“Yang Mulia Raja Arsyanendra memasuki aula. . .”
Pengumuman kencang yang diucapkan oleh pembawa acara yang tidak lain adalah juru bicara istana berhasil membuat aula istana yang ramai berubah menjadi hening dalam waktu singkat. Sorotan lampu yang tadinya menyebar ke seluruh bagian aula kini menyorot hanya satu arah saja, yakni ke arah Arsyanendra yang berdiri dengan pesonanya dan senyumannya yang menawan.
Para hadirin dan tamu undangan dengan segera berbalik menghadap ke arah datangnya Arsyanendra dan segera menundukkan kepalanya memberikan penghormatan mereka kepada Arsyanendra.
“Selamat malam, Yang Mulia. . .”
Dengan serentak seluruh tamu undangan dalam pesta besar yang diadakan di aula istana segera mengucapkan salam mereka menyambut kedatangan Sang Raja Ketiga. Dan seperti biasanya, dengan senyuman Arsyanendra menjawab salam dari seluruh tamu undangannya, “Selamat malam, para tamuku.”
Arsyanendra kemudian perlahan mulai melangkahkan kakinya memasuki aula istana masih dengan sorotan lampu yang mengikutinya. Arsyanendra kemudian mengangkat tangannya ke atas dan memberikan isyarat pada petugas istana untuk menghentikan sorotan lampu yang sedikit menyilaukan matanya itu.
Surendra yang memahami isyarat itu segera memberikan perintah kepada bawahannya untuk menghentikan sorotan lampu itu melalui alat yang terpasang di kedua telinganya.
“Hentikan sorotan lampunya.”
Arsyanendra kemudian berjalan lagi ke tengah – tengah aula dan memberikan perintah kepada seluruh tamunya. Dengan nada bicara yang santai dan senyuman di wajahnya, Arsyanendra berkata, “Ini adalah pesta penobatanku, tidak bisakah kalian bersikap tidak terlalu formal? Kalian bisa mengangkat kepala kalian dan menikmati jalannya pesta.”
Mendengar perintah Rajanya, seluruh tamu undangan segera mengangkat kepala mereka dan menatap wajah Rajanya yang memberikan senyumannya kepada mereka.
Satu dari salah satu tamu undangan kemudian berlari mendekat ke arah Arsyanendra dengan senyuman di wajahnya. Setelah menjaga jarak tiga langkah dari Arsyanendra dan memberikan penghormatannya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, pria muda bernama Osborn kemudian berkata, “Yang Mulia. Selamat untuk penobatan Yang Mulia.”
Arsyanendra menatap pria muda bernama Osborn dengan senyumannya dan kemudian membalas ucapan selamat darinya. “Terima kasih banyak, Osborn.”
Tidak lama kemudian, di belakang Osbron berdiri ayah dari Osborn yang bernama Ethan Bimasena yang merupakan satu dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat yang bertugas menjaga perbatasan di bagian utara Negara Hindinia.
“Selamat malam, Yang Mulia.”
Ethan Bimasena berdiri di samping putranya dan kemudian menyapa Arsyanendra dengan penuh wibawanya.
“Malam, Tuan Ethan Bimasena.”
“Mohon maafkan kelancangan putra saya yang tidak pernah belajar tata krama ketika berdiri di hadapan Yang Mulia.”
“Karena kami pernah bersekolah di sekolah yang sama, Tuan Ethan tidak perlu merasa khawatir dengan tindakan Osborn. Saya sama sekali tidak tersinggung justru saya sangat merasa senang. Setelah seharian harus berkeliling di ibu kota, saya sangat senang jika beberapa kawan lama saya menyapa saya seperti sebelum saya menduduki takhta ini.”
Arsyanendra memang pernah bersekolah di sekolah yang sama dengan Osbron sewaktu masih berstatus menjadi pangeran, putra dari putra mahkota. Osborn sendiri berusia dua tahun lebih muda dari Arsyanendra. Tidak seperti ayahnya yang tenang dan penuh wibawa, Osborn memiliki tabiat yang banyak bicara dan tidak bisa diam.
Tidak lama kemudian, para kepala keluarga dari kaum aristokrat satu persatu datang mendekat ke arah Arsyanendra dan kemudian mengucapkan kata selamat kepada Arsyanendra.
“Selamat untuk Yang Mulia Arsyanendra. . .”
