Share

6. Tak Kasat Mata

Penulis: JWT Kingdom
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Tubuhku tidak menua, sukmaku pun tidak. Tubuhku tidak makan dan minum, tetapi sukmaku makan dan minum."

________

Pukul Babi Jantan*.

Gong ditabuh sepuluh kali. Malam larut, Taja tidak juga terlelap. Beberapa kali ia tergugah. Pikirannya terhisap sesuatu. Bayangan sesosok muncul lagi dalam mimpi. Walaupun sekejap, jelas sesosok itu memanggil namanya.

'Taja!'

Tak terhitung mimpi itu. Semenjak ia mengenal dunia. Semakin jelas mimpi itu menjelma sesosok dirinya yang lain di suatu tempat entah di mana. Suasana sunyi senyap. Diam-diam ia beranjak meninggalkan ruangan.

Langit cerah. Purnama hampir penuh menghiasi malam. Tampak bangunan Tanapura yang tenang. Taja terpikir untuk mendatangi Istana Kitab. Ia berjalan cepat-cepat sembari melihat sekeliling kalau-kalau ada penjaga patroli.

Situasi mendukung untuk dia menunaikan keinginannya. Sebuah ambang pintu terbuka, dijaga satu orang penjaga.

Taja menunjukkan lencana khusus ‘Pengunjung tanpa batas waktu’. Beruntung ia memiliki hak istimewa ini.

“Tertib dan jangan membuat apapun selain belajar,” penjaga itu mengingatkan sebentar. Taja mengangguk. Kemudian, ia mematung di satu sudut ruangan yang sepi. Tersadar, ia tidak tahu tujuannya datang ke tempat itu. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.

“Tidak bisa tidur?”

Seseorang menyapa. Muncul di sebelah Taja. Terkesiap, Taja lega setelah tahu siapa orang itu.

“Kamu tadi siang di Istana Pusaka. Aku melihatmu. Kenapa kamu muncul dan menghilang tiba-tiba?” tanya Taja mengikuti pemuda itu menuju satu tempat duduk.

Di hadapan satu meja kecil, pemuda itu bersila. Sembari membuka gulungan kitab lontar di tangannya. Taja ikut duduk berhadapan dengannya. Suasana hening. Namun nafas pemuda itu tidak terdengar sama sekali.

“Kenapa?” pemuda itu bertanya datar.

Taja melihat lencana terpasang di kalung pemuda itu. Lencana dengan simbol ukiran huruf ‘Ra’. Cukup jelas terlihat di bawah cahaya kandil ruangan.

“Apa mungkin kamu ...?!”

Taja tak melanjutkan kalimatnya. Sepintas teringat tentang lencana dengan simbol ‘Ra’.

“Hantu praja?!"

"Tak Kasat Mata?!” terkesiap Taja.

Pemuda itu menatap kitabnya terpampang di meja. Wajah tanpa ekspresi sama sekali.

“Benar. Itu bukan rumor. Akulah yang dianggap Tak Kasat Mata,” kata pemuda itu, tersenyum kecil dan menatap perlahan pada Taja.

Pemuda itu sebaya Taja, membuka sekotak alat berisi puluhan dadu terukir berbagai aksara, lalu menatanya sehingga tersusun satu kalimat.

Ra-dhit-ta-ma.

"Ini namaku," kata pemuda itu menunjukkan aksara tersusun di dadu. Taja terbelalak, membaca nama yang tertera.

“Jadi, kamu selama ini?!” Taja mengamati wajah pemuda itu.

“Aku tidak mencuri makanan. Aku mengambil jatahku. Aku warga di sini. Aku seorang praja. Setidaknya aku juga warga Tanapura," kata pemuda mengaku dirinya Radhittama.

Taja masih keheranan. Sama sekali belum memahami sejatinya pemuda itu.

“Tapi ... kenapa kamu tidak terlihat orang lain? Kenapa aku bisa melihatmu?” Taja bingung. Sesekali menyeka kedua mata, terbelalak sekalipun, pemuda itu tetap tampak di hadapannya.

“Aku bukan hantu. Melainkan aku ini sukma,” kata pemuda itu, melihat ekspresi Taja keheranan.

“Aku belum mengerti kenapa kamu bisa melihatku," kata pemuda itu.

“Aku juga heran, indra batinku melihatmu berbeda dari orang kebanyakan," lanjutnya.

"Manusia biasa memiliki tujuh bagian sukma. Tetapi kamu memiliki sembilan. Mungkinkah itu alasan kamu bisa melihatku dengan leluasa,” lanjut pemuda itu.

