“Yang Mulia, baik – baik saja?”
Surendra segera berbalik dan bertanya ketika menyadari sesuatu yang tidak terduga terjadi dalam iring – iringan yang membawa Rajanya.
Arsyanendra yang baru saja tersadar dari lamunannya, menarik napas panjang dan beberapa kali mengedipkan matanya memastikan apa yang sedang dilihatnya saat ini.
“Yang Mulia. . .” panggil Surendra untuk kedua kalinya. “Apakah Yang Mulia terluka?”
Surendra hendak meminta beberapa pengawal istana mendekat namun dengan cepat tindakannya itu dihentikan oleh Arsyanendra dengan jawabannya.
“Aku baik – baik saja, Surendra. Aku hanya sedikit terkejut saja. Tidak lebih. Apa yang terjadi?”
“Sepertinya anak laki – laki itu terdorong oleh kerumunan proletar dan terlempar masuk ke dalam jalur yang Yang Mulia lewati.”
“Lalu gadis itu?” tanya Arsyanendra masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis yang memeluk tubuh anak laki – laki itu.
“Gadis itu spontan melompat ketika menyadari anak laki – laki itu membuat kuda – kuda penarik kereta kuda terkejut dan hendak menginjaknya. Untung saja, kusir bertindak cepat dan menenangkan kuda – kuda ini.”
“Baguslah kalau begitu. Aku ingin turun sebentar, apakah aku bisa melakukannya?”
Arsyanendra masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu.
“Tentu saja, Yang Mulia.”
Arsyanendra turun dari kereta kudanya dan membuat jubah merahnya menyentuh jalanan kota. Spontan para pengawal istana berusaha untuk membantu Arsyanendra, namun dengan cepat Arsyanendra menghentikan niat para pengawalnya dan memintanya untuk membiarkannya berjalan sendiri.
Tindakan Arsyanendra itu memicu histeria dari para rakyat proletar yang berdiri di pinggiran jalan yang telah diberi pembatas dan dijaga oleh pengawal istana. Arsyanendra melemparkan senyumannya ke arah rakyatnya dan menyapa mereka dengan pesonanya.
“Salam rakyatku. . .”
Sapaan Arsyanendra itu berhasil membuat rakyatnya yang histeris semakin histeris.
“Yang Mulia. . .”
“Yang Mulia. . .”
Teriakan itu terdengar di telinga Arsyanendra. Namun Arsyanendra tidak kehabisan akal. Dengan jarinya yang menyentuh ke bibirnya, Arsyanendra memberikan isyarat kepada rakyatnya untuk sedikit tenang dan rakyatnya melakukan hal yang diperintahkannya. Dalam sekejap, beberapa teriakan histeris rakyat dalam radius seratus meter dari Arsyanendra terhenti.
Arsyanendra berjalan penuh wibawa dan kemudian berlutut untuk menyamakan posisinya di depan gadis yang memeluk tubuh anak laki – laki itu.
“Yang Mulia, mohon maafkan anak ini. Dia tidak sengaja membuat iring – iringan Yang Mulia terganggu.”
Gadis itu menundukkan kepalanya sedikit ketika menyadari Raja Ketiga Negara Hindinia berlutut di depannya berusaha untuk menyamakan posisi mereka.
“Siapa namamu, Nak?”
Arsyanendra bertanya kepada anak laki – laki itu sembari mengelus lembut kepala anak laki – laki yang sedang gemetaran ketakutan itu.
“Rio, Yang Mulia.”
Anak laki – laki itu kemudian perlahan menatap Arsyanendra meski masih dengan sedikit gemetaran. Bahkan jawaban yang diberikannya kepada Arsyanendra diucapkannya dengan suara yang bergetar.
“Rio. . nama yang bagus. Kamu tidak perlu takut, aku tidak marah padamu. Aku kemari karena ingin bertanya, apakah Rio terluka?”
Mendengar suara lembut dari Arsyanendra, anak laki – laki bernama Rio itu kemudian tersenyum ke arah Arsyanendra.