Teriakan yang sedikit kencang itu terdengar mendekat dan Arsyanendra dengan jelas mengenali pemilik suara itu. Suara kencang itu adalah suara dari Ishwar Urvilla, satu dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat yang bertugas untuk menjaga perbatasan di bagian selatan Negara Hindinia.
Ishwar Urvilla kemudian mendekat dan memberikan penghormatannya kepada Arsyanendra.
“Yang Mulia.”
“Terima kasih untuk ucapan selamat dari Tuan Ishwar. Lama tidak bertemu, Tuan.”
Arsyanendra membalas sapaan Ishwar Urvilla dengan senyuman santainya.
“Kamu masih tidak berubah, Ishwar. Seperti biasa bicaramu yang kencang itu selalu saja membuat telingaku yang mendengarnya terganggu. . .”
Ethan Bimasena yang masih berdiri di dekat Arsyanendra mengeluh ketika mendengar suara kencang dari Ishwar Urvilla.
“Apakah suara saya yang kencang ini mengganggu, Yang Mulia?”
Dengan bijak, Arsyanendra menjawab pertanyaan Ishwar Urvilla, “Tidak Tuan Ishwar. Saya tahu dengan baik bagaimana bekerja di lautan. Suara yang kencang yang biasa Tuan Ishwar lakukan adalah kebiasaan Tuan ketika banyak menghabiskan waktu Tuan untuk menjaga perbatasan di selatan.”
“Lihatlah, Ethan Bimasena. Yang Mulia bahkan tidak terganggu dengan suaraku yang sedikit kencang.”
Mendengar teriakan Ishwar Urvilla, dua kepala keluarga dari kaum aristokrat kemudian mendatangi Arsyanendra dan kemudian membungkukkan sedikit tubuhnya memberikan penghormatan kepada Arsyanendra dan secara bersamaan mengucapkan salam kepada Arsyanendra.
“Selamat kepada Yang Mulia.”
Kepala keluarga Narain yakni Ganendra yang merupakan penjaga perbatasan di bagian barat datang bersama dengan kepala keluarga Birendra yakni Gala yang merupakan penjaga perbatasan di bagian timur. Jika penjaga perbatasan utara dan selatan layaknya kucing dan tikus yang selalu beradu mulut ketika bertemu, lain halnya dengan penjaga perbatasan barat dan timur yang layaknya burung dan kerbau yang begitu bersahabat dan selalu bersikap tenang.
“Terima kasih untuk ucapannya Tuan Ganendra Narain dan Tuan Gala Birendra. Di manakah kedua putra Tuan, saya tidak melihat mereka berdua ketika memasuki aula?”
Arsyanendra membalas ucapan selamat dari Gala dan Ganedra dengan senyuman dan penuh wibawa.
“Karena Yang Mulia adalah teman kuliah Tara, Yang Mulia harusnya mengerti bahwa Tara sangat membenci yang namanya pesta. Baginya pesta adalah pemborosan waktu dan uang.”
Masih dengan tersenyum, Arsyanendra yang sudah mengenal baik Tara Narain menjawab ucapan Ganendra Narain. “Ya, memang begitulah Tara. Tapi saya sempat sedikit berharap dia akan datang kemari karena kami adalah teman sewaktu kuliah.”
“Mohon maafkan kekurangan putra saya Tara, Yang Mulia.”
Ganendra Narain segera membungkukkan tubuhnya ketika menyadari harapan yang terucap dari bibir Arsyanendra. Namun dengan cepat Arsyanendra menjawab perasan bersalah dari Ganendra, “Lain kali, aku akan mengajak putramu, Tara untuk berburu. Apakah Tuan Ganendra tidak keberatan?”
“Sebuah kehormatan bagi kami mendapatkan undangan dari Yang Mulia.”
Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Gala Birendra dan kemudian mengganti perbincangannya.
“Lama tidak bertemu Tuan Gala Birendra.”
Dengan menundukkan kepalanya memberikan penghormatan, Gala Birendra kemudian membalas sapaan dari Arsyanendra, “Ya, Yang Mulia. Mungkin sekitar lima tahun lamanya kita tidak bertemu.”
“Bagaimana kabar putramu Orion, Tuan Gala?”
“Baik – baik saja, Yang Mulia. Orion masih sibuk menghabiskan hari – harinya dengan membaca banyak buku dan mempraktikkannya, Yang Mulia.”
Arsyanendra mengingat benar Orion putra dari Gala Birendra yang sangat suka membaca buku dan segera mempraktikkannya. Arsyanendra benar – benar tertarik dengan kebiasaan Orion yang langka ini, karena buku – buku yang dibacanya tidak terbatas pada tema tertentu melainkan banyak hal kecuali novel dan komik.
