Mobil yang disewa oleh Dominique memecah jalanan Rue du Fabourgh Saint Honoure. Dengan kecepatan rata-rata dia melajukan mobilnya menuju Place De La Concorde. Sebuah alun-alun terbesar di Paris dengan luas mencapai 8.64 hektar. Destinasi populer ini memiliki air mancur dan obelisk setinggi 23 meter. Di sana mereka bersantai sambil menikmati indahnya kota Paris dan melihat wisatawan serta warga lokal yang sedang berkunjung, maupun menjajakan dagangannya di sana.
"Wow, indah sekali Dom. Ayo kita berfoto di sana!" pekik Aubrey dengan gembira sambil berlari kecil menuju air mancur."Pelan-pelan, Sweety. Memangnya kau tidak pernah melihat air mancur?" ejek Dominique."Ya, tapi ini 'kan beda, Dom. Ayo cepat kita berfoto!"Dominique yang melihat kekasihnya itu seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan, hanya bisa tersenyum kecil dan patuh ditarik ke sana ke mari."Sweetheart, pelan-pelan. Toh bangunan ini tidak akan pindah dengan se"Pelan-pelan, Dom. Ada apa, mengapa kau tampak khawatir sekali?" tanya Aubrey. "Tidak apa-apa Sweetheart.""Dominique! Stop it. Kita berhenti dulu, lalu ceritakan apa yang terjadi. Dari kemarin sikapmu aneh sekali. Kalau kau tidak berterus terang, aku akan kembali ke hotel sendiri dan tidak mau mengikutimu lagi.""I'm so sorry, Sweety. Baiklah akan kuceritakan. Tapi, tunggu kita sampai di tempat yang akan kita tuju selanjutnya, ya?""Baiklah. Kau harus berjanji akan menjelaskan semuanya.""Hmmm."Dominique membawa Aubrey ke tempat selanjutnya–Montmartre–sebuah bukit besar setinggi 130 m. Kawasan yang sangat terkenal di Paris sebagai tempat yang artistik. Di sana terdapat gereja cantik dan distrik klub malam dengan kafe yang instagramable. Dominique membawa Aubrey ke puncak bukit. Selain untuk menikmati pemandangan kota Paris yang sangat indah, dia juga membawa Aubrey mengunjungi Sacre Coeur Basilica. Gereja bergaya Rom
"Aubrey, apakah kamu yakin akan menikah denganku? Juga dengan acara yang sesederhana ini?" tanya Dominique sambil menatap lekat ke arah Aubrey. "Sure, why not?" jawab Aubrey mantap. "Tapi ….""Sudahlah Dom, yang penting di sini." Aubrey dengan lembut meletakkan tangannya di dada Dominique. Alunan musik dari tuts-tuts piano terdengar memenuhi ruangan gereja. Aubrey dan Dominique berjalan ke arah altar. Di sana sudah ada pendeta yang siap menikahkan mereka. Upacara pernikahan berjalan dengan khidmat. Mereka telah mengucapkan janji suci secara bergantian. Terlihat kebahagiaan di wajah-wajah orang yang hadir di sana, termasuk mempelai. "Kini, kau telah menjadi milikku seutuhnya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku akan menjadi pelindung dan tempat bersandar untukmu," ujar Dominique sambil membelai lembut rambut Aubrey. Mereka pun saling berbagi kasih, diakhiri dengan pelukan hangat yang begitu erat. Tepuk tangan dan sor
"Ada apa, Dom? Apa yang kau bicarakan dengan Tony? Mengapa raut wajahmu berubah seperti itu?" tanya Aubrey menyelidik. "It's ok, Sweetheart.""Dominique! Kita sudah menikah dan aku tidak suka ada rahasia di belakang kita."Dominique menghela napas dan dia pun menceritakan apa yang tengah dibicarakan dengan Tony. Dia sangat khawatir akan keselamatan Aubrey. Meskipun, Dominique tahu Aubrey wanita kuat. Namun, Cassandra bisa saja meminjam tangan orang lain untuk berbuat ulah. Aubrey yang mendengar cerita dan merasakan kekhawatiran Dominique pun menenangkan suaminya itu. Dia menjelaskan, bahwa dirinya akan baik-baik saja dan menjaga diri. Rupanya keputusan untuk tinggal bersama orang tua Dominique adalah hal yang tepat untuk meminimalisir rasa kekhawatiran orang-orang di sekitar. "Dom. Aku minta, kakek jangan sampai tahu ya, masalah ini. Aku tidak ingin diusianya yang semakin menua malah menambah beban kekhawatiran," ucap Aubrey lirih.
