Aku tidak lagi memasuki SMP-ku yang dulu. Nilai sempurna pada hasil Ebtanasku membawa diriku memasuki SMP berperingkat satu di Bandung.
Tidak ada lagi Rendy dan Alex yang dulunya kembali satu sekolah denganku saat SMP. Tidak ada lagi si badung Petet yang juga pernah menjadi mimpi burukku.
Jalan hidupku kini benar-benar berbeda.
Pesawat B-250 telah diproduksi secara massal dan laku sangat keras di seluruh dunia. Hingga saat ini sudah tiga puluh unit terjual, dengan harga 100 juta USD setiap pesawatnya, aku dan Papa berhak mendapatkan royalty dua juta USD untuk setiap pesawat yang terjual.
Di masa depan, sejumlah pesawat seperti ATR contohnya, bisa jadi tidak akan pernah diproduksi. Semua pasar pesawat komuter akan kalah oleh B-250. Pada saat ini saja, sudah sebagian besar negara di dunia memesan B-250.
Kesuksesan B-250 membuatku dengan mudah meloloskan desain dan rancangan sistem pesawat berikutnya. Yaitu pesawat dengan kapasitas 130 penumpang yang
Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri di kehidupan pertamaku, aku hanya bisa bertanya-tanya kenapa dia harus mundur.Bukankah dia presiden yang hebat dan tanpa tanding?Pesta rakyat tentang reformasi dulu tidak dapat kumengerti.Semua euforia tentang mundurnya Soeharto sama sekali belum masuk logikaku.Wakil Presiden BJ Habibie, sesuai undang-undang, maju menggantikan beliau. Beberapa saat berselang, Pangkostrad Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya.Pers seperti mendapat angin surga, kebebasan berbicara terjadi di mana-mana. Para politisi tidak ketinggalan, mereka yang dulu diharuskan mengikuti salah satu dari tiga partai peserta pemilu, kini dibebaskan membuat partai masing-masing.Sudah jelas bahwa mereka yang mendirikan partai adalah orang-orang yang berambisi menjadi presiden. Sementara bagi rakyat, tidak penting siapa presidennya. Bagi mereka turunnya harga barang serta situasi yang damai jauh lebih penting.Di atas puin
Rumah Taruhan Adrian Hill sangat penuh oleh para pengadu nasib. Aku dan Papa memasukinya dengan was-was. Ini juga pertama kalinya aku memasuki tempat seperti ini.“Jadi, apa yang mau Anda pertaruhkan?” kata Fred, salah satu bandar.“Aku mau bertaruh untuk Inter Milan,” jawab Pap.Fred tersenyum.“Kau yakin? Mereka sedang jatuh,” tantangnya.“Aku yakin,”“Berapa yang mau Anda pertaruhkan?”“Lima ratus ribu dolar,” jawab Papa mantap.Fred terdiam.“Tuan, saya tidak ingin main-main,” katanya.“Saya tidak main-main,” Papa menaruh segepok uang di meja Fred.“Tuan, risikonya sangat...”“Tidak apa-apa, cobalah,”“Baiklah, Anda ingin bertaruh untuk Inter Milan saat melawan siapa?”“Roma,”“Dan hasilnya?”“4-1 untuk Inter
Suatu hari yang terik di musim panas, aku sedang asyik beristirahat di griya tawang kami yang berpendingin ruangan. Kusaksikan serial televisi Friends di televisi kabel. Serial yang saat ini belum tersebar dalam bentuk DVD. Dalam lagu pembukaannya yang khas, para pemainnya tampak lucu dalam cuplikan-cuplikan adegan.Lalu tiba saat lagu pembuka selesai. Adegan pertama menunjukkan pemandangan kota Manhattan. Tatapanku tertumbuk pada sebuah gambar latar belakang yang menyentakku di adegan pembuka ini.World Trade Center.Ya, gedung itu masih berdiri.Masih berdiri, sampai tahun ini.Beberapa bulan dari sekarang ia akan hancur runtuh diterjang pesawat-pesawat teroris. Sejak itu dunia berubah, termasuk kebijakan perang Amerika Serikat.Kecuali...Kecuali aku bisa mengubahnya?Mungkinkah?Kenapa tidak? Sudah banyak hal yang kuubah hingga kini. Apa bedanya?Aku berada di sini, di tahun 2001, di mana sebuah trage
