaknya?" "Pemulihan lo
[Gudang barang bekas] Seseorang berjalan perlahan sambil sesekali melihat ke arah Soca meninggalkan gudang. Orang itu adalah seorang perempuang yang mengenakan seragam sekolah. Saat mengetahui tempat tumpukan barang bekas yang ia tuju berada di dalam wadah besar berdinding cukup tinggi, ia kemudian melihat sekeliling dan menemukan barang bekas lain yang dapat dijadikan pijakan naik. Tidak lama terdengar suara demtuman dari arah luar gudang. Perempuan tersebut menghentikan sejenak langkahnya, ia yakin ada masalah besar yang timbul dari arah sekolah. Setelah sampai di puncak tumpukan barang bekasi ia lanjutkan dengan berjalan meniti dan mencari pijakan yang kuat. Karena perempuan itu menggunakan rok maka langkahnya cukup panjang mencapai pijakan yang cukup jauh. "Ah! di situ rupanya!" gumam perempuan tersebut saat melihat jejak darah yang mengarah ke satu titik. Di titik itu juga ia melihat kaki yang terjuntai lengkap dengan sepatu kets dan kao
Pancuran asap yang membumbung tinggi itu juga mengingatkan ingatan Linda. Sesaat ia berserah pasrah apabila kepalanya lepas tiba-tiba akibat serangan mendadak mangata. Misinya menghancurkan sirkulasi energi mineral yang ditimbun organisasi Agora Beak sudah usai. Namun mendadak ingatan masa lalunya muncul. Ada anak lain selain Soca yang mendapat berkah lebih dan ia berada di sisi yang terang, bukan sisinya."Getanama ceri.. harusnya kamu ikut dihakimi disini.." ucap Linda perlahan, kepalanya yang awalnya dingin mendadak mendidih."Kamu menuruti perintah Papa dan Mama namun setelah terak itu datang mencerahkan.. kamu pergi dan membela kebenaran.. Munafik.. Oportunis.. Apa mungkin tugasku belum selesai disini hingga seluruh penghuni Rumah Basaria memilih sisi yang benar.." renung Linda.Dari semburan itu tiba-tiba tanah seolah sobek dan membuka sebuah portal layaknya portal di malam purnama. Dua sosok berwarna hitam dengan tinggi hampir mencapai 3 meter muncul meng
[Lapangan Belakang Sekolah] [Benso vs Sriti] Pertarungan Benso dan Sriti terhenti sebentar setelah semburan asap hitam yang menjulang tinggi. Benso segera melirik ke arah Sriti, berharap kemarahannya kepada para pemberontak benar terbukti dengan wajah puas mereka. Namun, Benso tidak menemukan ekspresi itu wajah Sriti. Air mukanya bukan puas, meyeringai atau tersenyum bangga. Apa yang dilihat Benso adalah wajah gadis yang pasrah dan tidak menikmati satu detikpun hidupnya. Sriti memang dikenal pendiam dan memiliki nada bicara yang unik, namun perempuan yang satu angkatan dengan Benso tersebut lebih sering menyendiri dan bergaul dengan Linda atau Glori, sifat umumnya penderita ludens. "Sudah puas!? Kita selesaikan sekarang, Sriti!" seru Benso bengis. Sriti terkejut dan kembali mengendalikan dirinya yang sempat terbawa suasana. "Lo engga mengerti arti usaha Linda," balas Sriti yang kemudian melayang kembali.
[Lorong penyimpanan Biro Penambang]"Mba, lo merasakan itu juga?" tanya Afif yang bersandar di dinding. Ia merasakan kekuatan di dalam tubunya keluar masuk dengan perlahan sehingga tidak stabil."Ini jauh lebih besar daripada kekuatan kita semalam. Mba Linda sepertinya sudah bergerak," jawab Gina berdiri sambil memandangi langit-langit."Tapi, terima kasih karenanya badan gue perlahan-lahan membaik," ucap Afif yang perlahan merambat berdiri."Kita harus keluar. Labirin milik Bang Cecep harusnya sudah permanen mati, kita bisa langsung menuju lantai atas," ajak Gina yang mencoba melompat berkali-kali."Mba, lo engga perlu berputar saat melompat. Celana dalam berenda hanya pantas digunakan Tari," celetuk Afif yang tidak sengajak memperhatikan gerakan Gina."Lo juga Tari Fans Club!? awalnya gue pikir fans Tari yang cowo itu normal sampai gue tahu kalian memperhatikan detail penampilan dan pakaian Tari.. Menjijikan," balas Gina y
[Sebuah Gudang Barang Bekas di Luar Sekolah] [Herna Mischa vs Soca Damun Arsa] "Lo punya kekuatan yang gue engga tahu apa kemampuannya. Engga mau membuat pertarungan ini adil?" tanya Mischa dengan senyum. Ia masih tenang dan menganggap enteng pertarungannya dengan Soca. "Ten folds. Kemampuan yang terlalu berbahaya bahkan bagi seorang Umbu sekalipun," jawab Soca datar. "Hei bocah. jangan membandingkan kemampuan gue dengan Umbu. Tidak adil. Dia terlalu lemah untuk gue". "Maka, jangan jadikan alasan adil sebagai caramu untuk menang, Mishca," Soca kemudian memutar sebuah tutup botol tersebut untuk membuka isinya. Mischa bergerak cepat dengan mencengkram sebuah kipas duduk bebas yang terserak dan melemparnya ke arah Soca. Soca terkejut namun refleksnya menangkis benda tersebut, yang tidak Soca antisipasi adalah saat kipas tersebut adalah debu dan beberapa benda kecil bertebaran menghalangi pandangan Soca. M