Pesta perburuan berakhir.
Setelah semua kaum aristokrat pergi meninggalkan hutan istana, Arsyanendra bersama dengan Surendra kembali ke istananya untuk melepas rasa lelahnya. Sebelum kepergiannya, Virya Balakosa yang telah ditinggal oleh Narendra, kakaknya menyempatkan diri untuk menemui Arsyanendra.
“Salam Yang Mulia.”
Virya yang berada di ruang tunggu segera mengucapkan salamnya kepada Arsyanendra ketika melihat kedatangan Arsyanendra.
“Narendra pergi lebih dulu?”
Virya tersenyum mendengar pertanyaan Arsyanendra pada dirinya. “Seperti biasa. Kakak akan malu bertemu dengan Yang Mulia jika kalah dari Yang Mulia.”
Arsyanendra tertawa kecil mendengar jawaban Virya, “Jadi kapankah dia akan menang dariku dan menemuiku untuk memamerkan kemenangannya padaku?”
Virya menggelengkan sedikit kepalanya, “Sepertinya tidak akan pernah bisa menang dari Yang Mulia. Sikap tidak tenangnya dan emosinya yang sela
Setelah keluar dari ruangan Arsyanendra, Surendra segera bergegas menemukan Ravania yang tadi berlari begitu saja. Setelah selama satu jam mencari, Surendra akhirnya menemukan Ravania sedang berjongkok di samping pintu besar yang mengarah keluar dari gedung istana. Sesuai dengan perintah yang diberikan oleh Sang Raja, pengawal istana tidak memberikan ijin kepada Ravania untuk meninggalkan istana hingga keesokan hari. Hal ini dilakukan Sang Raja yang khawatir dengan keberadaan Ravania yang mungkin diketahui oleh salah satu kaum aristokrat. Sang Raja khawatir mengingat Ravania merupakan aktivis pembela kaum proletar.“Nona Ravania. . .”Surendra berjalan mendekati Ravania yang menyembunyikan wajahnya.“Apa yang membawa Tuan Surendra kemari? Aku tidak mendapat ijin pergi dari istana. Kenapa aku tidak bisa kembali ke rumahku?”Surendra dengan tetap berdiri dan menjaga sikapnya tetap sopan mengingat Ravania adala
“Cinta pertama?” Ravania yang tadinya menangis melihat dua belas narapidana yang telah diselamatkan oleh Sang Raja kini memasang wajah terkejut dan melupakan rasa sedihnya ketika mendengar ucapan Surendra yang mengatakan kata cinta pertama. “Kenapa Nona Ravania terkejut? Tidak mungkin Nona Ravania berpikir Yang Mulia tidak akan pernah jatuh cinta seumur hidupnya?” “Tuan Surendra menyadarinya. . .” Ravania terkekeh ketika menyadari pikirannya terbaca oleh Surendra. “Jadi bagaimana pertemuan mereka? Kenapa hubungan mereka hanya sebatas teman jika Yang Mulia menyukai gadis bernama Indhira? Mungkin aku tidak mengakuinya jika saat ini Yang Mulia berdiri di hadapanku. Tapi di mata banyak gadis dan wanita, Yang mulia memiliki wajah yang tampan yang mampu membuat banyak gadis dan wanita terpesona.” “Apakah Nona Ravania termasuk ke dalam salah satunya?” Mendengar ucapan Surendra, spontan Ravania menatap tajam ke arah Surendra ka
Arsyanendra tiba di rumahnya dengan tangan yang masih digenggam erat oleh Indhira. “Kami pulang. . .” Teriakan Indhira membuat Davendra Balakosa yang sedang berbincang dengan Abinawa Darmawangsa menghentikan perbincangannya dan segera menghampiri ke pintu dengan untuk melihat Indhira dan Arsyanendra. “Kamu benar – benar berhasil membawa pulang anak ini?” Davendra tersenyum melihat Indhira yang masih menggenggam tangan Arsyanendra dan memaksa putra tunggalnya ini pulang ke rumah. “Bahkan Surendra yang selalu bersama dengan Arsya pun tidak mampu membawanya pulang. Kamu benar – benar gadis yang hebat seperti ayahmu.” Indhira tersenyum ke arah Davendra Balakosa. “Terima kasih, Paman.” “Lepaskan tanganku.” Arsyanendra yang masih merengut karena dipaksa pulang tidak berani banyak bicara di depan ayahnya dan juga tamu ayahnya. Indhira melepaskan tangan Arsyanendra. “Arsya, kenalk
Mendengar berita buruk yang menimpa ayahnya, Arsyanendra kemudian segera ke kamarnya dan mengambil banyak barang untuk dibawanya pergi. Surendra yang juga mendengarkan berita itu segera menghentikan usaha nekat dari Arsyanendra yang berniat datang ke ibu kota untuk menyelamatkan ayahnya.“Tuan. . .”Surendra berusaha keras untuk menghentikan usaha Arsyanendra yang terus mengepak barang dengan wajah penuh amarah.“Lepaskan aku, Surendra. Kau tidak dengar berita itu? Tidak mungkin ayahku yang selalu mengalah pada Paman memimpin pemberontakan terhadap Paman. Ini sudah keterlaluan, Paman berniat membunuh ayah setelah semuanya diserahkan kepada Paman.”“Tuan, kumohon Tuan. Tolong tenangkan dirimu dulu. Setelah itu kita baru bisa menyusun rencana untuk menyelamatkan Pangeran Davendra. Tanpa rencana apapun, kita sama saja dengan mengantarkan nyawa kita jika saat ini datang ke Ibu Kota.”Ind
