Pagi itu, suasana di rumah masih sunyi ketika Amara berjalan menuju kamar orang tuanya. Tepat pukul enam pagi, ia mengetuk pintu kamar sebelum masuk. Ketika pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada ranjang king-size di tengah kamar yang luas. Namun, hanya ibunya, Emely, yang terlihat tertidur di sana. Ayahnya tidak tampak di atas ranjang seperti biasanya. Dengan langkah kecil, gadis berusia empat tahun itu mendekat ke ranjang. Ia berdiri di sisi tempat tidur, menatap wajah ibunya yang masih terlelap. “Mommy?” panggilnya lembut. Emely menggeliat pelan. Suara lembut gadis kecil itu seperti membangunkan indra pendengarannya dari tidur. Dengan mata yang mulai terbuka perlahan, ia menoleh dan menemukan Amara tersenyum manis padanya. Senyuman itu membuat sudut bibirnya ikut melengkung, mengusir rasa kantuk yang tersisa. “Hai, Sayang. Good morning,” sapa Emely dengan suara serak khas orang yang baru saja bangun tidur. Tangannya terulur lembut ke arah gadis kecil itu. Amara mend
Sejenak, Emely berdiri di tepi tempat tidur. Matanya terpaku pada sosok Blue yang tertidur pulas, mengamati pria itu dengan saksama dari kepala hingga ujung kaki. Setiap tarikan napasnya, setiap detail tubuhnya, semua tertangkap jelas dalam pandangan Emely. Namun, pandangannya kini berhenti di antara kedua kaki pria itu. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya, lalu berubah menjadi tawa pelan. “Jelek sekali bentuknya kalau sedang loyo begitu,” gumamnya sambil menahan tawa. “Seperti apa, ya?” Dia mulai berpikir. “Ah, seperti sayuran hijau yang layu, yang haus akan sentuhan air. Ya, benar, istilah itu cocok sekali.” Pikirannya terasa konyol.Perlahan, Emely mengangkat gaunnya, memegang sisi pinggang underwear-nya dengan kedua tangan. Gerakannya penuh perhitungan, tetapi tetap lembut. Dalam satu tarikan, kain kecil berbentuk segitiga itu meloloskan diri dari tubuhnya, meluncur turun hingga terjatuh di lantai. Ia membiarkannya tergeletak di sana, tak tergubris.Emely bergerak mendek
Waktu terus berjalan. Menit demi menit berlalu dengan suasana yang makin intens. Sentuhannya yang konsisten dan terampil akhirnya membuahkan hasil. Keperkasaan Blue yang semula loyo kini sepenuhnya mengeras, seperti yang diharapkan. Ia memperhatikan perubahan itu dengan senyum puas, merasa bangga atas keberhasilannya.Akhirnya, Blue Junior bangkit juga! pekiknya dalam hati sambil menahan tawa kecil. Matanya berbinar dan senyum lebar menghiasi wajahnya, seolah-olah menemukan kepuasan dari usahanya yang tak sia-sia.Tak ingin membuang waktu, Emely menghentikan gerakan tangannya. Dengan perlahan, ia menjauhkan tangan dari batang keperkasaan Blue. Tubuhnya bergerak anggun, menegakkan posisi di atas pria itu. Ia mengatur napas, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan sebelah tangan, wanita itu mengangkat gaunnya yang terasa mengganggu, membiarkan lebih banyak kulitnya terbuka di bawah cahaya redup ruangan. Tangan lainnya kembali menggenggam lembut batang keperkasaan Blue yang
