"Ntar pulangnya lo mau gue jemput atau bagaimana?" Tanya Bumi setelah mereka sampai di sasana.
"Kalo mau, ntar lo WA gue aja. Gue nganterin nyokap gue dulu ke pasar, beli bahan-bahan kue untuk bukaan bentaran. Kalo kelarnya cepet, gue akan secepetnya balik lagi ke sini." Bumi membantu membukakan helm yang dipakai oleh Bintang karena melihatnya kesusahan untuk membuka kaitnya.
"Eh nggak usah, Kak. Nanti biar gue di jemput Kak Langit aja. Oh ya, Tante Intan dan Om Bayu apa kabar? Si tante masih demen aja ya belanja di pasar tradisional dari pada di pasar swalayan? Supaya hemat ya Kak, karena lebih murah?"
Bintang memang mengenal kedua orang tua Bumi yang juga berteman baik dengan ayah dan ibunya. Mereka sudah bersahabat sejak muda. Bumi adalah anak Om Bayu Persada Prasetya dan Tante Intan Ayu Raffardan. Makanya anak-anak mereka juga saling kenal dan cukup akrab. Angkasa Persada Prasetya, adik Bumi, malah sekelas dengannya.
"Bukan, Bi. Kata nyokap gue ada tiga keuntungan belanja di pasar tradisional. Pertama, sudah pasti harganya lebih murah. Tetapi itu bukanlah tujuan nyokap gue yang sesungguhnya. Menurut nyokap gue, pasar tradisional itu kan lebih banyak menjual hasil bumi negeri sendiri. Jadi kalo berbelanja di sana, itu artinya kita sudah ikut memajukan produk dalam negeri karena udah membantu mengembangkan usaha kecil.
Kedua, di sana juga kan nggak ada lemari pendingin. Jadi lebih gampang memilih mana bahan sayur dan buah yang masih bagus dan mana yang tidak. Kalau di supermaket kan suka saru antara yang masih segar dan udah lama karena efek freezer. Ketiga sih ini emang kesukaan semua emak-emak kayaknya. Nyokap gue suka berinteraksi dengan ibu-ibu yang ada di sana dan saling mendengar curhatan penjual maupun pembeli. Maklum aja, nyokap gue kan ketua ibu-ibu PKK." Terang Bumi panjang lebar.
"Ya udah gue cabut dulu. Inget, kalo kakak lo nggak bisa jemput, telepon aja gue." Bintang menganggukkan kepalanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Bintang bergegas masuk dalam sasana. Menukar pakaiannya dan bersiap-siap untuk memulai pemanasannya. Biasanya ia memulai dengan berlari mengelilingi lapangan. Dia sekarang tidak perlu di suruh-suruh lagi. Dia sudah ikhlas lillahi ta'ala dalam mengikuti semua peraturan dari para trainernya.
"Apa Om Sabda tahu kalo anak gadisnya dibonceng motor oleh laki-laki yang bukan anggota keluarga? Apalagi sampai pelukannya kenceng banget begitu. Kakak lihat bagian depan tubuh kamu sampai nempel kayak kembar siam sama punggungnya Bumi." Bintang mengelus-elus dadanya karena kaget melihat kemunculan tiba-tiba Tian. Walaupun sebenarnya jantungnya jedag jedug tidak karuan, tetapi ia berusaha untuk bersikap acuh saja. Dia sudah tidak mau lagi nampak tergila-gila pada Tian. Ia mengabaikan kehadiran Tian dan langsung masuk ke dalam kamar ganti.
"Bintang, kakak belum selesai ngomong sama kamu. Sikapmu itu kakak lihat semakin lama semakin tidak punya tata krama. Di mana Bintang yang sikapnya sopan dan manis dulu?" Tian menarik lengan Bintang. Ia merasa empet sudah berbicara panjang kali lebar, tetapi sama sekali tidak disahuti. Padahal dulu kalau Bintang sudah berbicara dengannya, kalimatnya panjang-panjang mengalahkan panjangnya kereta api. Tetapi sekarang dia sudah seperti makhluk invisible aja di mata ini bocah edan.