“Mohon maafkan kesalahan Rio, Yang Mulia. Rio baik – baik saja.”
“Baguslah kalau begitu. . .” Arsyanendra menjawab dengan senyuman lembut di bibirnya. Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada gadis yang memeluk tubuh Rio. “Bagaimana dengan Nona? Apakah Nona terluka?”
Masih dengan menundukkan kepalanya berusaha memberikan hormatnya, gadis itu kemudian menjawab pertanyaan Arsyanendra, “Saya baik – baik saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Yang Mulia.”
“Surendra. . .”
Arsyanendra berteriak memanggil kepala pengawalnya dan dengan cepat kepala pengawalnya itu berlari mendekat ke arah Rajanya.
“Yang Mulia. . .”
“Bantu Nona ini dan Rio berdiri. . .”
“Baik, Yang Mulia.”
Surendra kemudian membantu gadis itu dan Rio berdiri.
“Karena kalian berdua baik – baik saja, aku bisa pergi dengan tenang.” Arsyanendra hendak berbalik dan berjalan kembali naik keretanya ketika teringat sesuatu yang penting. “Nona. . .”
“Ya, Yang Mulia. . .” jawab gadis itu masih dengan menundukkan kepalanya.
“Siapa nama, Nona?”
“Ravania. Ravania Hargandi.”
“Kalau begitu, berhati – hatilah dan sampai jumpa lagi, Nona Ravania. Untuk Rio, lain kali hati – hati, Nak.”
Setelah mengatakan itu, Arsyanendra naik ke kereta kudanya diikuti oleh Surendra yang duduk di depan bersama dengan kusir. Kereta kuda yang membawa Arsyanendra berkeliling kota mulai berjalan lagi diikuti oleh teriakan histeris rakyatnya yang melihat kebaikan dan sikap terpuji Arsyanendra.
Masih dengan tersenyum dan tangan yang terus melambai membalas histeria rakyatnya yang memanggil namanya, Arsyanendra kemudian memanggil nama kepala pengawalnya.
“Surendra.”
Dengan sedikit menolehkan kepalanya dan tetap menjaga jarak pandangannya bersikap waspada, Surendra menjawab panggilan Rajanya. “Ya, Yang Mulia.”
“Gadis tadi. . .bisakah kamu menyelidiki membuatnya datang ke istana sekaligus menyelidiki latar belakangnya?”
“Baik, Yang Mulia.”
“Atur secepatnya dan aku ingin kamu melakukan hal ini dengan rahasia.”
“Saya mengerti, Yang Mulia.”
Perjalanan yang dilakukan Arsyanendra dalam perayaan penobatannya sebagai Raja Ketiga memakan waktu empat jam lamanya. Dalam empat jam itu, Arsyanendra terus memasang senyumannya dan terus melambaikan tangannya membalas histeria rakyat yang ditujukan kepadanya.
Setelah empat jam lamanya berkeliling Ibu Kota dan akhirnya bisa kembali ke istana, kegiatan perayaan itu tidak sampai di situ saja. Begitu sampai di istana, para pelayan istana telah menunggu kedatangan Arsyanendra dan kemudian membawa Arsyanendra ke ruang ganti pakaian. Para pelayan kemudian membantu Arsyanendra mengganti pakaian yang dikenakannya dengan seragam militer yang biasa dikenakan oleh Para Raja sebelumnya.
Perlahan matahari mulai tenggelam dan berganti tugas dengan rembulan. Arsyanendra yang telah berganti pakaian dengan seragam militer kemudian berjalan melewati lorong panjang di istana diikuti oleh Kepala pengawalnya, Surendra, beberapa pengawal istana dan pelayan istana.
Surendra yang berdiri di depan bersama dengan sekretaris istana, Evan membawa Arsyanendra ke sebuah aula besar lainnya yang terhubung dengan taman besar istana.
Begitu melihat pintu besar di depan Arsyanendra, dua pengawal yang berjalan di depan Arsyanendra segera berdiri di depan pintu dan membukakan pintu untuk Arsyanendra.