Namun, Emely tidak langsung menurutinya. Ia malah menatap wajah tampan Blue dengan tatapan penuh gairah. Matanya menelusuri setiap lekuk wajah pria itu. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, penuh godaan. Dengan gerakan yang perlahan tetapi pasti, ia menurunkan tali gaunnya melalui bahu, membiarkan kain itu melorot hingga berhenti di sekitar perutnya.Blue refleks menelan ludah dengan kasar. Matanya terpaku pada payudara Emely yang kini terekspos sepenuhnya tanpa bra. Dua benda bulat yang bergerak seirama dengan gerakan tubuh wanita itu di atasnya. Pemandangan tersebut membuat tubuhnya terasa makin panas, dan ia hanya bisa memandang tanpa bisa melakukan apa-apa karena tangannya masih terikat.Dengan satu tangan, Emely meraih bantal di sisi tubuh Blue. Ia menarik benda itu dan meletakkannya di bawah kepala pria tersebut. Blue dengan sigap mengangkat kepalanya, membiarkan wanita itu menyelipkan bantal. Kini, posisi kepalanya menjadi lebih tinggi, memberikan pandangan yang lebih jelas
Di ruang makan yang mewah dengan sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela besar, keluarga Sinclair sedang menikmati sarapan bersama. Talia, putri keluarga itu, duduk dengan tenang sambil menyantap makanannya. Di meja yang sama, Zara, sang ibu, mengamatinya dengan raut wajah khawatir.“Talia, di hari libur seperti ini, kamu masih saja bekerja, Sayang?” Zara bertanya lembut, memecah keheningan. Ia meletakkan sendok, matanya sesekali melirik ke arah suaminya, Ronan.Talia, yang sedang menikmati potongan croissant-nya, menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menanggapi. Ia tersenyum kecil. “Hanya meeting sebentar, kok, Mom. Kemarin jadwal kami bentrok, jadi baru bisa hari ini.” Suaranya terdengar santai.Zara menghela napas panjang. “Sayang, meskipun hanya sepuluh menit, itu tetap saja bekerja. Hari Minggu itu seharusnya kamu gunakan untuk istirahat, bukan mengurusi pekerjaan. Tubuhmu juga butuh waktu untuk pulih dari kelelahan. Jangan sampai kamu sakit karena terlalu memaksakan
“Blue sudah ada calon, Mom. Sangat cantik.”Ucapan itu seketika mengubah suasana di meja makan. Zara dan Ronan yang sebelumnya sibuk dengan pikiran masing-masing, kini menatap Talia dengan intens. Keduanya tampak kompak menuntut penjelasan sang putri lebih lanjut meski ekspresi mereka berbeda. Zara terlihat penuh antusias, sedangkan Ronan lebih skeptis dengan alis sedikit terangkat.Sejenak, Talia menarik napas pendek. “Kalau sudah waktunya, Blue pasti akan membawa kekasihnya ke hadapan kalian,” ucap wanita itu sambil menatap ibunya.“Kamu serius, Sayang?” tanya Zara dengan nada penuh harap.Talia mengangguk pelan, meyakinkan. “Hmm, mana mungkin aku bercanda, Mom?”Namun, sebelum Zara sempat bertanya lebih jauh, Ronan tiba-tiba membuka suara. “Siapa wanita itu? Gadis atau janda?” tanyanya dengan nada tajam.Talia terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia spontan mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya, menatap pria itu dengan kening berkerut dalam. “Kalau janda, memangnya kenapa, Dad? To
Di dalam, suasana begitu ramai, tetapi tetap tertata dengan elegan. Lantai berkilau dengan marmer mengilap, sementara deretan toko-toko mewah berjajar dengan tampilan etalase yang memukau. Amara tampak kagum melihat dekorasi Natal yang mulai dipasang di berbagai sudut mal.“Daddy, lihat! Ada pohon Natal besar sekali!” seru gadis kecil itu sambil menunjuk ke arah atrium utama, di mana pohon Natal raksasa berdiri dengan ornamen emas dan lampu berkelap-kelip.Blue tersenyum. “Iya, cantik sekali? Nanti kita foto di sana kalau Amara mau.”Amara mengangguk penuh semangat. “Mau, Daddy! Kita foto bertiga, ya!”Blue balas mengangguk sambil melirik Emely. “Tentu, Sayang. Mommy setuju, kan?”Emely tersenyum kecil. “Tentu saja. Foto bersama pasti menyenangkan,” jawabnya.Mereka terus berjalan, mengelilingi berbagai toko. Amara terlihat kegirangan ketika mereka masuk ke sebuah toko mainan besar. Dia berlari kecil ke rak boneka, memperhatikan satu per satu boneka yang dipajang.“Mommy, ini lucu sek