"Kakak ini maunya apa sih? Dulu aja waktu Bintang ngintilin Kakak kemana-mana, Kakak sebelnya bukan main. Ngata-ngatain buntelan jerawatanlah, inilah itulah. Nah giliran sekarang Bintang nggak mau mengusik Kakak lagi, Kakak malah kayak orang yang kebakaran seawak-awak. Maunya Kakak itu sebenarnya apa sih?" Bintang mengibaskan tangan Tian dan masuk ke dalam kamar mandi. Tapi dia tahu kalau Tian masih berdiri di depan pintu. Setelah menyelesaikan urusannya di kamar kecil, Bintang berjalan ke wastafel. Memilin kuncir kudanya dan mencepolnya ala ala girl band Korea. Karena pipinya sekarang sudah mulai tirus, model rambut seperti ini cocok juga untuknya. Padahal dulu ia sama sekali tidak berani mencepol rambutnya. Soalnya wajahnya akan menjadi selebar bandar udara jadinya.
"Kakak maunya kamu itu bisa bersikap sebagai seorang perempuan yang bermartabat. Jangan mau dimodusin sama si Bumi. Enak di dia rugi di kamu, Bi. Paham? Atau jangan-jangan memang kamu ya yang memang sengaja kegenitan melukin pinggang si Bumi itu sampe segitunya?" Omelan Tian berlanjut saat melihatnya keluar dari kamar mandi.
"Kegenitan apaan? Orang Bintang tadi takut jatuh karena Kak Bumi ngebut. Makanya Bintang peluk pinggangnya. Masalah kecil begitu saja kok di besar-besarin sih?" Bintang kini memasang hand wrap glove dan bersiap-siap latihan pemanasan terlebih dahulu agar otot-ototnya menjadi lentur dan tidak mudah cedera.
"Takut jatuh apa kamu emang kamunya yang demen meluk- melukin si Bumi?" Tian menyindir dengan kalimat menuduh yang begitu kentara.
"If no, so what? If yes, so what? Apa Kak Tian cemburu? Kalo cemburu bilang aja, Kak. Nggak usah ditahan-tahan. Nanti bisa bisulan lho, Kak." Bintang menjawab sambil lalu dan mulai berlari-lari kecil mengitari lapangan. Tian yang masih merasa penasaran karena pertanyaannya hanya dijawab ogah-ogahan oleh bocah cilik ini akhirnya malah ikut berlari di samping Bintang.
"Kakak bukannya cemburu sama kamu, Bi. Kakak hanya tidak mau kamu dimanfaatkan oleh orang lain. Karena bagaimana pun kedua orang tua kita bersahabat kan? Kamu jangan berfikir yang aneh-aneh." Tian masih saja berupaya untuk menasehati Bintang.
"Kamu ini udah besar, Bi. Tidak baik kalau kamu terlalu sering skinship dengan orang yang bukan apa-apa kamu. Sama Altan juga. Jangan mau dipeluk-peluk olehnya walau sekasual apapun hubungan kalian berdua. Laki-laki dan perempuan itu ibarat dua kutub yang saling bertolak belakang, tetapi saling tarik menarik. Jadi mau seperti apa pun akrabnya kalian berdua, tetap harus ada batasannya. Mengerti kamu, Bi?"
Hosh... hosh... hosh...
"Tolong ya Kak, Bintang ini lagi lari. Jadi jangan diajak bicara. Nanti nafas Bintang jadi boros dan cepet habis. Mending Kakak duduk ganteng aja di pojokan sana." Bintang dengan nafas ngos-ngosan mendorong Tian ke luar jalur garis putih area jogging track. Saat sedang serius berlatih begini, Bintang sama sekali tidak ingin diganggu. Tian akhirnya mengalah. Dia duduk di tribun dan memandangi Bintang berlari-lari kecil mengelilingi jogging track. Makin lama dipandang, Tian merasa bahwa wajah bocah montok ini sekarang sudah makin tirus. Tubuhnya juga makin langsing. Ternyata gadis kecil ini sungguh-sungguh ingin membuktikan kalau ia tidak ingin lagi dibully dengan kata-kata buntelan jerawatan.
Tian sedikit memicingkan mata saat melihat seperti ada sesuatu di telapak sepatu Bintang. Seperti sebuah kertas atau postcard bergambar yang ditempelkan pada kedua telapak sepatunya. Tepat ketika Bintang menyelesaikan joggingnya dan duduk di tribun. Tian menghampirinya. Tanpa aba-aba Tian langsung saja mengangkat kaki kiri Bintang dan memperhatikan kertas yang ditempel di telapak sepatunya. Si Empunya kaki kaget dan berusaha menarik kakinya. Tetapi lengan kuat Tian membuat Bintang sama sekali tidak bisa berkutik. Wajah Tian makin lama makin memerah saat ia menyadari bahwa photonyalah yang ternyata ditempelkan oleh Bintang pada kedua belah telapak sepatunya. Kurang ajar!