“Sampaikan salamku pada Orion, Tuan Gala. Aku ingin mengundang Orion, Tara dan semua calon penerus dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat untuk melakukan perburuan di istana. Apakah itu memberatkan Tuan Gala?”
Gala Birendra menundukkan kepalanya dan memberikan penghormatan atas undangan yang diberikan oleh Arsyanendra kepada putranya. Di belakang Gala, sembilan kepala keluarga lainnya yang mendengar ucapan Arsyanendra juga melakukan hal yang sama dengan Gala Birendra. Secara serentak sepuluh kepala keluarga kaum Aristokrat kemudian mengucapkan hal yang sama.
“Sebuah kehormatan bagi kami dan calon penerus kami bisa hadis dalam acara itu, Yang Mulia.”
Arsyanendra tersenyum mendengar ucapan dari sepuluh kepala keluarga Aristokrat dan kemudian dengan tangannya, Arsyanendra memberikan isyarat pada Surendra yang berdiri tidak jauh darinya.
Musik klasik kemudian diputar dan beberapa pasangan dari tamu undangan kemudian turun dan berdansa bersama. Arsyanendra menyukai beberapa musik klasik peninggalan ayahnya, Davendra Balakosa. Di rumah pribadi milik ayahnya masih tersimpan beberapa piringan hitam milik ayahnya yang disimpannya dengan baik dan terkadang diputar oleh Arsyanendra ketika merindukan ayahnya. Sayangnya setelah membuat keputusan untuk memasuki istana, Arsyanendra menyimpan benda – benda peninggalan ayahnya jauh di tempat tersembunyi yang tidak akan bisa ditemukan oleh sepuluh keluarga kaum aristokrat.
“Yang Mulia. . .”
Kepala keluarga Widyanatha yang merupakan satu dari sepuluh keluarga kaum aristokrat datang menghampiri Arsyanendra.
“Ya, Tuan Gyan.”
“Perkenalkan ini putri saya, Variza.”
Dengan senyuman yang memesona, Arsyanendra kemudian membalas ucapan Gyan Widyanatha
“Malam Tuan Gyan."
“Perkenalkan saya Variza Widyanatha, Yang Mulia.”
Dengan membungkukkan sedikit tubuhnya, gadis muda putri dari Kepala Keluarga Widyanatha yang bertugas dalam mengurus ilmu pendidikan dan sosial budaya di Negara Hindinia menunjukkan penghormatannya kepada Arsyanendra.
“Salam kenal, Nona Variza.” Arsyanendra membalas dengan senyumannya dan kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke Gyan, Ayah Variza. “Tuan Gyan. . .”
“Ya, Yang Mulia.”
“Apakah Tuan keberatan jika saya mengajak putri Tuan untuk menjadi teman saya berdansa?”
Dengan penuh rasa bangga yang terpancar dari wajahnya, Gyan Widayanatha kemudian menundukkan sedikit kepalanya sebelum menjawab permintaan Arsyanendra.
“Sebuah kehormatan bagi keluarga Widyanatha, Yang Mulia.”
“Terima kasih, Tuan Gyan.”
Arsyanendra kemudian mengulurkan tangannya ke arah Variza dan dengan penuh rasa bahagia, Variza menerima uluran tangan itu. Arsyanendra kemudian menuntun pasangannya turun ke tempat dansa.
Tamu undangan yang melihat Raja mereka hendak ikut berdansa kemudian secara serentak menghentikan dansa mereka dan memberikan ruangan gerak bagi Raja baru mereka. Semua tamu undangan ingin melihat siapa gadis beruntung yang dipilih oleh Raja Baru mereka untuk mendapatkan kehormatan untuk berdansa dengan Raja.
Dengan meletakkan tangan kirinya lekuk pinggang Variza dan tangan kanannya yang menggenggam tangan Variza, Arsyanendra kemudian memulai dansanya bersama dengan Variza. Arsyanendra yang tahu betul putri dari Gyan Widyanatha sangat pandai berdansa, tidak kesulitan untuk melaraskan irama mereka dengan musik yang berputar.
Melihat gerakan yang indah dari Raja mereka dan pasangan yang ditunjukkan semua tamu undangan yang melihat langsung terpesona. Mata mereka terus teruju pada Raja dan pasangannya dan tidak bisa lepas.
