Tiga hari berlalu sejak insiden kereta api Contus, Yongki dan Ayu sudah dimakamkan dua hari yang lalu. Pukulan sangat dirasakan oleh grup satu dan seluruh mangata yang pernah bekerja bersama Yongki. Jimi dan Afif juga hadir di acara penghormatan terakhir tersebut. Namun Jimi tidak menemuka Kida di acara itu. Tepat di akhir acara, Mischa meminta Jimi menghadap ke ruangannya di hari Senin.
[Ruang Kelas Jimi dan Afif, Senin pagi]
“Hilmi, sudah pergantian jam olahraga. Lo engga mau ganti baju?” tanya Afif yang sudah mengeluarkan pakaiannya olahraga dari dalam tasnya.
“Gurunya engga ada kan? Lo paling Cuma mau tanding futsal atau basket saja kan ?” sahut Jimi menyangsikan ajak Afif sambil meletakkan kepalanya di atas meja.
“Sudah, ayo! Kita satu jam pelajaran dengan kelas 2 dan 3. Masa tanding saja lo engga mau?” Afif masih bersikeras mengajak temannya itu.
“Malas...” Jimi memutar kepalanya, memalingkan pandangan dari
Glosarium: [1] Jie Jie: Kaka Perempuan dalam bahasa mandarin
Jimi tidak membuang waktunya. Ia menceritakan seluruh rencana Contus. Mulai dari memanfaatkan Kani yang memiliki kemampuan vital, tujuan Contus menggiring Agora Beak menuju Monas di mana seluruh galian Agora ditimbun di sana, hingga kebangkitan Astoret. Mischa, Umbu dan Teja mendengarkan dengan serius. "Astoret.. jadi itu raja mereka? mungkin Terak Nova keempat?" ucap Teja setelah mereka diam cukup lama usai Jimi menyelesaikan ceritanya. "Mischa. Kapan Listu akan menunjuk kapten mangata yang baru?" tanya Umbu. Mischa menyeruput minuman di cangkirnya. "Entahlah, mungkin dalam waktu dekat. Kalian yang pernah menjabat posisi itu juga bisa menanyakannya langsung bukan?" balas Mischa. "Cih, perempuan keras kepala itu!" sergah Umbu. "Sama kayak lo goblok. Makanya engga usah marah-marah kalau rapat evaluasi," timpal Teja. "Hah! Ulangi lagi omonga lo!?" Umbu tersulut dan menantang Teja. "Go.Blok. Sudah bersihin kuping kan lo hari ini,
"Hei Jimi! Gimana? sudah mual belum?" ledek Umbu. Ia tidak mendengar suara Jimi sama sekali sejak penjelasas terakhir Teja. Jimi ingin mengiyakan, namun bukan karena takut melainkan urusan yang jauh berbeda dengan hanya berkelahi. "Apa motivasi lo bergabung dengan Agora Beak, Jimi?" tanya Teja dengan wajah mesem. "Engga ada bang, saya masih bingung. Setelah mengalahkan Shabnock, saya merasa dendam orang tua saya sudah terangkat," jawab Jimi. ".. Sekarang lo tinggal dengan siapa?". "Bibi saya bang. Ia yang mengasuh saya sejak orang tua saya meninggal." "Engga begitu buruk ya.. dan sekarang malah kehilangan arah. Kekuatanmu akan sia-sia di depan terak jika sudah lembek seperti itu," timpal Umbu tiba-tiba. Jimi diam, biasanya ia akan marah jika ada yang menyinggung prinsip atau mendiang orang tuanya, namun sepertinya ia membenarkan ucapan Umbu. "Umbu benar. Konsentrasi lo akan goyah dan shrapnel bisa jadi hanya akan memakan diri lo," ucap
Rapat grup dilakukan di salah satu ruang latihan. Tidak hanya perlengkapan berlatih, secara kebutuhan, perlengkapan untuk rapat juga disediakan. Ruang latihan berwarna putih dan kosong itu sekejap berubah menjadi ruang rapat dengan empat buah meja panjang yang dilingkari 12 kursi. Suhu ruangan juga dapat diatur sedemikian rupa sehingga nyaman digunakan.Herna Mischa tidak membuang waktu untuk mengenal seluruh anggotanya. Ia meminta seluruh berdiri memperkenalkan diri sekaligus unjuk gigi terkait kemapuan turunan shrapnel miliknya. Menurut Mischa, hanya Danti yang tidak dapat hadir karena posisinya yang juga kapten dan urusannya menumpuk banyak, hal tersebut dibenarkan oleh anggotanya, Prinza Jodi.Saat presentasi, seluruh anggota saling berdeacak kagum melihat kemampuan anggota baru, begitu juga dengan anak baru yang melihat kefasihan senior mereka memeragakan kemampuan. Semua kecuali Prinza yang mengaku tidak memiliki kemampuan turunan meski menggunakan shrapnel.