"Niat banget ya Bi, nginjek-nginjek muka Kakak sampai kayak gini." Tian masih juga tidak mau melepaskan tungkai kaki Bintang. Ia kemudian menarik photo wajahnya yang sudah beset-beset tidak karuan itu.
"Jadi sejak kamu marah sama kakak, terus kamu tempelin photo Kakak di sepatumu ya? Tahan juga ya sudah sebulan tapi photo Kakak masih bisa terlihat jelas di sini." Tian melihat photonya terakhir kali sebelum membuangnya ke tempat sampah.
"Siapa bilang itu photo udah sebulan yang lalu Bintang pasang? Orang setiap tiga hari sekali Bintang ganti kok dengan photo yang terbaru. Maksud Bintang sih, biar cepet habis gitu stok photo Kakak yang masih ada di Bintang." Bintang menjawab kalem-kalem pedes.
"Terus tujuan kamu berbuat seperti itu, apa? Saking bencinya ya sama, Kakak?" Tanya Tian penasaran.
"Supaya dalam setiap langkah Bintang, Bintang akan selalu teringat akan diri Kakak. Semua tentang diri kakak." Tegas Bintang seraya berlari masuk kembali ke dalam club. Sesi latihan sudah berjalan sekitar setengah jam, sebelum ada rombongan lain yang datang.
Pandangan Tian membentur sekelompok sugar daddy yang baru saya masuk ke dalam sasana, sambil tertawa-tawa. Mata tajam mereka memandangi Bintang dengan pandangan predator yang tidak wajar. Ketika kelima orang tersebut masuk ke dalam ruang ganti, Tian diam-diam mengekori.
"Lo liat itu abege montok, Sam? Udah hampir sebulan nih gue ngincer dia. Seksi beut kan bodynya? Berlekuk-lekuk semua euy! Yang model begini ini nih demenan gue. Kalo biasanya 'kan anak-anak abege itu bodynya pada tipis-tipis kayak triplek semua. Tapi yang satu ini," terdengar suara siulan genit. "Semok banget. Sesuai dengan fantasi-fantasi terliar gue. Cuma masalahnya, gue nggak pernah ada kesempatan buat menebar jala selama ini. Soalnya dia terus aja dijaga ketat sama si Saka. Tapi tadi gue nggak sengaja denger si Saka di telepon rumah sakit karena ada pasiennya yang mendadak mau ngelahirin. Akhirnya kesabaran gue berbuah manis juga. Hahahaha... pasti pawangnya lagi bersiap-siap ke rumah sakit ini. Ntar gue mau sparring one on one ah sama itu abege. Gue udah nggak tahan pengen ngemek-emek doi. Dia kan masih lugu banget, jadi gampang di modusin, mumpung pawangnya lagi nggak ada. Hehehehe. Setelah itu baru kita semua bergerak menebar jala. Kita pengaruhi dia pelan-pelan supaya dia mau jadi salah satu pelayan dalam komunitas kita. Hahahahaha."
Kepala Tian seakan-akan mengeluarkan asap, saking emosinya mendengarkan rencana busuk mereka. Rombongan ini sepertinya adalah komunitas menyimpang yang suka menjerat para abege untuk memuaskan hasrat menyimpang mereka. Untung saja dia sudah merekam seluruh pembicaraan dan bahkan sempat mengambil photo-photo mereka secara candid.
"Dan lo semua tau kagak itu bocah anak siapa?" Sambung suara itu lagi.
"Anak siapa emang?" Teman-temannya terdengar menimpali.
"Halilintar Sabda Alam. Musuh abadi gue. Semua proyek-proyek yang biasanya bisa gue goal in, sekarang semua pada ketekel sama bajingan itu. Lo liat aja, mungkin dia puas selama ini ngalahin gue di setiap proyek-proyek raksasa. Tapi gue akan mengambil sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, anak gadisnya. Nangis darah nggak dia ntar. Hahahhaha."
"Ck! Lo dari dulu emang nggak berubah ya, Frans? Doyanan lo semua anak-anak abege. Dasar pedophile sinting. Pantes aja lo sama tiga dedengkot lo ini pindah latihan ke sini. Rupanya kalian lagi ada proyek inceran. Gue nggak mau ikut campur urusan lo lo pada ya? Gue cuma mau bilang, apapun masalah lo sama bokapnya, itu anak kagak salah. Kesian kalo masa depannya lo rusak. Tobat woi, tobat lo semua!" Orang yang di panggil Sam itu terlihat berusaha menasehati empat orang temannya.