Taja tak paham apa yang dibicarakan pemuda itu tentang sukma.

“Aku boleh memanggilmu Radhit?” Taja segan untuk memanggil pemuda itu.

“Silakan,” jawab pemuda itu.

“Ini pertama kali, seseorang memanggilku dengan namaku,” balas Radhit.

“Kita pernah bertemu di sini. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kamu ... Praja Tak Kasat Mata seperti yang digemparkan rumor selama ini!” Taja benar-benar heran.

"Ternyata ... itu bukan sekedar rumor," gumam Taja semakin yakin.

“Kamu pandai dan bijak. Aku berpikir di awal kita berjumpa, aku pikir ... bahwa kamu adalah murid cendekiawan atau sastra Tanapura,” Taja memuji tanpa sadar.

“Kamu mengajari banyak ilmu dalam semalam. Luar biasa!” puji Taja lagi.

Teringat dengan jelas bagaimana awal belajar dari Radhit tentang aksara dan kosakata. Sangat pesat dan bertambah keilmuan dalam semalam. Sebab itu juga, Taja menjadi lancar berbicara bahasa Tanapura.

Radhit kembali membaca lembaran kitab di tangannya. Sesekali ia menyambung pembicaraan.

“Kejadian siang tadi, kamu tertuduh sebagai siluman,” senyum sungging Radhit membuat Taja balik tersenyum geli.

“Dia, bukan orang jahat. Dia punya rasa ingin tahu yang tinggi," kata Radhit.

“Siapa?” tanya Taja tentang siapa yang dibicarakan Radhit.

“Praja sebaya denganmu itu. Dia seorang Gattorian,” lanjut Radhit.

“Siapa?” Taja belum paham juga.

“Raojhin,” Radhit mengucap satu nama yang akhirnya membuat Taja mengerti sekaligus menghela nafas, "Kalian berseteru siang tadi."

“Dia datang ke Tanapura untuk menjadi praja,” kata Radhit sekilas tentang Raojhin.

"Tetapi sebenarnya dia penyusup," lanjut Radhit.

"Penyusup?!" Taja terkejut, setelah tahu rahasia praja menjengkelkan itu. Hidupnya tak tenang dibuat ulah usil praja satu itu.

Taja beralih ke topik pembicaraan lain.

“Apakah kamu selalu tahu tentang apa saja yang terjadi di sini?” Taja penasaran.

“Tidak selalu. Aku bisa tahu banyak hal. Tetapi aku bukan Yang Maha Tahu,” jawab Radhit.

“Apa kamu mengenal semua orang? Tahu seluk beluk mereka?” tanya Taja lagi.

“Lebih dari 400 tahun aku berdiam di Tanapura ..., selama itu banyak peristiwa yang terjadi," kata Radhit, Taja terburu terkejut.

“400 tahun ...?!” ternganga, Taja heran menjadi-jadi.

“Banyak orang di sini yang aku tahu. Tetapi sangat sedikit dari mereka yang pernah ‘kutemui,” jawab Radhit.

“Kamu bisa menemui dan menampakkan diri secara langsung?” tanya Taja lagi.

“Ya. Hanya pada saat-saat tertentu," jawab Radhit.

“Selama lebih dari 400 tahun, berarti ...?” Taja belum sempat melanjutkan kalimatnya, Radhit lebih dulu menyela.

"Setara usia kakek buyut lebih dari sepuluh generasi.”

Seakan Taja dibuat bingung tujuh keliling, "Lebih dari sepuluh generasi? Usia sepanjang itu?"

“Lalu ... kenapa wujudmu hanya sukma? Kamu tidak memiliki tubuh?” tanya Taja.

“Aku memiliki tubuh. Tetapi sukmaku terjebak di Tanapura. Itulah yang membuatku harus menelusuri apapun di Istana Kitab. Aku mencari petunjuk bagaimana cara kembali ke tubuhku.”

Taja menjadi sedikit prihatin mendengarnya, “Apakah itu kesalahan?” Ia merasa Radhit dalam masalah panjang yang belum usai.

“Tidak. Aku sulit menjelaskannya padamu untuk saat ini. Terlalu panjang diceritakan. Suatu saat nanti aku akan menceritakannya padamu,” jawab Radhit.

“Tubuhku ada di tempat sangat jauh dari sini. Tubuhku tidak menua, sukmaku juga tidak. Tubuhku tidak makan dan minum, tetapi sukmaku makan dan minum layaknya manusia hidup,” lanjut Radhit.

