Emely merasa seluruh tubuhnya membeku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, apalagi ketika Blue menyebut nama ibunya. “Aku jadi penasaran,” lanjut pria itu dengan nada lebih rendah, hampir berbisik. “Bagaimana reaksi Lucia jika dia tahu semua ini?”Ketakutan tampak makin jelas di mata Emely ketika Blue dengan santainya membawa-bawa nama sang ibu dalam percakapan ini. Mom ..., batinnya dengan perasaan bergejolak. Emely tahu betul seperti apa rasa kecewa yang dirasakan oleh wanita yang paling ia sayangi itu jika semua ini terungkap. Itu adalah hal terakhir yang ingin ia lihat di dunia ini. Namun, apa daya, ia juga tak pernah berpikir jauh sebelum bertindak, hingga akhirnya terjerat dalam masalah-masalah seperti sekarang.Selama tinggal di New York, kehidupan Emely bisa dibilang sangat bebas. Hal itu karena ia selalu berhasil menghindar dari pengawasan ketat keluarganya di Italia. Di hadapan orang tuanya, Emely berhasil menciptakan citra wanita sempurna: seorang pelajar yang fo
Emely meraih pulpen itu dengan tangan gemetar. Meski hatinya dipenuhi amarah dan rasa benci, ia membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Resmi menyerahkan diri sepenuhnya pada pria yang kini memegang kendali atas hidupnya, Blue Sinclair. Setelah selesai, Blue mengambil kembali dokumen itu. Matanya menatap tanda tangan Emely dengan ekspresi puas sebelum ia menyimpan kembali berkas itu ke dalam laci.Sementara itu, Emely meraih foto-foto yang berserakan di depannya. Dengan penuh emosi, ia merobek semua foto itu hingga tak berbentuk lagi, seolah-olah ingin menghapus jejak memalukan dirinya. Blue yang menyaksikan aksinya, hanya tertawa pelan.“Foto-foto itu hanya permukaan saja,” ujar Blue dengan nada mengejek. “Aku menyimpan banyak salinannya di tempat yang aman. Jadi, jangan terlalu percaya diri.”Emely berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Namun, ia memilih untuk tidak merespons, hanya menatap Blue dengan sorot mata penuh kebencian yang tertahan.Blue menutup laci lalu mengalihkan p
Blue berdiri dari kursinya, memastikan laci tempat dokumen-dokumen penting terkunci otomatis sebelum melangkah mengitari meja kerja. Dia berhenti tepat di depan Emely lalu menatap wanita itu dengan tatapan intens. “Ayo ke luar. Amara sudah pulang,” ajaknya singkat dengan nada tegas.Emely mendongak, menatap Blue dengan wajah tanpa ekspresi. Tanpa banyak bicara, dia bangkit dari duduknya, bersiap melangkah pergi. Namun, Blue lebih cepat. Dengan gerakan sigap, tangannya menangkap pergelangan Emely, lalu berpindah ke pinggang ramping wanita itu. Dalam satu tarikan, tubuh mereka bersentuhan erat.Blue menunduk, memperhatikan wajah Emely yang terlihat kesal. Dia mengangkat dagu wanita itu dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksanya menatap langsung ke arahnya. “Tersenyumlah, Emely.” Suaranya pelan tetapi penuh perintah. “Jangan tunjukkan wajah seperti ini di depan Amara. Kau harus menyambutnya dengan senyum. Katakan kalau kau sangat merindukannya. Setelah itu, minta maaf karena baru bisa p
Beberapa saat kemudian, Blue menyudahi ciumannya. Ia menjauhkan wajahnya sedikit, cukup untuk melihat wajah Emely yang memerah. Napasnya masih tersengal. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Tangan bebas Blue bergerak perlahan, menyusuri paha mulus Emely dari balik dress yang ia kenakan, menyentuh kulitnya dengan lembut tetapi penuh niat.“Serius, mulutku bau bangkai?” bisik Blue. Suaranya terdengar rendah di dekat telinga Emely.Tubuh Emely menggelinjang lembut. Sentuhan pria itu mulai menyusup ke area sensitifnya, membuatnya makin salah tingkah. Matanya melebar panik. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia mencengkeram pergelangan tangan Blue dengan kuat.“Aku berbohong!” akunya cepat. Suaranya terdengar nyaris putus asa. Ia berusaha menyingkirkan tangan nakal Blue yang makin berani menjelajah area sensitifnya. “Blue, hentikan! Ish, cukup!” Dengan sekali sentakan tegas, ia berhasil menjauhkan tangan pria itu.Emely berdiri terpaku, napasnya tersengal. Ia merapatkan kedua paha, berusah