Gigi Tian bergemelutuk. Bapak-bapak ini ternyata sakit jiwa semua karena bernafsu pada anak kecil yang bahkan lebih pantas menjadi anaknya. Dan yang lebih membuat Tian murka, adalah orang yang bernama Frans itu tega sekali berniat merusak anak kecil hanya karena dendam pada orang tuanya. Benar-benar biadab. Tian yang telah selesai berganti pakaian segera mematikan ponsel dan langsung berlari menghampiri Saka saat melihatnya terlihat meninggalkan sasana dengan langkah bergegas.
"Om Saka, Saya boleh nggak menggantikan Om menjadi trainer di sini selama Om di rumah sakit? Saya lihat semua muay nak di dalam sana laki-laki. Saya khawatir sama Bintang, Om." Saka menepuk keningnya. Saking paniknya dia sampai lupa akan kehadiran Bintang di club. Bisa di cincang Sabda dia kalau anak gadisnya sampai kenapa-napa.
"Astaga, Om lupa! Iya... Iya boleh banget, Yan. Oh ya Om Sabda hanya membolehkan Om dan Tria yang jadi partner one on onenya Bintang. Tapi kalau kamu sih pasti Om Sabda juga nggak keberatan. Kamu tolong jagain Bintang selama Om nggak ada ya? Om harus mengejar waktu. Kasihan ada ibu yang mau melahirkan. Om jalan dulu ya?" Saka menepuk pelan bahu Tian sebelum berlari menuju ke parkiran.
Pandangan Tian langsung tertuju pada satu kelompok kecil yang terlihat sedang mengelilingi Bintang. Para sugar daddies keparat tadi! Mata bernafsu mereka terlihat berusaha di samarkan para predator itu dengan mencoba menawarkan bantuan berlatih muay thai yang baik dan benar. Frans dan ketiga orang temannya mulai membuka baju atasan dan berusaha memikat Bintang dengan menunjukkan otot-otot liat mereka agar Bintang mempercayai kata-kata mereka semua. Sementara orang yang dipanggil dengan sebutan Sam itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus memukuli samsak.
"Bintang udah yakin belum sama kata-kata Om-Om ini semua? Lihat'kan hasilnya? Kalau Bintang mau mendapatkan tubuh sebagus Om-Om ini semua, Om Frans bersedia kok mengajari, Bintang. Gratis deh nggak usah bayar. Mau, sayang? Nanti Bintang bisa lebih cepet lho kurusnya. Percaya deh sama, Om."
"Bintang, kemari!" Bintang yang sedang mengobrol seru tentang tips and trik penurunan berat badan dan mengikis lemak dengan para muay nak senior, kaget saat mendengar teriakan Tian. Sepertinya ia marah sekali. Hadeh salah apalagi 'lah dia kali ini.
"Iya, Kak. Ada apa?" Bintang bergegas menghampiri sebelum telinganya pengeng karena diteriaki lagi.
"Pakai jaket ini." Bintang heran saat Tian tiba-tiba saja menyodorkan sebuah jaket yang tadi ia lihat dipakai oleh Tian.
"Bintang mau latihan, Kak. Kalau memakai jaket, gerakan jadi tidak leluasa."
"KAKAK BILANG PAKAI SEKARANG!"