Kida dan Jimi berpamitan kepada Indri. Toko kelontong yang besar kehilangan lagi kehidupannya dan perlahan menuju senja, namun wajah tegar indri yang pernah meluluhkan Ayu tidak patah semangat. Ia bersoloroh akan mencari pekerja pria yang kuat dan tampan untuk membantunya kerja di toko ini. Semangat Indri menyadarkan Kida bahwa tidak harusnya sedari awal ia berusaha menggantikan Ayu. Sebelum melepas mereka, Indri mengusap pelan kepada Kida, berterima kasih sudah menjadi teman Ayu yang baik. Mereka akhirnya pamit pulang. Jimi bersikeras mengantar Kida pulang dengan berjalan kaki. "Hei, bocah. Terima kasih," ucap Kida tiba-tiba tanpa memandang Jimi. Jengkel, Jimi menggodanya. "Hah? mau tahu isi? kok repot?" goda Jimi. "Terima kasih! Telingamu ketinggalan di sekolah ya!?" hardik Kida. Jimi tertawa saja mendapat respon itu. "Rumah lo dimana sih? Jauh banget!?" Jimi mula mengeluh. "Salah sendiri bersikap pamrih," balas Kida. "Hah? p
Ujian mid-semester berlangsung selama 4 jam tanpa henti. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran yang primer digunakan sebagai dasar kenaikan kelas nantinya. Seluruh siswa mencurahkan konsentrasi pada ujian semu pertama ini, motifnya satu, mengukur kapasitas otak mereka.Hal itu pula yang mendorong Bram dan Kani melakukan praktik ilegal di kelas, uang atau mineral yang mereka cukup untuk menyenangkan hobi mereka nanti. Namun setelah 30 menit ujian berjalan. 4 orang anggota Agora menyadari sesuatu yang aneh."Soalnya gampang banget!?" batin Jimi, Afif, Soca dan Kani. Mereka berempat terpana mengetahui bisa mengerjakan seluruh rangakaian ujian Mid-semester. meski jenis ujian berjenis pilihan ganda, namun mereka dapat mengerjakan rangkaian ujian tersebut meski hanya melihat soal ujian tersebut sepintas."Tahu gini, engga bakal gue ambil contekannya Kani," sungut Jimi yang benar-benar yakin dengan jawabannya."Tahu gini, gue aja yang jadi makelarny
Maya baru saja menyelesaikan tesnya dan berjalan ke arah Afif dan Evan. Afif cukup menyesal karena tidak menyaksikan kebolehan Maya dalam menyerang sandsack. Evan kikuk, namun ia memutuskan untuk tetap tinggal bersama Afif. Maya datang dengan bola mata yang besar dan senyum penuh rasa bangga."Hai Afif! Stevan?.. kalian satu grup ya?" tanya Maya ramah dan nadanya yang tegas."Ha, halo Maya," balas Evan separuh gugup."Iya mba! kami berdua satu grup dan Bang Evan mangata kelas C!" sahut Afif terpancing ikut menjawab penuh semangat."Oh iya!? Menarik! Gue bangga kalau kawan gue berhasil mencapai tingkat yang baru! Selamat Evan!" ujar Maya sambil menjulurkan tangannya kearah Evan. Seakan kehilangan kata-kata, Evan hanya menjabat tangan Maya dan mengucapkan terima kasih."Lo masih ingin menjadi guru, Maya?" tanya Evan."Selalu, hingga hari hari ini!," jawab Maya dengan wajah jumawa."ahahaha.. dan gue masih mencari jati diri," uc
"Kyaa!" Nora masih berteriak sambil mengejamkan mata karena dirinya ditarik ke balik pintu tiba-tiba. "Nora! Nora! Gue Afif!" ujar Afif yang rupanya berhasil menarik Nora. Ia kemudian memeluk Nora sambil menenangkannya. Merasa dekapan yang hangat memenuhi tubuhnya, Nora kemudian diam sambil perlahan membuka kedua matanya. "Hah!? Hah!? Lo siapa? Kenapa peluk-peluk gue!?" kaget Nora yang mendapati sudah ada di dekapan seseorang. "Eng.. Gue Afif. Lo engga apa-apa kan?" Afif kemudian memunculkan wajahnya. Nora terkejut kemudian memeluk Afif. "Peluk aku saja, FIf," ucap Nora kegirangan berhasil menemukan Afif. Namun, Afif justru berusaha melepaskan pelukan Nora. Affi memegang kedua lengan Nora namun wajahnya ia buang tidak menatap mata Nora. "Kamu kenapa?". "Engga.. gue engga apa-apa," jawab Afif terbata. Nora mulai risau, namun ada rasa jengkel di hatinya. "Aku tahu kamu engga terlalu senang saat aku mendekatimu.. Menghindar, Marah