“Yang Mulia. . .”
Evan, sekretaris istana yang berusia sama dengan Surendra mulai berbicara memanggil Arsyanendra.
“Ya?”
“Malam ini adalah malam perayaan yang dihadiri oleh undangan – undangan tertentu yang berhubungan dengan pemerintahan, Yang Mulia,” jelas Evan dengan sedikit menundukkan kepalanya. “Apakah saya perlu menjelaskan setiap para undangan yang ada dalam acara ini?”
“Tidak perlu, Eva. Aku mengenal dengan jelas setiap wajah yang ada dalam aula ini. Satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Evan?”
“Silakan, Yang Mulia.”
“Kenapa tidak ada satu pun perwakilan kaum proletar hadir dalam acara ini? Jelas kulihat bahwa yang ada dalam ruangan ini semuanya adalah keturunan kaum aristokrat.”
“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Sejak Raja Kedua, Jahan Balakosa memerintah, Raja Jahan memberi perintah kepada kami bahwa tidak akan menerima kaum proletar sebagai tamu. Kaum proletar yang masuk ke istana hanya bisa dengan status pelayan dan pengawal.”
Arsyanendra tersenyum mendengar jawaban dari Evan, sekretaris kerajaan. “Aku mengerti. Kalau begitu, mulai besok hapuskan aturan itu. Aku sebagai Raja Ketiga akan menerima Kaum Proletar sebagai tamuku yang sama derajatnya dengan Kaum Aristokrat. Bisa kamu lakukan, Evan?”
“Akan saya laksanakan, Yang Mulia.”
Arsyanendra melangkahkan kakinya masuk ke dalam aula diikuti oleh kepala pengawalnya dan beberapa pengawal istana, sementara para pelayan wanita menunggu di luar aula.
Sepuluh.
Sepuluh orang.
Sepuluh kepala keluarga.
Sepuluh pemimpin kaum aristokrat.
Sepuluh orang busuk bawahan Jahan Balakosa.
Sepuluh orang perusak Hindinia.
Setelah Jahan Balakosa, kali ini giliran kalianlah yang akan menerima pembalasan.
Dengan ini, aku sudah memasuki medan perang berikutnya. Kali ini tidak ada jalan kembali, baik dalam keadaan terluka atau pun sekarat; jika aku ingin hidup, aku harus bisa memenangkan peperangan ini.
Arsyanendra kemudian mengedarkan pandangannya menatap ke arah Virya dan juga Narendra Balakosa.
Lalu. . . masih ada dia. Yang selalu menganggapku saingannya meski aku sama sekali tidak ingin bersaing dengannya. Yang selalu menganggapku musuhnya meski aku sama sekali tidak berniat bermusuhan dengannya.
Ya. . . yang pasti ada sepuluh musuhku saat ini berdiri di ruangan yang sama dan berkumpul di sini. Tersenyum layaknya seorang teman dan keluarga dengan membawa pisau di belakangnya dan siap menyerang ke arahku.
Aku tahu dengan jelas, tidak akan pernah ada ketulusan di hati mereka. Bagi mereka kedudukan dan kekayaan adalah segalanya.
Tersenyumlah dengan sangat lebar, ketika kalian masih bisa tersenyum.
Tertawalah dengan kencang ketika kalian masih bisa tertawa.
Karena setelah ini, kalian tidak akan pernah bisa melakukannya.
“Yang Mulia Raja Arsyanendra memasuki aula. . .”Pengumuman kencang yang diucapkan oleh pembawa acara yang tidak lain adalah juru bicara istana berhasil membuat aula istana yang ramai berubah menjadi hening dalam waktu singkat. Sorotan lampu yang tadinya menyebar ke seluruh bagian aula kini menyorot hanya satu arah saja, yakni ke arah Arsyanendra yang berdiri dengan pesonanya dan senyumannya yang menawan.Para hadirin dan tamu undangan dengan segera berbalik menghadap ke arah datangnya Arsyanendra dan segera menundukkan kepalanya memberikan penghormatan mereka kepada Arsyanendra.“Selamat malam, Yang Mulia. . .”Dengan serentak seluruh tamu undangan dalam pesta besar yang diadakan di aula istana segera mengucapkan salam mereka menyambut kedatangan Sang Raja Ketiga. Dan seperti biasanya, dengan senyuman Arsyanendra menjawab salam dari seluruh tamu undangannya, “Selamat malam, para tamuku.”