Raphael Atharwa Al Rasyid"Iya Kak, iya. Bintang pake deh jaketnya. Tapi nggak usah pake nyolot juga kali." Sambil ngedumel, mau tidak mau ia memakai juga jaket parasut Tian. Tian ini kalau sudah marah memang menyebalkan. Ia tidak akan berhenti memaksa sampai kita menuruti keinginannya. Makanya ia mengalah saja. Tapi karena jaket Tian yang tentu saja mengikuti ukuran tubuhnya, membuatnya nyaris tenggelam dalam jaket pinjamannya. Celana pendek adida* nya jadi tidak terlihat. Alhasil ia malah seperti tidak menggunakan celana!"Kak, Bintang kok jadi kayak nggak pake celana gini, sih? Jaketnya kebesaran ini sampai nutupin celana pendek Bintang. Tangan Bintang juga jadi nggak keliatan. Gimana Bintang mau latihan coba?" Tian akhirnya malah jadi sakit kepala sendiri melihat penampakan seksi abis Bintang. Begitu juga dengan tatapan para muay nak yang ada di sana. Tatapan lapar terlihat mendominasi dari sasana yang kesemuanya adala
6 tahun kemudian."Bi, nanti sebelum kuliah tolong ambilkan kebaya ibu di butiknya Tante Riska ya? Kakakmu disuruh ngambil lupa-lupa terus. Mana sabtu ini udah mau dipakai lagi. Eh bener 'kan Tian nikahnya sabtu ini?""Iya Bu, bener. Ini Bintang singgahin dulu deh ke butik baru lanjut kuliah." Bintang cepat-cepat memakai flat shoesnya saat melihat jam telah menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit. Padahal pukul lima nanti, kelas manajemen kontruksi akan dimulai. Mana dosennya Pak Zainal Silangit lagi. Kalau terlambat, alamat tidak bakalan dikasih masuk pasti. Disiplinnya Pak Zainal itu sudah terkenal di seantero kampus. Menurut beliau, anak jurusan arsitektur itu harus disiplin sedari dini. Bisa rubuh bangunan kalau arsiteknya tidak disiplin dan menghitung bahan bangunannya asal-asalan. Begitulah semboyan Pak Zainal yang sudah dihapal luar kepala oleh para mahasiswanya."Bi, perasaan Bumi k
"Lho Bi, itu si Bumi sama cewek lain. Waduh mesra beut lagi. Gue nggak nyangka ya si Bumi bisa juga nyelingkuhin lo. Padahal dia dapet lo perjuangannya juga nggak gampang. Sampe lo tolak berpuluh-puluh kali! Dasar laki-laki, kalo belum dapet aja diuber-uber sampe ke lobang semut. Eh giliran udah dapet aja, malah gentayangan nyari yang baru. Mana tante-tante lagi. Dasar laki-laki, anjin* semuanya! Perlu nih gue samperin mereka ke sono, Bi?"Tria tampak begitu emosi. Gerahamnya terdengar saling beradu. Bintang sama sekali tidak menyangka kalau kedatangannya ke toko buku ini malah mendatangkan petaka. Bertemu dengan Bumi lengkap dengan pacar barunya."Nggak perlu lah Tri. Gue emang udah putus sama dia kemarin." Bintang memang hanya mengatakan pada keluarganya kalau ia telah selesai dengan Bumi. Ia merasa tidak perlu memberitakan kejombloannya pada seluruh nusantara. Apalagi merubah status facebook dari in
Bintang berusaha menginjak pedal rem secepat mungkin. Seseorang tiba-tiba muncul di depannya tanpa sedikit pun memberi aba-aba. Ia memang sedikit melamun memikirkan hubungannya yang baru saja kandas dengan Bumi. Tetapi orang ini juga terkesan seperti sengaja ingin menabrakkan diri pada mobilnya. Untung saja refleksnya menginjak rem cukup cepat.Astaghfirullahaladzim, nyaris saja! Bintang yang masih shock karena nyaris saja menabrak orang, menelungkupkan sejenak kepalanya pada stir mobil. Mengubur kepalanya dalam lipatan kedua tangannya. Jantungnya masih berdebar-debar kencang. Adrenalinnya masih terus berpacu.Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk-ngetuk pintu mobilnya. Sepertinya itu adalah orang yang nyaris ditabraknya tadi. Bintang menarik nafas berulang-ulang, dan menghembuskannya pelan-pelan demi meredakan sisa-sisa rasa kagetnya. Bagaimanapun juga, ia harus bertanggung jawab d
"Ini semua gara-gara Papa! Papa bilang cuma mau membuat nama baik Om Sabda terlihat jelek agar ia kalah suara dalam pemilihan calon walikota. Tapi kenapa jadi begini kejadiannya? Papa tau nggak, Tian membatalkan pernikahannya dengan Clara, dan malah akan menikahi perempuan sialan itu! Kalau tau begini hasil akhirnya, Clara tidak mau membukakan pintu untuk papa kemarin malam!"Clara mengamuk sesampainya di rumah ayah kandungnya, Frans Raharja. Selama ini orang-orang hanya tahu kalau orang tuanya adalah pasangan dari Johan dan Diana Mahendra. Padahal sebenarnya ayah biologisnya adalah Frans. Frans dulu menolak bertanggung jawab saat ibunya hamil, karena ibunya saat itu berprofessi sebagai seorang wanita malam. Sampai akhirnya ibunya di nikahi oleh Johan Mahendra, seorang pria paruh baya baik hati yang sangat mencintai ibunya dan juga mau menerima kehadirannya.Tetapi semakin dirinya besar, tingkat kemiripan wajahnya dengan Frans nyaris 90%.