Afif menjadi setengah sempoyongan. Kepalanya mendadak migrain dan saat mengedipkan matanya, sesekali ia melihat bayangan perempuan kecil. Bayangan yang seakan ia begitu kenal, namun kutukan itu menarik paksa ingatan Afif. Tidak kuat, afif jatuh berlutut, bertumpu di salah satu kakinya. Nora berusaha menghampiri, namun dengan cepat Afif menahan Nora mendekatinya. "Siapa lo sebenarnya Nora?" tanya Afif bertanya retoris. Nora memilih diam karena apapun yang keluar dari mulutnya bukanlah jawaban yang Afif inginkan. Wajahnya memelas, sebenarnya ingin memohon pada Afif untuk menahan diri agar tidak berfikir terlalu keras. "Sejak gue kehilangan kedua orangtua, Jenar selalu menyemangati. Wajah cantiknya tidak sangat jauh berbeda dengan tangannya yang kuat dan bisa diandalkan. Hingga kami tinggal bersama tetangga yang memiliki usaha pembuatan mie." Afif mulai bercerita. Menurut hematnya, jika ia menceritakan semuanya dari awal, ada yang benar-benar bisa Nora lakukan baginya.
[Lapangan Belakang Sekolah]Benso sebenarnya berada di posisi sadar dan tidak sadar, karena bagaimanapun akhir pertarungannya dengan Sriti tidak begitu baik. Namun saat ia bangun kesekian kali dengan menggunakan seluruh kekuatannya, ia melihat situasi yang pelik. Di dekatnya berdiri Glori yang dengan cekatan menggunakan jemarinya mengontrol robot besar dengan remot pengendali."Siapa perempuan ini? Dia lagi bertarung? .. itu Tulus dan Arin.. yang terluka parah?" Kesadarannya semakin pulih. Ia juga menyadari Sriti yang terbaring diam di balik balutan shimurgh miliknya."Jangan mati, jangan mati, jangan mati," ucap Benso berkali-kali saat ia membuka balutan shimurgh tersebut. Sriti mengalami luka bakar dan kulitnya melepuh.Benso kemudian mendekatkan telinya ke hidung dan mulut Sriti, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Angin yang berhembus dan turunnya hujan hitam sempat menyulitkannya menemukan tanda tersebut. Hingga akhirnya ia per
Ujang menjerit sejadinya saat sebuah tombak trisula menembus pahanya. Awalnya ia kaget melihat benda bulat raksasa yang dapat dihentikan dengan mudah oleh penjaga sekolah yang mendadak sebagian tubuhnya berubah menjadi robot. Namun ia tidak menyangka jika salah satu temannya malah melesatkan tombak trisula kearahnya. Pegangan tangannya di rambut Indri yang sedang ia jambak lantas mengendur."Upgrade!" ucap indri seraya menggenggam trisula tersebut.Batang besi trisula tersebut berubah warna menjadi keputihan, namun yang mencolok adalah bobotnya yang menjadi lebih berat. Seketika membuat Ujang terjatuh karena tidak kuat menahan sakit dan beban trisula. Mendapati dirinya terbebas dari Ujang, Indri mengusap hidupnya yang sedari tadi mengeluarkan darah karena dihajar Ujang."Bocah brengsek! Lo apain besinya sampai menjadi berat banget! Bangsat!" Umpat Ujang yang masih saja menyerang Indri.Mendengar celotehan itu, Indri bergeming dan menikmati jeritan Ujang.