Seusai pesta dansa yang menakjubkan dan membuat para tamu undangan terpesona, para tamu undangan di bawa ke meja besar untuk menikmati hidangan khusus yang telah disiapkan oleh istana. Ini adalah kebiasaan yang dimulai sejak Jahan Balakosa memimpin Hindinia sebagai Raja Kedua. Kebiasaan buruk yang banyak menghabiskan banyak uang negara dan rakyat proletar dalam perjalanannya. Memaksa kaum proletar yang hidup serba kekurangan untuk membayar pajak dan menghabiskan keringat mereka hanya untuk makan bersama dengan kaum aristokrat yang sudah hidup penuh dengan kemewahan. Kalian semua busuk.Arsyanendra yang tersenyum melihat canda tawa kaum aristokrat yang duduk bersama dengannya di meja makan yang sama. Arsyanendra benar – benar menyembunyikan amarahnya, kebenciannya dan juga rasa ingin membunuhnya di balik senyuman dan pesona yang dimilikinya. Dengan mudahnya, Arsyanendra bahkan ikut bercanda bersama dengan beberapa kepala keluarga kaum aristok
Tiga hari kemudian. . .Selama tiga hari setelah pesta penobatannya, Arsyanendra disibukkan dengan beberapa kegiatan barunya sebagai Raja Hindinia. Selama tiga hari, banyak kunjungan penting yang dilakukan oleh Arsyanendra sebagai seorang Raja. Dari berkunjung ke beberapa sektor yang berhubungan dengan pemerintahannya seperti sektor hukum, ilmu pengetahuan dan pendidikan lalu ke sektor pertahanan di ibu kota.Tidak hanya berkunjung ke tempat di mana kaum aristokrat, Arsyanendra pun juga berkunjung ke tempat para kaum proletar. Melihat kondisi yang sangat menyedihkan dari kaum proletar, Arsyanendra berniat memperbaiki lingkungan hidup kaum proletar dan berusaha membantu kaum proletar untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum aristokrat. Sayangnya. . . apa yang diinginkan oleh Arsyanendra tidak semudah membalikkan tangan. Rencananya itu akan sangat sulit dilakukan saat ini dan bahkan akan banyak memicu pertikaian dari kaum aristokrat.
“Ingat Surendra ketika gadis itu nantinya datang, ambil sampel dari gelas minumannya dan periksa DNA nya. Wajah yang dimilikinya terlalu mirip dengan Indhira dan sebelum aku tahu identitasnya dengan benar, aku akan tidak akan bisa membuatnya menjadi salah satu pionku menghadapi kaum aristokrat.”Dua hari kemudian dengan wajahnya yang selalu tersenyum, Arsyanendra duduk menunggu di ruangannya kedatangan gadis yang sedang ditunggu dan berhasil menarik perhatiannya sejak pertama kali merekabertemu.Mungkin karena kesamaan wajah yang dimiliki oleh Ravania dengan Indhira, cinta pertamanya membuat Arsyanendra untuk sesaat membuat harapan kecil yang telah hilang dan kandas sepuluh tahun yang lalu. Kehilangan ayah dan kehilangan Indhira di saat yang nyaris bersamaan sepuluh tahun yang lalu membuat Arsyanendra berdiri di tempatnya saat ini, mengenakan pakaian kerajaan yang begitu dibencinya dan juga tinggal di istana yang begitu menyesakka
Arsyanendra yang duduk di ruang kerjanya sembari menatap langit malam yang dihiasi oleh sinar rembulan mendengar ketukan pintu ruangannya.Tok. . . tok. . .“Yang Mulia.”Arsyanendra mengenali suara kepala pengawalnya. “Masuklah.”“Nona Ravania sudah menunggu di ruang tunggu yang telah dipersiapkan, Yang Mulia.”“Baiklah, aku akan segera ke sana. Lalu perintahkan pelayan istana untuk mengantarkan jamuan makan malam ke tempat pertemuanku dengan Ravania.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra kemudian memberikan perintah kepada pelayan yang berjaga di dekat ruang kerja Arsyanendra sebelum akhirnya mengawal Arsyanendra ke ruangan di mana Ravania sedang menunggu kedatangannya.Pintu ruang tunggu terbuka. Arsyanendra masuk dan langsung menyapa tamu yang sangat dinantikannya.“Selamat malam, Nona Ravania.”&nb