"Om, sekarang kita susul Bintang dan para sekutunya di apartemen Mutiara Garden. Pak Penghulu juga ikut, berikut Ayah dan Bunda saya. Kita ijab kabulnya di sana saja." Tian yang baru saja selesai menelepon seseorang langsung meraih kunci mobilnya."Darimana kamu tahu kalau Bintang ada disana berikut para sekutunya? Memangnya siapa sekutu Bintang, Tian?" Sabda yang sudah pusing tujuh keliling merasa heran melihat Tian yang begitu yakin dengan keberadaan putrinya."Ini Tian baru saja menelepon Om Abyaz. Mobil Altan saat ini ada di apartemen Mutiara Garden. Siapa lagi sekutu Bintang kalau bukan Altan dan Tria? Lagi pula tadi Om Abyaz bilang dari CCTV rumahnya ada Altan, Bintang dan Tria yang terlihat masuk ke dalam mobil dan mengebut kencang. Bintang malah masih berkebaya lengkap. Satu hal lagi, saya mendapati tangga yang di sandarkan pada jendela kamar Bintang. Nah itu Om Abyaz sudah menuju kemari.Saya tadi berasumsi tidak
"Ya Dai, ada apa? Hah! Masuk televisi? Sekarang? Oke. Gue liat dulu. Tian, coba kamu hidupkan televisi dulu. Om Badai bilang ada berita tentang kamu dan Bintang di--Astaghfirullahaladzim!" Mata Sabda terbelalak lebar saat melihat berita di televisi tentang terciduknya seorang anak calon walikota, dengan anak seorang pengusaha real estate papan atas Indonesia yang baru saja kembali dari luar negeri. Dan parahnya lagi, hal ini terjadi hanya dua hari menjelang pernikahannya dengan Clara Gita Mahendra. Model yang sedang naik daun. Berita infotaiment ini membuat opini seolah-olah Bintang adalah seorang pelakor. Tayangan kemudian berpindah pada Clara yang terlihat sedih saat akan diwawancarai. Namun ia menolak, seolah-olah ia tidak sanggup menceritakan kesedihan hatinya. Ia hanya terus menangis dan mengatakan semoga orang yang telah menzholiminya berbahagia. Sikap playing victim dan pura-pura tersakitinya memang juara. Tian
"Selamat siang para teman-teman pewarta dan pers sekalian. Saya, Christian Diwangkara Junior berikut istri saya Bintang Diwangkara Junior, kedua orang tua saya dan juga ayah mertua saya, siap untuk memberikan klarifikasi tentang berita yang simpang siur tentang saya dan istri saya beberapa jam yang lalu. Sebenarnya ada lagi seorang nara sumber yang akan ikut dalam konfrensi pers ini. Namun beliau masih dalam perjalanan, dan sebentar lagi sepertinya akan segera tiba di sini."Tian membuka acara konfrensi pers yang memang sengaja ia gelar, dengan memperkenalkan semua orang-orang yang hadir. Ia ingin meluruskan berita yang semakin lama semakin membesar, bagai bola liar yang tidak terkendali. Bagaimanapun nama baik kedua keluarga besar mereka menjadi taruhannya."Siapa seorang lagi itu, Pak Tian? Apakah dia itu Clara? Calon istri tidak jadi Anda?" Salah seorang pewarta mulai memancing emosinya dengan bahasa yang penuh provokasi.