“Jangan sembarangan mengucap permintaan, Ferre!” “Kenapa memangnya, Ma?”“Karena kamu tidak tahu permintaanmu yang mana yang akan dikabulkan,”“Bukankah justru itu bagus, Ma? Permintaanku akan dikabulkan adalah hal yang bagus, bukan?”“Tidak semua permintaanmu adalah hal baik bagimu, sayang.”“Kenapa demikian, Ma?”“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu.”“Tapi yang kuminta adalah yang baik-baik untukku.”“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu, Ferre.”Dadaku sedang sakit ketika tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Mama tersebut. Itu kata-kata Mama belasan, bahkan puluhan tahun silam. Aku lupa apa yang kulakukan atau kuminta ketika Mama menasihatiku demikian. Tapi hari ini kata-kata Mama di suatu kejadian dalam hidupku tersebut kemb
“Ferre, baru setengah lima, tidur lagi.” suara perempuan yang tadi berbaring di sebelahku ternyata sudah bangun, dan menyentakku.Aku memandanginya.Bibirku kelu, tak sanggup berkata-kata.Perempuan besar itu memicingkan mata ke arahku, dengan pandangan seseorang yang baru bangun tidur.“Ayo tidur lagi, sayang,” ulangnya, suaranya melembut.Perlahan bisa kugerakkan lidah dan bibirku.“M.....ma.....Mama?”“Ya, kamu kenapa?” ia menegakkan badannya.“Ma...???”“Ya, kenapa?”Kuedarkan pandanganku ke arah sekeliling.Ini...ini...pantas saja aku tidak asing.Jendela yang berupa kaca nako, gorden bermotif kembang-kembang, lemari kayu jati. Lampu bohlam yang tergantung menggunakan tali, dan dinding yang catnya terkelupas.Di samping Mama ada sebuah majalah Femina dengan Marissa Haque sebagai model sampulnya.Sesuai kebiasaa
Kuperhatikan sekelilingku.Aku berada di ruangan tengah sebuah rumah. Kucoba untuk berpikir. Ruangan ini sangat kukenal. Setelah beberapa saat mencerna, kudapati diriku berhasil mengingat, bahwa ini adalah ruangan tengah rumah tempat tinggal orang tuaku.Namun, keadaannya begitu... kuno.Di sekelilingku nampak benda-benda yang sudah hampir kulupakan, namun nampak tidak asing. Lemari kayu yang seingatku sudah lama dibuang, namun kondisinya tampak begitu baru.Televisi tabung yang menyala menyiarkan Selekta Pop TVRI. Layarnya buram seperti dihiasi semut-semut. Di sebelahnya ada mesin jahit dengan merek “Singer” yang dulu selalu digunakan Mama untuk membuatkan baju-bajuku.Tempatku berpijak adalah lantai marmer yang dulu sangat kunantikan untuk berganti keramik.“Dek, kok sudah bangun?” sebuah suara memalingkanku.Aku tidak berkata-kata, hanya menatapnya dalam diam.“Mau minum teh?” lanjutnya.
Aku masih terduduk di lantai.Bulu kudukku merinding, juga seluruh tubuhku. Aku tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Napasku memburu, tubuhku bergetar.Gila, ini tidak mungkin!Ini pasti mimpi!Benar, kan?Pasti mimpi!Kepalaku terasa berputar, entah berapa lama aku terduduk demikian, tahu-tahu Mbok Jah sudah berjongkok di depanku, menyodorkan segelas teh panas. Teh panas dengan gelas besi bercorak loreng.Sambil tertegun kuterima gelas besi yang disodorkannya.“Terima...kasih,” kataku, ragu.“Wah, wah, Ferre udah pinteeer, bilang terima kasih,” Mbok Jah nampak ceria.Aku tidak mempedulikannya, kuteguk habis minuman itu.“Eh masih panas!” kata Mbok Jah.Aku tidak mendengarkannya, tetap kuminum semuanya sampai tandas, yang kemudian membuatku terbatuk-batuk.“Tuh kan, kata Mbok juga apa,” Mbok Jah mene
Tinggi badanku bahkan tidak mencapai setengah dari tinggi cermin. Kuperhatikan wajahku yang berpipi “tembem”, badanku yang berisi, kenyal jika kupegang. Jemariku kecil, rambutku tipis dan acak-acakan.Kupegangi cermin di depanku dengan kedua tangan mungilku.Ya Tuhan... Apa yang sedang terjadi?“Ferre, kamu ngapain?” Mama sudah duduk di samping tempat tidur.Diriku tidak lagi bertanya-tanya, karena memang tidak lagi ada gunanya. Hanya sebagian kecil dari pikiranku yang masih mempertanyakan apakah aku sedang bermimpi. Bagaimanapun ini semua masih mustahil, ini pasti mimpi.Tapi tidak, karena ketika kucubit, pipiku terasa sakit.“Ma?”“Ya, kamu ngapain, sayang? Kamu kenapa?”Tatapannya yang teduh, hangat, membuatku merasa aman. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Apa pun yang saat ini sedang kuhadapi, melihat dirinya aku merasa tenang. Ia memang mamaku.Aku meman