Emely menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Senyum lembut muncul di wajahnya meski hatinya terasa campur aduk. “Iya,” jawabnya singkat tetapi penuh arti.Amara menatap tanpa berkedip, seolah-olah ingin mendengar lebih banyak. Emely mengerjap, merasa gugup. Lidahnya terasa kelu. Ia tahu dirinya harus memilih kosa kata dengan hati-hati, tetapi emosi justru membuatnya sulit untuk berpikir jernih. “Aku ... eumm ... maksudku, Mommy adalah ibunya Amara,” jelasnya akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang. Dalam hati, ia berharap pernyataan itu cukup untuk memuaskan hati kecil bocah tersebut.Amara tersenyum lebar, begitu lebar hingga matanya memicing. Dalam sekejap, kedua matanya berkaca-kaca. Tanpa menunggu lama, ia mendekat dan memeluk erat leher Emely. “Aku rindu sama Mommy,” katanya dengan suara yang tiba-tiba serak. Bibir mungilnya bergetar, berusaha menahan tangis.Blue menyaksikan adegan itu dalam diam. Matanya tiba-tiba memanas, dadanya terasa sesak mendengar nada rindu
“Nanny, cantik, ya, Mommy aku?” tanya Amara sambil membalikkan badan, memunggungi Gina. Ia membiarkan wanita dewasa itu memasang ritsleting gaunnya yang cantik.Gina tersenyum lebar mendengar pertanyaan polos Amara. Sejak masuk kamar, bocah itu terus tersenyum. Wajahnya dipenuhi binar kebahagiaan.“Iya, mommy-nya Amara sangat cantik, sama seperti Amara,” jawabnya sambil memuji gadis kecil itu dengan lembut.Amara terkikik kecil, wajahnya memerah. “Ah, Nanny bisa saja memujiku,” katanya pelan dengan nada malu-malu. Ekspresi menggemaskan itu membuat Gina tak kuasa menahan tawa kecil.“Amara memang cantik, Sayang. Semua orang juga tahu itu,” sanjung Gina. Ia kemudian memegang kedua bahu mungil Amara dengan lembut dan memutar tubuh gadis kecil itu hingga menghadap ke arahnya. Kini Amara menatapnya dengan senyuman ceria.“Nanny, aku mirip Mommy tidak?” tanya Amara tiba-tiba. Suaranya terdengar penuh harapan.Gina yang sedang bersiap menyisir rambut panjang Amara pun berhenti sejenak. Tatapa
Selesai makan siang, Blue, Emely, dan Amara berpindah ke ruang TV untuk menghabiskan waktu bersama. Suasana terasa nyaman dan santai. Seorang pelayan masuk membawa dua cangkir teh hangat untuk Blue dan Emely, lalu meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka.Sejak tadi, Amara tampak tak mau berjauhan dari Emely. Gadis kecil itu duduk di sampingnya, memeluk erat tubuhnya seolah-olah takut ditinggalkan. Tangan mungilnya menggenggam ujung baju wanita itu.Waktu berlalu hampir satu jam. Di sela tawa ringan dan obrolan santai, suara Amara perlahan menghilang. Emely yang menyadari keheningan itu, menundukkan kepalanya untuk melihat Amara. Ia mendapati gadis kecil itu sudah berbaring di sofa dengan kepala bersandar pada pahanya, tertidur lelap.“Dia tidur, Blue,” gumam Emely dengan suara nyaris seperti bisikan. Tatapannya beralih pada pria yang duduk di sebelahnya.Blue menarik pandangannya dari layar TV dan menoleh ke arah Emely, alisnya sedikit terangkat. Ia lalu menunduk untuk memast
Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit di perjalanan, akhirnya Blue dan Emely tiba di Luxe Midtown Residences, sebuah gedung apartemen elite yang terletak di kawasan Manhattan, New York. Gedung itu terkenal dengan fasilitas mewah dan lokasinya yang strategis di pusat kota, menawarkan pemandangan indah Central Park dari lantai-lantai atasnya.Mobil SUV hitam milik Blue perlahan memasuki area basemen yang luas dan terorganisir dengan baik. Lampu-lampu parkir menerangi jalur dengan sempurna, memberikan suasana eksklusif khas gedung premium. Blue menghentikan mobilnya di salah satu slot parkir khusus tamu, mematikan mesin, dan melirik sekilas ke arah Emely sebelum keluar dari kendaraan.Emely membuka pintu penumpang dan melangkah ke luar. Udara dingin dari sistem ventilasi bawah tanah terasa menerpa singkat kulitnya. Blue berjalan mendahului, tetapi langkahnya cukup lambat agar Emely bisa mengikuti tanpa tergesa-gesa.“Unitmu di lantai berapa?” tanya Blue, pura-pura tidak tahu letak