"Lantas, apa yang sedang dilakukan tubuhmu saat ini?" Taja sangat ingin tahu.

"Terakhir 'kutinggalkan tubuhku dalam posisi bersemedi," jawab Radhit.

"Kira-kira, apa yang terjadi pada tubuhmu saat ini?" tanya Taja lagi.

"Tubuhku masih hidup. Karena aku sukma orang hidup," lanjut Radhit sebelum membuka-buka lagi lipatan lontar di tangannya. Perhatian Taja beralih ke kitab tersebut.

“Radhit, apa yang 'kaubaca?” Taja beralih perhatian pada kitab di tangan Radhit.

“Ini Kitab Muhaqqina, tetapi tidak utuh. Kitab mantera penawar sihir, obat dan racun. Ada mantera sakti yang dapat digabungkan dengan senjata tertentu. Termasuk Pasvaati," jelas Radhit.

“Sang Gendewa, Pasvaati, dan Muhaqqina. Perpaduan yang sempurna!” lanjut Radhit.

"Selama ini, kamu turut serta dalam setiap pelatihan," Taja sembari memperhatikan isi lontar yang terpampang di hadapan mereka.

“Aku tidak melihat ada tulisan apapun di kitab ini,” Taja menjadi heran lagi.

“Muhaqqina adalah kitab ajaib. Hanya segulung lontar. Tetapi kitab ini mengungkap hampir seluruh peristiwa di Jawata.”

Taja memperlihatkan lontar di tangan Radhit, terpampang di meja.

“Harus merapal mantera khusus sebelum membacanya, kamu bahkan tidak akan mengerti bahasa Kitab Muhaqqina. Ini bahasa Orang-orang Wali," kata Radhit.

Taja garuk-garuk kepala, tanda bingung.

“Sayang sekali, Muhaqqina menyisakan beberapa bagian,” sebentar Radhit menghela nafas, "Aku tidak menemukan potongan lainnya.”

“Mmm, aku dengar selentingan, Pasvaati akan dipadukan dengan Sang Gendewa. Apakah sangat luar biasa pengaruhnya?” tanya Taja

“Ya. Tetapi tidak akan berhasil tanpa mantera Muhaqqina," jawab Radhit.

“Apa yang terjadi jika mantera Muhaqqina dibaca untuk Pasvaati dan Sang Gendewa?” tanya Taja.

“Tergantung jenis mantera yang dibaca. Muhaqqina berisi mantera perisai, pelindung, dan obat. Juga sebaliknya, racun, pemusnah, penebar kematian,” kata Radhit. Taja penasaran jadinya.

“Di tanganku ini, Muhaqqina di sisi yang baik. Besar kemungkinan sebagian Muhaqqina yang hilang, berisi mantera keburukan,” lanjut Radhit.

“Itu sangat berbahaya!” Radhit menahan suaranya, "Terlebih-lebih jika dikuasai tangan yang salah."

"Radhit, sebenarnya kamu siapa?" gumam Taja merasakan takjub sekaligus mengerikan. Karena Radhit sangat banyak tahu hal dan peristiwa.

Di tengah ruangan Istana Kitab yang sunyi senyap, mereka membicarakan banyak hal. Tanpa terasa waktu bergulir hingga tiba pukul Harimau Betina**.

“Maukah kamu, 'kutunjukkan bagaimana cara menyentuh dan menggenggam Pasvaati?” kali ini, Radhit bertanya.

“Aku ...? Menyentuh Pasvaati ...?” Taja merasa itu tidak mungkin.

"Aku pernah menyentuhnya, tetapi siapa yang pernah melihatku melakukan itu?" balas Radhit sembari menggelengkan kepala. Ia mengingat kejadian dirinya sendiri pernah menyentuh Pasvaati. Tetapi dengan tanpa wujud fisik, siapa yang akan menyaksikannya.

"Wah, luar biasa!" Taja takjub.

“Kamu pun bisa,” kata Radhit meyakinkan.

"Bagaimana caranya?" Taja tak sabar.

“Mari kita ke Istana Pusaka!” ajak Radhit.

“Sekarang?!” Taja tidak yakin.

“Ya!” jawab Radhit tegas.

“Ini larut malam. Banyak penjaga di sana. Mereka tidak akan mengijinkan kita masuk,” Taja menahan suara agar tidak berisik. Terlebih-lebih mereka membicarakan rencana berbahaya.

"Justru inilah waktu terbaik kita!" kata Radhit dan segera beranjak dari duduknya. Sebentar melipat lontar, meletakkan begitu saja di meja. Ia menoleh pada Taja. Sementara Taja bingung harus menerima ajakan Radhit atau tidak.