Arsyanendra menyadari hal itu dan tersenyum melihat respon yang diinginkannya dari para tamu undangan. Dalam hatinya, Arsyanendra berbicara.
Dengan begini. . . satu umpan telah siap dipasang.
Seusai pesta dansa yang menakjubkan dan membuat para tamu undangan terpesona, para tamu undangan di bawa ke meja besar untuk menikmati hidangan khusus yang telah disiapkan oleh istana. Ini adalah kebiasaan yang dimulai sejak Jahan Balakosa memimpin Hindinia sebagai Raja Kedua. Kebiasaan buruk yang banyak menghabiskan banyak uang negara dan rakyat proletar dalam perjalanannya. Memaksa kaum proletar yang hidup serba kekurangan untuk membayar pajak dan menghabiskan keringat mereka hanya untuk makan bersama dengan kaum aristokrat yang sudah hidup penuh dengan kemewahan. Kalian semua busuk.Arsyanendra yang tersenyum melihat canda tawa kaum aristokrat yang duduk bersama dengannya di meja makan yang sama. Arsyanendra benar – benar menyembunyikan amarahnya, kebenciannya dan juga rasa ingin membunuhnya di balik senyuman dan pesona yang dimilikinya. Dengan mudahnya, Arsyanendra bahkan ikut bercanda bersama dengan beberapa kepala keluarga kaum aristok
Tiga hari kemudian. . .Selama tiga hari setelah pesta penobatannya, Arsyanendra disibukkan dengan beberapa kegiatan barunya sebagai Raja Hindinia. Selama tiga hari, banyak kunjungan penting yang dilakukan oleh Arsyanendra sebagai seorang Raja. Dari berkunjung ke beberapa sektor yang berhubungan dengan pemerintahannya seperti sektor hukum, ilmu pengetahuan dan pendidikan lalu ke sektor pertahanan di ibu kota.Tidak hanya berkunjung ke tempat di mana kaum aristokrat, Arsyanendra pun juga berkunjung ke tempat para kaum proletar. Melihat kondisi yang sangat menyedihkan dari kaum proletar, Arsyanendra berniat memperbaiki lingkungan hidup kaum proletar dan berusaha membantu kaum proletar untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum aristokrat. Sayangnya. . . apa yang diinginkan oleh Arsyanendra tidak semudah membalikkan tangan. Rencananya itu akan sangat sulit dilakukan saat ini dan bahkan akan banyak memicu pertikaian dari kaum aristokrat.
“Ingat Surendra ketika gadis itu nantinya datang, ambil sampel dari gelas minumannya dan periksa DNA nya. Wajah yang dimilikinya terlalu mirip dengan Indhira dan sebelum aku tahu identitasnya dengan benar, aku akan tidak akan bisa membuatnya menjadi salah satu pionku menghadapi kaum aristokrat.”Dua hari kemudian dengan wajahnya yang selalu tersenyum, Arsyanendra duduk menunggu di ruangannya kedatangan gadis yang sedang ditunggu dan berhasil menarik perhatiannya sejak pertama kali merekabertemu.Mungkin karena kesamaan wajah yang dimiliki oleh Ravania dengan Indhira, cinta pertamanya membuat Arsyanendra untuk sesaat membuat harapan kecil yang telah hilang dan kandas sepuluh tahun yang lalu. Kehilangan ayah dan kehilangan Indhira di saat yang nyaris bersamaan sepuluh tahun yang lalu membuat Arsyanendra berdiri di tempatnya saat ini, mengenakan pakaian kerajaan yang begitu dibencinya dan juga tinggal di istana yang begitu menyesakka
Arsyanendra yang duduk di ruang kerjanya sembari menatap langit malam yang dihiasi oleh sinar rembulan mendengar ketukan pintu ruangannya.Tok. . . tok. . .“Yang Mulia.”Arsyanendra mengenali suara kepala pengawalnya. “Masuklah.”“Nona Ravania sudah menunggu di ruang tunggu yang telah dipersiapkan, Yang Mulia.”“Baiklah, aku akan segera ke sana. Lalu perintahkan pelayan istana untuk mengantarkan jamuan makan malam ke tempat pertemuanku dengan Ravania.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra kemudian memberikan perintah kepada pelayan yang berjaga di dekat ruang kerja Arsyanendra sebelum akhirnya mengawal Arsyanendra ke ruangan di mana Ravania sedang menunggu kedatangannya.Pintu ruang tunggu terbuka. Arsyanendra masuk dan langsung menyapa tamu yang sangat dinantikannya.“Selamat malam, Nona Ravania.”&nb