Talia tiba di depan Per Se, restoran mewah dan terkenal di Columbus Circle, New York. Mobilnya, sebuah Rolls-Royce Ghost hitam berkilau, meluncur mulus ke area parkir valet yang eksklusif. Setelah menghentikan kendaraan, ia mematikan mesin dengan gerakan halus, membiarkan suasana hening menyelimuti sejenak.Talia kemudian mengulurkan tangan ke kursi penumpang, mengambil tas Hermès Birkin berwarna merah marun yang elegan, merefleksikan selera tingginya. Sebelum keluar dari mobil, ia menyempatkan diri memeriksa penampilannya di kaca spion samping. Bibirnya yang dipulas lipstik merah klasik tampak sempurna, dan riasan matanya mencerminkan percaya diri tanpa kesan berlebihan.Pertemuan ini penting. Orang yang akan ia temui adalah salah satu mitra besar dalam perusahaannya, Sinclair Ocean Technologies. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri.Talia melangkah keluar dari Rolls-Royce dengan anggun, menyerahkan kunci mobil kepada valet yang segera menundukkan kepala hormat. Sepatu Chri
Emely memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan emosi yang terasa semakin membuncah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu tahu tidak, Blue, apa yang sebenarnya membuat masalah ini jadi sebesar ini? Ini bukan soal sejauh mana kamu bermain api dengan mantan istrimu. Ini soal kebohonganmu!"Ia menunjuk ke arah Blue dengan gerakan cepat, membuat pria itu terdiam kaku. "Kamu pikir semua hal bisa kamu anggap remeh begitu saja? Kebohongan yang kamu anggap kecil itu, lama-lama akan jadi masalah besar. Karena apa? Karena kamu akan terus menutupi kebohonganmu dengan kebohongan lain. Dan sementara itu, kamu akan menertawakanku yang kamu anggap bodoh karena sudah berhasil kamu tipu mentah-mentah!"Blue hanya menatap Emely dengan ekspresi penuh penyesalan, namun ia tetap bungkam. Emely, di sisi lain, terlihat terengah-engah, seperti kehabisan napas setelah melampiaskan emosinya."Dan yang paling aku benci," lanjut Emely. “Adalah ketika aku terlihat seperti orang bodoh di dep
Salah satu pelayan yang kebetulan berada di dekat pintu langsung menyapanya dengan sopan. "Selamat malam, Tuan."Blue membalas singkat, "Selamat malam." Ia terus melangkah melewati pelayan tersebut menuju tangga yang menghubungkan lantai dasar dan atas, dengan ekspresi serius terpampang di wajahnya.Di tengah tangga, ia bertemu dengan Gina, yang tampaknya sedang turun. Wanita itu menghentikan langkahnya, lalu menunduk hormat. "Tuan," sapanya pelan."Amara dimana? Apakah dia bersama Emely?" tanya Blue tanpa basa-basi."Tidak, Tuan. Nona Amara sudah tidur di kamarnya. Dia sangat lelah dan mengantuk tadi. Sedangkan Nona Emely ada di kamarnya," jawab Gina.Blue mengangguk kecil, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan pintu kamar. Ia mengulurkan tangan, menggenggam tuas pintu, dan membukanya perlahan.Kamar itu sunyi. Langkah Blue terhenti di tengah ruangan, matanya langsung tertuju ke arah jendela tembus pandang yang memperlihatkan balkon. Sek