“Ikuti aku! Tidak ada penjaga yang tahu kita menyusup ke Istana Pusaka,” jawab Radhit.

"Baiklah," tanpa pikir panjang, Taja mengiyakan. Walaupun ragu. Namun antusiasnya terhadap Pasvaati, memaksa langkahnya bergegas untuk mengikuti Radhit menuju Istana Kitab.

________

KETERANGAN:

*Pukul Babi Jantan (Jam 10 malam).

**Pukul Harimau Betina (Jam 12 malam).

Sekte terbesar Jawata: Tanapura, Kakilangit, Gattorian, Mayapadhi, Padmangulan, Wetanampel, Adhiwangsa, Sangkanaya, Surimukhti, Bayuangga, Lumeru.

* * *

Bab terkait

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   7. Sang Pewaris

    "Pusaka Pasvaati memilih Sang Pewaris sehati dengan inti jiwanya."________Taja celingukan, berjalan mengikuti Radhit. Berbeda dengan Radhit melangkah santai, lurus, dan tanpa suara sedikitpun."Oh, iya. Dia hanya sukma. Seperti udara, tentu langkahnya tanpa suara," pikir Taja, melangkah penuh hati-hati sampai berjinjit tatkala melewati para penjaga pintu masuk dan keluar bangunan Istana Kitab. Aneh, para penjaga itu seperti dalam keadaan tidak waspada. Bahkan mereka layaknya orang yang tidur berdiri."Mantera Sirep berlaku beberapa saat saja. Kita harus bergegas sebelum mereka tersadar!" bisik Radhit tegas. Kedua lengannya bersedekap di dada. Begitulah cara dia berjalan santai."Mantera Sirep masal, berupa alunan seruling memeluk jiwa, melarutkan kesadaran siapapun yang mendengar," jelas Radhit singkat."Jadi, kau yang membuat mereka tertidur?" gumam Taja. Sempat terpikir, andai dia juga menguasai Mantera Sirep.Beberapa saat kemudian, mereka sampai di Istana Pusaka. Suasana lenggang

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   8. Diriku Yang Lain

    "Taja! Lari ...!" pekik Putri.Panik. Mengikuti Putri Alingga, Taja menyelinap keluar Istana Pusaka. Suasana mulai ramai didatangi para penjaga. Dari kejauhan, terdengar gong istana pertanda waspada.Kedua tangan Taja gemetaran, Putri Alingga merasakan juga. Digenggamnya tangan Taja, basah berkeringat. Masih terasa bagaimana Pasvaati di genggamannya. Itu yang membuat Taja lemas, takut, dan berdebar. Ditambah situasi mengancam, semakin menambah panik."Ini ... kemana ...?" tanya Taja gemetaran. Keringat membasahi leher dan pipinya. Ia terus mengikuti Putri Alingga. Setelah mengendap-endap di antara taman, mereka sampai di area yang banyak pancuran air."Pemandian wanita," jawab Putri Alingga."Apa?!" Taja tersentak. Tidak disangka putri membawanya ke tempat itu."Sssh ... jangan berisik! Ini satu-satunya jalur keluar menuju belakang istana," balas Putri Alingga, mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya."Tidak ada siapapun di area pemandian pada pukul sekarang ini," tambah Putri Ali

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   9. Goa Rahasia

    "Ada goa di bawah sungai air panas. Tolong, rahasiakan goa ini!"________Fajar telah berlalu. Tampak cakrawala timur, Sang Surya perlahan mulai terbit. Cahaya merasuk celah-celah dedaunan rimbun.Taja menapaki terjal, menuruni curam setapak, menikmati pagi berembun. Hawa air panas mulai terasa menguap dari permukaan sungai air panas. Ia benar-benar hampir lupa kejadian semalam di Istana Pusaka.Beberapa saat lalu, masih diingatnya saran Putri Alingga tentang goa bawah sungai.'Mungkinkah goa itu benar-benar ada?''Apakah ada orang lain yang menemukan tempat itu sebelum aku?' pikir Taja.Rasa penasaran berkecamuk di benaknya. Bukan hanya tentang goa bawah sungai. Tetapi, sosok Tajura. Benarkah sekuat ini terhubung dengan sosok itu.'Jika bukan dia, lalu siapa sesosok yang selama ini menghantui mimpiku?'Taja mulai menapaki tepian sungai berkerikil. Airnya terasa hangat sampai ke tulang lutut. Namun ia dikejutkan seseorang yang sudah berada di tepi sungai lebih dulu.Taja melihat seseor