Di sana, berdiri Zara, dengan senyum sumringah menyambut kedatangan mereka.Amara menoleh ke arah teras dan melihat sang Nenek melambaikan tangan lembut ke arahnya. Gadis kecil itu mengangguk pelan sambil membuka pintu mobil dengan hati-hati. “Mommy, tidak apa-apa ‘kan kalau aku bawa boneka ini?” tanyanya polos sambil merapikan boneka yang masih digenggam erat.“Iya, tidak apa-apa, sayang. Bawa saja,” jawab Emely lembut sambil keluar dari mobil dan menutup pintunya. Ia meraih tangan kecil Amara, menggenggamnya erat, lalu membawa gadis kecil itu melangkah bersamanya menuju teras Mansion.Saat mereka mendekat, Zara yang telah menunggu di teras utama menyambut dengan antusias. Wajahnya tampak sumringah.“Selamat siang, Mom,” sapa Emely ramah.Mom. Sebuah panggilan yang awalnya terasa canggung kini mulai terdengar natural. Setelah beberapa kali pertemuan, panggilan "Aunty" yang semula Emely gunakan untuk Zara perlahan berubah menjadi "Mom." P
New York, USA…Emely fokus mengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, sementara matanya menatap lurus ke jalan yang terbentang di depannya. Di kursi belakang, Amara duduk terdiam. Gadis kecil itu terlihat tenang, namun dari raut wajahnya, jelas ia sedang memperhatikan Ibunya.Biasanya, perjalanan bersama Amara dipenuhi dengan tawa atau percakapan ringan. Namun, hari ini berbeda. Amara tidak berani mengajak Ibunya berbicara. Ekspresi Emely tampak dingin, penuh beban yang tidak biasa.Ddrrttt…Ponsel Emely yang tergeletak di konsol tengah mobil tiba-tiba bergetar. Ia melirik sekilas pada layar yang menyala.“Biru Tua is calling…”Nama kontak itu jelas tertulis di layar. Ternyata pria itu yang sedang menelepon. Namun, Emely tidak berniat mengangkatnya. Ia mendengus pelan, matanya kembali fokus ke jalan. Perasaan jengkel kembali menyeruak di hatinya.‘Dasar Blue jelek! Tua! Brengsek!’ maki Emely dalam hati. ‘K
Rahang Erlan langsung mengetat mendengar jawaban itu. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Pikiran di kepalanya mulai berputar cepat. Jadi, selama satu bulan penuh ini, Emely telah membohonginya? Selama itu juga Blue diam-diam mendekati putrinya tanpa sepengetahuannya?Kemarahan Erlan semakin membuncah, membuat napasnya terdengar memburu panas. Kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.‘Keparat…’ geramnya dalam hati. Namun Erlan belum selesai. Ia masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan. Selang beberapa detik, ia kembali bertanya, “Apakah Blue sering mendatangi apartemen Emely?”Ketiga pria itu kembali saling melirik, ragu-ragu untuk menjawab. Kali ini, mereka terdiam cukup lama, membuat emosi Erlan semakin meledak. Ia menggebrak meja keras dengan kedua tangannya, membuat mereka semua terlonjak.“Jawab pertanyaanku!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan besar itu
Milan, ItaliaSelama beberapa minggu terakhir, Erlan merasa ada sesuatu yang tidak biasa pada putrinya, Emely. Biasanya, gadis itu selalu menghubungi Ibunya, Lucia, setiap pagi tanpa absen. Namun, belakangan ini, kebiasaan itu mulai berubah. Kadang-kadang, Emely tidak menelepon, atau ketika Lucia menghubunginya lebih dahulu, panggilannya tidak langsung dijawab. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di benak Erlan: Ada apa dengan Emely?Namun, rasa curiga Erlan semakin kuat setelah pertemuannya dengan Han Jae-Min, seorang pria yang merupakan mitra bisnisnya sekaligus ingin diperkenalkan pada Emely. Saat berbicara dengan Erlan waktu itu, Han Jae-Min mengungkapkan kejadian saat di acara seminar, sehingga tak ayal membuat Erlan terkejut.“Paman Erlan, saya harus jujur,” ujar pria asal Korea itu. “Emely tampaknya sudah memiliki kekasih. Saya tidak ingin menyinggung lebih jauh, jadi saya memutuskan untuk menjaga jarak.”Ucapan itu membuat Erlan tertegun.