[Lapangan depan El-Dorado]Listu sudah berdiri berhadapan dengan terak besar yang terus menyebut dirinya sebagai Moret. Terak berbentuk terenggiling berdiri tersebut cukup banyak bicara namun ia belum juga menyerang Listu, kecuali berdiri mengamankan sesuatu. Sembari mengulur waktu, Listu membaca situasi dan lingkungannya."Sebelum menggunakan shrapnel, gue memang merasa mampu menggunakan kekuatan turunan tanpa shrapnel. Tapi setelah gue pakai, kondisi tubuh gue lebih stabil, telinga gue terlalu pengang.." gumam Listu. Perlahan namun pasti, rasa sakit ditubuhnya menghilang seiring dengan regenerasi."Buff!"Listu berteriak dan mengubah penampilan yang dikelilingi dengan lingkaran, mantra dan cahaya. Moret terkesima dan segera menutup matanya karena awalnya silau melihat perubahan tersebut. Listu menggenggam sebuah tongkat yang ia gunakan sebagai senjatanya, seluruh buff support diarahkan kepada dirinya. konsentrasi daya yang besar pada sa
[Bangsal Perawatan] "Yunita, hei yunita. Bangun," panggil suara seorang laki-laki ke arah Yunita yang masih terbaring di ranjang lengkap tertutup selimut. Suaranya yang awalnya samar tersebut perlahan terdengar jelas. Kepalanya pengar, matanya begitu berat untuk dibuka, namun Yunita terus berusaha. Pandangannya akhirnya mulai terlihat, ia mendapati Teja dan Herman berdiri di samping ranjang. Sekilas ia melihat Teja yang wajahnya dipenuhi plester dan beberapa bagian tubuhnya dibalut perban. "Gue baru tau, anggota Fraksi bisa bermalas-malasan di atas ranjang," seloroh Teja. ".. Diam, sudah lama gue tidur?" tanya Yunita perlahan, ia berkali-kali mengedipkan mata untuk mengatur cahaya yang masuk ke matanya. "Lumayan mba, kami memindahkan ranjangmu dari ruangan sebelumnya karena si anak baru masih memiliki radiasi," ujar Herman yang masih memegang kruk di lengan sebelahnya. "Jimi? oh.. apa dampaknya?" "Pemulihan lo
[Gudang barang bekas] Seseorang berjalan perlahan sambil sesekali melihat ke arah Soca meninggalkan gudang. Orang itu adalah seorang perempuang yang mengenakan seragam sekolah. Saat mengetahui tempat tumpukan barang bekas yang ia tuju berada di dalam wadah besar berdinding cukup tinggi, ia kemudian melihat sekeliling dan menemukan barang bekas lain yang dapat dijadikan pijakan naik. Tidak lama terdengar suara demtuman dari arah luar gudang. Perempuan tersebut menghentikan sejenak langkahnya, ia yakin ada masalah besar yang timbul dari arah sekolah. Setelah sampai di puncak tumpukan barang bekasi ia lanjutkan dengan berjalan meniti dan mencari pijakan yang kuat. Karena perempuan itu menggunakan rok maka langkahnya cukup panjang mencapai pijakan yang cukup jauh. "Ah! di situ rupanya!" gumam perempuan tersebut saat melihat jejak darah yang mengarah ke satu titik. Di titik itu juga ia melihat kaki yang terjuntai lengkap dengan sepatu kets dan kao
