Setelah mendudukan Kani kembali, Jimi mencari sebuah kotak berisi mesin atau sejenisnya. Ia menemukan sebuah kotak panel di kabin masinis. Dengan sekali tarikan, kotak panel tersebut terputus dari kabel yang mengikatnya. Jimi juga mematahah sebuah batang besi pegangan.
"Ok! sudah siap semua. Ini harusnya cukup," pikir Jimi. Keringat membasahi keningnya, ia paham waktu dan momennya semakin kritis. Jimi membopong kembali Kani yang masih lemas dan memapahnya hingga melintasi satu gerbong di belakang gerbong yang berisi sandera.
"Obor!" dengan dipusatkannya semburan api pada tangan, tongkat besi yang digenggam Jimi kini diselimuti api hitam, namun tidak melelehkan benda tersebut.
"Jimi, sebelum gue pingsan lagi. Dengarkan ini baik-baik," ucap Kani dengan nada bicara yang pelan dan lirih.
"Simpan untuk nanti saja. Bang Yongki juga sudah berpacaran dengan Mba Ayu," ucap Jimi ringan. Kani terbelalak mendengar ucapan Jimi, ia tidak menyangka mendengar hal tersebu
"Gue juga ada teman yang seperti batu di kelas, Ayu," celetuk Yongki. Ayu mengangguk dengan wajah sok serius. "Benar juga, di kelas saya juga ada. Tapi apa orang seperti itu bisa ditaklukan hatinya?" balas Ayu. Yongki menggeleng pelan seperti hilang harapan. "Mungkin bisa, tapi sulit. Bisa jadi wanita itu harus menunggu bertahun-tahun. Tapi siapa yang tahu." kini giiran Jimi yang manggut-manggut. "Jadi memang menjadi seorang perempuan itu sulit apalagi kalau pria yang ia sukai.." belum selesai Jimi bicara, Kida sudah terlanjur emosi. "Berisik! kalian semua berisik! Gue ga mau ikut penugasan bareng kalian lagi!" omel Kida dengan kedua tangan yang terkepal. Bukannya takut, namun Yongki dan Ayu malah terkekeh. "Ok, ok. Gue minta maaf. Gue engga ngomong lagi. Hi hi. Ayu, sekarang kita fokus," ucap Yongki dengan nafas yang berusaha ia atur agar tawanya bisa hilang. Ayu masih membuang muka dan cekikikn kecil. Jimi menunduk berusaha menghindari mata
[Stasiun Mangga Besar] "Gue harus menyusul ke Monas, semoga mereka sudah menemukan letak into terak Contus," batin Kani. Ia sedang berlari menyusuri tangga untuk keluar dari stasiun. Walaupun ia telat, Kani masih bisa memberitahu yang lain soal inti terak tersebut. Saat ia sampai di di depan stasiun ada pengendara motor yang mengebut dan berhenti tepat di depannya. Seluruh yang sedang menunggu mendadak menjauh. Pengendara motor dengan pakaian serba gelas itu menawarkan helm kepada Kani, namun Kani enggan menerimanya. Sadar ada yang salah, pengendara itu membuka kaca helmya dan melihat Kani dengan mata kuningnya. Kani segera menyambar helm itu dan naik di jok belakang. Tanpa basa-basi pengendara itu memacu motornya dengan sangat cepat meninggalkan Stasiun Mangga Besar. "Kita kemana?!" tanya pengendara itu. "Gambir bang! Contus akan menyerang tempat penyimpanan mineral galian di ruang bawah tanah Monas!" balas Kani, ia kemudian mengelua
Tidak ada waktu, Contus menaruh kepercayaan diri yang tinggi pada daya tahan tubuhnya. Ia mengayun tubuh Ayu dan dan memukulnya kepalanya. Sekejap guncangan keras di kepala membuat perempuan itu setengan pingsan, kesadaran hampir hilang total. "Ayu!!" Teriakan Yongki semakin samar di telinga Ayu. Contus belum juga tenang karena ia harus berkonsentrasi penuh menerima serangan harpoon Yongki. "Yong.. ki? Ah, sebentar lagi efek merpati akan hilang. Saya harus membantu Yongki.." gumam Ayu. Kesadarannya sudah makin hilang, darah mulai mengalir dari hidungnya. Yongki sudah terbebas dari injakan Contus namun hanya salah satu lengannya yang dapat ia gunakan. Ayu memperhatikan dengan baik bagaimana Yongki berusaha keras mengerahkan kekuatanya untuk menggerakan harpoon itu menembus dada Contus. Nama Ayu terus diteriakan Yongki berulang-ulang, padahal saat Yongki melepas nafasnya kembali, darah kembali memuncrat dari dalam mulutnya. "S