Ravania memandang tepat ke arah mata Arsyanendra dengan harapan dapat menemukan bahwa apa yang baru saja didengar oleh indra pendengarannya sesaat tadi adalah sebuah candaan semata. Sayangnya bagaimana pun Ravania menatap ke arah mata Arsyanendra, dirinya tidak menemukan sedikit tanda candaan di mata coklat keemasa Arsyanendra. Arsyanendra menangkap pandangan Ravania yang diarahkan kepadanya dan tersenyum lagi membalas tatapan Ravania pada dirinya. “Yang Mulia tersenyum?” “Tidak bisakah aku tersenyum, Nona Ravania?” Arsyanendra membalas pertanyaan Ravania dengan pertanyaan lain. “Saat ini Nona Ravania sedang memandangku dengan harapan bahwa perkataanku sebelumnya hanyalah sebuah candaan, bukan?” Ravania tersentak. Dengan segera kepalanya berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika menyadari Raja Muda yang duduk di hadapannya dapat dengan jelas membaca pikirannya hanya dengan melihat raut wajahnya. “Aku a
Pukul sepuluh malam, akhirnya Ravania tiba di rumahnya. Dengan penuh kebahagiaan, Agni sahabatnya segera menyambut kedatangan Ravania. Sayangnya kebahagiaan di wajah Agni segera menghilang ketika menyadari Ravania melupakan janjinya untuk meminta tanda tangan Raja Arsyanendra Balakosa untuknya. “Maafkan aku, Agni. Sesuatu terjadi dan aku tidak sempat untuk meminta tanda tangan Yang Mulia Arsyanendramu itu. . .” Dengan wajah yang sangat lelah, Ravania meminta maaf kepada Agni dan kemudian meninggalkan Agni begitu saja dan segera berbaring di tempat tidurnya. Setelah seharian menghabiskan waktu di luar rumah, perlahan rasa lelah yang sempat dilupakan oleh Ravania menyerang tubuhnya dengan cepat. Bau tempat tidurnya yang nyaman dengan segera membuat mata Ravania kehilangan kekuatannya dan menutup, membawa Ravania tenggelam dalam rasa lelahnya yang begitu dalam. Di saat – saat sebelum matanya terpejam, Ravania memikirkan lagi ucapan Raja Muda Hi
Dengan mengenakan pakaian pelayan istana, Ravania kini berbaur dalam pesta perburuan yang diadakan di hutan milik istana. Pesta perburuan yang khusus hanya didatangi oleh kaum aristokrat ini didatangi oleh sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat lengkap dengan sepuluh calon penerus mereka. Ravania mengingat semua nama kepala keluarga kaum aristokrat bersama dengan sepuluh calon penerusnya sembari mengingat wajah – wajah mereka. Sesuai dengan perintah Arsyanendra, Ravania harus mengingat wajah mereka dan menentukan bagaimana sikap asli kaum aristokrat yang tidak dapat dilihat oleh kebanyakan orang dan hanya akan terlihat ketika mereka berada di antara kaumnya. Ravania mengingat ucapan lain dari Arsyanendra kepada dirinya sebelum masuk dan berbaur di antara pelayan istana. “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.” Dengan berpegang pada kalimat itu, Ravania kini berdiri di anta
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.