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   10. Permusuhan Sengit

    Gemercik arus sungai menjauh.Taja dan Raojhin menelusuri kedalaman goa, bergerak menjauh dari mulut goa tertutup aliran sungai. Ternyata rongga di dalam goa, semakin ke dalam semakin luas. Banyak bebatuan sepanjang air tergenang yang tenang. Suasana di kedalaman goa, terasa sangat hening. Banyak lorong rongga membentuk labirin, menembus rongga lainnya dan berakhir ke perut goa."Hup!"Raojhin melompati bebatuan licin dan agak terendam air. Diikuti Taja dengan gesit melompati bebatuan.Lagi-lagi tanpa aba-aba, mereka seolah berlomba melompati bebatuan. Di antara mereka, acapkali muncul persaingan.Raojhin terhenti sebentar di sebuah batu dan memasang kuda-kuda. Mendapatkan posisi seimbang.Taja melihat gelagat Raojhin bersiap-siap menanggapi.Raojhin melempar pukulan ringan ke arah Taja, namun berhasil ditangkis."Mau bertarung?!" Taja melompat mundur, berpijak pada batu besar di belakangnya."Tempat ini sempurna untuk berlatih!" sambut Raojhin, haus pertandingan."Sering-sering kita k

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   11. Dua Tapak Beradu

    "Jurus apa itu?!"Pekik Taja."Tapak Sengatan Naga!" balas Raojhin menyebutkan jurus andalannya.Jurus tapak Raojhin bukan serangan mematikan tetapi cukup mengakibatkan memar di kulit dan menimbulkan rasa gatal yang menyengat. Taja kecolongan. Ia tak mau lagi mengalah."Wah, benar-benar harus bertarung?!" Taja tak menyangka, tantangan berubah perkelahian serius."Mau menjadi regu bersamaku?!" Raojhin menyeringai. Raut mukanya menunjukkan rasa puas dan sorot mata tajam."Tunjukkan dulu kemampuanmu!" rupanya Raojhin sangat selektif untuk menerima anggota regu. Terlebih-lebih Taja yang menawarkan itu.Sementara Raojhin merasa telah berhasil memberi pelajaran, Taja masih mengusap bekas pukulan tapak sengatan naga yang membuat nyeri dadanya. Tidak disangka Raojhin memiliki jurus aneh seperti itu. Sekali lagi diusapnya dada bekas pukulan itu, ditekan memutar sampai sedikit reda sakitnya."Bayangkan itu mengenai nadi lehermu, akan sangat fatal!" Raojhin menaruh empati, tapi tidak menyesal aka

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   12. Mengusik Kegelapan

    Setelah CHAPTER DUA TAPAKMENGUSIK KEGELAPAN"Apa yang terusik di kegelapan ini? Kita membangunkan sarang ular?!"________Keheningan goa terpecah derai tawa Raojhin yang panjang. Sepertinya ia puas sekali melampiaskan kekesalannya selama ini."Tawamu jelek!"Makin kesal, Taja perlahan bangkit dari tempatnya tersungkur setelah terpental. Rasanya sekujur tubuh bergetar sampai ke tulang, ketika menghantam bebatuan dan kerikil tajam."Dasar manusia berkepribadian ganda!" gerutu Taja sembari berusaha tegak."Pendendam!" Taja mengomel sejadinya."Bicara apa kamu?" Raojhin cukup mendengarnya di sela-sela tawa yang belum usai."Senang di atas penderitaan orang lain?!" balas Taja dan sejenak menatap tajam ke arah Raojhin."Bukan begitu!" Raojhin berdiri tegak di sana, "Aku juga kesakitan kemarin gara-gara kamu. Jadi sekarang kita impas!""Kejadian kemarin bukan aku penyebabnya, tetapi dirimu sendiri!" kata Taja tegas."Menyerang lawan dalam keadaan tidak siap, itu curang!" lanjut Taja."Dalam