Kini, Emely duduk diatas kursi rotan bergaya modern yang khas menghiasi balkon rumah mewah. Kursi itu memiliki desain melengkung ergonomis dengan bantalan empuk berwarna krem yang memberikan kenyamanan maksimal. Di sebelahnya, terdapat meja kecil dari kayu jati dengan permukaan yang dilapisi kaca, tempat cangkir tehnya terletak. Emely membuka laptopnya dan menunggu perangkat itu menyala. Sambil menunggu, ia mengambil bungkusan rokok yang tadi dibawanya, membuka segel plastik dengan sedikit perasaan ragu, dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia menyelipkannya di antara bibirnya, lalu menyalakan ujungnya menggunakan pemantik logam berwarna perak mengkilap. Asap tipis mulai mengepul saat ia menghisap rokok itu perlahan.Dia memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi nikmat yang terasa di rongga mulutnya sebelum akhirnya melepaskan asap tersebut ke udara. Asap itu terbang melayang-layang, bergabung dengan angin yang berhembus dingin, sementara Emely membiarkan tubuhnya bersandar santai di k
***“Mommy, aku lelah dan mengantuk. Kalau misalkan aku mau langsung tidur saja, boleh tidak?” tanya Amara dengan wajah polos, menatap ibunya yang baru saja mematikan mesin mobil di depan teras rumah.Emely melirik gadis kecil itu sekilas sambil melepas sabuk pengaman. “Tentu saja boleh, sayang,” jawabnya lembut. “Tapi, Amara yakin tidak ada tugas dari sekolah yang harus dikumpulkan besok?” lanjutnya memastikan.“Tidak ada, Mommy,” balas Amara cepat.Emely menoleh sepenuhnya ke arah Amara yang duduk di kursi belakang. “Benar tidak ada tugas? Mommy hanya memastikan saja, supaya nanti tidak ada yang kelupaan.”Amara mengangguk mantap sambil menatap ibunya dengan serius. “Iya, Mommy. Betul, aku tidak ada tugas. Aku tidak akan mungkin berani berbohong sama Mommy,” jawabnya.Emely tersenyum kecil mendengar jawaban Amara. “Baiklah. Kalau begitu, sekarang kita turun dulu, ya?” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Setelah turun, ia beralih ke sisi Amara, membuka pintu untuk gadis kecil itu, da
Setelah kepergian Blue, Emely menoleh kepada Zara. “Mom, aku dan Amara pamit pulang dulu, ya?” katanya dengan sopan.Zara tersenyum, meskipun ada sedikit rasa enggan melepaskan gadis itu bersama cucunya. “Hati-hati di jalan, ya, sayang. Kalau nanti kamu ada waktu, jangan ragu untuk datang lagi ke sini. Kami selalu menunggu kalian,” ujarnya tulus.Emely membalas senyum itu. “Pasti, Mom. Terima kasih.”Setelah itu, ia berdiri dan menggandeng tangan Amara yang masih terlihat enggan meninggalkan mansion. Emely memintanya berpamitan kepada Zara dan Talia. Gadis kecil itu pun segera melambai dan memeluk nenek dan bibinya dengan hangat sebelum keduanya mengantar mereka hingga ke teras depan.Zara dan Talia berdiri di sana, memperhatikan Emely dan Amara masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil itu benar-benar melaju, Amara menurunkan kaca jendela dan melambaikan tangannya dengan semangat. “Daa daa, Grandma! Daa daa, Aunty!” serunya ceria.Zara dan Talia membalas lambaian itu dengan senyum lebar. “
Setelah berbicara dengan Emely sebelumnya, Ronan memilih untuk tidak banyak berbicara ketika Blue, Zara, dan Amara kembali bergabung di ruang keluarga. Keheningan Ronan cukup terasa, tetapi tidak mengganggu suasana yang kembali hangat dan ceria, terutama berkat interaksi antara Amara, Emely, dan Zara. Sedangkan Blue, sama seperti ayahnya, lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum kecil saat Zara atau Talia melontarkan candaan.Beberapa jam kemudian, Talia muncul. Wanita itu baru pulang dari kantor dan langsung bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Wajahnya terlihat bahagia—bukan hanya karena momen hangat yang tercipta, tetapi juga karena ia merasa kehadiran Emely membawa dampak positif pada keluarganya. Perlahan-lahan, Ronan mulai menerima Amara, dan Blue pun kini lebih sering berkunjung ke mansion. Semua ini mengingatkan Talia pada masa-masa harmonis keluarganya dulu.“Amara sama Mommy tidak mau menginap saja di mansion?” tanya Talia dengan senyum lembut, tepat setelah Emely