Bila esok kau tertawa lepasEntah dengan siapa,Ketahuilah aku orang pertamaYang paling merasa lega. Bila esok kau digenggam eratEntah oleh siapa,Ketahuilah tanganku akan ikhlas melepaskan genggamannya. Dan bila esok kau berbahagiaIngatlah,Hatiku adalah tempat pertamaYang diguyur hujan tak henti-hentinya. ================================== Kamu yakin tidak ingin Kakak temani, Bintang." Tian menahan langkah Bintang yang akan memasuki cafe tempatnya dulu biasa bertemu dengan Bumi. Bintang melihat kecemburuan, kecemasan dan rasa khawatir yang kental dari air muka suaminya. Wajar saja kalau Tian merasa gelisah. Suami mana yang bisa tenang-tenang saja saat mengetahui istrinya akan bertemu dengan mantannya di tempat yang penuh dengan kenangan lama mereka berdua. Tetapi tadi ia telah meyakinkan suaminya bahwa ia
"Anda salah paham, Pak. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan tindak pelecehan terhadap putri Bapak. Saya hanya bermaksud untuk menolong putri Bapak yang hampir saja jatuh terjerembab dari atas motor saya. Perlu Bapak ketahui, sebelumnya putri Bapak ini baru saja terjatuh dari sepedanya. Putri Bapak belajar naik sepeda di tengah jalan raya."Galih memberi hormat ala militer pada seorang pria setengah baya yang mengaku-ngaku sebagai ayah dari gadis aneh ini. Pipinya berdenyut dan sudut bibirnya sedikit mencecap rasa asin akibat di hajar oleh bapak-bapak galak ini. Ternyata walau pun sudah tua tenaga bapak-bapak ini masih ampuh juga."Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Anda karena telah menolong anak saya. Tapi kalau memang Anda niatnya hanya ingin menolong putri saya, kan tidak perlu seerat itu juga cara memeluknya. Lama lagi. Itu sudah modus namanya." Chris walau pun mengucapkan terima kasih, tapi tamp
"Ayo silahkan dicicipi semuanya. Ini ada makanan kecil sebagai teman minum kopi. Ini teh namanya lekker khas Bandung, pisang goreng dan martabak manis. Ayo silahkan di cobain, Bapak-Ba--"Jika tadi Bintang yang muntah-muntah, maka, kali ini Tian lah yang mengeluarkan isi perutnya di dalam closet kamar mandi. Tian memang akhir-akhir ini tidak bisa mencium aroma tajam makanan atau minuman yang berempah. Perutnya akan langsung berontak seketika."Lho Kak Tian kenapa sih? Kok muntah-muntah begitu? Padahal enak banget ini kue lekkernya. Harum semerbak menggoda rasa. Eh ini juga ada martabak manis." Bintang malah kesenangan dan melahap dengan semangat aneka jajajan pasar yang disajikan oleh Pak Harjo. Beda dengan suaminya yang terus saja hoek hoek di kamar mandi."Kak Tian sakit ya? Apa perlu kita ke rumah sakit sekarang?" Bintang mengurut-urut punggung Tian yang terkadang masih tersentak-sent
Huekkk... huekkk... huekkk...Bintang tidak sanggup lagi menonton sisa adegan-adegan dalam video itu. Benaknya mendadak dipenuhi kejadian sesaat sebelum video itu direkam. Ingatnya tentang kejadian ini yang dulu hanya berupa beberapa lintasan samar, kita telah tersingkap sedikit demi sedikit. Setelah meminum segelas tequila Reno ditambah lagi dengan segelas margarita Fanny, Bintang mulai merasa kepalanya menjadi ringan dan langkahnya juga bagai melayang-layang. Kakinya bahkan seolah-olah tidak lagi menapak di bumi. Benaknya kosong dan hanya dipenuhi oleh percikan warna warni indahnya kembang api. Ia pun menjadi gembira luar biasa dan tertawa-tawa tanpa sebab yang jelas. Dia bahkan melihat wajah Bumi seperti ada dua orang. Tubuhnya bergerak sendiri dan terus saja bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Anehnya lagi semua orang yang dilihatnya mendadak menjadi kembar dan berbayang-bayang. Samar-samar ia merasa tubuhnya seperti digen
"Semuanya sudah dibawa, Yan? Photo copy KTP, akte kelahiran, dan buku nikah Bintang masih ada sama kamu semua kan, Nak?"Chris melihat putranya sibuk memasukkan berkas-berkas identitas diri Bintang ke dalam sebuah map. Chris juga melihat anaknya memasukkan passport dan ijazah Bintang mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan SMA. Chris tidak dapat menahan senyumnya saat Tian memasukkan juga raport Bintang secara berurutan mulai dari TK sampai SMA. Untuk apalah semua tetek bengek yang tidak diperlukan itu dibawa semua oleh anaknya, alih-alih yang dibutuhkan hanyalah KTP dan buku nikah mereka berdua? Chris akhirnya tidak tahan lagi untuk tidak menggoda anaknya saat putranya itu juga memasukkan photo-photo Bintang mulai dari istrinya itu bergigi ompong dan montok, sampai dengan photo terakhirnya dalam busana pengantin saat akad nikah mereka dua bulan setengah lalu."Ayah sama sekali nggak menyangka kalau kamu ternyata punya koleksi photo Bin