[Peron Stasiun Juanda]Zap!Kekuatan Ayu sekejap hilang. Tidak lama berselang sebuah ledakan besar terlihat dari kejauhan, namun getarannya terasa hingga tempat mereka berdiri. Jimi dan Kida memang awalnya berdiri sejajar melihat ke arah rel, namun mendengar suara ledakan, mereka menoleh dan sedikit beranjak dari tempatnya. Belum ada juga satu patah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua.Suara lolongan Contus yang samar namun terdengar bersamaan dengan tubuhnya yang mendadak membesar terlihat dari kejauhan. Saat Contus menyemburkan api hitam besar dan panjang terakhir, baru ada sebuah reaksi yang muncul di antara mereka."Engga adil.. Kalian engga adil," Isak Kida yang kemudian berlari meninggalkan Jimi sendiri."Kida.." Peron stasiun itu terasa sangat sepi hanya Jimi yang berdiri di buai hembusan angin malam. Pakaian Jimi sudah compang-camping dan perlahan rasa sakit akibat luka saya dan lebam mulai bermunculan."Nak
Tiga hari berlalu sejak insiden kereta api Contus, Yongki dan Ayu sudah dimakamkan dua hari yang lalu. Pukulan sangat dirasakan oleh grup satu dan seluruh mangata yang pernah bekerja bersama Yongki. Jimi dan Afif juga hadir di acara penghormatan terakhir Yongki dan Ayu, Namun Jimi tidak menemukan Kida di acara itu. Tepat diakhir acara, Mischa meminta Jimi menghadap ke ruangannya di hari senin.[Ruang kelas Jimi dan Afif, senin pagi]"Hilmi, sudah pergantian jam olahraga, lo engga ganti baju?" tanya Afif yang sudah mengeluarkan pakaian olahraga dari tasnya."Gurunya engga ada kan? lo paling cuma mau main futsal atau basket kan?" sahut Jimi yang meletakkan kepalanya di atas meja."Sudahlah ayo! kita satu olahraga bareng kelas 2 dan 3 juga, kita tanding dengan mereka!" Afif masih bersikeras mengajak temannya itu."Malaaas.." Jimi memutar kepalanya memalingkan pandangan dari Afif, namun malahdi depannya berdiri Soca yang sudah mengguna
Tiga hari berlalu sejak insiden kereta api Contus, Yongki dan Ayu sudah dimakamkan dua hari yang lalu. Pukulan sangat dirasakan oleh grup satu dan seluruh mangata yang pernah bekerja bersama Yongki. Jimi dan Afif juga hadir di acara penghormatan terakhir tersebut. Namun Jimi tidak menemuka Kida di acara itu. Tepat di akhir acara, Mischa meminta Jimi menghadap ke ruangannya di hari Senin. [Ruang Kelas Jimi dan Afif, Senin pagi] “Hilmi, sudah pergantian jam olahraga. Lo engga mau ganti baju?” tanya Afif yang sudah mengeluarkan pakaiannya olahraga dari dalam tasnya. “Gurunya engga ada kan? Lo paling Cuma mau tanding futsal atau basket saja kan ?” sahut Jimi menyangsikan ajak Afif sambil meletakkan kepalanya di atas meja. “Sudah, ayo! Kita satu jam pelajaran dengan kelas 2 dan 3. Masa tanding saja lo engga mau?” Afif masih bersikeras mengajak temannya itu. “Malas...” Jimi memutar kepalanya, memalingkan pandangan dari