Pancuran asap yang membumbung tinggi itu juga mengingatkan ingatan Linda. Sesaat ia berserah pasrah apabila kepalanya lepas tiba-tiba akibat serangan mendadak mangata. Misinya menghancurkan sirkulasi energi mineral yang ditimbun organisasi Agora Beak sudah usai. Namun mendadak ingatan masa lalunya muncul. Ada anak lain selain Soca yang mendapat berkah lebih dan ia berada di sisi yang terang, bukan sisinya."Getanama ceri.. harusnya kamu ikut dihakimi disini.." ucap Linda perlahan, kepalanya yang awalnya dingin mendadak mendidih."Kamu menuruti perintah Papa dan Mama namun setelah terak itu datang mencerahkan.. kamu pergi dan membela kebenaran.. Munafik.. Oportunis.. Apa mungkin tugasku belum selesai disini hingga seluruh penghuni Rumah Basaria memilih sisi yang benar.." renung Linda.Dari semburan itu tiba-tiba tanah seolah sobek dan membuka sebuah portal layaknya portal di malam purnama. Dua sosok berwarna hitam dengan tinggi hampir mencapai 3 meter muncul meng
[Lapangan Belakang Sekolah] [Benso vs Sriti] Pertarungan Benso dan Sriti terhenti sebentar setelah semburan asap hitam yang menjulang tinggi. Benso segera melirik ke arah Sriti, berharap kemarahannya kepada para pemberontak benar terbukti dengan wajah puas mereka. Namun, Benso tidak menemukan ekspresi itu wajah Sriti. Air mukanya bukan puas, meyeringai atau tersenyum bangga. Apa yang dilihat Benso adalah wajah gadis yang pasrah dan tidak menikmati satu detikpun hidupnya. Sriti memang dikenal pendiam dan memiliki nada bicara yang unik, namun perempuan yang satu angkatan dengan Benso tersebut lebih sering menyendiri dan bergaul dengan Linda atau Glori, sifat umumnya penderita ludens. "Sudah puas!? Kita selesaikan sekarang, Sriti!" seru Benso bengis. Sriti terkejut dan kembali mengendalikan dirinya yang sempat terbawa suasana. "Lo engga mengerti arti usaha Linda," balas Sriti yang kemudian melayang kembali.
[Lorong penyimpanan Biro Penambang]"Mba, lo merasakan itu juga?" tanya Afif yang bersandar di dinding. Ia merasakan kekuatan di dalam tubunya keluar masuk dengan perlahan sehingga tidak stabil."Ini jauh lebih besar daripada kekuatan kita semalam. Mba Linda sepertinya sudah bergerak," jawab Gina berdiri sambil memandangi langit-langit."Tapi, terima kasih karenanya badan gue perlahan-lahan membaik," ucap Afif yang perlahan merambat berdiri."Kita harus keluar. Labirin milik Bang Cecep harusnya sudah permanen mati, kita bisa langsung menuju lantai atas," ajak Gina yang mencoba melompat berkali-kali."Mba, lo engga perlu berputar saat melompat. Celana dalam berenda hanya pantas digunakan Tari," celetuk Afif yang tidak sengajak memperhatikan gerakan Gina."Lo juga Tari Fans Club!? awalnya gue pikir fans Tari yang cowo itu normal sampai gue tahu kalian memperhatikan detail penampilan dan pakaian Tari.. Menjijikan," balas Gina y
[Sebuah Gudang Barang Bekas di Luar Sekolah] [Herna Mischa vs Soca Damun Arsa] "Lo punya kekuatan yang gue engga tahu apa kemampuannya. Engga mau membuat pertarungan ini adil?" tanya Mischa dengan senyum. Ia masih tenang dan menganggap enteng pertarungannya dengan Soca. "Ten folds. Kemampuan yang terlalu berbahaya bahkan bagi seorang Umbu sekalipun," jawab Soca datar. "Hei bocah. jangan membandingkan kemampuan gue dengan Umbu. Tidak adil. Dia terlalu lemah untuk gue". "Maka, jangan jadikan alasan adil sebagai caramu untuk menang, Mishca," Soca kemudian memutar sebuah tutup botol tersebut untuk membuka isinya. Mischa bergerak cepat dengan mencengkram sebuah kipas duduk bebas yang terserak dan melemparnya ke arah Soca. Soca terkejut namun refleksnya menangkis benda tersebut, yang tidak Soca antisipasi adalah saat kipas tersebut adalah debu dan beberapa benda kecil bertebaran menghalangi pandangan Soca. M