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   13. Barikade Gaib

    "Sarang ular?!"Raojhin tersentak. Ada rasa takjub terhadap Taja, tidak gentar meski lebih dulu tahu bahwa tempat itu sarang ular."Kalajengking dan reptil ... ada di kegelapan ini!" lanjut Taja."Sebaiknya ... kita segera pergi!" ujar Raojhin disambut raut muka Taja berubah masam."Takut?!" sindir Taja, meledek Raojhin."Tempat ini sempurna untuk melatih keberanian," kata Taja. Raut muka Raojhin berubah masam pula. Seolah tidak ingin dianggap pengecut.Tiba-tiba letupan keras mengejutkan mereka. Percik api semakin merambat lebar, membentuk formasi membara mirip jaring laba-laba, menyerupai dinding pembatas."Apa yang kau lakukan?!" Raojhin was-was menghadapi situasi tegang."Aku?!" Taja balik heran ke arah Raojhin."Bukankah kau yang terbentur?!" Taja heran."Bukankah cahaya putih dari tanganmu itu?" Raojhin justru balik bertanya."Alhirri, cahaya putih-ku, menampakkan yang tak terlihat. Tetapi barikade dinding gaib itu patah karena benturan tubuhmu," Taja menjelaskan."Dinding gaib?!

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   14. Pasukan Ular 1

    "Wahai pasukan ular, siapa pemimpin kalian?!" ucapnya lantang, berdiri tegap dengan waspada penuh.________Terkesiap. Awas penglihatan Taja menangkap sekilas makhluk berkelebat di depan mata. Di antara kegelapan menyelimuti lorong goa, makhluk melata besar itu mengejar jejak Raojhin kabur terlebih dahulu, meninggalkan Taja bersembunyi di celah-celah sempit rongga.Sampai situasi terlihat aman, Taja bergerak perlahan dengan hati-hati. Langkah kaki mengikuti pergerakan serangga beterbangan sepanjang lorong rongga menuju satu arah.'Kemana Raojhin berlari?'Pikir Taja. Belum sempat memikirkan nasib Raojhin, tiba-tiba angin berhembus dari arah kegelapan di belakang Taja dan mengalihkan perhatiannya.Taja ...!Seketika waktu dan ruang dalam kilas balik sejenak. Nafas Taja tertahan. Ingatannya kembali pada mimpi yang selama ini sering menghantuinya. Mimpi sesosok bayangan gelap itu, terdengar bisikan memanggil namanya. Tetapi kali ini terasa lebih nyata.Taja ...!Suara berbisik seiring uda

Bab terbaru

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   177. Sandera

    Jantungku adalah jantungmu! Jika aku menusuk jantungku. Itu pula yang terjadi pada jantungmu!" ________ "Aku menyerah!" Suara lantang memecah ketegangan. Samar-samar Ketua Sujinsha berjalan selangkah demi selangkah, memasuki area perkumpulan musuh. Jumlah mereka ratusan orang-orang pembantai, termasuk belasan pimpinan Lowak Ruyo. Senyum sungging Puan Ra menyambut lelaki itu datang. Ketua Sujinsha berhenti tepat di hadapan Puan Ra. Orang-orang pembantai mengelilingi dengan wajah-wajah beringas. Puan Ra berdiri di hadapan Ketua Sujinsha mengangkat kedua lengan pertanda menyerah. "Lepaskan praja itu! Sebagai gantinya kalian mendapatkan aku!" seru Ketua Sujinsha. Kedua tangan bersilang di belakang tengkuk. "Cuih! Akal bulus apa kiranya strategimu, Pengelana jalanan! Kau sama sekali tidak berguna!" Puan Ra menjawab sengit. "Tentu aku berguna jika menjadi tawananmu! Lepaskan praja itu!" seru Ketua Sujinsha lagi. Mata berbalas mata. Permusuhan lama antara pemimpin Para Pembant

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   176. Kembali Ke Dunia Fana

    Pagi menyingsing bersama embun menyelimuti. Sang Surya bersemu jingga, mengintip dari balik ufuk timur. Wajahnya malu-malu perlahan mulai tampak."Jangan libatkan mereka."Seseorang menyampaikan pesan itu dari mulut Lorr En, dan sekarang diucapkan kembali oleh seorang pemantau. Ia menuturkan laporannya pada Ketua Sujinsha."Dia bertekuk lutut. Kedua kaki dan tangan terikat. Kedua matanya tertutup kain. Ia mengatakan itu kepada pimpinan musuh sehingga melepaskan kami untuk menyampaikan hal ini kepada Tuan."Pemantau dari sekumpulan Pasukan Bayangan. Sekembalinya dari penyisiran sekitar perbatasan, sempat bertemu musuh. Ia ditangkap, kemudian sengaja dilepaskan untuk menyampaikan pesan itu kepada Ketua Sujinsha. Tujuannya agar Pasukan Bayangan menyerahkan diri dan mengembalikan Raojhin kepada pihak musuh.Pemantau itu melaporkan informasi sepenuhnya kepada Ketua Sujinsha tentang tertangkapnya Lorr En, tentu membuat cemas Pasukan Bayangan.Ketua Sujinsha tertegun sebentar. Tegang dalam p

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   175. Satu Kembali. Satu Hilang.