Jimi tidak membuang waktunya. Ia menceritakan seluruh rencana Contus. Mulai dari memanfaatkan Kani yang memiliki kemampuan vital, tujuan Contus menggiring Agora Beak menuju Monas di mana seluruh galian Agora ditimbun di sana, hingga kebangkitan Astoret. Mischa, Umbu dan Teja mendengarkan dengan serius. "Astoret.. jadi itu raja mereka? mungkin Terak Nova keempat?" ucap Teja setelah mereka diam cukup lama usai Jimi menyelesaikan ceritanya. "Mischa. Kapan Listu akan menunjuk kapten mangata yang baru?" tanya Umbu. Mischa menyeruput minuman di cangkirnya. "Entahlah, mungkin dalam waktu dekat. Kalian yang pernah menjabat posisi itu juga bisa menanyakannya langsung bukan?" balas Mischa. "Cih, perempuan keras kepala itu!" sergah Umbu. "Sama kayak lo goblok. Makanya engga usah marah-marah kalau rapat evaluasi," timpal Teja. "Hah! Ulangi lagi omonga lo!?" Umbu tersulut dan menantang Teja. "Go.Blok. Sudah bersihin kuping kan lo hari ini,
"Hei Jimi! Gimana? sudah mual belum?" ledek Umbu. Ia tidak mendengar suara Jimi sama sekali sejak penjelasas terakhir Teja. Jimi ingin mengiyakan, namun bukan karena takut melainkan urusan yang jauh berbeda dengan hanya berkelahi. "Apa motivasi lo bergabung dengan Agora Beak, Jimi?" tanya Teja dengan wajah mesem. "Engga ada bang, saya masih bingung. Setelah mengalahkan Shabnock, saya merasa dendam orang tua saya sudah terangkat," jawab Jimi. ".. Sekarang lo tinggal dengan siapa?". "Bibi saya bang. Ia yang mengasuh saya sejak orang tua saya meninggal." "Engga begitu buruk ya.. dan sekarang malah kehilangan arah. Kekuatanmu akan sia-sia di depan terak jika sudah lembek seperti itu," timpal Umbu tiba-tiba. Jimi diam, biasanya ia akan marah jika ada yang menyinggung prinsip atau mendiang orang tuanya, namun sepertinya ia membenarkan ucapan Umbu. "Umbu benar. Konsentrasi lo akan goyah dan shrapnel bisa jadi hanya akan memakan diri lo," ucap
[Lapangan Belakang Sekolah]Benso sebenarnya berada di posisi sadar dan tidak sadar, karena bagaimanapun akhir pertarungannya dengan Sriti tidak begitu baik. Namun saat ia bangun kesekian kali dengan menggunakan seluruh kekuatannya, ia melihat situasi yang pelik. Di dekatnya berdiri Glori yang dengan cekatan menggunakan jemarinya mengontrol robot besar dengan remot pengendali."Siapa perempuan ini? Dia lagi bertarung? .. itu Tulus dan Arin.. yang terluka parah?" Kesadarannya semakin pulih. Ia juga menyadari Sriti yang terbaring diam di balik balutan shimurgh miliknya."Jangan mati, jangan mati, jangan mati," ucap Benso berkali-kali saat ia membuka balutan shimurgh tersebut. Sriti mengalami luka bakar dan kulitnya melepuh.Benso kemudian mendekatkan telinya ke hidung dan mulut Sriti, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Angin yang berhembus dan turunnya hujan hitam sempat menyulitkannya menemukan tanda tersebut. Hingga akhirnya ia per
Ujang menjerit sejadinya saat sebuah tombak trisula menembus pahanya. Awalnya ia kaget melihat benda bulat raksasa yang dapat dihentikan dengan mudah oleh penjaga sekolah yang mendadak sebagian tubuhnya berubah menjadi robot. Namun ia tidak menyangka jika salah satu temannya malah melesatkan tombak trisula kearahnya. Pegangan tangannya di rambut Indri yang sedang ia jambak lantas mengendur."Upgrade!" ucap indri seraya menggenggam trisula tersebut.Batang besi trisula tersebut berubah warna menjadi keputihan, namun yang mencolok adalah bobotnya yang menjadi lebih berat. Seketika membuat Ujang terjatuh karena tidak kuat menahan sakit dan beban trisula. Mendapati dirinya terbebas dari Ujang, Indri mengusap hidupnya yang sedari tadi mengeluarkan darah karena dihajar Ujang."Bocah brengsek! Lo apain besinya sampai menjadi berat banget! Bangsat!" Umpat Ujang yang masih saja menyerang Indri.Mendengar celotehan itu, Indri bergeming dan menikmati jeritan Ujang.