"Udah nggak ada orang lain lagi di sini, Bi. Ayo sekarang buka topeng kamu. Nggak usah main drama-dramaan lagi. Kamu ngapain ada di sini? Suami kamu ke mana dan kenapa nama kamu berubah jadi Rahayu Jaya Krisna?" interogasi Jupiter dengan berondongan pertanyaan. Bintang diam saja. Ia bingung harus menjelaskan apa pada Jupiter. Rahasia itu semakin banyak orang yang tau, semakin cepat tersibak kebenarannya bukan?Karena Bintang diam saja, Jupiter mensejajari langkah kaki Bintang yang berjalan pelan menyusuri pohon-pohon rindang di sekitar pabrik pengolahan kopi. Sejauh mata memandang, terlihat kesibukan para pekerja perkebunan yang sedang melakukan proses sortasi biji kopi."Kamu tidak mau menjawab? Baik, kalau begitu saya tinggal menelepon Pak Harjo untuk membatalkan perekrutan kamu sebagai karyawan," ancam Jupiter seraya meraih ponsel di sakunya. Ia terlihat mulai menekan beberapa nomor. Bintang panik. Sepertinya Jupiter ini serius ingin me
"Silahkan ikut saya ke ruangan manager HRD ya, Teh? Tapi teteh menunggu Pak Harjo sebentar tidak apa-apa kan, Teh? Soalnya Pak Harjo lagi menghadap Pak Galaksi. Ada briefing sebentar."Pak Endang mempersilahkan Bintang menunggu di ruangan manager HRD. Bintang memeriksa kembali formulir permohonan kerjanya sekali lagi. Ia juga melampirkan photo copy akte kelahiran dan KTP Ayu. Sepertinya semuanya sudah lengkap. Kantor ini sepertinya menerapkan sistem kerja yang professional. Karena walaupun Direktur Utama sudah menerimanya bekerja, Bintang tetap harus melengkapi semua dokumen-dokumen pribadinya untuk kelengkapan arsip perusahaan. Seperti inilah seharusnya perusahaan beroperasi, professional dan teliti. Tidak sembarangan menerima karyawan.Bintang menjadi tidak enak hati karena sudah membohongi Pak Galaksi yang sudah begitu baik dan memberinya kesempatan untuk bekerja. Suara-suara beberapa orang yang saling berbicara sepertinya akan
"Lho Pak Galaksi udah di sini ya? Padahal saya teh maksudnya mau ke kantor menjumpai Bapak. Bapak sehat?" Bintang melihat Bude Yanti menyalami Bapak yang dipanggilnya dengan sebutan Galaksi tadi. Bude Yanti ini sebenarnya suku Jawa, tetapi karena sudah lama tinggal di daerah ini, dialeknya sudah seperti penduduk asli di sini. Bintang memperhatikan masyarakat di sini rata -rata menyebut huruf f menjadi p."Alhamdullilah sehat, Bu. Ibu sekeluarga bagaimana? Sehat?" Bintang memperhatikan bapak-bapak ini walaupun orang kaya tetapi tampak ramah dan tidak ada kesan sombongnya sama sekali. Karena pembicaraan mereka sudah mulai serius membahas masalah pekerjaan, Bintang beringsut ke dapur dan berinisiatif membuatkan minuman untuk tamunya. Rina dan Panji sepertinya masih sibuk mengerjakan PR sekolahnya."Nah ini keponakan jauh saya, namanya Rahayu. Keponakan saya ini baru datang dari kota. Katanya mau melamar pekerjaan di perkebun
Hujan deras menerpa saat Tian tiba di apartemennya. Sembari mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah, Tian memanggil-manggil nama istrinya. Tetapi istrinya sama sekali tidak menyahut. Padahal ia sudah berkali-kali mengucapkan salam. Biasanya saat mendengar salamnya, istrinya pasti buru-buru keluar dan mengambil alih tas kerjanya. Ini kok sepi sekali rasanya? Apakah istrinya tidak ada di apartemen?Tian meletakkan bouquet bunganya di atas meja. Ia melirik pergelangan tangannya. Baru pukul 17.30 WIB. Ia memang sengaja pulang satu jam lebih cepat dari kantornya, karena ingin memberi kejutan pada istri bohaynya.Saat memeriksa seluruh apartemen yang ternyata memang kosong, Tian pun meraih ponselnya. Mencoba menelepon istrinya. Tumben sampai sore begini istrinya belum pulang. Apakah istrinya pergi ke kampus? Tian semakin heran saat ponsel istrinya masih dalam keadaan tidak aktif seperti tadi siang. Apakah sesuatu telah terjadi pada istr