"Aku mau bahas soal Lidya," ujar Blue langsung tanpa basa-basi."Aku rasa tidak ada yang perlu kamu jelaskan, dan mantan istrimu itu tidak ada urusannya denganku. Itu urusanmu, dan kamu urus saja sendiri," ucap Emely dengan nada sarkastik, suaranya dingin saat menatap tajam ke arah Blue. Setelah melontarkan kalimat itu, ia memutar tubuh, berniat melangkah menuju pintu.Namun, Blue dengan sigap menahan pinggang rampingnya, menarik tubuh Emely kembali menghadap padanya. Dengan satu hentakan lembut, ia membuat Emely tetap berada di tempat. "Kemarin dia menelponku hanya untuk menanyakan Amara. Tidak lebih dari itu," ujar Blue, mencoba menjelaskan.Emely mendengus kecil, ekspresinya datar dan sinis. "Kalaupun lebih, juga tidak masalah," balasnya cepat.Blue terdiam, merasa terjebak. Ia tidak tahu bagaimana cara meluluhkan hati si Kucing Liar-nya ini yang sudah terlihat begitu murka. Kecewa oleh perlakuannya."Aku tidak akan melarangm
Selang beberapa menit kemudian, lamunannya buyar saat terdengar suara ceria Amara dari belakang. "Mommy, aku sudah selesai!" seru gadis kecil itu sambil melangkah mendekat.Emely tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kecil terulas di wajahnya saat ia melihat Amara berdiri di samping sofa dengan ekspresi penuh semangat."Sudah rapi, ya?" tanyanya sambil memerhatikan penampilan gadis kecil itu. Amara mengangguk antusias. "Iya, Mommy. Aku sudah siap. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapnya.Emely tersenyum sembari mengangguk pelan. "Ayo," ucapnya lembut, lalu mengulurkan tangan. Amara segera menyambutnya, menggenggam tangan ibunya.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Gina, pengasuh Amara. "Nona, apakah saya akan ikut ke Mansion?"Emely menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Gina. "Tidak perlu. Kamu istirahat saja dirumah. Mungkin kami akan pulang agak malam," jawabnya tenang.Gina mengangguk patuh, tetapi ia tidak
Sinclair Ocean TechnologiesDi dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue duduk dengan raut wajah tegang. Porter, asisten pribadinya, baru saja melaporkan sebuah kabar yang membuat pria itu terkejut. Lidya, mantan istrinya, diketahui mendatangi sekolah Amara dan, lebih buruknya lagi, bertemu dengan Emely di sana.Blue mengangkat pandangan tajam, menatap Porter. “Bagaimana ceritanya Lidya bisa tahu alamat sekolah Amara, Porter?!” sergahnya dengan nada tegas, matanya menyiratkan kemarahan.Porter, yang berdiri di depan meja kerja Blue, tampak canggung. Ia menggeser kakinya sedikit, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Blue mendesah kasar, mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di belakang meja. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambutnya sendiri, membuatnya tampak lebih frustrasi.‘Sial!’ desisnya dalam hati. Pikiran Blue berputar cepat, membayangkan apa yang mungkin telah terja
Disisi lain, Emely akhirnya tiba di sekolah Amara. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, ia keluar dengan tergesa-gesa, langkah kakinya cepat menuju meja resepsionis. Sesaat, ia menyibakkan rambut yang jatuh di wajahnya, berusaha mengatur napas."Selamat siang, Mrs. Emely," sapaan ramah dari resepsionis langsung menyambut kedatangannya. Wanita itu mengenali Emely sebagai ibu dari Amara.Emely tersenyum kecil, meskipun ia tampak sedikit tergesa. "Selamat siang," balasnya sopan. "Amara masih menunggu di ruang biasa, kan?" tanyanya langsung.Resepsionis itu mengangguk, tetapi ragu-ragu sejenak. "Benar, Mrs. Emely. Amara sedang menunggu di ruang lounge siswa. Tapi barusan ada seorang wanita yang meminta izin untuk bertemu dengannya. Saya sudah memastikan, namanya Lidya."Deg!Mendengar nama itu, tubuh Emely seolah membeku sesaat, tetapi hanya sebentar. Ekspresi terkejut yang sempat terlintas di wajahnya segera digantikan dengan ketenangan. Ia mengangguk cepat
The Sterling AcademySetelah berhari-hari mencari informasi, akhirnya Lidya menemukan alamat sekolah Amara. Tempat itu bernama The Sterling Academy, sebuah institusi elit yang terletak di kawasan mewah Upper East Side, New York. Bangunan sekolah tampak megah dengan arsitektur klasik bergaya kolonial. Pilar-pilar putih menjulang tinggi menghiasi fasad bangunan, membuatnya lebih menyerupai Mansion pribadi daripada sebuah sekolah.Halaman depannya yang luas dihiasi taman-taman rapi dengan bunga berwarna-warni, sementara sebuah air mancur besar berdiri megah di tengah. Anak-anak dengan seragam rapi mulai keluar dari gedung, diantar oleh guru atau asisten pribadi mereka. Di depan gerbang, deretan mobil-mobil mewah berjejer menunggu untuk menjemput mereka pulang.Di tengah hiruk-pikuk siang itu, Lidya berdiri canggung di dekat pintu masuk utama. Tangannya mencengkeram ponsel dalam genggamannya dengan erat, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah menarik napas panjang, i