[Lapangan depan El-Dorado]Listu sudah berdiri berhadapan dengan terak besar yang terus menyebut dirinya sebagai Moret. Terak berbentuk terenggiling berdiri tersebut cukup banyak bicara namun ia belum juga menyerang Listu, kecuali berdiri mengamankan sesuatu. Sembari mengulur waktu, Listu membaca situasi dan lingkungannya."Sebelum menggunakan shrapnel, gue memang merasa mampu menggunakan kekuatan turunan tanpa shrapnel. Tapi setelah gue pakai, kondisi tubuh gue lebih stabil, telinga gue terlalu pengang.." gumam Listu. Perlahan namun pasti, rasa sakit ditubuhnya menghilang seiring dengan regenerasi."Buff!"Listu berteriak dan mengubah penampilan yang dikelilingi dengan lingkaran, mantra dan cahaya. Moret terkesima dan segera menutup matanya karena awalnya silau melihat perubahan tersebut. Listu menggenggam sebuah tongkat yang ia gunakan sebagai senjatanya, seluruh buff support diarahkan kepada dirinya. konsentrasi daya yang besar pada sa
[Bangsal Perawatan] "Yunita, hei yunita. Bangun," panggil suara seorang laki-laki ke arah Yunita yang masih terbaring di ranjang lengkap tertutup selimut. Suaranya yang awalnya samar tersebut perlahan terdengar jelas. Kepalanya pengar, matanya begitu berat untuk dibuka, namun Yunita terus berusaha. Pandangannya akhirnya mulai terlihat, ia mendapati Teja dan Herman berdiri di samping ranjang. Sekilas ia melihat Teja yang wajahnya dipenuhi plester dan beberapa bagian tubuhnya dibalut perban. "Gue baru tau, anggota Fraksi bisa bermalas-malasan di atas ranjang," seloroh Teja. ".. Diam, sudah lama gue tidur?" tanya Yunita perlahan, ia berkali-kali mengedipkan mata untuk mengatur cahaya yang masuk ke matanya. "Lumayan mba, kami memindahkan ranjangmu dari ruangan sebelumnya karena si anak baru masih memiliki radiasi," ujar Herman yang masih memegang kruk di lengan sebelahnya. "Jimi? oh.. apa dampaknya?" "Pemulihan lo
[Gudang barang bekas] Seseorang berjalan perlahan sambil sesekali melihat ke arah Soca meninggalkan gudang. Orang itu adalah seorang perempuang yang mengenakan seragam sekolah. Saat mengetahui tempat tumpukan barang bekas yang ia tuju berada di dalam wadah besar berdinding cukup tinggi, ia kemudian melihat sekeliling dan menemukan barang bekas lain yang dapat dijadikan pijakan naik. Tidak lama terdengar suara demtuman dari arah luar gudang. Perempuan tersebut menghentikan sejenak langkahnya, ia yakin ada masalah besar yang timbul dari arah sekolah. Setelah sampai di puncak tumpukan barang bekasi ia lanjutkan dengan berjalan meniti dan mencari pijakan yang kuat. Karena perempuan itu menggunakan rok maka langkahnya cukup panjang mencapai pijakan yang cukup jauh. "Ah! di situ rupanya!" gumam perempuan tersebut saat melihat jejak darah yang mengarah ke satu titik. Di titik itu juga ia melihat kaki yang terjuntai lengkap dengan sepatu kets dan kao