***“Kenapa kamu nekat sekali, Lidya?” ucap Rose, suaranya terdengar tercekat di tenggorokan. Tatapannya penuh ketidakpercayaan saat ia menatap sahabatnya yang duduk di depannya.Lidya menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada sofa dengan ekspresi lelah. “Aku hanya ingin bertemu dengan Amara, Rose. Apa itu salah?” jawabnya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Bagaimanapun, dia adalah anakku. Aku hanya seorang ibu yang sudah lama menyimpan kerinduan untuk putrinya. Kamu tidak akan mengerti bagaimana perasaanku.”Rose memicingkan mata, tatapannya kini penuh curiga. “Sungguh, kamu melakukan semua ini semata-mata karena Amara?” tanyanya dengan nada datar.“Ya, semuanya karena Amara,” jawab Lidya tegas. “Kenapa kamu menanyakannya seperti itu? Seolah kamu meragukan niatku.”Rose menggeleng pelan, ekspresinya terlihat rumit. “Entah kenapa, kali ini aku meragukan niatmu, Lidya. Maaf, tapi itulah yang aku rasakan.”Lidya terdiam, menatap Rose dengan lekat-lekat, mencoba mencari tahu apa
Ronan mengerutkan kening, jelas heran dengan sikap gadis itu. “Kenapa kau tertawa?” tanyanya, suaranya kini sedikit penasaran.Emely menurunkan ponselnya dan menatap Ronan dengan senyuman samar. “Tidak apa-apa, Dad,” ujarnya, suaranya terdengar tenang. “Aku hanya merasa... lucu saja mendengar saran darimu.”“Lucu?” Ronan mengangkat salah satu alisnya, jelas tidak mengerti apa maksud gadis itu.“Ya,” jawab Emely, singkat sembari mengangguk kecil. Ronan terdiam sesaat. Gadis itu, sekali lagi, berhasil membuatnya kehilangan kata-kata dengan caranya yang tenang dan santai. Emely kemudian menghela napas. “Dad, setiap kali aku bersama keluargaku, terutama ayahku, aku sering bertingkah seperti balita. Bahkan Amara saja jauh lebih dewasa dibandingkan aku. Tapi, ketika aku berada di samping putramu—percaya atau tidak—aku merasa jauh lebih dewasa dibandingkan dia,” ujar Emely tenang, namun nada sarkastis dibalik kalimatnya begitu kentara.Ronan, yang tengah duduk dengan tubuh tegap, spontan m
Dengan tenang, Emely bangkit dari kursinya, dan mengambil sebuah piring. Ia mulai menyusun beberapa menu favorit Blue tanpa bicara, mengatur porsinya dengan cermat. Ia meletakkan piring itu di depan Blue.Meskipun suasana di antara mereka terasa dingin, Emely tetap melayaninya. Mungkin ini bentuk tanggung jawabnya, atau hanya demi menjaga kesopanan di depan Zara dan Ronan, yang jelas-jelas tengah memperhatikan setiap interaksi mereka. Entah karena apa, Emely tetap menutupi ketegangan di antara mereka, membuat Zara berpikir bahwa hubungan mereka baik-baik saja.“Mommy?” suara kecil Amara memecah perhatian Emely. Gadis kecil itu menarik ujung baju ibunya dengan lembut.Emely menunduk sedikit, melirik ke arah putrinya. “Ya, sayang? Ada apa?” tanyanya lembut sambil membungkuk untuk mendengar lebih jelas.“Kalau aku sudah selesai makan, aku tunggu Mommy di ruang keluarga ya?” ujar Amara sambil mengusap sudut mulutnya.Emely tersenyum kecil, mengusap lembut rambut gadis kecil itu. “Oke, say