Ravania memandang tepat ke arah mata Arsyanendra dengan harapan dapat menemukan bahwa apa yang baru saja didengar oleh indra pendengarannya sesaat tadi adalah sebuah candaan semata. Sayangnya bagaimana pun Ravania menatap ke arah mata Arsyanendra, dirinya tidak menemukan sedikit tanda candaan di mata coklat keemasa Arsyanendra. Arsyanendra menangkap pandangan Ravania yang diarahkan kepadanya dan tersenyum lagi membalas tatapan Ravania pada dirinya. “Yang Mulia tersenyum?” “Tidak bisakah aku tersenyum, Nona Ravania?” Arsyanendra membalas pertanyaan Ravania dengan pertanyaan lain. “Saat ini Nona Ravania sedang memandangku dengan harapan bahwa perkataanku sebelumnya hanyalah sebuah candaan, bukan?” Ravania tersentak. Dengan segera kepalanya berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika menyadari Raja Muda yang duduk di hadapannya dapat dengan jelas membaca pikirannya hanya dengan melihat raut wajahnya. “Aku a
Pukul sepuluh malam, akhirnya Ravania tiba di rumahnya. Dengan penuh kebahagiaan, Agni sahabatnya segera menyambut kedatangan Ravania. Sayangnya kebahagiaan di wajah Agni segera menghilang ketika menyadari Ravania melupakan janjinya untuk meminta tanda tangan Raja Arsyanendra Balakosa untuknya. “Maafkan aku, Agni. Sesuatu terjadi dan aku tidak sempat untuk meminta tanda tangan Yang Mulia Arsyanendramu itu. . .” Dengan wajah yang sangat lelah, Ravania meminta maaf kepada Agni dan kemudian meninggalkan Agni begitu saja dan segera berbaring di tempat tidurnya. Setelah seharian menghabiskan waktu di luar rumah, perlahan rasa lelah yang sempat dilupakan oleh Ravania menyerang tubuhnya dengan cepat. Bau tempat tidurnya yang nyaman dengan segera membuat mata Ravania kehilangan kekuatannya dan menutup, membawa Ravania tenggelam dalam rasa lelahnya yang begitu dalam. Di saat – saat sebelum matanya terpejam, Ravania memikirkan lagi ucapan Raja Muda Hi
Dengan mengenakan pakaian pelayan istana, Ravania kini berbaur dalam pesta perburuan yang diadakan di hutan milik istana. Pesta perburuan yang khusus hanya didatangi oleh kaum aristokrat ini didatangi oleh sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat lengkap dengan sepuluh calon penerus mereka. Ravania mengingat semua nama kepala keluarga kaum aristokrat bersama dengan sepuluh calon penerusnya sembari mengingat wajah – wajah mereka. Sesuai dengan perintah Arsyanendra, Ravania harus mengingat wajah mereka dan menentukan bagaimana sikap asli kaum aristokrat yang tidak dapat dilihat oleh kebanyakan orang dan hanya akan terlihat ketika mereka berada di antara kaumnya. Ravania mengingat ucapan lain dari Arsyanendra kepada dirinya sebelum masuk dan berbaur di antara pelayan istana. “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.” Dengan berpegang pada kalimat itu, Ravania kini berdiri di anta
“Salam, Yang Mulia. Zhafiro Danapati memberi hormat kepada Yang Mulia.” Setelah memberikan hormat kepada Arsyanendra, Zhafiro kemudian kembali ke tempatnya duduk dengan anggunnya. Salam kedua diberikan oleh Variza Widyanatha yang merupakan putri dari Gyan Widyanatha. Putri dari Gyan Widyanatha mungkin tidak memiliki ambisi yang besar seperti putri dari Shankara Danapati. Namun Arsyanendra menaruh curiga kepada Variza Widyanatha yang menaruh perasaan khusus kepadanya sejak lama dan memiliki keinginan yang besar untuk menjadi istri dari Arsyanendra terlepas dari keinginan ayahnya. “Salam Yang Mulia. Variza Widyanatha memberi hormat kepada Yang Mulia.” Variza Widyanatha kemudian kembali ke tendanya yang berhadapan langsung dengan tenda keluarga Danapati dan memandang tajam ke arah Zhafiro Danapati. Dengan jelas Arsyanendra dapat melihat ada ketegangan yang terjadi di antara tatapan Variza dan Zhafiri yang memiliki harapan besar un
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.