Pancuran asap yang membumbung tinggi itu juga mengingatkan ingatan Linda. Sesaat ia berserah pasrah apabila kepalanya lepas tiba-tiba akibat serangan mendadak mangata. Misinya menghancurkan sirkulasi energi mineral yang ditimbun organisasi Agora Beak sudah usai. Namun mendadak ingatan masa lalunya muncul. Ada anak lain selain Soca yang mendapat berkah lebih dan ia berada di sisi yang terang, bukan sisinya."Getanama ceri.. harusnya kamu ikut dihakimi disini.." ucap Linda perlahan, kepalanya yang awalnya dingin mendadak mendidih."Kamu menuruti perintah Papa dan Mama namun setelah terak itu datang mencerahkan.. kamu pergi dan membela kebenaran.. Munafik.. Oportunis.. Apa mungkin tugasku belum selesai disini hingga seluruh penghuni Rumah Basaria memilih sisi yang benar.." renung Linda.Dari semburan itu tiba-tiba tanah seolah sobek dan membuka sebuah portal layaknya portal di malam purnama. Dua sosok berwarna hitam dengan tinggi hampir mencapai 3 meter muncul meng
[Lapangan Belakang Sekolah] [Benso vs Sriti] Pertarungan Benso dan Sriti terhenti sebentar setelah semburan asap hitam yang menjulang tinggi. Benso segera melirik ke arah Sriti, berharap kemarahannya kepada para pemberontak benar terbukti dengan wajah puas mereka. Namun, Benso tidak menemukan ekspresi itu wajah Sriti. Air mukanya bukan puas, meyeringai atau tersenyum bangga. Apa yang dilihat Benso adalah wajah gadis yang pasrah dan tidak menikmati satu detikpun hidupnya. Sriti memang dikenal pendiam dan memiliki nada bicara yang unik, namun perempuan yang satu angkatan dengan Benso tersebut lebih sering menyendiri dan bergaul dengan Linda atau Glori, sifat umumnya penderita ludens. "Sudah puas!? Kita selesaikan sekarang, Sriti!" seru Benso bengis. Sriti terkejut dan kembali mengendalikan dirinya yang sempat terbawa suasana. "Lo engga mengerti arti usaha Linda," balas Sriti yang kemudian melayang kembali.
[Lorong penyimpanan Biro Penambang]"Mba, lo merasakan itu juga?" tanya Afif yang bersandar di dinding. Ia merasakan kekuatan di dalam tubunya keluar masuk dengan perlahan sehingga tidak stabil."Ini jauh lebih besar daripada kekuatan kita semalam. Mba Linda sepertinya sudah bergerak," jawab Gina berdiri sambil memandangi langit-langit."Tapi, terima kasih karenanya badan gue perlahan-lahan membaik," ucap Afif yang perlahan merambat berdiri."Kita harus keluar. Labirin milik Bang Cecep harusnya sudah permanen mati, kita bisa langsung menuju lantai atas," ajak Gina yang mencoba melompat berkali-kali."Mba, lo engga perlu berputar saat melompat. Celana dalam berenda hanya pantas digunakan Tari," celetuk Afif yang tidak sengajak memperhatikan gerakan Gina."Lo juga Tari Fans Club!? awalnya gue pikir fans Tari yang cowo itu normal sampai gue tahu kalian memperhatikan detail penampilan dan pakaian Tari.. Menjijikan," balas Gina y
[Sebuah Gudang Barang Bekas di Luar Sekolah] [Herna Mischa vs Soca Damun Arsa] "Lo punya kekuatan yang gue engga tahu apa kemampuannya. Engga mau membuat pertarungan ini adil?" tanya Mischa dengan senyum. Ia masih tenang dan menganggap enteng pertarungannya dengan Soca. "Ten folds. Kemampuan yang terlalu berbahaya bahkan bagi seorang Umbu sekalipun," jawab Soca datar. "Hei bocah. jangan membandingkan kemampuan gue dengan Umbu. Tidak adil. Dia terlalu lemah untuk gue". "Maka, jangan jadikan alasan adil sebagai caramu untuk menang, Mishca," Soca kemudian memutar sebuah tutup botol tersebut untuk membuka isinya. Mischa bergerak cepat dengan mencengkram sebuah kipas duduk bebas yang terserak dan melemparnya ke arah Soca. Soca terkejut namun refleksnya menangkis benda tersebut, yang tidak Soca antisipasi adalah saat kipas tersebut adalah debu dan beberapa benda kecil bertebaran menghalangi pandangan Soca. M