Bella berteriak histeris melihat gaun yang dikenakan Aubrey sudah berlumuran darah. Tidak lama kemudian, Aubrey rubuh dan Dominique dengan cepat menangkapnya. Aubrey tidak sadarkan diri. Dengan sigap Reno mengejar pelaku yang dicurigai telah melukai Aubrey. Abraham berdiri di samping Aubrey dengan rasa khawatir. Sedangkan Bella masih tampak shock. Aaron sendiri sudah menelpon ambulan untuk membawa Aubrey ke rumah sakit secepatnya. "Came on, Dominique. Kita harus cepat membawanya!" perintah Aaron menyadarkan kekalutan Dominique. Segera Dominique menggendong Aubrey dan membawanya ke dalam ambulan yang sudah terparkir di depan gereja. Dengan cepat mereka membawa Aubrey ke Hospitals Pitie Salpetriere, rumah sakit terdekat dari Montmartre. "Tenang Dom, Aubrey akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat," ujar Abraham, meskipun hatinya pun tidak baik-baik saja melihat keadaan Aubrey. "Semua salahku, sedari kemarin keberadaan kami memang sudah
Dominique kembali ke ruang perawatan Aubrey. Dia meminta yang lain agar pulang ke hotel untuk beristirahat. Saat ini, Dominique hanya ingin berdua bersama Aubrey. Anggota keluarga pun memaklumi keadaannya dan langsung menuruti permintaan tersebut. "Kalau butuh apapun, kau cepat hubungi Papi, ya." Aaron berpesan kepada Dominique, lalu menggandeng tangan Bella agar gegas memberi ruang untuk anak mereka. "Kakek juga pamit dulu, ya. Titip Aubrey," ujar Abraham. Dominique akhirnya hanya tinggal berdua bersama Aubrey. Dia tampak terlihat amat sedih. Seumur hidupnya baru kali ini, dia meneteskan air mata. Sambil menggenggam tangan Aubrey, Dominique pun terlelap di samping Aubrey dengan posisi duduk. Sedangkan di tempat lain. Pelaku penusukan terhadap Aubrey tampak terengah-engah. Di sudut jalan Montmartre dia bersembunyi, menghindar dari kejaran Tony dan Reno. "Sial, mereka gesit juga. Untung aku mengetahui dan hafal seluk-beluk tempat ini.
"Dominique." Aubrey membuka mata dan mengusap lembut kepala Dominique yang bersandar di ranjang tidur perawatannya. Dia menatap lekat wajah pria yang baru saja menjadi suaminya itu. Hatinya terenyuh, berdenyut nyeri memikirkan apa yang telah Dominique lalui saat lalu. Seandainya, dia lebih waspada dan tidak merepotkan semua orang. "Sweetheart, kau sudah sadar?" Dominique terbangun dari tidur karena merasakan pergerakan di sekitar wajahnya. Wajah Dominique berseri-seri memancarkan kebahagiaan karena melihat kekasih hatinya telah sadar. Dia lalu dengan cepat memeluk dan mengecup lembut kening Aubrey. "I'm oke, please don't worry." Aubrey menepuk punggung Dominique yang enggan melepaskan pelukannya. "Kau tahu, aku hampir gila kemarin. Untung saja kau cepat sadar, jika tidak entah apa yang harus kulakukan," ujar Dominique sambil mengusap lembut rambut Aubrey. "Sekarang aku sudah tidak apa-apa, Sayang. Kau bisa lebih tenang."
Dominique berniat untuk mengecek ke Le Bristol. Namun, Tony melarang. Saat ini, keberadaan Dominique lebih diperlukan di sisi Aubrey. Tony berjanji akan membantu masalahnya. "Tapi, kau jangan lama-lama di Paris. Bagaimana dengan perusahaan kalau semua pemimpinnya berada di sini?" Dominique bergurau. "Aish, kau ini. Tenang saja, perusahaan tidak akan goncang hanya karena ditinggal sebentar. Kau perhitungan sekali dengan istrimu itu."Mereka tertawa sesaat memecah ketegangan. Lalu, Tony berpamitan kepada Aubrey dan Dominique. Sedangkan, Dominique kembali menjaga Aubrey. "Kau tidak mau menjelaskan apapun kepadaku?" tanya Aubrey menyelidiki. "Kau masih sakit, Sweetheart.""Dominique, kau berhutang banyak penjelasan. You see karena kau tidak bercerita aku tidak bisa waspada." Aubrey merentangkan tangan sambil menunjuk dengan matanya ke arah luka yang berada di perutnya. "Kau mau sampai seperti apa? Baru berterus terang k
"Sudah selesai urusannya?" tanya Aubrey. "Hmmm." Dominique menjawab dengan singkat. "Ada sesuatu yang membuatmu khawatir, 'kah? Apa yang disampaikan oleh Kak Reno?" tanya Aubrey lagi sedikit curiga. "Wait, aku ambil kursi roda, ya? Kau harus banyak menghirup udara segar agar lekas membaik."Aubrey langsung mengiyakan permintaan Dominique. Meskipun, dia curiga akan hal yang disembunyikan Dominique. Mengapa dia mengalihkan pembicaraan Aubrey? Selang beberapa menit, Dominique datang membawa kursi roda. Dengan perlahan dia memapah Aubrey untuk duduk di atasnya. Aubrey didudukkan dengan nyaman dan diberi selimut di atas kakinya agar nyaman. Dominique juga merapikan rambut Aubrey. Dengan perlahan dia menyisir dan menata serapi mungkin. "Sudah cantik. Ayo!" ajak Dominique sambil mendorong kursi roda Aubrey. Dalam perjalanan menuju lantai bawah rumah sakit, Dominique menata perasaan dan kalimat yang akan disampaikannya nan