    Satu orang kembali. Justru satu lagi menghilang. Seakan hanya bertukar saja.________"Jaga gudang mayat!"Teriakan penjaga menjadi petunjuk tempat Raojhin disembunyikan. Orang-orang saling melempar tugas. Hiruk pikuk situasi di kawasan pangkalan Pasukan Pembantai. Masing-masing pemimpin sibuk mengumpulkan sejumlah pasukan untuk dikerahkan ke luar pangkalan.Sesosok makhluk dari tanah, tersembul ke permukaan dan meluncur dalam pusaran pasir. Kemudian gesit wujudnya menjelma gumpalan tanah pasir menggelinding."Hup!" tubuh itu menggelinding sampai ke sisi bayang-bayang tenda dan terhenti.Rupanya manusia yang meringkuk dari gumpalan tanah pasir. Tak lain adalah Taja. Selimut tanah pasir, luruh dari tubuhnya. Sembari kebas seluruh baju, Taja memasang waspada, tatap matanya sekeliling arah. Tampak lenggang keadaan sekitar.Di tengah-tengah situasi tak menentu, akibat makhluk pasir bekerja secara efektif. Berhasil mengalihkan seisi pangkalan pembantai dan mengacaukan suasana. Taja berhasi

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   174. Hantu Pasir

    Hantu Pasir. Penghuni gaib Perbatasan Tengkorak. Makhluk penghisap siapapun yang hidup di permukaan tanah.________Deru pasir debu menyatu.Langit malam kian larut. Kantuk mengendap dalam penat orang-orang sedang berjaga-jaga di setiap titik kawasan pangkalan. Sejengkal pun tidak ada yang luput dari pengawasan mata regu pemantau, sibuk mengawasi penjuru arah dari tiang-tiang tinggi.Pangkalan pembantai tak pernah mengenal tidur. Kawasan merah dengan rona kobaran api. Sejauh mata menangkap kegelapan, titik-titik bara bersumber api unggun. Udara menerbangkan abu pijar dari bara meredup.Barisan regu giliran jaga malam bertukar tugas. Pasukan Pembantai dalam naungan gelap malam, tampak lebih waspada dan sangar wajah mereka.Pemimpin-pemimpinnya memasang erat penutup kepala bertanduk. Gading-gading gajah dipasang tegak lurus ujung lancipnya menghadap ke atas. Pertanda pemimpin baling berkuasa sedang berada di antara pasukan berkumpul.Beberapa orang tampak lalu lalang, tergesa-gesa dalam

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   173. Strategi Darurat

    Makhluk pasir dan tanah? Apa sungguhan itu makhluk yang terbentuk dari pasir dan tanah?________"Lorr."Taja menepuk pundak Lorr En. Ia pun siap menyambut Taja memberikan perintah."Kerahkan Pasukan Tawon! Alihkan musuh!" Taja berapi-api, tersulut ambisi bersiap-siap penuh."Aku akan mengobrak-abrik sarang pembantai," kata Taja sembari bangkit tegap, menyingsingkan kepalan tangan erat-erat.Ketua Sujinsha ternganga. Kiranya manusia seperti apa yang memiliki keyakinan sebesar itu untuk menyerbu pangkalan musuh sekelas Pasukan Pembantai. Ia sendiri bahkan tidak terpikir strategi sejauh itu. Butuh keberanian dan kekuatan pasukan besar dan persiapan matang."Tuan, serahkan padaku! Malam ini, aku akan menyerbu Pangkalan Pasukan Pembantai," tegas dan penuh percaya diri, Taja mengatakannya."Malam ini?!" ujar Ketua Sujinsha terkaget-kaget. Tak segera mengambil keputusan. Ia dan semua orang bawahannya banyak terluka dan belum pulih dari letih kesakitan. Pertarungan sebelumnya, melawan Pasuka