Rencana yang disusun telah siap dan matang. Segala pertimbangan dan kemungkinan terburuk telah dipikirkan oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra. Ketika malam tiba, Arsyanendra dan Surendra bersiap – siap untuk pergi ke ibu kota menggunakan kereta. Indhira yang merasa khawatir karena ayahnya yang ikut bersama dengan Davendra Balakosa dan tidak memberikan kabar sedikit pun, memaksa Arsyanendra untuk ikut bersama dengannya ke ibu kota. Arsyanendra sempat ragu untuk membawa Indhira bersama dengannya mengingat Indhira sama sekali tidak tahu dengan musuh mereka yakni Jahan Balakosa. Arsyanendra sempat berpikir meninggalkan Indhira adalah langkah yang benar dan tepat demi keselamatan Indhira. Namun seperti yang Arsyanendra ketahui, Indhira adalah gadis yang keras kepala sama seperti dirinya ketika sudah membulatkan tekadnya. Jadi. . . mau tidak mau, Arsyanendra terpaksa membawa Indhira bersama dengannya. “Kamu boleh ikut denganku, dengan beberapa syarat?”&nbs
Ravania terkejut mendengar cerita dari Surendra mengenai masa lalu Raja Ketiga Hindinia, Arsyanendra di usianya yang masih muda yakni 14 tahun. “Apakah benar itu yang terjadi? Sembilan bangsawan lainnya mengkhianati Tuan Darmawangsa? Demi apa mereka melakukan hal itu, Tuan Surendra?” “Apa Nona ingat kapan tepatnya kebangkitan kaum aristokrat dimulai?” Surendra berbalik mengajukan pertanyaan kepada Ravania dengan tujuan memberikan sedikit clue. “Saat Jahan Balakosa naik takhta. Tunggu sebentar. . .” Ravania menemukan koneksi yang dimaksud oleh Surendra. “Benar, Nona Ravania. Sembilan bangsawan yang harusnya setia kepada Hindinia dan menjaga negeri ini justru berbalik mencari kepentingan mereka sendiri. Saat aku bersama dengan Yang Mulia Arsyanendra di kereta malam saat itu, informan kami mengirimkan pesan bahwa delapan dari sembilan bangsawan yang setia kepada Yang Mulia Ekaraj telah mati dengan berbagai a
“Setelah itu apa yang terjadi dengan rombongan Yang Mulia Arsyanendra?” Dengan wajah yang terkejut dan mata yang nyaris berlinang air mata, Ravania terus mendengarkan cerita dari Surendra mengenai perjalanan hidup Raja Ketiga Hindinia. Bagi Ravania, tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan kisah hidup dari Raja Ketiga Hindinia saat ini yang begitu digilai oleh kaum proletar, begitu dipuja dan dianggap sebagai pahlawan besar bagi kaum proletar. Siapapun pasti tidak akan ada yang menduga termasuk Ravania, jika Raja Ketiga yang selalu tersenyum dan melambaikan tangannya menyapa rakyat mengalami masa muda yang begitu menyakitkan dan begitu berat di usianya yang masih muda: di mana anak lain mungkin masih asyik menghabiskan waktunya untuk bermain. “Setelah itu, saya bersama dengan Tuan Abinawa membawa Yang Mulia ke tempat persembunyian milik Tuan Davendra. Meski dengan susah payah, kami akhirnya sampai di tempat persembunyian mil
“Apa yang sebenarnya terjadi kepada Indhira?” Rasa penasaran Ravania tak lagi bisa tertahankan ketika mendengar cerita Surendra mengenai tertangkapnya Abinawa Darmawangsa oleh Shankara Danapati. “Setelah berusaha menenangkan Nona Indhira dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Nona Indhira membuka mulutnya dan menceritakan kejadian yang mereka alami.” Surendra menarik napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kembali ceritanya. “Perjalanan nona Indhira bersama dengan Tuan Abinawa awalnya berjalan dengan mulus. Mereka berdua menemukan obat Yang Mulia dalam waktu singkat. Namun, sesuatu menarik perhatian Indhira dan membuat Indhira terpisah dari Tuan Abinawa. Karena hal itu, kepulangan Tuan Abinawa dan Indhira harus tertunda karena Tuan Abinawa kehilangan Indhira dalam perjalanan pulangnya. Sialnya. . . Nona Indhira yang terpisah dari Tuan Abinawa justru bertemu dengan putri dari Tuan Shankara Danapati yang bernama Zhafiro Danapati.” “Oh, tidak
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.