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   172. Perisai Magis

    "Tempat ini seperti tersembunyi? Seolah musuh tidak menyadari keberadaan kita?"________Malam berlarut.Tampak langit gelap dari celah-celah rongga bebatuan tempat persembunyian. Pertahanan magis energi Taja dan Lorr En bersatu, diperkirakan dapat bertahan sampai fajar menyingsing untuk melindungi diri bersama Pasukan Bayangan.Sementara itu, terdengar suara-suara meraung dari luar, pertanda banyak sekali orang-orang pembantai berdatangan sekitar tempat itu, melalui udara dan darat. Gonggongan anjing-anjing pelacak, menelusuri jalur lereng dan rongga-rongga sekitar. Kuat tajam penciuman anjing-anjing itu mengendus-endus setiap jengkal permukaan tanah dan batu. Mencari jejak Pasukan Bayangan yang sedang bersembunyi bersama Taja. Untuk sementara, mereka aman dari deteksi musuh."Perisai Alhirri hanya bertahan sebelum pagi menyingsing," kata Taja meresahkan hal itu. Kiranya sampai fajar, tetapi musuh masih patroli sekitar lokasi persembunyian."Aku akan mengalihkan perhatian mereka," uj

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   171. Pertolongan Tak Terduga

    Gemuruh angin hitam mengiringi dua sosok berjalan. Kedatangannya disertai kerumunan angin hitam, ternyata koloni serangga. ________ "Siapa kalian?!" Orang-orang Pasukan Bayangan menghunus kembali pedang masing-masing. Mengantisipasi serangan yang mungkin datang dari dua sosok itu. "Apakah kalian baik-baik saja?!" suara lantang pemuda, seiring kemunculan dua sosok berjalan dari balik kabut malam di bawah cahaya purnama. Semua terdiam, menyambut penasaran siapa gerangan yang datang. Tampak samar-samar, dua sosok pemuda. Gemuruh angin hitam mereda, mengiringi dua sosok itu mendekat. Mundur penuh hati-hati, orang-orang Pasukan Bayangan, berkumpul dalam formasi barisan, memasang pagar diri seraya menghunuskan pedang masing-masing. Tampaklah dua wajah pemuda yang datang itu. Pasukan Bayangan, seketika menurunkan senjata dan bernafas lega. Dua pemuda yang datang itu, ternyata sangat dikenal dengan baik. Suara-suara riuh mendengung, rupanya berasal dari kerumunan serangga menyertai ked

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   170. Badai Angin Malam

    Amukan badai angin hitam, ternyata koloni serangga tak terkira banyaknya. Menyerang sekelompok manusia jubah hitam beserta elang-elang tunggangannya.________Jerit raung manusia-manusia berjubah hitam, bersamaan elang-elang hitam meronta terbakar di tanah, bergumul debu kerikil. Teriakan manusia jubah mengamuk, namun masih hidup dalam kobaran api melahap tubuh.Tahu jenis apa elang Pembantai tak mati dalam api, harus dipenggal kepala, maka tak menyia-nyiakan kesempatan, segera regu Tameng Cakra dan Jerat Laba-laba, menebas kepala manusia berjubah dari tubuhnya. Juga elang tunggangannya. Hujan mulai berjatuhan ke tanah. Semakin deras membasahi tak terhitung tubuh-tubuh bergelimpangan. Regu Tameng Cakra dan Jerat Laba-laba tanpa henti mengayunkan jurus-jurus pedang, menghabisi siapapun musuh yang masih bergerak, elang hitam dan manusia berjubah hitam bersimbah darah bergelimpangan.Krrroaaagh!!!Tiba-tiba dari awan gelap, seekor elang hitam sangat besar, melintas sekejap mata dan meny

  • The Story of Jawata: Pusaka Ajaib   169. Elang Pembantai

    Batu menjerit dan bergerak. Wujud semula bongkahan, ternyata jubah kamuflase menyerupai batu, menyingkap sesuatu tersembunyi di baliknya.________Elang Pembantai.Jenis pasukan terbang pembantai. Semakin banyak jumlahnya, berdatangan ke tempat itu. Menggantikan pasukan pembantai berkuda yang sudah kalah telak.Hujan rantai besi sambar menyambar dari langit-langit gelap. Kemunculan Elang Pembantai memaksa Pasukan Bayangan sesegera mungkin bergerak mundur."Sembunyi!" pekik Ketua Sujinsha, diikuti sekawanan orang-orangnya bergerak cepat, menepi di antara celah-celah bebatuan. Namun belum semuanya bersembunyi, beberapa orang Tameng Cakra terkena sambaran rantai besi, tubuhnya ditarik dan terpelanting ke udara. "Aargh!!!" terbanting di sisi lereng berbatu. Anggota lainnya tak sempat memberikan pertolongan.Para pembantai dengan tunggangan elang hitam raksasa, beterbangan seiring riuh suara Terompet Raung mengangkasa. Tangan-tangan mereka sibuk melempar rantai-rantai besi. Penglihatan ta

DMCA.com Protection Status